BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.8 Pengertian Semiotika Komunikasi
Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion
yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain (Sobur, 2006:16). Dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti
(significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika
adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna. (Sobur,
2006:17)
Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah semiotika
yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam suatu sistem, berdasarkan
aturan main dan konvensi tertentu. (Sobur, 2006:16)
Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang
dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima
istilah, yaitu:
S(s,i,e,r,c)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i
untuk interpreter (penafsir); e untuk effect (pengaruh). Misalnya suatu disposisi
tertentu c karena s.r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (kontek) atau
condition (kondisi). (Sobur, 2004:17).
2.1.9. Teori Semiotika Roland Barthes
Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang
mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya
(Sutrisno & Putranto, 2005:117). Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam kurun waktu tertentu.(Sobur, 2006:63)
Signifiant (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
(aspek mental) dari bahasa. (Kurniawan, 2001:30)
Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan
petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda
tingkat pertama sebagai penanda baru yang kemudian memiliki penanda baru
sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda
pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis.
Sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris
atau mitologi. (Kurniawan, 2001:115)
Barthes mengatakan sutu karya atau teks merupakan sebuah bentuk
konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan
menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek
rekonstruksi, paling awal adalah teks, atau wacana naratif yang terdiri atas
penenda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi sebagian fragmen
ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan
panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok
kata, beberapa kalimat atau beberapa kalimat atau beberapa paragraph.
(Kurniawan, 2001:93)
Dimensi leksia beragantung kepada kepekatan (density) dari
konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses
pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak
pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah
sedemikian rupa sehingga diperoleh sebagian fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi. (Budiman, 2003:54)
Dalam sutu naskah atau teks, terdapat lima kode pokok (five major codes)
yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah kode hermeneutik (kode
teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika
tindakan), dan kode gnomik (kode kultural). (Sobur, 2006:65)
Kode hermeneutik atau kode teka teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam
narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2006:65). Kode ini merupakan sebuah
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan
pemecahan atau jawaban. (Budiman, 2003:55)
Kode semik (code of seems) atau kode konotatif adalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh
penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003:56). Kode semik menawarkan banyak
sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi,
kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh, dengan atribut tertentu.
Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling
kuat dan paling “akhir’. (Sobur, 2006:65-66)
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau
pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal,
perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah-istilah teoritis seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem
simbol Barthes (Sobur, 2006:66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang
dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui
Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku
manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan
masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003:56). Kode ini dianggap Barthes
sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua
teks yang bersifat naratif. (Sobur, 2006:66)
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006:66). Selanjutnya
dalam Budiman, kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang
terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas
moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Dalam teori Barthes akrab dengan apa yang disebut dengan sistem
pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran
kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda
1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)
4. connotative signifier (penanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif)
5. connotative signified (petanda konotatif) 3. denotative sign (tanda denotatif)
Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes
(Sumber : Drs. Alex Sobur Msi, 2004, Semiotika komunikasi, Remaja
Rosda Karya, hlm 69)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. (Sobur, 2006:69)
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
2.2. Kerangka Berpikir
Dalam sebuah penelitian, diharapkan ada kecakapan dan ketelitian. Dua
hal tersebut yang nantinya secara keseluruhan akan dapat mempengaruhi peneliti
dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel. Sebab, pandangan setiap
individu dalam memaknai suatu peristiwa atau objek tertentu berbeda. Hal ini
dikarenakan pengaruh yang didapat dari latar belakang pengalaman (field of
experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap individu. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, pesan disampaikan
melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang
dituliskan didalam novelnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Peneliti harus menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan
karya sastra mempunyai makna. (Sobur, 2006:144). Sastra juga dijabarkan dan
digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa
indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan
sebab-akibat.
Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo adalah sebuah
karya novel yang dapat dijadikan wahana bagi para perempuan Indonesia untuk
bangkit dan melanjutkan semangat kepahlawanannya. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan
pada novel “Perempuan Keumala”. Dalam hubungannya dengan representasi
Perempuan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan
Representasi Perempuan dalam novel kali ini akan diinterpretasikan
melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Perempuan Keumala”
akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan
beruntun yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan
menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode
tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan
kode cultural.
Pada tahap kedua novel “Perempuan Keumala” sebagai sebuah bahasa
dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau
system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai
berikut:
a. Dalam tataran linguistik, yaitu sistem semiologi tingkat pertama
penanda-penanda berhubungan dengan penanda-penanda sedemikian
sehingga menghasilkan tanda.
b. Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis kedua, tanda-tanda pada
tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi
penanda-penanda yang berhubungan pula pada petanda-petanda pada tataran
kedua. Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan
interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal.
t Novel “Perempuan Keumala” Karya Endang Moerdopo Analisis Menggunakan metode semiotik Roland Barthes Hasil Interpretasi Data