• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor – Faktor Risiko Kecacingan Pada Petani Di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor – Faktor Risiko Kecacingan Pada Petani Di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO KECACINGAN PADA PETANI DI DESA KATEPUL KECAMATAN KABANJAHE

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH:

ARMANDA PRIMA NIM: 101000063

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Faktor – Faktor Risiko Kecacingan Pada Petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe

Tahun 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

Armanda Prima NIM. 101000063

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Yesus Kristus Sang Juruselamat karena atas berkat dan kasih karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor – Faktor Risiko Kecacingan Pada Petani Di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Dengan sangat bangga penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada orang tua terkasih Alm. M. Sembiring Gurky yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan ketegasan serta kasih sayangnya juga kepada Ibu U. Br Sembiring Meliala yang tak pernah henti-hentinya memberikan dukungan doa dan perhatian. Penulis yakin betul bahwa tidak ada orang tua lain yang sehebat dan setegar Beliau.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu drh. Hiswani, M.kes selaku dosen pembimbing akademik.

(5)

4. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.KKK dan ibu Umi Salmah, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan saran, bimbingan serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Ir. Kalsum, M.kes dan Ibu Isyatun Mardhiah Syahri, SKM, M.kes

selaku penguji I dan penguji II.

6. Seluruh dosen dan staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Saudara penulis, abang Edi Suranta, SE dan Oki Gunanta, SE, yang sudah menjadi abang terbaik dalam hidup penulis, yang juga mengusahakan untuk bisa menghadiri hari wisuda penulis nantinya. Juga kepada abang Heriyanta Karo-karo, Amd yang sudah memperhatikan penulis.

8. Kepada Pengurus Komisariat GMKI FKM USU MB 2012-2013 dan terutama PK MB 2013-2014 ( Jani, Anjela, Mefri, Lamtiur, Herly, Yunita, Riris, Rafika, Sri Dewi, Welsa, Dedi, Manggor) yang sudah menjadi teman seperjuangan, melewati masa-masa sulit dan menjadi saudara untuk saling membentuk karakter.

9. Saudara-saudara dalam Kristus, Oiktirmos (Kak Fitri, Jhon, Marcel dan Sandro) yang sudah menjadi saudara dan wadah bagi penulis untuk mengenal Dia lebih lagi.

(6)

Daniel, Manggor, Abdon, Doly dan masih banyak lagi) yang sudah menjadi saudara penulis selama kuliah.

11.Teman teman seperjuangan di K3 USU (Imam, Eva, Nur, Jhon, Sandro, Marcel, Fonco, Indra, Dian, Kak Astri, Kak Dina, bg Alek, bg Koyul, dan masih banyak lagi). Terimakasih buat bantuan, masukan dan semangat kebersamaannya selama ini. Juga buat Hermin, Riska, dan Berliana yang sudah membantu dan mengajari penulis.

12.Sahabat setia penulis, Jefri W. Karo-karo, S.pd , Wardan yang sudah menjadi teman penulis sejak kecil, Sendi, Naldi dan Christina Yuliana. Terimakasih buat waktu, perhatian dan dorongan semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis.

13.Seluruh Civitas GMKI, POMK, dan setiap orang yang tidak bisa dituliskan namanya satu persatu, penulis ucapkan banyak terimakasih.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Januari 2015

(7)

Abstrak

Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik disebabkan oleh cacing parasit yang menggerogoti tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko kecacingan pada petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe tahun 2014.

Hasil penelitian diperoleh higiene perorangan responden yang selalu mencuci tangan sebelum makan (93,9%), selalu mencuci tangan setelah bekerja (90,9%), selalu menggunakan sabun saat cuci tangan (54,5%), selalu mencuci kaki sebelum tidur (51,5%), selalu mencuci kaki setelah bekerja (57,6%), selalu menggunakan sabun saat mencuci kaki (54,5%), kadang-kadang memotong kuku sekali seminggu (69,7%), memotong kuku sampai pendek dan membersihkannya (63,6%). Responden yang mengetahui cacing menginfeksi melalui kuku (75,8%), cacing menginfeksi melalui kulit (51,5%), mencegah kecacingan dengan pemakaian sepatu boot (54,5%), memotong kuku dapat mencegah kecacingan (78,8%), mencuci tangan dengan sabun dapat mencegah kecacingan (81,8%), memakai tinja dapat menularkan kecacingan (51,5%), mencuci sepatu boot dapat mencegah kecacingan (81,8%), memakan sayuran mentah dapat terinfeksi cacing (57,6%), kecacingan tidak hanya menular melalui makanan (72,7%). Tidak pernah menggunakan alas kaki saat bekerja (51,5%), tidak pernah menggunakan alas kaki tertutup sampai betis (60,6%), tidak pernah menggunakan alas kaki tertutup sampai betis dalam keadaan bersih (60,6%). Masa kerja responden yang bekerja ≥ 20 tahun (57,6%).

Secara umum masih kurangnya kesadaran petani dalam pemakaian APD, sehingga perlu diadakan penyuluhan .

(8)

Abstract

Worm infestation is an endemic and chronic illness caused by worm parasite which gnawing human bodies and causing the decreasing of nutrition condition and public health.

This is a descriptive research and aimed to find out worm infestation risk factors toward the farmers in Katepul village Kabanjahe sub-district.

The research result obtained individual respondent hygiene which always handwashing before eat (93,9%), always handwashing after working (90,9%). Always using soap when handwashing (54,5%), always foot washing before sleep (51,5%) always foot washing after working (57,6%), always using soap when foot washing (54,5%), occasionally cutting nails once a week (69,7%), cutting nails until short and cleaning it (63,6%). Respondent who knows worm infecting through nails (75,8%). Worms infecting through skin (51,5%), preventing worm infestation with galoshes (54,5%). Cutting nails able to preventing worm infestation (78,8%), handwashing with soap able to preventing worm infestation (81,8%), using feces as compost can infected (51,5%), washing galoshes able to preventing from worm infestation (81,8%), eating unripe vegetables able to be infected by worm (57,6%), worm infestation not only infected through foods (72,7%). Never using footwear when working (51,5%), never using closed footwear up to calf (60,6%), never using clean footwear until calf (60,6%), respondent working time ≥ 20 years (57,6%).

Generally the farmers still lack of awareness In using personal protective equipment, so that is it important to give them counseling.

