• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “PEREMPUAN KEUMALA” (Studi Semiotika Tentang Representasi Perempuan Dalam Novel “Perempuan Keumala” Karya Endang Moerdopo).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “PEREMPUAN KEUMALA” (Studi Semiotika Tentang Representasi Perempuan Dalam Novel “Perempuan Keumala” Karya Endang Moerdopo)."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh:

FANINDA ZENITSA 0543010396

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

(2)

Keumala" karya Endang Moerdopo )

Nama Mahasiswa : FANINDA ZENITSA NPM : 0543010396 Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Menyetujui,

Pembimbing Tim Penguji :

1.

Dra. Sumardjijati, M.Si Dra. Dyva Claretta, M.Si

NIP. 030 223 610 NPT. 946 600 025

2.

Syafrida N.F.S,Sos

NPT. 2820706402170

Mengetahui

KETUA PROGRAM STUDI

(3)

Disusun Oleh :

FANINDA ZENITSA NPM. 0543010396

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui

DOSEN PEMBIMBING

Dra. Sumardjijati, M.Si NIP. 030 223 610

Mengetahui

DEKAN

(4)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan

karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

FEMINISME DALAM NOVEL “PEREMPUAN KEUMALA” (Studi

Semiotika Tentang Representasi Feminisme Melalui Tokoh Pahlawan

Perempuan Aceh) dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi merupakan akademik yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa

sebagai pengantar membuat skripsi dan juga kelengkapan status kelulusan

program S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.

Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Dra. Sumardjijati, Msi selaku Dosen Pembimbing utama yang telah meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis.

Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa

moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Dra. Hj. Suparwati., Msi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Juwito ,S.Sos, Msi Ketua program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa

Timur.

(5)

ii

dan kesuksesan saya sekarang dan masa yang akan datang.

5. Suamiku (Eri Budi Cahyono,ST.) yang selalu mendukungku lahir dan bathin

dalam segala hal sampai detik ini. My lil’children yang selalu setia

menungguku mengerjakan skripsi ini...Tiara dan Iqbal

6. Mertua terima kasih atas segala bantuannya, dalam pandanaan dan nasehat-

nasehat yang bermanfaat, serta dukungannya selama ini

7. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat

diharapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala

keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak umumnya dan penulis pada khususnya.

Surabaya, April 2010

(6)

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1.4.1 Manfaat Akademis ... 10

1.4.2 Manfaat Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Landasan Teori ... 11

2.1.1 Novel sebagai Media Komunikasi Massa ... 11

2.1.2 Bahasa dalam Karya Sastra ... 12

2.1.3 Karya Sastra sebagai Media Komunikasi ... 14

2.1.4 Perempuan sebagai Feminis ... 17

2.1.5 Feminisme ... 21

2.1.6 Feminisme Liberal ... 25

2.1.7 Fenimisme Radikal-kultural ... 27

2.1.8 Pengertian Semiotika Komunikasi ... 30

(7)

iv

3.1 Metode Penelitian ... 39

3.2 Kerangka Konseptual ... 40

3.2.1 Corpus Penelitian ... 40

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.3 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ... 47

4.1 Gambaran Obyek Penelitian ... 47

4.2 Penyajian Data ... 49

4.3 Hasil Analisis Data ... 53

4.4 Sistem Ideologi ... 71

4.5 Penggambaran Perjuangan Perempuan dalam Novel ... 73

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 78

(8)

Dalam Novel “Perempuan Keumala” Karya Endang Moerdopo)

Sebuah karya satra berbentuk buku yang dibuat oleh seorang novelis atau pengarang yaitu novel, dapat digolongkan sebagai sebuah media massa. Pesan yang terkandung dalam sebuah novel merupakan dari hasil pemikiran dan perasaan si pengarang novel yang berperan sebagai komunikator yang menarik perhatian karena menyajikan gambaran realitas tentang perjuangan perempuan Aceh.

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah satu persatu isi pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui media massa yaitu novel. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana penggambaran perjuangan perempuan Aceh beserta armada “inong balee” pada novel Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo. Manfaat penelitian ini adalah agar dapat lebih membantu pembaca novel untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis novel sehingga gambaran objektif tentang feminisme pada perempuan dapat tercapai dan juga dapat menjadi kerangka acuan dalam pembuatan novel khususnya bagi penulis atau pengarang novel agar semakin selektif dan kreatif dalam menggambarkan dan menyajikan sebuah karya sastra sebagai bagian dari media massa.

Landasan teori yang digunakan adalah metode Semiotik milik Roland Barthes. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan semiologi yaitu bagaimana suatu karya satra ditafsirkan secara subyektif oleh para pembaca lewat tanda-tanda atau lambang-lambang yang ada dalam novel sesuai dengan frame of reference dan field of reference pada tiap-tiap individu.

