• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pengertian Petani

Jumlah penduduk penduduk Indonesia 215,3 juta orang. Angkatan kerja hingga Februari 2005 tercatat 105,8 juta orang. Dari dari jumlah penduduk dan angkatan kerja yang sebagian besar berada di Pulau Jawa, terdapat pula sejumlah penganggur yang tersebar di seluruh wilayah, dengan konsentrasi juga di Pulau Jawa (Badan Statistik, 2005).

Petani, merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada kecenderungan jumlah yang semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian, masih berjumlah 42 juta orang, atau di sekitar 40% dari angkatan kerja. Para petani merupakan angkatan kerja, bekerja dalam sebuah wilayah terbuka, terpajan sinar ultraviolet dari matahari, terpajan bahan kimia beracun pestisida, serta banyak faktor kesehatan risiko lain, termasuk penyakit menular. Faktor risiko kesehatan petani sangat kompleks dan saling terkait, sehingga menyulitkan penyusunan programnya. Namun demikian, bukan berarti masalah tersebut diabaikan.

Banyak wilayah kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan utaman daerah (PAD).

Di dalam sektor pertanian termasuk diantaranya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Dengan demikian, angkatan kerja yang termasuk petani adalah mereka yang bekerja pada pertanian tanaman pangan (seperti padi, jagung, sagu), pemetik teh, pemetik kelapa, petani gula, kelapa, kopra, perkebunan lada, karet, tanaman hortikultura (sayur mayur), dan lain lain.

Berdasarkan catanan yang ada, petani tanaman pangan masih merupakan jumlah terbesar. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kesehatan petani, baik kesehatan sebagai modal awal untuk bekerja, maupun risiko bekerja, harus dikelola dengan baik dan professional.

2.3.1. Penerapan Teknologi Sebagai Faktor Risiko Kesehatan Pertanian Tanaman Pangan

Persoalan utama higiene perusahaan dan kesehatan kerja di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah lokasi dan beroperasinya perusahaan yang biasanya berada di daerah rural (pedesaan), sehingga higiene dan kesehatan pedesaan langsung mempengaruhi keadaan higiene dan kesehatan masyarakat petani dan pekebun serta masyarakat kehutanan. Selain itu tenaga kerja menghadapi risiko aneka penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja serta perlunya penyesuaian terhadap perkembangan cara kerja dan proses produksi dengan menggunakan teknologi baru (Suma’mur,2009).

Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah health risk. Baik teknologi yang bersifat software maupun hardware. Oleh sebab itu, ketika terjadi

perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor risiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan traktor, akan mengubah faktor risiko kesehatan yang dihadapi petani.

Menurut Achmadi, masyarakat petani tanaman pangan dapat didentifikasi menjadi tiga kelompok :

a. Kontak tani, dikenal sebagai petani yang berpengetahuan luas, mudah mengadopsi teknologi baru, memiliki jiwa kepemimpinan.

b. Tani maju, petani yang berpengetahuan luas dan mudah menerima pengetahuan baru.

c. Tani naluri, yang hanya mengikuti petani a dan b.

Ketiga jenis petani diarahkan untuk berkelompok dan bekerja sama dalam dalam kelompok kelompok tani, yang secara hamparan lahan pertanian menjadi lebih luas dan tentu saja lebih efektif serta produktif.

2.3.2. Kualitas Kesehatan Petani Indonesia

Untuk mendukung perekonomian wilayah kabupaten, sekaligus perekonomian nasional maka sudah selayaknya kualitas petani khususnya aspek pendidikan dan kesehatannya dikelola dengan baik. Kesehatan merupakan salah satu dari 3 (tiga) unsur pokok penentu Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index) bersama dengan status sosial ekonomi dan pendidikan. Kualitas petani, langsung maupun tidak, berhubungan dengan tingkat Indeks Perkembangan Manusia (IPM) ini. Untuk menghadapi persaingan nasional maupun global indeks Perkembangan

Manusia (IPM) dapat digunakan sebagai indikator kesiapan wilayah kabupaten dan kota.

Dalam Indeks Perkembangan Manusia (IPM) kesehatan petani harus dilihat dalam dua aspek perspektif. Yakni, kesehatan sebagai modal kerja, dan aspek penyakit kaitannya dengan pekerjaan, khususnya faktor risiko akibat penggunaan teknologi baru dan agrokimia.

Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain stamina, kondisi fisik harus mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani jangan sampai sakit sakitan. Kemudian tingkat pendidikan dan kesehatan petani diperlukan untuk mendukung produktivitas.