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Armanda Prima

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe/23 Agustus 1992

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin Jumlah Saudara : 3 (tiga) orang Alamat Rumah : Kabanjahe

Riwayat Pendidikan : 1. 1998-2004 : SD Swasta Sint Yoseph Kabanjahe 2. 2004-2007 : SMP Swasta Santo Xaverius 1

Kabanjahe

3. 2007-2010 : SMA Negeri 1 kabanjahe 4. 2010-2015 : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Riwayat Organisasi : 1. 2012-2013 : Pengurus Komisariat GMKI

FKM USU, Biro Aksi dan Pelayanan

2. 2013-2014 : Pengurus Komisariat GMKI FKM USU, Penanggung Jawab

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Abstrak ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vii

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kecacingan ... 6

2.2. Epidemiologi Soil Transmitted Helminthes ... 6

2.2.1. Ascaris Lumbricoides ... 6

2.2.2. Cacing Tambang ... 10

2.2.3. Trichuris Trichiura ... 15

2.2.4. Strongyloides Stercoralis ... 18

2.3. Pengertian Petani ... 21

2.3.1. Penerapan Teknologi Sebagai Faktor Risiko Kesehatan Pertanian Tanaman Pangan ... 22

2.3.2. Kualitas Kesehatan Petani Indonesia ... 23

2.3.3. Penyakit Yang Berhubungan Dengan Pekerjaan Petani ... 25

2.3.3.1. Kualitas Kesehatan Petani ... 25

2.3.4. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani ... 26

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan ... 28

2.4.1. Hygiene Perorangan ... 28

2.4.2. Pengetahuan ... 30

2.4.3. Alat Pelindung Diri (APD) ... 31

2.4.4. Masa Kerja ... 33

2.5. Kerangka Konsep ... 34

BAB. III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1. Populasi ... 35

3.3.2. Sampel ... 35

(11)

3.4.1. Data Primer ... 36

3.4.2. Data Sekunder ... 36

3.5. Defenisi Operasional ... 37

3.6. Aspek Pengukuran ... 38

3.7. Alat, Bahan, dan Prosedur Penelitian Pemeriksaan Kecacingan ... 41

3.8. Teknik Analisa Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 43

4.2. Data Karakteristik Reponden ... 43

4.3. Kecacingan ... 44

4.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan ... 45

4.4.1. Hygiene Perorangan ... 45

4.4.2. Pengetahuan ... 47

4.4.3. Alat Pelindung Diri ... 50

4.4.4. Masa Kerja ... 52

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 53 5.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 54

5.3. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan ... 57

5.3.1. Hygiene Perorangan ... 57

5.3.2. Pengetahuan ... 59

5.3.3. Pemakaian Alat Pelindung Diri ... 62

5.3.4. Masa Kerja ... 63

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 66 Daftar Pustaka

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Defenisi Operasional ... 37 Tabel 4.1. Karakteristik Reponden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe

Tahun 2014 ... 43 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Keberadaan Telur Cacing Dalam Tinja

Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 45 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Jenis Cacing Dalam Bahan Tinja Responden

di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 45 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hygiene Perorangan

di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 46 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Hygiene

Perorangan di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 47 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Desa

Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 48 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Pengetahuan

di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 49 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemakaian APD

di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 51 Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Pemakaian

APD di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 52 Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden di Desa Katepul

(13)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 2 : Matriks Data Penelitian Lampiran 3 : Output Data

Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian

(14)

Abstrak

Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik disebabkan oleh cacing parasit yang menggerogoti tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko kecacingan pada petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe tahun 2014.

Hasil penelitian diperoleh higiene perorangan responden yang selalu mencuci tangan sebelum makan (93,9%), selalu mencuci tangan setelah bekerja (90,9%), selalu menggunakan sabun saat cuci tangan (54,5%), selalu mencuci kaki sebelum tidur (51,5%), selalu mencuci kaki setelah bekerja (57,6%), selalu menggunakan sabun saat mencuci kaki (54,5%), kadang-kadang memotong kuku sekali seminggu (69,7%), memotong kuku sampai pendek dan membersihkannya (63,6%). Responden yang mengetahui cacing menginfeksi melalui kuku (75,8%), cacing menginfeksi melalui kulit (51,5%), mencegah kecacingan dengan pemakaian sepatu boot (54,5%), memotong kuku dapat mencegah kecacingan (78,8%), mencuci tangan dengan sabun dapat mencegah kecacingan (81,8%), memakai tinja dapat menularkan kecacingan (51,5%), mencuci sepatu boot dapat mencegah kecacingan (81,8%), memakan sayuran mentah dapat terinfeksi cacing (57,6%), kecacingan tidak hanya menular melalui makanan (72,7%). Tidak pernah menggunakan alas kaki saat bekerja (51,5%), tidak pernah menggunakan alas kaki tertutup sampai betis (60,6%), tidak pernah menggunakan alas kaki tertutup sampai betis dalam keadaan bersih (60,6%). Masa kerja responden yang bekerja ≥ 20 tahun (57,6%).

Secara umum masih kurangnya kesadaran petani dalam pemakaian APD, sehingga perlu diadakan penyuluhan .

(15)

Abstract

Worm infestation is an endemic and chronic illness caused by worm parasite which gnawing human bodies and causing the decreasing of nutrition condition and public health.

This is a descriptive research and aimed to find out worm infestation risk factors toward the farmers in Katepul village Kabanjahe sub-district.

The research result obtained individual respondent hygiene which always handwashing before eat (93,9%), always handwashing after working (90,9%). Always using soap when handwashing (54,5%), always foot washing before sleep (51,5%) always foot washing after working (57,6%), always using soap when foot washing (54,5%), occasionally cutting nails once a week (69,7%), cutting nails until short and cleaning it (63,6%). Respondent who knows worm infecting through nails (75,8%). Worms infecting through skin (51,5%), preventing worm infestation with galoshes (54,5%). Cutting nails able to preventing worm infestation (78,8%), handwashing with soap able to preventing worm infestation (81,8%), using feces as compost can infected (51,5%), washing galoshes able to preventing from worm infestation (81,8%), eating unripe vegetables able to be infected by worm (57,6%), worm infestation not only infected through foods (72,7%). Never using footwear when working (51,5%), never using closed footwear up to calf (60,6%), never using clean footwear until calf (60,6%), respondent working time ≥ 20 years (57,6%).

Generally the farmers still lack of awareness In using personal protective equipment, so that is it important to give them counseling.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang berhubungan dengan faktor ekonomis.

Di Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum, infeksinya pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus. Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita suatu infeksi cacing, rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Pada anak anak, cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar, dan pada orang dewasa akan menurunnya produktivitas kerja. Dalam jangka panjang, hal ini akan berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia (Zulkoni, 2010).

(17)

satu diantaranya adalah penyakit penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthes) seperti askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang.

Penelitian-penelitian di Indonesia, misalnya dengan melakukan pemeriksaan tinja pada penduduk, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, baik di pulau jawa maupun diluar Jawa menunjukkan angka angka yang tidak banyak berubah. Kurangnya sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga, kebiasaan makan dengan tangan yang tidak dicuci lebih dahulu, pemakaian ulang daun-daun dan pembungkus makanan yang sudah dibuang ketempat sampah, sayur-sayuran yang dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup (mandi, mencuci bahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, dan juga digunakan sebagai kakus), dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran, meningkatkan penyebaran penyakit parasit terutama penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah.