Data yang terdapat dalam obyek penelitian dibagi dalam dua sistem pemaknaan. Dalam sistem linguistik data diuraikan menjadi 15 leksia (kode pembacaan) yang terdiri dari lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu teks naskah. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik (kode symbol), kode proaretik (logika tindakan) dan kode gnomic (kode kultural) yang membangkitkan suatu pengetahuan tertentu. Pada tahap kedua yaitu sistem mitos yang berupa pemaknaan konotatif tanda-tanda yang akan dimaknai secara subyektif dengan berdasarkan konsep perjuangan hidup anak-anak Down’s syndrome. setelah melalui kode pembacaan Barthes tersebut ditemukan makna mengenai penggambaran perjuangan hidup anak-anak Down’s syndrome

(9)

1.1. Latar Belakang

Perempuan dicitrakan sebagai makhluk lemah dan menempati peran yang

tidak membahagiakan (dari aspek fisik), serta lebih rendah daripada laki-laki jika

dilihat dari pandangan laki-laki dan lingkungan masyarakat. Citra perempuan itu

berada dalam masyarakat patriarkhi yang memiliki ideologi gender. Perempuan

merasakan superioritas laki-laki. Ironisnya, ia menerima hal itu sebagai sesuatu

yang semestinya terjadi (Suhendi, 2006 :29).

Persepsi masyarakat bahwa perempuan lebih rendah statusnya dari

laki-laki dapat memicu munculnya diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan

perempuan termajinalkan, meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan

disebabkan ketidakadilan gender (Mufidah,2004: x). Adanya ketidakadilan gender

ini yaitu dikotomi perempuan – laki-laki yang disejajarkan dengan dikotomi

domestik-publik, dan masih adanya subordinasi perempuan dari kaum laki-laki,

menyebabkan masih dirasakan adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki

dan perempuan. Subordinasi terhadap perempuan tersebut dapat terlihat dalam

kehidupan rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Subordinasi karena gender

tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat

dan dari waktu ke waktu.

Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan

yang menempatkannya pada kedudukan yang jauh lebih rendah dibandingkan

(10)

laki-laki, memang perjuangan sepanjang hidupnya. Dapat ditinjau bahwa pada

dasarnya perempuan Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman getir yang

sama seperti saudara-saudara di negara-negara terbelakang yang masih

mempertahankan patriarkhi atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan

terpusat di tangan laki-laki juga bergandengan dengan sistem budaya, ekonomi,

sosial dan politik setempat.

Perempuan umumnya memiliki posisi subordinat dalam masyarakat,

mereka lebih cenderung rendah diri dan perempuan ditawari kesempatan

pendidikan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Kepercayaan agama juga

membentuk sikap terhadap perempuan. Interpretasi umum ajaran agama islam

sebagai agama mayoritas di Indonesia adalah bahwa laki-laki merupakan

pemimpin.

Sistem nilai dan budaya berkontribusi terhadap langgengnya patriarkhi

yang telah melekat dari generasi ke generasi, yang mensubordinatkan perempuan

dibawah superioritas laki-laki (www.kompas.com). Istilah patriarkhi sendiri

digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan di dalam

keluarga dan pada akhirnya berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua

lingkup kemasyarakatan lainnya.

Masalah kedudukan dan hak perempuan yang didominasi sistem

patriarkhi sering tidak menguntungkan bagi perempuan karena dengan adanya

pandangan ini perempuan seringkali mendapat tindakan kekerasan. Kekerasan

laki-laki terhadap perempuan sering dilihat bukan sebagai kekerasan, yang terjadi

justru sebaliknya bahwa sang korban kekerasan memang pantas memperoleh

 

(11)

hukuman ‘kekerasan’ tersebut. Masalah perempuan mengalami kekerasan telah

menjadi pembicaraan yang berlangsung dimana saja, mulai dari lingkungan

keluarga, masyarakat sampai yang terluas yaitu media massa.

Salah satu fungsi media massa terutama media cetak adalah sebagai

institusi sosial. Buku sebagai salah satu bentuk media cetak, efektif dalam

menuliskan realitas sosial suatu negara. Buku, khususnya novel merupakan

sebuah karya fiksi sastra yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model

kehidupan yang diidealkan, dunia marjinatif, yang dibangun melalui berbagai

unsur instriknya. Dalam pembuatan sebuah novel, hal-hal yang perlu diperhatikan

untuk menjadi kesatuan novel yaitu mulai dari judul, ilustrasi, tampilan novel,

disain sampul dan tak luput pula biografi pengarang novel.

Perjuangan perempuan untuk melakukan perubahan dalam persamaan

gender melalui media massa juga masih sulit. Media massa yang notabene milik

kaum pria, masih menyudutkan posisi perempuan. Budaya patriarkhi yang

menguatkan posisi laki-laki dalam institusi rumah tangga dan publik, bagi

perempuan merupakan ketidakadilan. Standar moralitas dan hukum membenarkan

hak lebih kepada laki-laki dibanding perempuan, didasarkan atas patriarkhi.

Dalam media massa posisi perempuan pada umumnya hanya dijadikan

obyek. Ia berada pada posisi rentan, pada posisi marjinal, tesub-ordinasi dan

selalu menjadi obyek yang potensi untuk dieksploitasi. Dalam industri media

massa cetak misalnya, persaingan bebas yang terjadi dalam media massa cetak

pasca era reformasi membuat para pengelola media berusaha sedemikian rupa

untuk dapat bertahan hidup. Salah satu pilihan adalah dengan mengubah

 

(12)

kebijakan keredaksiannya menjadi tabloid atau majalah yang menyajikan berita

atau foto-foto yang menyangkut pornografi, seputar seks, dan sensualitas yang

tentu saja kemudian menampilkan perempuan sebagai objek komoditi.

