• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN PERJANJIAN

C. Pengertian Perjanjian Kredit Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Sebelum membahas mengenai pengertian Perjanjian Kredit, perlu diketahui apa yang dimaksud dengan Kredit. Istilah Kredit bukanlah merupakan sesuatu yang asing dalam kehidupan kita sehari-hari di masyarakat sebab sering dijumpai ada anggota masyarakat yang melakukan transaksi jual beli melalui kredit. Jual beli secara kredit itu tidaklah dilakukan secara tunai (kontan), melainkan dengan cara menggangsur. Banyak dari

31

anggota masayarakat yang menerima kredit dari koperasi maupun Bank dalam untuk memenuhi kebutuhannya. Secara umum masyarakat biasa mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas.

Secara umum dalam pengertian yang sederhana, kredit adalah merupakan penyaluran dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang memerlukan dana yang dilakukan berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana.

Kata “kredit” sebenarnya berasal dai bahasa romawi, yaitu Credere,

yang artinya adalah “percaya”.32 Bila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur percaya meminjam kan uang kepada debitur karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar kepada kreditur lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.33

Beberapa ahli menerjemahkan kredit sebagai berikut :34

a. “... Kredit itu adalah suatu pemberian prestasi yang balas prestasinya (kontra prestasi) akan terjadi pada suatu waktu

dihariyang akan datang...” (Drs. Amir Rajab Batubara).

32

Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit Suatu Tinjaun Yuridis, (Jakarta : Penerbit Dajmbatan, 1994). hal 28.

33

Hermansyah, Op.Cit. hal 21.

34

b. “ In a general sense credit is based on confidence in Debtors

ability to make a money payment at some future time” (Rollin

G. Thomas) Apabila defenisikan secara bebas, kreit dalam pnegertian umum merupakan kepercayaan atas kemampuan pihak debitur ( penerima kredit) untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang.

Muchdarsyah Sinungan mengatakan, kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengansuatu kontra prestasi berupa bunga.35

Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 Pasal 21 angka 11 menyebutkan bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepekatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat diketahui, bahwa kredit itu adalah merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian tersebut bank sebagai pemberi kredit percaya kepada nasabah dalam jangka wktu yang telah disepakati akan mengembalikan lunas.

35

Muchdarsyah Sinungan MZ., Dasar-dasar dan Tehnik Manajemen Kredit, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1987). hal 12.

1. Pengertian Perjanjian Kredit.

Pengaturan yang berlaku mengenai perjanjian diatur dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu Tentang Perikatan. Perjanjian diatur dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena perjanjian adalah salah satu sumber hukum dari perikatan. Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian yang khusus dari bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai kreditur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan itu sendiri.36

Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.37

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengatur secara jelas mengenai perjanjian Kredit. Untuk mengetahui Perjanjian Kredit perlu melihat kembali pada Pasal 21 angka 11 Undang- Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian Kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank dengan pihak nasabah. Melihat dari bentuk perjanjiannya dan kewajiban debitur, , maka perjanjian kredit tergolong sebagai perjanjian pinjam pengganti. 38

36

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1996) hal 241.

37

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313.

38

Meskipun demikian perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus, karena didalamnya terdapat kekhususan dimana pihak kreditur selalu bank dan objek perjanjian berupa utang 39.

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.

Dilihat dari bentuknya perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian Baku (Standart Contract).40 Berkaitan dengan itu pihak bank sebagi kreditor sebagai penyedia perjanjian tersebut dan pihak debitor berkewajiban untuk mempelajarinya dengan seksama.

Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan namun demikian ada hal yang harus diperhatikan yaitu bahwa perjanjian kredit harus jelas, selain itu juga harus jelas. perjanjian

2. Dasar Hukum Perjanjian Kredit.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan antara perjanjian bernama dengan perjanjian yang tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan oleh undang-undang secara khusus, yang terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII buku Ketiga Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang ada diluar dari jenis-jenis perjanjian yang diatur dalam

39 Ibid.

40

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Prof. Subekti, semua pemberian kredit pada hakekatnya merupakan perjanjiaan pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754/1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.41 Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis mutu yang sama pula.42 Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman43:

“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan

mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang memeinjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa

terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “ penyerahan “ uang

oleh bank kepada nasabah”.