Selain faktor-faktor tersebut diatas, faktor pekerjaan juga sangat memengaruhi frekuensi penyakit parasitik. Pekerja perkebunan yang sarana kakusnya tidak memadai jumlah, pekerja-pekerja bidang pengairan dan irigasi, pekerja tambang dan kehutanan, petani dan peternak termasuk dalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit parasit (Soedarto, 2008)

(18)

Indonesia, dimana prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan Sumatera Utara dengan prevalensi antara 50% hingga 80%. (Brooker, 2002 dalam Jusuf dkk, 2013).

Prevalensi infeksi ini disebabkan oleh nematoda usus, di Indonesia lebih sering disebut cacing perut, sebagian besar penularannya melalui tanah. Prevalensi kecacingan soil transmitted helminthes berkisar 40-80%. Tingginya prevalensi ini sangat didukung oleh keadaan alam yang cocok, higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang rendah, khususnya di lingkungan pertanian sayur. Salah satu sumber penularannya adalah air dan lumpur yang digunakan dalam budidaya sayuran.

Adapun keluhan-keluhan yang umum dialami oleh penderita infeksi cacing adalah pucat, perut buncit dan anemia. Karena di dalam saluran perut setiap duapuluh ekor cacing bisa menyedot 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein (Zulkoni, 2010). Dan menimbulkan kehilangan darah sekitar 0,1 – 0,34 cc dalam sehari tergantung dari jenis cacingnya(Soedarto, 2008).

Kontaminasi cacingan dapat terjadi terutama pada sayuran yang menjalar di permukaan tanah atau ketinggiaannya dekat dengan tanah. Kebiasaan makan sayuran mentah ini sudah mentradisi di suku-suku tertentu di Indonesia sehingga kelihatannya sulit diubah. Namun, dari segi keamanannya, lalapan mentah beresiko terkontaminasi pestisida atau telur cacing. Selain itu para petani seringkali menggunakan pupuk organik berupa humus atau kotoran ternak (bahkan kotoran manusia) untuk meningkatkan kesuburan tanah.

(19)

fesesnya dan sisanya hanya 33 responden (23,7) yang negatif keberadaan telur cacing pada fesesnya (Jusuf dkk, 2013).

Data yang didapat dari Puskesmas Kota Kabanjahe menunjukkan bahwa kecacingan merupakan penyakit yang berada pada urutan ke-sembilan terbesar di Kabanjahe pada bulan Mei tahun 2014 dengan jumlah penderita yaitu sebanyak 108 orang yang masih didominasi oleh anak-anak.

Petani kemungkinan terinfeksi cacing karena sehari-hari pekerjaan petani berhubungan dengan tanah dan biasanya kurang memperhatikan pemakaian alat pelindung diri.

Berdasarkan pengamatan peneliti, petani di Desa Katepul bekerja sekitar 5 sampai 8 jam dalam sehari. Namun dalam kesehariannya, masih ada petani yang kurang peduli terhadap kebersihan diri mereka. Seperti kurang memperhatikan kebersihan kuku dan tangan pada saat mau makan, pemakaian alat pelindung diri berupa alas kaki seperti sepatu boot yang kurang memadai, juga penggunaan sarung tangan yang masih minim pada saat mereka harus membagikan pupuk kandang sebagai pupuk yang sering digunakan untuk tanaman mereka. Ditambah lagi masih adanya beberapa petani yang membuang tinja mereka di areal ladang, sehingga meningkatkan peluang untuk menularkan dan menginfeksi kecacingan kepada orang lain.

(20)

1.2. Perumusahan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah yang menjadi faktor-faktor risiko kecacingan pada petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor faktor risiko kecacingan pada petani di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui personal Higiene pada petani di Desa Katepul. 2. Untuk mengetahui pengetahuan petani tentang kecacingan.

3. Untuk mengetahui pemakaian alat pelindung diri oleh petani di Desa Katepul.

4. Untuk mengetahui masa kerja petani.

5. Untuk mengetahui kejadian kecacingan pada petani di Desa katepul melalui pemeriksaan feses di laboratorium.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi petani agar memperhatikan higiene perorangan dan pemakaian APD agar tidak terinfeksi cacing.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kecacingan

Cacingan (atau sering disebut kecacingan) merupakan penyakit endemik dan kronik disebabkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Cacing yang populer saat ini adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Axyuris vermicularis), cacing pita (Taenia solium), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale).

2.2. Epidemiologi soil transmitted helminthes

Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar menatoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted helminthes” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura,

Strongyloides sterocoralis dan beberapa spesies Trichostrongylus (Gandahusada, dkk, 2006).

2.2.1. Ascaris Lumbricoides a. Nama umum

(22)

b. Habitat

Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus, tetapi kadang kadang dijumpai mengembara di bagian usus lainnya, hospes definitifnya adalah manusia, tetapi diduga dapat merupakan penyakit zoonosis yang hidup pada usus babi.

c. Siklus hidup

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut melalui maknanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru paru, lalu menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari.

Dari alveoli larva cacing merangkak ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, usofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing dalam darah tersebut disebut “lung migration”. Seekor cacing betina mulai mampu bertelur, yang jumlah produksi

telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari. d. Cara Infeksi

(23)

debu. Pada keadaan terakhir ini, telur menetas dimukosa jalan napas bagian atas, larva segera menembus pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah.

e. Patogenesis

Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang beredar melalui aliran darah, menimbulkan perubahan patologis pada penderita. Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa demam , batuk, sesak dan dahak berdarah. Penderita juga mengalami urtikaria dan terjadi gambaran eosinofili sampai 20 persen. Pneumonia disertai gejala alergi ini disebut sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia.

Pada infeksi berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cairan tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip demam tifoid, disertai tanda tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.

(24)

f. Diagnosis

Diagnosis pasti askariasis ditegakkan bila melalui pemeriksaan makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa. Melalui pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. Untuk membantu menegakkan diagnosis akariasis usus maupun askariasis organ, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau dilakukan scratch test pada kulit.

g. Pengobatan

Obat-obat cacing baru yang efektif, dan hanya menimbulkan sedikit efek samping adalah mabendazol, pirantel pamoat, albendazol dan levamisol. Piperasin dan berbagai obat cacing lain masih dapat digunakan untuk mengobati penderita askariasis.

h. Pencegahan

Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan dan minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum dimakan atau diminum, serta menjaga kebersihan perorangan.

(25)

2.2.2. Cacing Tambang

Pada manusia terdapat beberapa cacing tambang (hookworm) yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cacing dewasa Ancylostoma Duodenale menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator Americanus menimbulkan nekatoriasis, larva ancylostoma braziliensis dan larva Ancylostoma Caninum keduanya menimbulkan dermatitis (creeping eruption). Cacing tambang terdiri dari Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.

a. Habitat

Cacing dewasa hidup didalam usus, terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan cara melekatkan diri pada membran mukosa menggunakan giginya, dan mengisap darah yang keluar dari luka ringan.

b. Distribusi geografi

Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya didaerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di berbagai daerah pedesaan di Indonesia adalah sekitar 50%. Pada survei survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara tahun 1990-1991 hanya didapatkan 0-24,7% sedangkan prevalensi sebesar 6,7% didapatkan pada pemeriksaan 2478 anak sekolah dasar di Sumatera Utara.

c. Larva

(26)

rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, dan larva filaform yang berbentuk langsing panjang tubuhnya sekitar 600 mikron.

d. Siklus hidup

manusia merupakan satu satunya hospes definitive N. americanus maupun A. duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan tumbuh

di tanah menjadi larva rabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi larva filariform yang infektif.