Media-media cetak seperti inilah yang pada akhirnya memunculkan perempuan dengan

angle aneh yang sebelumnya tak terpikirkan.

Cerita yang disajikan oleh kebanyakan penulis laki-laki, masih tidak

lepas dari unsur patriarkhi yang mengungkapkan bagaimana seharusnya laki-laki

dan perempuan hidup dalam budaya ini. Dan ketika itu dilanggar maka akan

terjadi ketidakstabilan dalam masyarakat. Dalam karya satra Indonesia, khususnya

novel, sosok perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang

bergerak lamban, bahkan kadang-kadang berhenti. Sebagaimana digambarkan

Herliany dalam Sobur (2001:37) Perempuan begitu dekat dengan idiom-idiom

seperti keterpurukan, ketertindasan bahkan pada ‘konsep’ yang diterima dalam

kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ‘objek’ dan ‘subjek’ bagi kaum

laki-laki.

Salah satu contoh karya sastra yang menunjukkan dominasi laki-laki

terhadap perempuan adalah prosa lirik yang berjudul “Pengakuan Pariyem” karya

Linus Suryadi. Prosanya begitu transparan menjelaskan eksploitasi wacana

kepasrahan wanita Jawa (Jogja), dan lebih menyajikan tipikal manusia yang ‘tidak

bergerak’, manusia yang berhenti. Bahkan apabila sikap ‘pemberontakan’ muncul

pun, ia toh masih berada dalam konstelasi ketaberdayaan (Sobur,2001:37).

Singkat kata, “wajah” wanita di media massa masih memperlihatkann

steoripe yang merugikan ; perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi,

 

(13)

menerima keputusan yang dibuat oleh pria, dan terutama melihat dirinya sebagai

simbol seks (Sobur,2001:38). Namun dewasa ini di berbagai belahan dunia

perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan

ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang

telah mengalami subordinasi, represi dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut,

diberbagai bidang, termasuk di bidang sastra (www.suarakarya-online.com).

Memang sulit untuk menyangkal, bahwa ada banyak perubahan yang

terjadi dunia sastra di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Salah

satu gejala perubahan yang sering muncul menjadi diskursus publik adalah

lahirnya para penulis perempuan dengan karya-karya yang menawarkan kebaruan,

laris dipasaran dan beberapa emansipatoris.

Ada sederetan nama pengarang perempuan seperti Ayu Utami, Fira

Basuki, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari yang mengembangkan taktik

penulisan tersendiri untuk menciptakan sosok pribadi yang mereka inginkan. Para

pengarang ini mengangkat isu-isu gender, dominasi, dan kekuasaan. Mereka

berusaha mendobrak tatanan dalam struktur tulisan novel yang ada selama ini

seperti cara penuturannya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan bebas.

Isi pesan dalam sebuah novel bermacam-macam ada yang berupa

ungkapan sedih, rasa kagum terhadap seseorang, rasa kecewa, benci, dendam dan

kritik terhadapa sesuatu. Karena di setiap penciptaan novel, seorang pengarang

berusaha untuk menyampaikan suatu pesan kepada khalayak dan hal tersebut

adalah sebuah realitas atau fenomena yang dirasakan pengarang.

 

(14)

Dari semua penjelasan di atas, lewat salah satu novel “Perempuan

Keumala” karya Endang Moerdopo, pengarang berusaha menciptakan isi pesan

yang berisi perjuangan seorang perempuan pejuang Aceh yang bernama

Keumalahayati. Perempuan tersebut memiliki jiwa pejuang yang muncul karena

kondisi yang mengancamnya dan didalam dirinya mengalir rasa balas dendam

yang sangat dalam pada serdadu Portugis dan Belanda. Cerita tragis berawal dari

suami Keumalahayati yang bernama Tuanku Mahmudin bin Said Al Latief yang

tewas karena peperangan dahsyat dengan serdadu Portugis di Teluk Haru. Kedua

Cut Dek, putri semata wayangnya direnggut nyawanya oleh teman ayahnya

sendiri, Teuku Bantana Lela dibuang ke dalam lautan lepas beserta dua

pelayannya. Kini sosok perempuan itu hidup sendiri, namun hal itu tidak begitu

dirasakan terlalu dalam karena dia harus bangkit untuk membalas dendam pada

orang-orang yang telah mengusik keluarganya dan menjaga keamanan kerajaan

Darud Aceh Darussalam.

Dia berjuang dengan gigih berani bersama armada “inong balee” untuk

melawan serdadu Portugis dan Belanda. Armada “inong balee” terdiri dari

pasukan para janda yang ditinggal mati oleh suaminya akibat ikut dalam medan

perang. Armada “inong balee” juga berlatih dan belajar layaknya armada

laki-laki pada umumnya seperti olah tubuh, mengatur ketrampilan siasat perang dan

menggunakan senjata. Mereka hampir setiap hari berlatih membentuk barisan,

menggunakan pakaian latihan dan membawa senjata lengkap. Setelah mereka

berlatih keras ketika ditanah lapang, mereka tidak lupa untuk mencurahkan kasih

 

(15)

sayang kepada anak-anaknya seperti menyuapi, mengendong, memberikan asi,

memasak dan sebagainya layaknya perempuan sejati.

