• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata dari berbagai jenis perjanjian tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank, bahkan dalam UU Perbankan Tahun 1967 sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank. Istilah perjanjian kredit bank ditemukan dalam Instruksi Pemerintah, yang ditujukan kepada masyarakat bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank wajib menggunakan “akad perjanjian kredit”. Instruksi demikian dimuat dalam Instruksi Presedium Kabinet No. 15/ EKA/ 10/ 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 No. 2/ 539/UPK/ Pemb/ 1966 dan Surat Edaran Bank

46 Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Lima Undang-Undang Moneter Dan Perbankan, (Bandung, Fokus Media, 2009), hal. 68.

47 Abdulkadir Muhammad, dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan

Negara Indonesia No. 2/ 643/ UPK/ Pemb/ 1966 tentang Pedoman Kebijaksanaan Di Bidang Perkreditan.”48

Menurut Marhainis Abdul Hay, bahwa ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam-mengganti, menentukan bahwa perjanjian pinjam-mengganti adalah : “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”49

R. Wirjono Prodjodikoro, dalam buku berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu”, berpendapat ketentuan pada Pasal 1754 KUH Perdata ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat “riil”. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena pasal tersebut tidak menyebutkan bahwa pihak pertama “mengikatkan diri untuk memberikan” suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan, melainkan pihak pertama “memberikan” suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian.”50

Pendapat Marhainis Abdul Hay bila dihubungkan dengan pendapat R. Wirjono Prodjodikoro, atas pasal tersebut di atas, maka sebagai konsekuensi logis berarti perjanjian kredit bank adalah bersifat riil. Berbeda dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman, berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrahendo) obligatoir, yang dikuasai oleh UU Perbankan Indonesia dan Bagian Umum KUH Perdata. Dan “penyerahan uangnya “sendiri, adalah bersifat riil, serta pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.”51

Perjanjian standard seperti yang dipraktikkan oleh perbankan mengandung kelemahan bila ditinjau dari Pasal 1320 KUH Perdata, karena di sana tidak ada kebebasan dari calon debitur untuk tidak menyetujui isi yang dalam blanko/formulir perjanjian kredit bank tersebut, sedangkan untuk pihak bank membawa keuntungan, karena tidak direpotkan untuk membuat konsep perjanjian setiap ada calon nasabah untuk mengajukan kredit dan memberikan kemudahan kepada pihak perbankan untuk menggoreksi kesalahan konsep perjanjian kredit dikemudian hari.

Perjanjian kredit telah lahir pada saat dilakukannya penanda tanganan perjanjian kredit, sedang pihak pemohon belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu ketidak-adilan yang nyata. Sebab bila perjanjian

48 Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Op.cit., hal. 30.

49

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perjanjian Di Indonesia, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1979), hal. 147.

50

Wirjono Prodjodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, (Bandung, Sumur, 1981), hal. 137.

51

kredit telah lahir sejak penanda-tanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian pinjamannyapun telah lahir, sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya yang berarti pula belum mempunyai utang. Hal ini adalah bertentangan dengan sifat accesoir dari perjanjian jaminan. “Terlepas dari pendapat tersebut di atas, ditanda-tanganinya perjanjian kredit tidak langsung membawa konsekuensi sudah ada penyerahan uang, pihak bank sebagai kreditur tidak akan memberikan uang sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit sebelum adanya pengikatan jaminan utang. Klausul ini juga biasanya dituangkan dalam perjanjian kredit. Namun dalam praktek perbankan biasanya penanda-tanganan kredit bersama-sama dilakukan dengan penanda-tanganan hak tanggungan.”52

Dalam penelitian yang dilakukan pada bank, ternyata ada dua cara yang digunakan bank dalam penanda tanganan perjanjian kredit tersebut, yaitu :

1. Ada secara langsung datang ke kantor bank untuk memohon kredit dengan membawa permohonannya beserta surat-surat lainnya mengenai identitas diri para pemohon dan surat-surat yang berhubungan dengan agunan/jaminan;

2. Pihak bank bekerjasama dengan pihak koperasi, pihak koperasi mencari calon debitur, kemudian pihak koperasi bertindak seolah-olah sebagai kreditur (bank) dengan menyerahkan blanko/formulir surat perjanjian untuk ditanda-tangani calon debitur, beserta surat-surat yang berhubungan dengan agunan/jaminan. Pada cara kedua ini calon debitur mnegetahui bahwa debitur meminjam uang dari koperasi bukan dari bank.”53

Ciri-ciri dari penyalah-gunaan keadaan tersebut di atas adalah pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit, baik karena adanya keadaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang mendesak atau adanya hubungan atasan bawahan, perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban yang timbal-balik antara pihak (prestasi yang tak seimbang), dan kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.”54

Pelaksanaan perjanjian kredit bank dengan cara kedua seperti dijelaskan di atas bertentangan dengan syarat-syarat perjanjian sebagaimna yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, khususnya pada syarat kedua, yakni adanya kesepakatan di antara para pihak. Karena untuk cara kedua seperti peneliti uraikan di atas, pihak bank membantahnya, disebabkan bahwa pihak bank tidak pernah melakukan hal seperti itu. Para debitur menyatakan sebaliknya dengan menyatakan para pengurus koperasi yang melakukan perbuatan penanda-tanganan perjanjian kredit dan berperan terlaksananya perjanjian kredit itu sudah dihukum pengadilan karena telah terbukti melakukan penipuan. Dalam hal ini untuk mengetahui adanya tipu muslihat tersebut dapat dilihat dari adanya pihak yang memberikan gambaran yang tidak benar

52

Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Loc.cit., hal.35.