Larva filariform akan menembus kulit sehat manusia, memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, sehingga akhirnya tertelan masuk ke esophagus.

Di esophagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya. Migrasi larva berlangsung sekitar sepuluh hari. Dari esophagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan, cacing betina sudah mampu untuk bertelur.

e. Patogenesis

Gejala klinis ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larvanya. Cacing dewasa mengisap darah penderita. Seekor cacing dewasa N. americanus menimbulkan kehilangan darah sekitar 0,1 cc perhari, sedangkan seekor cacing A. duodenale dapat menimbulkan kehilangan darah sampai 0,34 cc perhari (Soedarto,

(27)

Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Gandahusada, dkk, 2006).

Larva cacing menimbulkan dermatitis dengan gatal gatal (ground itch) pada waktu menembus kulit penderita. Selain itu larva pada waktu beredar di dalam darah (lung migration) akan menimbulkan bronchitis dan reaksi alergi yang ringan (Soedarto, 2008).

Menurut Noerhajati, sejumlah penderita penyakit cacing tambang yang dirawat di Yogyakarta mempunyai kadar hemoglobin yang semakin rendah bilamana penyakit semakin berat. Golongan ringan, sedang, berat, dan sangat berat mempunyai kadar Hb rata rata berturut-turut 11,3g%; 8,8g%; 4,8g%; dan 2,6g% (Gandahusada, dkk, 2006).

f. Diagnosis

Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui pemeriksaan mikroskopis tinja untuk menemukan telur cacing.

Gambaran klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa: - Anemia hipokromik mikroster

- Gambaran umum kekurangan darah: pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas

- Rasa tak enak di epigastrium - Sembelit, diare atau steatore

(28)

- Gejala bronchitis: batuk, kadang kadang dahak berdarah.

Diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah penyakit penyakit: - Penyebab lain anemia

- Tuberculosis

- Penyebab gangguan perut lainnya

Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran:

- Hemoglobin, menurun <11,5g/dl (wanita)< 13,5 g/dl (pria).

- MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), kurang dari 31-36 g/dl.

Pemeriksaan sumsum tulang, menunjukkan gambaran hiperplasi normoblastik. Pada hapusan darah, terdapat gambaran :

- Hipokromik mikrositer

- Terdapat leukopeni dengan limfositosi relative. Jumlah leukosit kurang dari 4.000/ml.

- Eosinofilia, dapat mencapai 30%. - Anisositosis, atau poikilosotosis g. Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi anemia maupun untuk memberantas cacingnya, yaitu :

1. Terapi anemia menggunakan preparat besi, yang diberikan per oral atau parenteral.

(29)

3. Obat cacing yang diberikan per oral yaitu mebendazol, albendazol, levamisol, dan pyrantel.

a. Mebendazol: dosis dewasa dan anak berumur di atas 2 tahun, 2 x 100 mg/ hari selama 3 hari. Jika perlu dapat diulang sesudah 3 minggu.

b. Albendazol, dosis tunggal 400 mg.

c. Lavemisol, terutama jika terjadi infeksi ganda dengan askariasis. Dosis tunggal dewasa, 120 mg dan dosis tunggal anak 2,5 mg/kg berat badan. d. Pyrantel, dosis tunggal 10 mg/kg berat badan.

h. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun reinfeksi, dilakukan: 1. Pengobatan massal dan perorangan dengan obat cacing

2. Pendidikan kesehatan: membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah selalu menggunakan alas kaki (Soedarto, 2008)

i. Epidemiologi

Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, terdapat infeksi lebih dari 70%.

(30)

2.2.3. Trichuris trichiura a. Nama umum

Karena bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk (whip worm).

b. Habitat

Cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah sekum dan colon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Kadang kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.

c. Siklus hidup

Infeksi terjadi jika manusia menelan telur cacing yang infektif, sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 3 – 4 minggu lamanya. Di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia.

d. Pathogenesis dan gejala klinis

Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus,. Selain itu cacing menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan peradangan.

Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak nampak gejala atau keluhan penderita. Tetapi pada infeksi berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupa

(31)

- Diare berdarah - Nyeri perut - Mual dan muntah - Berat badan menurun

- Kadang kadang terjadi prolaps dari rectum yang melalui pemeriksaan proktoskopi dapat dilihat adanya cacing cacing dewasa pada kolon atau rektum penderita

Pemeriksaan darah pada infeksi yang berat, hemoglobin dapat berada di bawah 3 g% dan menunjukkan gambaran eosinofilia (eosinofil > 3%). Pemeriksaan tinja dapat menemukan telur cacing yang khas bentuknya.

Pada tahun 1976, bagian parasitologi FKUI telah melaporkan 10 anak dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare yang menahun selama 2-3 tahun. Kini kasus berat trikuriasis tidak pernah dilaporkan lagi di Jakarta.

Infeksi berat Trichus trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala; parasit ini ditemukan pada pemeriksaan tinja urin.

e. Diagnosis

untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing yang khas bentuknya. Pada infeksi yang berat pemeriksaan proktoskopi dapat menunjukkan adanya cacing dewasa pada rektum penderita.

f. Pengobatan

(32)

- Pirantel pamoat (10 mg/kg berat badan) dan oksantel pamoat (10-20 mg/kg berat badan/hari) yang diberikan bersama dalam bentuk dosis tunggal, atau - Kombinasi Mebendazol dan pirantel pamoat.

- Pemberian satu jenis obat dapat diberikan:

- Mebendazol dengan dosis 2 x 100 mg/hari selama 3 hari berturut turut; - Levamisol dapat diberikan dengan dosis tunggal 2,5 mg/kg berat

badan/hari.

Bila terdapat anemia, diberikan preparat besi disertai dengan perbaikan gizi penderita.

g. Pencegahan

Pencegahan penularan trikuriasis dilakukan melalui pengobatan penderita atau pengobatan masal untuk terapi pencegahan terhadap terjadinya reinfeksi di daerah endemis.Memperbaiki higiene sanitasi perorangan dan lingkungan, agar tak terjadi pencemaran lingkungan oleh tinja penderita, misalnya membuat WC atau jamban yang baik disetiap rumah. Memasak makanan dan minuman dengan baik dapat membunuh telur infektif cacing (Soedarto,2008).

h. Epidemiologi

(33)

Didaerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, dkk, 2006)

2.2.4. Strongyloides stercoralis

Cacing benang (threadworm) yang menyebabkan strongiloidiasis ini merupakan cacing zoonosis yang tersebar luas di daerah tropis yang tinggi kelembapannya. Cacing betina dewasa hidup parasitik di dalam membran mukosa usus halus, terutama di daerah duodenum dan jejunum manusia dan beberapa jenis hewan. Cacing jantan jarang ditemukan di dalam usus hospes definitifnya.

a. Siklus hidup

Untuk melengkapi siklus hidupnya cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Hospes definitive tempat cacing dewasa hidup adalah manusia, sedangkan beberapa jenis hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir sehingga juga menjadi sumber penularan bagi manusia. Telur cacing yang oleh induk cacing dikeluarkan di dalam mukosa usus, akan segera menetas menjadi rabditiform. Kemudian larva ini akan berkembang melalui tiga jalur siklus hidup, yaitu:

1. Autoinfection. Di dalam usus, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, yang kemudian menembus mukosa usus dan berkembang menjadi cacing dewasa.