Perempuan-perempuan perkasa dan sejati telah membuktikan dirinya,

mereka tidak pernah melakukan “perlawanan” terhadap laki-laki, tetapi justru

mampu membuat laki-laki langsung tersungkur dihadapannya. Laksamana

Keumalahayati bersama armada “inong balee” telah berani berperang melawan

Belanda yang secara sembunyi-sembunyi telah bergabung dengan pengkhianat

Kerajaan Darud Donya Darussalam, bahkan Laksamana Malahayati berani

bertarung satu lawan satu dengan pemimpin pencari rempah dari Belanda yaitu

Cornelis de Houtman, dan memenangkan pertarungan tersebut.

Dari rangkuman cerita diatas, isi novel ini terlihat adanya keterkaitan

perempuan dan keinginan-keinginannya untuk memperoleh hak yang sama

dengan laki-laki. Penulis berusaha untuk mendobrak stereotipe perempuan dengan

menempatkan perempuan sebagai wanita yang mempunyai jiwa feminin,

emansipasi dan berhak mengambil keputusan. Menurut Mary Wollstonecraft

dalam buku A Vidication of the Rights of Woman seharusnya perempuan

mempunyai kebebasan dan hak yang sama setara dengan laki-laki Dengan

demikian secara nonverbal, perempuan dalam novel tersebut direpresentasikan

atau digambarkan seperti perempuan yang memiliki pandangan feminis. Pada

prinsipnya feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut

emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Secara umum, istilah feminisme merujuk pada pengertian sebagai ideologi

pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah

 

(16)

keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya.

(Kasiyyan, 2008:73)

Apa yang disebut sebagai Feminisme ialah suatu pandangan untuk

menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.

Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas

dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut

mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula

pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah

karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus

mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka

"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Problematika konsep ideologi gender yang telah terinternalisasi dalam

akumulasi ruang dan waktu yang amat panjang di masyarakat, kemudian telah

menghasilkan semacam wacana standarisasi pelabelan antara laki-laki dan

perempuan dalam konteks sosial. Atau dalam istilah lain, adanya sebuah stereotip

gender laki-laki dan perempuan, secara sosial. Dalam hal ini, segala yang

dianggap ‘pantas’ dan ‘biasanya’ diekspresikan oleh perempuan atau laki-laki.

Oleh karena itu stereotip gender maskulinitas dan feminitas ini dikonstruksikan

secara kultural dalam periode waktu yang panjang, bahkan diwariskan dari

generasi ke generasi, kemudian menjelma menjadi seolah-olah merupakan kodrat

Tuhan. (Kassiyan,2008:51)

  Akar teori feminisme bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan

rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan

(17)

laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.

Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender.

(http://id.shvoong.com/humanities/1796119-sejarah feminisme/)

Pada penelitian ini yang mendasari peneliti untuk menganalisa konsep

feminisme dari tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ”Perempuan

Keumala” karena tokoh perempuan ini memiliki peran yang sangat sentral dan

dapat menimbulkan tanda tanya besar dimana dalam konsep feminisme seorang

perempuan yang seharusnya lemah lembut tapi justru tampak garang dan agresif

dan posisi perempuan dalam novel ini disejajarkan dengan pria.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan

penelitian ini, yaitu “Bagaimana Representasi Perempuan dalam Novel

Perempuan Keumala?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui “Bagaimana Representasi

Perempuan dalam Novel Perempuan Keumala?”

 

(18)

 

 

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan kontribusi untuk

penelitian berikutnya mengenai kajian komunikasi, yaitu tentang analisa novel

dengan pendekatan semiotika.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi pembaca

terhadap pesan yang disampaikan dalam novel Perempuan Keumala. Dan dapat

menjadi masukan bagi pihak-pihak yang menggeluti dunia sastra yang juga

(19)

2.1.1. Novel sebagai Media Komunikasi Massa

Menurut Cecep Syamsul Hari (www.kompas.com/kompas-cetak), istilah

novel berasal dari Italia, novella, yaitu prosa naratif fiksional yang panjang dan

kompleks, yang secara imajinatif berjalin dengan pengalaman manusia melalui

suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan

melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar

(setting) yang spesifik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, novel

diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat setiap pelaku.

Menurut De Fleur dan Dennis Mc Quail dalam Gunarsih (2006:33), secara

garis besar media komunikasi massa dapat digolongkan kedalam tiga hal yaitu

media cetak atau print (buku, majalah, surat kabar, dan film khususnya film

komersil) serta media broadcasting yaitu radio dan televisi. media cetak sebagai

salah satu bentuk media komunikasi umumnya memiliki fungsi sebagai pemberi

informasi, artikel, majalah yang lebih bersifat mempengaruhi dan novel

mempunyai fungsi utama untuk menghibur. Selain itu, novel juga memberi

informasi dan mempersuasi pembacanya.

Dalam arti umum, novel diartikan sebagai suatu cerita rekaaan yang

panjang dalam bentuk prosa. Sebagai bentuk karya sastra, novel merupakan

(20)

struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar serangkaian tulisan yang

menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun

dari unsur-unsur yang terpadu ( Sugihastuti dan Suharto, 2002:43).