Salah satu masalah yang mengganggu perkembangan kualitas kesehatan petani adalah sanitasi dasar. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta sarana rumah sehat yang memadai. Aksesibilitas petani dan masyarakat miskin terhadap air bersih dan sangat rendah. Demikian pula terhadap jamban. Banyak keluarga penduduk pedesaan tidak memiliki jamban keluarga. Dari data Riskesdas yang ada menunjukkan bahwa rata-rata nasional, penduduk yang akses terhadap sarana air bersih pada tahun 2002, hanya 72,3%. Sedangkan yang memiliki jamban keluarga hanya 63,85%. Secara proporsional aksesibilitas terhadap air bersih penduduk perkotaan lebih baik ketimbang penduduk pedesaan (Ditjen PPML 2003 dalam Achmadi, 2012).

Sanitasi dasar merupakan salah satu faktor risiko utama timbulnya penyakit-penyakit infeksi baik yang akut seperti kolera, hepatitis A, maupun kronik seperti disentri, infeksi cacing, bakteri Coli, maupun penyakit infeksi kronik lainnya. Setiap

petani akan mengalami kesakitan (morbiditas). Apabila seseorang menderita diare kronik jelas akan mengganggu produktivitas bekerja. Demikian pula batuk pilek kronik, akibat ventilasi atau kondisi perumahan yang buruk.

Penderita gizi buruk dan kecacingan tidak bisa bekerja dengan baik. Penyakit kronik yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang buruk, merupakan contributor terhadap tingginya absentiisme di kalangan petani dan lebih lanjut penurunan produktivitas.

2.3.3. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan Petani

Berbeda dengan konsep penyakit endemik yang mengganggu Indeks Perkembangan Manusia (IPM), apabila seorang petani sedang bekerja, maka mereka akan terkena risiko untuk mendapatkan penyakit akibat pekerjaannya. Dengan kata lain, pekerjaan (pertanian) sebagai faktor risiko penyakit petani yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Kalau Indeks Perkembangan Manusia (IPM) tenaga kerja adalah gambaran awal kondisi kualitas sebagai bahan input atau modal awal, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan akan memperburuk kondisi awal tersebut. 2.3.3.1. Kualitas Kesehatan Petani

Secara teoritis apabila seseorang bekerja, ada tiga variable pokok yang saling berinteraksi, yakni kualitas tenaga kerja, jenis atau beban pekerjaannya, dan lingkungan pekerjaannya. Akibat hubungan interaktif berbagai faktor risiko kesehatan tersebut, apabila tidak memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan dapat bersifat akut dan mendadak, kita kenal sebagai kecelakaan, dapat pula bersifat menahun. Berbagai gangguan kesehatan yang berhubugan dengan pekerjaan misalnya, ketulian

pada pekerja yang mengalami kebisingan. Para petani yang menderita keracunan insektisida tingkat sedang hingga tinggi.

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan juga diderita oleh petani, seperti sakit pinggang (karena alat cangkul yang tidak ergonomis), gangguan kulit karena sinar ultraviolet ataupun agrokimia. Penggunaan agrokimia merupakan faktor risiko penyakit yang paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal tenaga kerja akan memperburuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya. Penderita anemia akan kekurangan gizi disebabkan kecacingan disawah atau perkebunan ataupun kurang pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk karena keracunan organofosfat.

Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, ternasuk penyakit infeksi yang diakibatkan bakteri, virus maupun parasit. Penyakit malaria, cacing tambang dan leptospirosis misalnya, selain dapat dianggap sebagai penyakit yang merupakan bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja, juga dapat dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

2.3.4. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani

Seorang petani yang memiliki derajat sosial ekonomi rendah akan bertempat tinggal pada pemukiman kumuh tanpat sanitasi yang memadai. Kapasitas kerja gizi rendah, diare karena kurang air bersih, akibatnya akan mudah mengalami sakit sakitan.

Petani Indonesia pada umumnya tidak memerlukan transportasi untuk menuju tempat pekerjaannya. Namun, bagi petani perkebunan atau tenaga kerja perkotaan yang memerlukan waktu lama menuju tempat kerjanya, maka kualitas dan kapasitas

kerjanya akan berkurang. Terlebih lagi bagi tenaga kerja yang menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran udara dan kebisingan jalan raya, tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat.

Mengacu kepada teori kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja, maka risiko kesehatan petani yang ditemui di lapangan pekerjaannya sebagai berikut:

1. Mikro organisme : faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit infeksi, parasit, kecacingan maupun malaria. Penyakit kecacingan dan malaria selain merupakan ancaman kesehatan (sebagai modal awal) juga merupakan faktor risiko pekerjaan petani karet, perkebunan lada, dan lain lain. Berbagai faktor risiko yang menyertai leptospirosis, gigitan serangga, dan binatang berbisa.

2. Faktor lingkungan kerja fisik: sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin, cuaca, hujan, angin dan lain lain.

3. Ergonomi: yakni kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul, traktor, dan alat alat pertanian lainnya.

4. Bahan kimia toksik: agrokimia, seperti pupuk, herbisida, akarisida dan pestisida (Achmadi, 2012).

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan

Dokumen terkait