(34)

hospes, akan terjadi lung migration, dan selanjutnya berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus penderita.

3. Siklus hidup tidak langsung. Larva rabditiform bersama tinja penderita jatuh ke tanah, berkembang menjadi dewasa yang hidup bebas (free living) di tanah, lalu melahirkan larva larva rabditiform. Larva rabditifrom ini di tanah tumbuh menjadi larva filariform yang infektif menembus kulit hospes, diikuti terjadinya lung migration, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita.

b. Patogenesis

Kelainan patologis disebabkan oleh larva mapun oleh cacing dewasa. Larva cacing pada waktu menembus kulit, menimbulkan dermatitis disertai urtikaria dan pruritus. Jika larva yang mengadakan migrasi paru banyak jumlahnya, maka dapat menimbulkan pneumonia dan batuk darah.

(35)

Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

c. Diagnosis

Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti ialah menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodemum. Biakan tinja selama sekurang kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas.

d. Pengobatan

Dahulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 2 atau 3 hari. Sekarang albendazol 400 mg satu/dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mabendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

e. Prognosis

Pada infeksi berat strongilodiasis dapat menyebabkan kematian. f. Epidemiologi

(36)

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.

Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit strongilodiasis (Gandahusada, dkk, 2006).

2.3. Pengertian Petani

Jumlah penduduk penduduk Indonesia 215,3 juta orang. Angkatan kerja hingga Februari 2005 tercatat 105,8 juta orang. Dari dari jumlah penduduk dan angkatan kerja yang sebagian besar berada di Pulau Jawa, terdapat pula sejumlah penganggur yang tersebar di seluruh wilayah, dengan konsentrasi juga di Pulau Jawa (Badan Statistik, 2005).

(37)

Banyak wilayah kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan utaman daerah (PAD).

Di dalam sektor pertanian termasuk diantaranya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Dengan demikian, angkatan kerja yang termasuk petani adalah mereka yang bekerja pada pertanian tanaman pangan (seperti padi, jagung, sagu), pemetik teh, pemetik kelapa, petani gula, kelapa, kopra, perkebunan lada, karet, tanaman hortikultura (sayur mayur), dan lain lain.

Berdasarkan catanan yang ada, petani tanaman pangan masih merupakan jumlah terbesar. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kesehatan petani, baik kesehatan sebagai modal awal untuk bekerja, maupun risiko bekerja, harus dikelola dengan baik dan professional.

2.3.1. Penerapan Teknologi Sebagai Faktor Risiko Kesehatan Pertanian Tanaman Pangan

Persoalan utama higiene perusahaan dan kesehatan kerja di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah lokasi dan beroperasinya perusahaan yang biasanya berada di daerah rural (pedesaan), sehingga higiene dan kesehatan pedesaan langsung mempengaruhi keadaan higiene dan kesehatan masyarakat petani dan pekebun serta masyarakat kehutanan. Selain itu tenaga kerja menghadapi risiko aneka penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja serta perlunya penyesuaian terhadap perkembangan cara kerja dan proses produksi dengan menggunakan teknologi baru (Suma’mur,2009).

(38)

perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor risiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan traktor, akan mengubah faktor risiko kesehatan yang dihadapi petani.

Menurut Achmadi, masyarakat petani tanaman pangan dapat didentifikasi menjadi tiga kelompok :

a. Kontak tani, dikenal sebagai petani yang berpengetahuan luas, mudah mengadopsi teknologi baru, memiliki jiwa kepemimpinan.

b. Tani maju, petani yang berpengetahuan luas dan mudah menerima pengetahuan baru.

c. Tani naluri, yang hanya mengikuti petani a dan b.

Ketiga jenis petani diarahkan untuk berkelompok dan bekerja sama dalam dalam kelompok kelompok tani, yang secara hamparan lahan pertanian menjadi lebih luas dan tentu saja lebih efektif serta produktif.

2.3.2. Kualitas Kesehatan Petani Indonesia

(39)

Manusia (IPM) dapat digunakan sebagai indikator kesiapan wilayah kabupaten dan kota.

Dalam Indeks Perkembangan Manusia (IPM) kesehatan petani harus dilihat dalam dua aspek perspektif. Yakni, kesehatan sebagai modal kerja, dan aspek penyakit kaitannya dengan pekerjaan, khususnya faktor risiko akibat penggunaan teknologi baru dan agrokimia.

Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain stamina, kondisi fisik harus mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani jangan sampai sakit sakitan. Kemudian tingkat pendidikan dan kesehatan petani diperlukan untuk mendukung produktivitas.

Salah satu masalah yang mengganggu perkembangan kualitas kesehatan petani adalah sanitasi dasar. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta sarana rumah sehat yang memadai. Aksesibilitas petani dan masyarakat miskin terhadap air bersih dan sangat rendah. Demikian pula terhadap jamban. Banyak keluarga penduduk pedesaan tidak memiliki jamban keluarga. Dari data Riskesdas yang ada menunjukkan bahwa rata-rata nasional, penduduk yang akses terhadap sarana air bersih pada tahun 2002, hanya 72,3%. Sedangkan yang memiliki jamban keluarga hanya 63,85%. Secara proporsional aksesibilitas terhadap air bersih penduduk perkotaan lebih baik ketimbang penduduk pedesaan (Ditjen PPML 2003 dalam Achmadi, 2012).

(40)

petani akan mengalami kesakitan (morbiditas). Apabila seseorang menderita diare kronik jelas akan mengganggu produktivitas bekerja. Demikian pula batuk pilek kronik, akibat ventilasi atau kondisi perumahan yang buruk.

Penderita gizi buruk dan kecacingan tidak bisa bekerja dengan baik. Penyakit kronik yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang buruk, merupakan contributor terhadap tingginya absentiisme di kalangan petani dan lebih lanjut penurunan produktivitas.

2.3.3. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan Petani

Berbeda dengan konsep penyakit endemik yang mengganggu Indeks Perkembangan Manusia (IPM), apabila seorang petani sedang bekerja, maka mereka akan terkena risiko untuk mendapatkan penyakit akibat pekerjaannya. Dengan kata lain, pekerjaan (pertanian) sebagai faktor risiko penyakit petani yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Kalau Indeks Perkembangan Manusia (IPM) tenaga kerja adalah gambaran awal kondisi kualitas sebagai bahan input atau modal awal, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan akan memperburuk kondisi awal tersebut. 2.3.3.1. Kualitas Kesehatan Petani

(41)

pada pekerja yang mengalami kebisingan. Para petani yang menderita keracunan insektisida tingkat sedang hingga tinggi.