Isi pesan novel menjadi penting, berkaitan dengan fungsi novel yang

dikemukakan oleh Culler, yaitu novel merupakan wacana yang di dalamnya dan

lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia. Di dalam novel kata-kata disusun

sedemikian rupa agar melalui aktivitas pembacaan akan muncul suatu model

mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individual, model

hubungan dengan masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, model signifikasi dari

aspek dunia tersebut ( Faruk, 2001:47).

Novel sebagai suatu karya satra merupakan salah satu bahasa untuk

berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan

perubahan masyarakat dimana ia hidup ( Sunardi,2004:14).

2.1.2. Bahasa dalam Karya Sastra

Bahasa dalam perspektif semiotika hanyalah salah satu sistem tanda-tanda

(system of sign). Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, yang

keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya (Sobur, 2005:14).

Menurut Rolland Wardhaugh, seorang linguis barat, dalam Introductions to

linguistic memberikan definisi sebagaii berikut : “Bahasa ialah suatu sistem

simbol-simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system

Berdasarkan uraian di atas kita dapat member arti penting tentang

(21)

stand for other things). Pengertian ini berarti bahwa di sekeliling kita terdapat

banyak symbol dan kita akan senatiasa dihadapkan pada berbagai symbol

(Hidayat,2006:23).

Menurut Amiruddin ada delapan belas ciri bahasa manusia, yaitu:

1. Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertentu.

2. Organisme yang digunakan memiliki hubungan timbal balik .

3. Menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental.

4. Mengandung kriteria semantik atau fungsi semantik tertentu.

5. Memiliki kriteria sintaksis, kata-kata yang digunakan untuk menjadi suatu

kalimat harus disususn sesuai dengan pola kalimat yang telah disepakati.

6. Melibatkan unsur bunyi ataupun unsur audiovisual.

7. Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produktif .

8. Bersifat arbiter, mana suka.

9. Memiliki ciri previkasi.

10. Terbatas dan relatif tetap.

11. Mengandung kontinuitas dan mengandung diskontinuitas.

12. Bersifat hierarkis, yaitu pemakaian yang keberadaannya memiliki tatanan

yang berada dalam tata tingkat tertentu.

13. Bersifat sistematis dan simultan.

14. Saling melengkapi dan mengisi, baik secara paradigmatic maupun sintagmatis.

15. Informasi kebahasan dapat disegmentasi , dihubungkan, disatukan dan

diabadikan.

(22)

17. Bahasa itu dapat dipelajari.

18. Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensial (Hidayat,2006:25-26).

Salah satu fungsi bahasa menurut P.W.J. Nababan, seorang linguistik

Indonesia adalah bahasa sebagai fungsi kebudayaan, jalur penerus kebudayaan

dan invetaris ciri-ciri kebudayaan.

Tanda-tanda kebahasaan, setidaknya memiliki dua buah karakteristik,

yaitu bersifat linier dan arbiter. Karakteristik pertama, linearitas penanda (the

linier nature of the signifier), berkaitan dengan dimensi kewaktuaanya.

Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak

mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteristik kedua, karbiterian tanda

(the arbitrary nature of the sign) bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan

petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”, tak termotivasi (unmotivated).

Relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan kovensi

(Budiman, 2005:38).

2.1.3. Karya Sastra sebagai Media Komunikasi

Sastra menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya

yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat dimana ia hidup

(Sunardi,2004:14).

Karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang

sangat luas. Menurut Duncan, dalam karya seni terkandung bentuk-bentuk ideal

komunikasi, sebab karya seni menyajikan pengalaman dalam kualitas antar

(23)

Entitas karya sastra sebagai representasi semetaan sosial berlangsung

sepanjang sejarah. Identifikasi dan internatualiasi terhadap universum

sosiokultural mengandaikan keakraban antara subjek kreator dengan objek-objek

kulturalnya. Tanpa eksistensi dan kreativitas subjek kreator, maka fakta-fakta

kultural tetap merupakan fakta-fakta alamiah, nontesis dan dengan sendirinya

denotatif (Ratna, 2003:42-43) .

Untuk menyajikan material kultural, dibandingkan dengan puisi, bahkan

juga drama, novel memiliki medium narativitas yang sangat kaya. Secara

kronologis, transmisi material kultural kedalam karya, meliputi : pengamatan dan

penelitian, penulisan dan penyebaran, pembacaan dan penilaian (Ratna,2003:44).

Menurut Dr.Nyoman Kutali Ratna dalam bukunya yang berjudul

Paradigma Sosial Sastra, sebagai simbol ekspresif, medium komunikasi, dan

manifestasi transdental, fungsi-fungsi sosial karya sastra tidak terbatas hanya

sebagai penjelasan materialism kultural dari individu ke individu yang lain, tetapi

yang lebih penting adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas yang lain,

dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya sastra dengan ciri kreativitas,

kapasitas evokasi dan penggunaan sarana bahasanya yang metaforsa, merupakan

mediasi-mediasi yang paling tepat untuk menanamkan unsur-unsur objektivitas

hubungan-hubungan sosial.

Selanjutnya masih menurut Ratna, content (isi) dari suatu karya satra dapat

mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Karya sastra,

seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan

(24)

dan cara pemahaman yang berbeda. Karya sastra bukan semata-mata respons

interaksi sosial, aktivitas-aktivitas karya seni yang mengimplementasikan

motivasi yang jauh lebih luas dan dalam, yaitu rekontruksi asumsi-asumsi

kesadaran sosial, berbagai asumsi yang dikonfigurasikan secara verbal.

