• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dari pada hak tanggungan itu sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan 1996, bahwa yang dimaksud dengan hak tanggungan hak atas tanah beserta benda-benda yang terkait dengan tanah memberi defenisi Hak Tanggungan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada bank tertentu kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan adalah identik dengan hak jaminan yang bilamanadibebankan atas tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Bangunan, tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Pakai memberi kedudukan utama kepada kreditur-kreditur yang akan menggeser kreditur lain dalam hal si berutang (debitur) wanprestasi dalam pembayaran utangnya, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemegang hak Tanggungan lebih preferent terhadap kreditur-kreditur lainnya. Sebagai suatu lembaga hak jaminan yang kuat Hak Tanggungan mempunyai 4 (empat) ciri pokok, yakni memberikan kedudukan diutamakan

65

Gunawan Widjaja, dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 81.

(preferent) kepada krediturnya, selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite), dan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Pengertian hak tanggungan di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya hak tanggungan adalah hak yang dibebankan pada hak atas tanah beserta benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Benda-benda lain tersebut berupa, bangunan, tanaman dan hasil karya (seperti lukisan) yang melekat secara tetap pada bangunan. Keberadaan UUHT ini mempunyai konsekuensi yuridis terhadap sistem hukum perdata yang berkaitan dengan pemberian kredit. Dalam ketentuan Pasal 29 UU Hak Tanggungan dinyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai Creditverband sebagaimana tersebut diatur dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.”66

Di samping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi yang berarti bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian dengan yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek hak tanggungan dan beban hak tanggungan tetapi hak tanggungan tetap membebani seluruh objeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku harus diperjanjikan dalam APHT, akan tetapi dalam praktik hal ini tidak ada dibuat oleh debitur. Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pokok dan di samping perjanjian pokok ada perjanjian accesoir (perjanjian tambahan), yakni perjanjian jaminan utang atau perjanjian hak tanggungan. Dalam perjanjian kredit bank yang dibuat oleh bank, jaminan utang yang hanya diikat dengan perjanjian kredit. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 5 perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat pihak bank, sebagai agunan/jaminan kredit tersebut ditetapkan. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan “ SKMHT ”.

Elemen dari defenisi dari pada Hak Tanggungan, sebagimana dimaksud dalam Pasal angka 1 UU Hak Tanggungan, UU Hak Tanggungan adalah hak jaminan. UU ini adalah realisasi dari Pasal 51 UUPA jo. Pasal 1131 KUH Perdata tentang Jaminan Umum, objek UU Hak Tanggungan ini adalah hak atas tanah. Ketentuan ini juga merupakan realisasi dari Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39 dan Pasal 51 UUPA yang mengatakan bahwa objek hak tanggungan adalah hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain (bangunan, tanaman) yang melekat (tertanam) sebagai satu kesatuan dengan tanah. Dari kenyataan UU ini melihat bahwa kebutuhan menuntut untuk diterapkannya asas perlekatan yang tidak dikenal dalam hukum adat. Tanah yang diatasnya tertancap bangunan menaikkan nilai tanah. Dunia bisnis menghendaki agar asas perlekatan itu diakomodir oleh UU Hak Tanggungan, karena kreditur akan memperoleh jaminan yang tinggi harganya seimbang dengan

66 Boedi Harsono, Masalah Hipotik Dan Creditverband, (Yogyakarta, Kertas Kerja Pada Seminar Hipotik Dan Lembaga Jaminan Lainnya Di Yogyakarta, 1977), hal. 83-84.

besar jumlah kredit yang akan diberikan kepada debitur, dibandingkan jika dijaminkan hanya tanahnya saja, untuk pelunasan utang tertentu.

Tujuan hak tanggungan tidak hanya sekedar melunasi utang yang timbul dari perjanjian pinjam uang, akan tetapi kewajiban memenuhi suatu perikatan. Hal ini mengacu kepada Pasal 3 UU Hak Tanggungan berdasarkan perjanjian lain dari perjanjian pinjam uang. Konsep ini juga dianut oleh KUH Perdata, dan kreditur mempunyai kedudukan utama (Penjelasan Umum Angka 4 UU Hak Tanggungan). Maksudnya jika debitur wanprestasi, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan hak mendahulu dari pada kreditur yang lain.)

67

Demikian juga bank meminta jaminan utang atas kredit yang dipinjam debitur, misalnya sertifikat hak atas tanah dan bangunan. Penyebab permintaan jaminan utang ini berupa sertifikat hak atas tanah dan bangunan ini karena kekhwatiran dari kreditur di kemudian hari debitur wanprestasi, sehingga jaminan itu akan dapat dijual melalui lelang. Pengikatan hak tanggungan ini harus juga didahului dengan perjanjian kredit yang berfungsi sebagai perjanjian pokok, kemudian diikuti dengan perjanjian hak tanggungan sebagai perjanjian accesoir.

Proses pembebanan hak tanggungan dilakukan dengan 2 (dua) tahapan kegiatan, yaitu : tahap pemberian hak tanggungan, dalam tahap ini menurut ketentuan Pasal 10 UU Hak Tanggungan disebutkan, bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tahap pendaftaran, bahwa menurut Pasal 13 UU Hak Tanggungan pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penanda-tanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dengan membuat Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatkannya dalam Buku Tanah Hak Atas Tanah yang menjadi objek hak tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Jika tanah tersebut yang dijadikan sebagai objek jaminan belum sertifikat, maka tanah tersebut wajib terlebih dahulu disertifikasi. Selanjutnya, menurut Pasal 14 UU Hak Tanggungan, bahwa sebagai tanda bukti hak adanya hak tanggungan kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak atas tanggungan. Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Dengan demikian dalam sertifikat hak

67

tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dan sebagai pengganti grosse acte

hyphotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.”68