53

Hasil Wawancara terhadap Katijan (Katijan Bin Kastorejo), Karso Dikromo (Karso Dikromo Bin Hirosemito), Sunarmi, Tukinem, Suparmi, Paitun, dan Nyonya Paitun, Boyolali, pada tanggal 15 Juli 2009.

54

mengenai ciri objek perjanjian, sehingga pihak yang lain tergerak hatinya untuk membuat perjanjian. Di sini ada akibat dari penipuan, di mana orang ditipu menjadi tersesat atau keliru.

H. Jenis-Jenis Atau Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Bank 1. Perjanjin Kredit Bank Di Bawah Tangan

Menurut H. Budi Untung, dalam bukunya berjudul “Kredit Perbankan Di Indonesia”, mengatakan bahwa secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit/pengikatan kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya pada debitur, yaitu :

1.Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara bank dan debitur tanpa notaris. Lazimnya penanda tanganan akta perjanjian kredit, saksi tidak turut serta membubuhkan tanda tangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata di pengadilan.

2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris (akta notariil) atau akta otentik. Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit bank notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.”55

Bentuk perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat oleh bank adalah dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam blanko/formulir yang telah dipersiapkan oleh bank sendiri. Namun kelemahan dari perjanjian kredit bank tersebut tidak ada tanda tangan dari saksi, perjanjian tersebut hanya ditanda tangani oleh Pimpinan dan Staff Bank itu sendiri dan debitur, dan di samping itu, apabila yang meminjam suaminya atau sebaliknya, tidak nampak dalam perjanjian kredit tersebut siapa peminjam dan siapa yang memberikan persetujuan atas pinjaman yang dilakukan.

Bentuk perjanjian kredit bank yang dibuat di bawah tangan seharusnya ada tanda tangan saksi karena tidak tertutup kemungkinan ada sengketa di kemudian hari. Saksi yang menanda-tangani perjanjian kredit bank tersebut akan dapat dijadikan saksi apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Perjanjian kredit bank yang dibuat tertulis di bawah tnagan tanpa ada saksi kemungkinan besar dapat disangkal oleh para pihak yang membuat perjanjian kredit bank khususnya pihak debitur. Penyangkalan ini sudah disampaikan atas gugatan yang diajukan bank, di mana debitur menyatakan dia tidak pernah meminjam dari PT. BPR YIS.

2. Perjanjian Kredit Bank Secara Otentik (Notaril)

Perjanjian kredit secara otentik (notaril) adalah “perjanjin kredit oleh bank kepda nasabahnya yang hanya dibuat oleh suatu atau dihadapan Notaris”. Mengenai defenisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata.”56

55

H. Budi Untung, Ibid., hal. 31.

56

Dalam praktik yang sering dilakukan bank, baik itu bank pemerintah maupun bank swasta dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang sering dipergunakan adalah akta/perjanjian kredit bank di bawah tangan, alasannya adalah untuk mempercepat proses kredit yang diajukan oleh debitur kepada bank dalam menambah modal usaha yang diusahakan oleh debitur. Untuk itu dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang dibuat bank haruslah memperhatikan fungsi dari pada perjanjian kredit bank itu dibuat.

I. Fungsi Perjanjian Kredit Bank

Menurut Rachmadi Usman, dalam bukunya berjudul “Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia”, bahwa perjanjian kredit bank mempunyai beberapa fungsi, antara lain : perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan, dan perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.”57

Dalam perjanjian kredit dicantumkan segala hak dan kewajiban masing-masing pihak, misalnya hal yang menyangkut tentang syarat-syarat pelaksanaan kredit, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan, jumlah dan lamanya kredit itu, seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit bank secara tertulis. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum bertujuan melindungi kepentingan bank dan sekaligus pihak debitur. Perjanjian kredit yang memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum memuat jumlah kredit, jangka waktu pembayaran, tata cara pembayaran termasuk besarnya bunga dan waktu penyetoran utang setiap bulannya. Sebaliknya jika perjanjian kredit tersebut tidak memiliki keabsahan hukum dan persyaratan hukum walaupun dibuat secara tertulis bahkan berupa akta otentik akan dapat merugikan bank itu sendiri.

Demikianlah garis besar isi dari pada surat permohonan kredit atau daftar isian tersebut di atas, di mana masing-masing bank mempunyai bentuk dan caranya sendiri, akan tetapi bagaimanapun juga jawaban-jawaban yang tertulis di dalam daftar isian tersebut merupakan bahan pertimbangan bagi bank untuk menerima atau menolak permohonan kredit tersebut.