Sesuai dengan pendapat Dewey, Duncan memandang bahwa masyarakat

lahir dalam dan melalui komunikasi, yaitu komunikasi simbol-simbol bermakna.

Mekanisme melalui hubungan-hubungan lisan dan tulisan dianggap sebagai

cara-cara berkomunikasi yang paling konstan dan lazim dalam kehidupan sosial, yaitu

dengan sendirinya merupakan fondasi, sumber, dan energi semua aktivitas

(Ratna,2003 :12).

Karya sastra, khususnya novel, dengan peralatan formalnya, makin lama

makin dirasakan sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral

dalam struktur sosial. Dalam proses komunikasi, karya sastra dianggap sebagai

gejala yang sarat dengan referensi-referensi sosial. Karena itulah Duncan

menyatakan bahwa kekuatan seni yang sesungguhnya terletak dalam kapasitasnya

untuk menerobos tembok pemisah antar manusia (Ratna,2003:134).

Selanjutnya Dr.Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa komunikasi

sastra merupakan komunikasi tertinggi. Sebab, melibatkan mekanisme

unsur-unsur yang paling luas. Schmidt misalnya,menjelaskan bahwa komunikasi sastra

melibatkan proses total yang meliputi : a) produksi teks, yaitu aktivitas pengarang

dalam menghasilkan teks tertentu, b) teks itu sendiri dengan berbagai

(25)

pembaca nyata dan d) penerima teks, melalui aktivitas pembaca khususnya

pembaca implisit.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas

hubungan yang bertujuan untuk saling menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial

yang terjadi pada saat-saat tertentu (Ratna,2003 :137).

2.1.4. Perempuan sebagai feminis

Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini

melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan

dengan Barat di masa pencerahan (the enlightenment), di Barat oleh Lady Mary

Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan

perempuan.

Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan

menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama

(first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang

kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau postfeminism. Istilah

perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar.

Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan atau

diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau

melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan atau diskriminasi tersebut,

pada dasarnya dapat disebut feminis.

Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya yang

lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang

(26)

mengurusi dapur. Seperti ditulis oleh Sara Ahmed, pengetahuan feminis adalah

persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang located

dan situated sedemikiam sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara

pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar saya juga mengalami

perubahan”. (Aquarini, 2006:14)

Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini

akibat hegemoni budaya patriarkhi dan struktur masyarakat yang berkiblat pada

sistem patriarkhi yang mendominasi semua lini kehidupan. Secara kebahasan,

patriarkhi berarti rule of the father, atau aturan dari sang Bapak. Dalam sistem

patriarkhi, laki-laki yang berusia lebh tua mengendalikan kekuasaan secara

absolute terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada persoalan

hukum, dari persoalan kulit sampai persoalan politik. Maka berbagai upaya

mencari sparing patner hegemoni budaya patriarkhi inilah kira-kira yang

diagungkan oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum

perempuan selama ini adalah sebagai warga masyarakat kelas dua atau menduduki

posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana

‘kesejahteraan jender’ dalam mensejahterahkan kaum perempuan. Menurut

feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih

terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan

pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Munculnya budaya

patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan

(27)

dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses

berkepanjangan. (www.qiyanfikir.worspress.com )

Menurut Aquarini, dia mengasumsikan bahwa perempuan memang

dikonstruksikan untuk melayani laki-laki, baik secara sosial dan seksual, tanpa

mempertimbangkan kekuatan ekonomi, perbedaan kelas, atau bahkan “senioritas”

(Aquarini,2006 :35). Menurut Rieke Dyah Pitaloka seorang aktivis perempuan,

dalam budaya patriarkhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi ada pada suami,

kepala rumah tangga, yang berhak memberikan aturan apapun yang menyangkut

orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri.

Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem tersebut

dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyarakatkan enyahnya cara

pandang patriarkhi dari ruang privat sekaligus publik (www.kompas.com)

Sementara Kate Millet menyatakan bahwa, ideologi patriarkhi merupakan

kekuasaan laki-laki, yang mengkondisikan perempuan untuk memperlihatkan

perilaku yang melayani laki-laki dan menerima peran sebagi pelayan laki-laki.

Beliau beranggapan bahwa idiologi seperti ini merembes ke segala aspek budaya

dan menyentuh setiap aspek kehidupan kita bahkan kepada aspek yang sifatnya

pribadi (Holidin dan Soenyono, 2004:81).

Konsep penguasaan laki-laki yang bersifat absolut ini merupakan prinsip

pengorganisasian universal. Relasi yang terjadi melibatkan kekuasaan serta

ideologi yang berjalan secara pasif, misalnya laki-laki merupakan sosok yang

powerful sedangkan perempuan sengaja dibuat tidak berdaya (powerless). Hal ini

(28)

laki-laki merupakan subjek yang menentukan.