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan juga diderita oleh petani, seperti sakit pinggang (karena alat cangkul yang tidak ergonomis), gangguan kulit karena sinar ultraviolet ataupun agrokimia. Penggunaan agrokimia merupakan faktor risiko penyakit yang paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal tenaga kerja akan memperburuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya. Penderita anemia akan kekurangan gizi disebabkan kecacingan disawah atau perkebunan ataupun kurang pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk karena keracunan organofosfat.

Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, ternasuk penyakit infeksi yang diakibatkan bakteri, virus maupun parasit. Penyakit malaria, cacing tambang dan leptospirosis misalnya, selain dapat dianggap sebagai penyakit yang merupakan bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja, juga dapat dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

2.3.4. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani

Seorang petani yang memiliki derajat sosial ekonomi rendah akan bertempat tinggal pada pemukiman kumuh tanpat sanitasi yang memadai. Kapasitas kerja gizi rendah, diare karena kurang air bersih, akibatnya akan mudah mengalami sakit sakitan.

(42)

kerjanya akan berkurang. Terlebih lagi bagi tenaga kerja yang menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran udara dan kebisingan jalan raya, tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat.

Mengacu kepada teori kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja, maka risiko kesehatan petani yang ditemui di lapangan pekerjaannya sebagai berikut:

1. Mikro organisme : faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit infeksi, parasit, kecacingan maupun malaria. Penyakit kecacingan dan malaria selain merupakan ancaman kesehatan (sebagai modal awal) juga merupakan faktor risiko pekerjaan petani karet, perkebunan lada, dan lain lain. Berbagai faktor risiko yang menyertai leptospirosis, gigitan serangga, dan binatang berbisa.

2. Faktor lingkungan kerja fisik: sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin, cuaca, hujan, angin dan lain lain.

3. Ergonomi: yakni kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul, traktor, dan alat alat pertanian lainnya.

(43)

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan 2.4.1. Higiene Perorangan

Higiene perorangan (kebersihan perorangan) adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter,2005).

Kebersihan diri meliputi: a. Kebersihan kulit

Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan paling pertama member kesan. Oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan kulit tidak terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari.

Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan sehat harus selalu memperhatikan:

1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri. 2. mandi minimal 2x sehari.

3. mandi memakai sabun. 4. menjaga kebersihan pakaian.

5. makan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. menjaga kebersihan lingkungan

b. Kebersihan Rambut

(44)

Dengan selalu menjaga kebersihan rambut dan kulit kepala maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut:

1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci sekurang-kurangya 2x seminggu

2. Mencuci rambut dengan menggunakan shampoo/ bahan pencuci rambut lainnya.

3. Sebaiknya menggunakan alat peralatan rambut sendiri. c. Kebersihan Gigi

Menggosok gigi dengan teratur dan baik akan menguatkan dan membersihkan gigi sehingga terlihat cemerlang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi adalah:

1. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan 2. Memakai sikat gigi sendiri

3. Menghindari makanan yang merusak gigi

4. Membiasakan makan buah yang menyehatkan gigi 5. Memeriksa gigi secara teratur

d. Kebersihan Mata

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kesehatan mata adalah: 1. Membaca ditempat terang

(45)

e. Kebersihan telinga

Hal yang diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah 1. Membersihkan telinga secara teratur

2. Jangan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam f. Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku

Seperti halnya kulit, tangan, kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki, dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan berbagai penyakit-penyakit tertentu.

Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan sebagai berikut: 1. Membersihkan tangan sebelum makan

2. Memotong kuku secara teratur 3. Membersihkan lingkungan 4. Mencuci kaki sebelum tidur 2.4.2. Pengetahuan

(46)

a. Tahu (know)

b. Memahami (comprehension) c. Aplikasi (application) d. Analisis (analysis) e. Sintesis (synthesis) f. Evaluasi (evaluation) 2.4.3. Alat Pelindung Diri (APD)

Terdapat berbagai upaya untuk menanggulangan bahaya-bahaya yang terdapat di lingkungan kerja, yaitu: pengendalian secara teknik (engineering control), pengendalian secara administrative (administrative control) dan pemakaian alat-alat pelindung diri (personal protective equipment).

Menurut OSHA atau Occupational Safety and Health Administration, personal protective equipment atau Alat Pelindung Diri (APD) didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazard) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya.

Alat pelindung diri yang efektif harus: 1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi

2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut 3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya

(47)

6. Tidak mengganggu alat pelindug diri lain yang sedang dipakai secara bersamaan

7. Tidak meningkatkan risiko terhadap pemakainya (Ridley,2008) Ada berbagai macam alat pelindung diri, yaitu:

a. Alat Pelindung Kepala

Tujuan dari penggunaan alat pelindung kepala adalah untuk mencegah:

Bahaya terbentur oleh benda tajam atau benda keras yang dapat meyebabkan luka gores, potong atau tusuk; bahaya kejatuhan benda-benda atau terpukul oleh benda-benda yang melayang atau meluncur di udara; bahaya panas radiasi, api, dan percikan bahan-bahan kimia korosif.

b. Alat Pelindung Wajah/mata

Alat pelindung mata menurut bentuknya dapat dikategorikan menjadi: kaca mata (spectacles), goggles (cup type/box type), tameng muka (face screen/face shield)

c. Alat Pelindung Telinga

Alat pelingung telinga berfungsi sebagai penghalang (barier) antara sumber bising dan telinga bagian dalam, juga melindungi telinga dari ketulian akibat kebisingan. Secara umum, alat pelindung telinga dibedakan menjadi sumbat telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff).

d. Pemakaian Masker

(48)

e. Alat Pelindung Tangan

Sarung tangan merupakan alat pelindung diri yang paling banyak digunakan. Dalam memilih sarung tangan dipertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut: bahaya terpapar, apakah berbentuk bahan korosif, panas dingin, tajam, atau kasar; daya tahan terhadap bahan-bahan kimia.

f. Alat Pelindung Kaki

Alat pelindung kaki atau sepatu keselamatan kerja dipergunakan untuk melindungi kaki dari bahaya kejatuhan benda-benda berat, percikan cairan, mikrobiologi dan tertusuk oleh benda-benda tajam.

g. Pakaian Pelindung

Pakaian pelindung atau pakaian kerja dapat berbentuk Apron yang menutupi sebagian dari tubuh, pemakaiannya yaitu mulai dari dada sampai lutut dan Overalls yang menutupi seluruh tubuh. Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi pemakai dari percikan bahan kimia dan cuaca kerja yang ekstrim.

h. Sabuk dan Tali Pengaman

Sabuk dan tali pengaman dipergunakan untuk bekerja di tempat tinggi, misalnya pada kapal, sumur atau tangki. Alat pengaman ini juga dipergunakan pada pekerjaan mendaki, memanjat, dan kontruksi bangunan (Sarwono,2002).

