Secara etimologis riba berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata rabâ (
اَّبَر
) yarbû (ْوُبْرَي
) rabwan (ٌناَوْبَر
), yang berartiُةَداَيِّزلا
az-ziyâdah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan),79 berkembang (an-numuww), meningkat (al-irfâ‘) dan membesar (al-‘uluw). Dengan kata lain, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
Dalam hal ini, Muhammad ibnu Abdullah Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkâm al-Qur’ân mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil
79 Ahmad Warson Munawîr, “Kamus Bahasa Arab-Indonesia al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif Pondok Pesantren al-Munawir, 1984). hlm. 504.
Bab 4
Riba
READING
COPY
Fikih Muamalah Teori dan Implementasi
64
tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah. Senada dengan pendapat Imam Sarakhi dalam kitab al-Mabsût menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwad yang dibenarkan syariat atas penambahan tersebut. Sementara Badr Din Yani dalam kitab ‘Umdat al-Qân mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
Kemudian menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunah mengatakan bahwa yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut ibn Hajar ‘Asqalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang maupun uang, sedangkan menurut Mahmud al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran barang yang sama.80
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun oleh tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah: ar-ribâ atau ar-rimâ makna asalnya adalah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang disyaratkan dalam Al-Quran.
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury”. Dari pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”.
80 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004). hlm. 10
READING
COPY
Riba 65
Namun, setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang, karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Selanjutnya menurut M. Umer Chapra, riba secara harfiah berarti adanya peningkatan, pertambahan, perluasan, atau per-tum buhan. Menurutnya, tidak semua perper-tumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga merupakan peningkatan atas jumlah harga pokok, tetapi tidak dilarang dalam Islam.81
Istilah lain yang dibuat para ulama yang menunjuk kata riba adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berutang (debitur) kepada orang yang berpiutang (kreditur), sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik kreditur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.82 Abdul Mannan mengemukakan pengertian riba secara lugawî bahwa penggunaan kata sandang al di depan riba dalam Al-Quran menunjukkan kenyataan bahwa al-ribâ mengacu pada perbuatan mengambil sejumlah uang yang berasal dari seseorang yang berutang, secara berlebihan.83
Tidak hanya orang Islam saja yang mengharamkan riba, tetapi semua agama telah mencela riba, sampai orang Yahudi pun mengharamkannya antarmereka. Orang Yahudi membolehkan-nya dalam hubungan bisnis mereka dengan bangsa selain Yahudi, sebagaimana terekam dalam pernyataan mereka.84
... َيِّيِّم ُ ۡ
لأٱ ِف اَنۡي َلَع َسۡيَل ْاوُلاَق ۡمُهَّنَأِب َكِلَٰذ ...
.. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi”...85
81 Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm. 25-29 82 M. ‘Ali as-Sabunîi Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (t.tp. Dâr Al-Quran, 1972), I. hlm. 383.
83 M. Abdul Mannân, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997). hlm. 118.
84 Yusuf Qardhâwî, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997). hlm. 310.
85 Q.S. Âli ‘Imrân (3): 75
READING
COPY
Fikih Muamalah Teori dan Implementasi
66
Adapun agama Kristen (Nasrani) telah mengharamkan nya secara tegas dalam kitab-kitabnya yang asli. Demikian pula para pembuat Undang-Undang dan Filsuf terdahulu seperti “Solon”
perancang Undang-Undang lama dan “Plato”.86 Di dalam ajaran Yahudi pelarangan riba terdapat dalam kitab (Eksodus 22: 25, Deuteronimy 23: 19, Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (Lukas 6: 34-35, pandangan pendeta awal/abad I-XII, pandangan sarjana Kristen/abad XII-XV, pandangan reformis Kristen/abad XVI-1836), maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).87
Kemudian, Menurut Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, M.A. Diharam -kan nya riba karena 2 hal, yakni pertama, adanya kezaliman; kedua adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar, ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak diharamkan selama tidak bertentangan dengan 2 hal di atas.88 M. Quraish Shihab menegaskan keharaman riba, sebagaimana dikemukakan Al-Quran adalah tidak terlepas dari tiga tinjauan, yaitu (a) ad‘âfan-mudo-a‘afah, (b) mâ baqiya min ar-ribâ, dan (c) falakum ru’ûsu amwâlikum, lâ taz-limûna wa lâ tuz-lamûn.89 Dan bila dibawa ke dalam kajian fikih, maka ‘illat hukum keharaman riba, adalah berlipat ganda dan unsur aniaya dalam penetapan kelebihan pengembalian utang tersebut.
Begitu juga menurut Muhammad Abduh yang dikutip oleh Bukhari Alma, bahwa tidak semua di atas modal pokok diharamkan. Dengan alasan asalkan masyarakat menghendaki dan tidak mengabaikan rasa keadilan, rasa persaudaraan, bersifat menolong, dan tidak memberatkan yang berutang.90 Sejalan
86 Yusuf Qardhâwî, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1997). hlm. 310.
87 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari'ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). hlm. 14.
88 Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung:Pustaka Setia, 2004). hlm.
276.
89 M. Quraish Shihâb, Membumikan Al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, 1995). hlm. 261 90 Bukhari Almâ, Ajaran Islam Dalam Bisnis, (Bandung: Alfa Beta, 1993). hlm. 122.
READING
COPY
Riba 67
dengan pertimbangan yang terakhir ini Azhar Basyir, salah seorang Ulama Muhammadiyah, secara pribadi berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Dede Rosyda, bahwa penambahan beban pembayaran utang yang diberikan sekadar untuk biaya administrasi utang-piutang tersebut, serta mengganti rugi ber-kurangnya nilai uang karena inflasi hukumnya ibâhah (boleh), karena tidak memberatkan peminjam dan tidak merugikan pemilik uang.91
Adapun para ulama yang mengharamkan riba, antara lain:
1. Pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram dalam segala bentuknya, pendapat ini dikemukakan oleh Dr.
Muhammad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi Arabia.
Ia mengatakan baik secara moral maupun sosiologis, riba itu sangat merusak. Persoalan riba sekarang bukanlah persoalan bagaimana menerapkan bahwa keharaman riba itu merupakan sadd az-Zarî‘ah.
2. Yang menegaskan keharaman riba, seperti yang disebut dalam Al-Quran, berkaitan dengan kondisi ekonomi (kondisi sosial) oleh karena itu, hukum riba adalah kembali karena kondisi ekonomi sekarang yang jauh berbeda dengan kondisi masa lampau. Pendapat ini dikemukakan oleh Dr. Ma’ruf Dawalibi ahli hukum di Mesir dan membedakan antara riba produktif diharamkan, sedangkan riba konsumtif tidak, tetapi sulit dibedakan.
Menurut Ahmad Mustafa Az-Zarqa, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syiria bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat kita hindari. Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan
91 Dede Rosyda, Metode Kajian Hukum Islam Dewan Hisbah PERSIS, cet. ke-1, (Jakarta: Logos, 1999). hlm. 177
READING
COPY
Fikih Muamalah Teori dan Implementasi
68
darurat dan bersifat sementara. Hal ini menyebabkan umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).92
Dari beberapa perbedaan mengenai definisi riba di kalangan ulama dan perbedaan tersebut lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba di dalam konteks hidupnya. Sehingga walaupun terdapat perbedaan definisi-nya, substansinya adalah sama. Secara umum para ekonom muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.93