Dengan demikian maka perjanjian kredit termasuk kedalam bentuk perjanjian pinjam meminjam.Oleh karena itu peraturan yang berlaku bagi perjanjian kredit adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai peraturan Umumnya, dan Undang-Undang Perbankan beserta peraturan pelaksanaanya sebagai peraturan khususnya. Meskipun secara tegas dalam

41

Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia ( Bandung; Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 3.

42

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754.

43

dan khusus tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam melaksanakan perjanjian kredit unsur-unsurnya tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam melaksanakan perjanjian kredit harus sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat empat syarat untuk menentukan sahnya perjanjian, yaitu :

a. Adanya kata sepakat. b. Kecakapan.

c. Hal tertentu,

d. Dan sebab yang halal. a. Adanya Kata Sepakat.

Adanya kata sepakat adalah persepakatan seia sekata antara pihak- pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.Sebelum adanya persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan negosiasi dengan pihak lainnya untuk beroleh kesepakatan.44

Persetujuan kehendak itu bebas, tidak ada paksaan, tekanan/paksaan dari piak mana pun, murni atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan perjanjian tersebut tidak berada dalam ancaman, baik dengan kekerasan jasmani

44

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 300.

maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia sehingga dengan demikian orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian.45 b. Kecakapan.

Pada umumnya orang dikatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum apabila dia sudah dewasa. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menetapkan siapa-siapa yang tidak cakap hukum dalam membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap hukum dalam membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh dalam pengampuan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oelh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Namun untuk poin ketiga Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ini telah dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri tidak memberikan perincian siapa saja yang termasuk orang-orang yang belum dewasa. Ketentuan yang digunakan untuk mengetahui hal tersebut berpedoman pada, yaitu :46

1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 4 Tahun 1979, tentang kesejahteraan anak menyebutkan, bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

45 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1324. 46

2. Pasal 6 angka 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya

c. Hal Tertentu.

Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah, dalam suatu perjanjian harus jelas apa yang menjadi objeknya, supaya perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik

d. Sebab Yang Halal.

Yang dimaksud dengan sebab yang halal disini adalah bahwa suatu perjanjian itu harus jelas tujuannya untuk apa diperjanjikan, dan suatu perjanjian tersebut harus sesuai dengan norma dan peraturan hukum yang berlaku. Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal akibat perjanjiannya menjadi batal demi hukum.

Dasar hukum lain yang menjadi dasar hukum perjanjian kredit adalah berdasarkan Pasal 1338 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur asas kebebasan berkontrak. Sehingga dapat dikatakan bank memiliki kebebasn untuk membuat suatu bentuk perjanjian yang yang sesuai dengan ketetntuan yang telah diatur oleh kebijakan bank dalam hal pemberian kredit. Berdasarkan hal tersebut , maka pada umumnya perjanjian kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku sperti yang sudah dibahas sebelumnya diatas.

Dalam Undang-Undang Perbankan khusunya ketentuan yang mengatur tentang perkreditan ternyata tidak mengatur tentang bagaimana cara bank membuat perjanjian kredit dengan nasabahnya. Karena tidak

mengatur, hal ini merupakan kebebasan kedua belah pihak untuk menentukan wujud perjanjian kredit yang dikehendaki sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.47

Jadi dalam hal ini bank sebagai kreditur yang mengatur atau menetukan isi perjanjian karena ia kedudukan sosial ekonominya kuat dibandingkan debiturnya. Disamping itu ada alasan-alasan lain seperti menghemat waktu, praktis dan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada debitur.48 Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi apabila debitur menolak ia tidak perlu menandatangani kontark/perjanjian kredit tersebut.

Dengan demikian mengenai dasar hukum perjanjian kredit tetap tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, unsur-unsur perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dokumen terkait