2.4.4. Masa Kerja

(49)

aman. Berdasarkan hasil studi ILO (1998) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika menunjukkan bahwa kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor manusia, disebabkan juga karena masih baru dan kurang pengalaman.

Pengalaman merupaakan keseluruhan yang didapat seseorang dari peristiwa yang dilaluinya, artinya bahwa pengalaman seseorang dapat mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan organisasinya. Dengan demikian, semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperolehnya semakin banyak yang emungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman (Millah, 2008).

2.5. Kerangka Konsep

Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan:

1. Higiene Perorangan 2. Pengetahuan 3. Alat Pelindung Diri 4. Masa Kerja

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk melihat gambaran distribusi dan frekuensi faktor risiko kecacingan meliputi pengetahuan, higiene perorangan, penggunaan alat pelindung diri dan lama kerja dengan kecacingan di Desa Katepul Kabupaten Karo.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Rayat Kabupaten Karo. Waktu Penelitian adalah Oktober 2014 s/d Desember 2015.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang memiliki ladang di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo yang berjumlah 50 orang. 3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil dari sebagian populasi petani di desa Katepul Kabanjahe dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel (Saryono, 2008) :

=

. + 1

Keterangan : n = jumlah sampel N = jumlah populasi

d2 = presisi yang ditetapkan (0,1)

(51)

= 50 50 0,1 + 1

= 50 0,5 + 1

= 50 1,5

= 33,3

= 33

Berdasarkan perhitungan diatas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33 orang. Untuk menentukan pekerja yang akan dijadikan sampel digunakan teknik Simple Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana.

Teknik pengambilan sampel secara acak sederhana ini adalah dengan mengundi anggota populasi (lottery technique) atau teknik undian, dengan menggunakan tabel bilangan atau angka acak (random number). (Notoadmojo, 2005) 3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara langsung dengan petani yang terpilih menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan dan pilihan jawaban yang telah disediakan dan pemeriksaan laboratorium.

3.4.2. Data Sekunder

(52)

3.5. Definisi Operasional

1. Higiene perorangan (kebersihan perorangan) adalah cara perawatan diri petani untuk memelihara kesehatan mereka agar terhindar dari infeksi cacing meliputi faktor kebersihan kulit, kebersihan tangan, kaki dan kuku.

2. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui petani tentang penularan dan pencegahan infeksi cacing.

3. Alat Pelindung Diri (APD) didefinisikan sebagai pemakaian alat yang digunakan untuk melindungi petani dari infeksi cacing yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazard) di tempat kerja.

[image:52.595.111.497.521.658.2]

4. Masa kerja adalah masa responden telah bekerja (dalam tahun) sebagai petani yang dihitung mulai dari tahun dimulai bekerja sampai penelitian berlangsung. 5. Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit yang menggerogoti kesehatan tubuh manusia (petani) yang terbukti dengan ditemukannya telur atau larva cacing pada tinja petanimelalui uji laboratorium.

Tabel 3.1. Defenisi Operasional

No Variabel Alat Ukur Skala

Ukur

Hasil Ukur

1. Higiene

perorangan

Kuesioner Ordinal 1.Baik 2. Kurang baik

2. Pengetahuan Kuesioner Ordinal 1. Baik 2. Kurang

(53)

3. Alat Pelindung

Diri

Kuesioner Ordinal 1. Memenuhi Syarat 2. Tidak

Memenuhi syarat 4. Masa Kerja Kuesioner Ordinal 1. < median

2. ≥ median

5. Kecacingan Tes

Laboratorium

Ordinal 1. Terinfeksi cacing 2. Tidak

terinfeksi cacing

3.6. Aspek Pengukuran

Pengukuran higiene perorangan, alat pelindung diri, pengetahuan dan lama kerja dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada para petani untuk diisi.

1. Higiene Perorangan

Higiene perorangan ini dapat diukur dengan memberikan skor terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan adalah 8 dengan total skor sebesar 24 dengan kriteria sebagai berikut:

Untuk setiap pertanyaan mempunyai 3 pilihan yaitu: a. jawaban a = 3

b. jawaban b = 2 c. jawaban c = 1

(54)

- Baik, bila responden mendapat skor ≥ 18 (75%) dari seluruh pertanyaan

yang ada tentang higiene perorangan

- Kurang, bila responden mendapat skor <18 (75%) dari seluruh pertanyaan yang ada tentang higiene perorangan

2. Pemakaian Alat Pelindung Diri

Pemakaian alat pelindung diri ini dapat diukur dengan memberikan skor terhadap kuesioner yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan adalah 3 dengan total skor sebesar 9 dengan kriteria sebagai berikut:

Untuk setiap pertanyaan mempunyai 3 pilihan yaitu: a. jawaban a = 3

b. jawaban b = 2 c. jawaban c = 1

berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam dua (2) kategori yaitu: -. Memenuhi syarat, bila responden mendapat skor ≥ 7 (75%) dari

(55)

3. Pengetahuan

Pengetahuan pada petani di Katepul diukur melalui 9 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan positif dan negatif dengan memilih jawaban yang disediakan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Untuk pertanyaan positif (nomor 1-5 dan 7), ketentuan pemberian skor adalah: - Benar : 1

- Salah : 0

b. Untuk pertanyaan negatif (nomor 6, 8, 9), ketentuan pemberian skor adalah: - Benar : 0

- Salah : 1

Dengan demikian, total skor tertinggi adalah 9 dan skor terendah adalah 0. Skala pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman yaitu pengetahuan dalam hal ini dibagi dalam 2 kategori sebagai berikut :

- Baik apabila responden mendapat skor ≥7 (75%)

- Kurang baik apabila responden mendapat skor < 7 (75%)

(Arikunto,2009)

4. Aspek Pengukuran Masa Kerja

(56)

1. Baru bekerja, apabila masa kerja petani tersebut < median umur petani 2. Lama, apabila masa kerja petani ≥ median umur petani

3.7. Alat, Bahan dan Prosedur Penelitian Pemeriksaan Kecacingan 3.7.1. Laboratorium

Alat: - deck glass (kaca penutup) - lidi

- mikroskop - objek gelas Bahan: feces

Reagensia: eosin 1%

3.7.2 Prosedur Pemeriksaan Kecacingan

Setelah wawancara dilakukan, peneliti memberikan objek gelas kepada responden agar besoknya sampel feses responden dimasukkan ke dalam objek gelas. Kemudian, sampel feses responden akan diperiksa di laboratorium oleh petugas kesehatan.

Adapun prosedur pemeriksaan kecacingan di laboratorium adalah: 1. teteskan eosin 1% pada objek gelas.