(http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/25/khal.htm)

Dominasi laki-laki itu sendiri tampaknya selalu dapat menemukan

jalannya. Kekuatan ekonomi hanyalah satu dari cara-cara pendominasian

perempuan oleh laki-laki. Selain itu, perkawinan, adalah merupakan suatu instansi

yang merupakan kaki tangan patriarkhi, tetapi disisi lain, jika proses sosialisasi

ideologi patriarkhi memang terutama berlangsung didalam keluarga, maka

sesungguhnya keluarga menjadi sangat potensial untuk menjadi alat

pembongkaran ideologi itu sendiri (Aquarini, 2006:34-35)

Gayle Rubin seorang feminis radikal-libertarian, dalam pandangannya

tentang patriarkhi, mereka menolak asumsi bahwa ada atau seharusnya ada,

hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan)

dengan gender seseorang (maskulin atau feminin). Sebaliknya, mereka mengklaim

bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarkat patriarkhial

menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap

pasif (penuh kasih sayng, penurut, tanggap terhadap simpati) dan laki-laki tetap

aktif (kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab). Karena itu, cara bagi

perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang dianggap tidak layak

atas perempuan, adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak

ditakdirkan untuk menjadi pasif, seprti juga laki-lakitidak ditakdirkan menjadi

aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin

dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka

(29)

Karena struktur masyarakat yang menganut sistem patriarkhi

menyebabkan budaya digunakan untuk memurukkan perempuan dalam suatu

tatanan ideologis dan sosial yang sangat eksploitatif dan diskriminatif. Patriarkhi

juga menimbulkan adanya diskriminasi-diskriminasi sosial, sehingga perempuan

semata-mata dijadikan obyek eksploitasi dalam segala aspek yaitu : sosial, politik,

ekonomi, dan budaya (http//:www.jurnalperempuan.com).

2.1.5 Feminisme

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah

kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara konsep seks

(jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan

pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara

biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis

laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kalamenjing) dan

memiliki sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim

dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan

mempunyai alat menyusui. Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial

maupun kultural. Misalkan bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,

emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan

perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa

dipertukarkan.Artinya ada laki-laki yang emisonal, lemah lembut, keibuan,

(30)

sifat-sifat itu dapa terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain

(Fakih, 2001:7).

Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri

Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Jender diartikan sebagai,

“interpretasi mental dan kultural terhadapa perbedaan kelamin yakni laki-laki dan

perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja

yang tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan

Francine D’ Amico, Eds, jender didefinisikan sebagi karakteristik sosial yang

diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan

hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun

universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan

perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia publik bersifat maskulin

pantas untuk kaum laki-laki dan dunia privat, domestik, dan rumah tangga bersifat

feminin adalah milik perempuan (Sumiarni, 2004:1-3).

Humm (2002: 158), dalam Kasiyan adalah menunjuk pada pengertian

sebagai pemaknaan istilah feminisme yang ada di masyarakat tidaklah tunggal,

melainkan kompleks. Definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan

realitas sosiokultural yang melatarbelakangi lahirnya faham tersebut dan

perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para

feminis itu sendiri (Kasiyan, 2008: 72). Istilah feminisme berasal dari kata Latin

femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan (Sumiarni, 2004). Namun,

secara umum, menurut ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat

(31)

ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Di bawah payung lebar berbagai

feminisme ini, ditawarkan berbagai analisis mengenai penyebab serta pelaku dari

penindasan perempuan.

Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang

dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk

mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu

memunculkan apa yang disebut dengan emansipasi atau feminisme. Dimana

emansipasi sendiri memiliki pengertian sebgai gerakan yang mencita-citakan

kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang

memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Karena konstruksi sosial diciptakan

manusia maka feminitas dan gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat

berubah. Apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang

mendefinisinya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi

hidup mereka (Aquarini, 2006:22). Feminisme telah dibedakan dengan feminin

dalam pengertiannya, feminin berasal dari bahasa Perancis “feminine” yang

merupakan sebuah kata sifat (adjektif) yang berarti “kewanitaan” atau

menunjukkan sifat perempuan.

Makna feminis disini adalah mencari peluang kebebasan atau kemrdekaan

perempuan untuk perempuan itu sendiri. Dengan demikian, gerakan feminis pada

saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan laki-laki

(32)

Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti

kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal

dengan sesama manusia.

2. Menolak setiap perbedaan manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis

kelamin.

3. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan

tertentu atas dasar jenis kelamin.

4. Berjuang untuk membentuk pengakuan manusia yang menyeluruh tentang

laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan

kemanusiaan. (Hubbies dalam Sumiarni,2004 :20)

Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun

60-an di60-anggap sebagai lahirnya gerak60-an itu. Muncul di Amerika sendiri sebagai

bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada dan

Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang

Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang nyata di mana

dalam 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut

nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan International

Decade Of Woman, terjadi beberapa peristiwa bagi kaum perempuan. Kini hampir

setiap negara memiliki perundang-undangan anti diskriminasi yang

menguntungkan kaum perempuan. (Fakih,1997:106)

Menurut Fakih (2001: 80-98), di antara sekian banyak jenis gerakan

(33)

berbagai belahan dunia, ada beberapa jenis gerakan yang menjadi arus utama

(mainstream) dan mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga banyak

dijadikan sebagai tokoh perempuan gerakan di berbagai tempat. Secara garis besar

arus utama jenis gerakan feminisme tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori

besar, yakni paradigma fungsionalisme struktural, yakni Feminisme Liberal. Dan

kedua adalah yang dipengaruhi oleh paradigma konflik, yakni Feminisme Radikal,

Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis.