2. Tambahkan feses seujung lidi dan ratakan diatas objek gelas pada eosin. 3. Tutup dengan deck glass.

(57)

3.8. Teknik Analisa Data

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Kabanjahe merupakan salah satu kecamatan dari 17 kecamatan yang berada di kabupaten karo, Sumatera Utara. Kecamatan Kabanjahe mempunyai jumlah penduduk sebanyak 63.918 jiwa dengan luas daerah sekitar 2.127,25 km2 yang terdiri dari 13 desa dan kelurahan.

Desa Katepul merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo dengan luas wilayah ±10 Ha. Desa ini berjarak ±2 Km dari Kota Kabanjahe sebagai ibukota Kabupaten. Adapun desa ini mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

[image:58.595.109.472.592.667.2]

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Samura b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tiga Panah c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tiga Panah d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lau Pinggan 4.2. Data Karakteristik Responden

Tabel 4.1. Karakteristik Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

No. Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin

1 Laki-laki 14 42,4

2 Perempuan 19 57,6

(59)

Usia (Tahun)

1 <46 16 48,5

2 ≥46 17 51,5

Jumlah 33 100

Pendidikan

1 Tidak Sekolah 3 9,1

2 SD 5 15,2

3 SLTP 2 6,1

4 SLTA 20 60,6

5 Diploma 2 6,1

6 Sarjana 1 3,0

Jumlah 33 100

Berdasarkan table 4.1. di atas maka dapat dijelaskan bahwa Responden yang dilakukan penelitian sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). Adapun Responden yang dilakukan penelitian ialah kebanyakan berusia ≥46 tahun yaitu sebanyak 17 orang (51,5%), dimana 46 tahun

merupakan median dari umur keseluruhan responden. Rata-rata pendidikan responden ialah tamatan SLTA yaitu sebanyak 20 orang (60,6%) dan pendidikan yang paling sedikit ialah tamat sarjana yang berjumlah 1 orang responden (3,0%).

4.3. Kecacingan

(60)
[image:60.595.105.519.163.219.2]

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Keberadaan Telur Cacing Dalam Tinja Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.2. di atas, maka dapat diketahui bahwa seluruh Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe terinfeksi cacing.

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Jenis Cacing Dalam Tinja Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

Berdasarkan tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa dari seluruh responden, terdapat 27 orang (81,8%) yang terinfeki Ascaris, 2 orang (6,1%) yang terinfeksi Trichuris dan ada 4 orang (12,1%) yang terinfeksi Ascaris dan Trichuris.

4.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan 4.4.1. Higyene Perorangan

Masyarakat di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo telah melakukan kegiatan mencuci tangan sebelum makan yaitu sebanyak 93,9% dan mencuci tangan setelah bekerja yaitu sebanyak 90,9%. Namun hanya sebanyak 54,5% Responden yang menggunakan sabun ketika mencuci tangan, sementara Responden lain yang belum/hanya terkadang yang menggunakan sabun dikhawatirkan akan mempunyai resiko terkena penyakit kecacingan. Belum semua Responden mencuci kaki setelah bekerja dan sebelum tidur dan hanya 54,5 % yang menggunakan sabun No. Terinfeksi atau tidak terinfeksi cacingJumlah Persentase (%)

1. Tidak terinfeksi 0 0 2. Terinfeksi Cacing 33 100,0 Total 33 100,0

No. Jenis Cacing Jumlah Persentase (%) 1. Ascaris 27 81.8

[image:60.595.106.517.332.404.2]
(61)
[image:61.595.118.538.208.700.2]

ketika mencuci kaki. Mengenai kebersihan kuku Responden masih sedikit yang memotong kuku dengan rutin.

Tabel 4.4.Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

No Indikator Higiene Perorangan

Jumlah

N %

1 Mencuci tangan sebelum makan

Tidak 0 0,0

Kadang-Kadang 2 6,1

Ya/selalu 31 93,9

Total 33 100,0

2 Mencuci tangan setelah bekerja

Tidak 1 3,0

Kadang-Kadang 2 6,1

Ya/selalu 30 90,9

Total 33 100,0

3 menggunakan sabun saat cuci tangan

Tidak 1 3,0

Kadang-Kadang 14 42,4

Ya/selalu 18 54,5

Total 33 100,0

4 mencuci kaki sebelum tidur

Tidak 6 18,2

Kadang-Kadang 10 30,3

Ya/selalu 17 51,5

Total 33 100,0

5 mencuci kaki setelah bekerja

Tidak 2 6,1

Kadang-Kadang 12 36,4

Ya/selalu 19 57,6

Total 33 100,0

6 menggunakan sabun saat cuci kaki

Tidak 1 3,0

Kadang-Kadang 14 42,4

Ya/selalu 18 54,5

(62)

7 memotong kuku sekali seminggu

Tidak 0 0,0

Kadang-Kadang 23 69,7

Ya/selalu 10 30,3

Total 33 100,0

8 memotong kuku sampai pendek dan membersihkannya

Tidak 0 0,0

Kadang-Kadang 21 63,6

Ya/selalu 12 36,4

[image:62.595.112.533.135.303.2]

Total 33 100

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan variabel higiene perorangan di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014

Dari tabel 4.3. diatas dapat diketahui bahwa terdapat 3 orang (9,1%) responden yang higiene perorangannya kurang baik dan terdapat 30 orang (90,9%) responden yang higiene perorangannya baik.

4.4.2. Pengetahuan

Responden yang dilakukan penelitian sebagian besar telah mengetahui bahwa cacing dapat menginfeksi melalui kuku, tapi hanya sebagaian Responden yang mengetahui bahwa cacing juga dapat menginfeksi melalui kulit. Lebih dari setengah Responden sudah mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit kecacingan yaitu dengan cara memakai sepatu boot, memotong kuku secara rutin dan mencuci tangan menggunakan sabun. Seteng

Gambar

Tabel 3.1. Defenisi Operasional
Tabel 4.1. Karakteristik Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Jenis Cacing Dalam Tinja Responden di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014
Tabel 4.4.Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan di Desa Katepul Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014
+6

Referensi

Dokumen terkait

kontak dengan air genangan/lumpur akibat banjir, pada saat ingin beraktifitas dan pada saat memegang hewan peliharaan dengan cara memakai sepatu boot dan sarung

Alat pelindung diri (masker, sarung tangan, sepatu boot) sangat mengganggu saya saat menangani sampah medis.. Saya hanya memakai alat pelindung diri (sarung tangan, masker,

1. Ada hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki dengan kejadian infeksi kecacingan pada pemulung sampah usia anak sekolah dasar di tempat pembuangan akhir Antang, kota

ini dengan Judul “Hubungan Personal Hygiene dan Tingkat Kecukupan Makanan terhadap Infeksi Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak sekolah dasar di Distrik

Hasil uji statistik diperoleh ada hubungan yang signifikan higiene perorangan dan sanitasi dasar rumah dengan kejadian penyakit kecacingan SD di wilayah kerja

Di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan prevalensi kecacingan ditemukan pada semua golongan umur, namun tertinggi pada usia anak SD yakni 90 sampai 100%.Penelitian

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak sekolah dasar di Distrik