2.1.6. Feminisme Liberal

Gerakan Feminisme Liberal merupakan gerakan perjuangan proyek

kesetaraan gender yang usianya paling tua sejak abad ke-17. Gerakan ini diilhami

oleh aliran fungsionalisme struktural (sebuah mazhab besar dalam ilmu sosial),

yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Aliran ini muncul

sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai

otonomi, persamaan, nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang

sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Beberapa feminis awal

berusaha memasukkan ide bhwa perempuan merupakan makhluk yang sama

dengan pria, dan mempunyai hak yang sama dengan pria. Asumsi dasarnya adalah

tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Feminisme liberal memberikan

landasan teoritis akan kesamaan wanita dalam potensi rasionalitasnya dengan pria.

Perspektif gerakan ini, memandang bahwa keterbelakangan kaum

perempuan selain bersumber dari sikap irasional yang sumbernya karena

berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak

(34)

dalam industrialisasi dan program pembangunan, dianggap sebagai jalan untuk

meningkatkan status kaum perempuan (Kasiyan, 2008:86-87).

Gerakan feminisme liberal meningkatkan status perempuan dengan

menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain. Feminis liberal bekerja keras

terhadap reformasinya di bidang pendidikan dan hukum yang telah memperbaiki

kualitas hidup perempuan. Sangatlah diragukan bahwa tanpa usaha feminis liberal

begitu banyak perempuan dapat mencapai posisi profesi untuk meningkatkan

status pekerjaan dan posisi kerja yang tinggi (Tong, 1998: 66).

Dasar pemikiran kelompok ini adalah bahwa semua manusia laki-laki dan

perempuan diciptakan seimbang dan serasi mestinya tidak terjadi penindasan

antara satu dengan lainnya. Meskipun tetap menolak persamaan menyeluruh

antara laki-laki dan perempuan (dalam beberapa hal) terutama yang berhubungan

dengan fungsi reproduksi (Sumiarni, 2004:62)

Untuk mencapai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat

terjamin pelaksanaannya, perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat. Ada tiga

aspek yang ingin dihindari dari hukum perkawinan Amerika Serikat oleh para

feminis liberal, yaitu anggapan suami sebgai kepala keluarga, anggapan bahwa

suami bertanggung jawab atas nafkah isteri dan anak-anaknya, dan anggapan

bahwa isteri bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah

tangga.

Pada feminisme liberal, konsep yang digunakan dan diambil untuk

(35)

1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan,

dalam pendidikan, hak politik dan ekonomi.

2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.

3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara sosial.

4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang

melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan

laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata dan

juga sebaliknya.

5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan

perempuan.

6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran

yang digunakan sebagai alas an atau pembenaran untuk memberikan tempat

yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi

perempuan. (Tong, 1998)

2.1.7. Feminisme Radikal-Kultural

Alice Echols menyatakan dalam feminis radikal-kultural mengungkapakan

salah satu pandangan bahwa lebih baik menjadi perempuan atau feminin daripada

menjadi laki-laki atau maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba

untuk menjadi seperti laki-laki. Sebaliknya, perempuan harusnya mencoba untuk

menjadi lebih seperti perempuan dan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang

secara kultural, dihubungkan terhadap perempuan (“ saling ketergantungan,

(36)

alam, imanensi, proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan”), dan

meninggalkan penekananatas nilai - nilai dan sifat – sifat yang secara kultural

dihubungkan terhadap laki laki (“ independensi, otonomi, intelek, kemauan, kehati

hatian, hirarki, dominasi, kebudayaan, transendensi, produk, askestisme, perang,

dan kematian”). Meskipun begitu, Echols dan Acoff mengakui, bahwa tidak

semua feminis radikal-kultural percaya bahwa perbedaan perempuan – laki-laki

berakar pada alam. Beberapa diantara mereka, menurut Echlos, berpendapat

bahwa perdedaan seks/gender mengalir bukan semata mata (jika memang

demikian) dari biologi, melainkan juga dari “sosialisasi” atau dari sejarah

keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang petriarkal (Tong,

1998: 71).

Salah satu pandangan feminis radikal-kultural yang lainnya adalah seperti

yang diungkapkan oleh Marilyn French, beliau mengantribusikan perbedaan laki

laki terhadap perempuan lebih kepada biologi (nature/ alam) daripada kepada

sosialisasi (nature/ pengasuhan). Jika mungkinmemberikan pembenaran atas

dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan

pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi.

“Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan, pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas: yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai “lebih dekat ke alam”

French menyimpulkan bahwa manusia awal hidup dalam harmoni dengan

alam. Dalam hasrat laki-laki untuk menguasai kombinasi “perempuan/

alam”lahirlah patriarkhi, sebagai suatu sistem hirarki yang menghargai apa yang

(37)

sangat jelas atas nilai-nilai maskulin power-over, French mengklaim bahwa

soerang manusia yang androgini, harus menyeimbangkan diri bukan antara

pleasure with dengan power-over, melainkan antara pleasure with dengan versi

yang sudah difeminisikan dari power-over , yang dibelinya sebagai power-to.

French menekankan bahwaadalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa, dan

juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan

sebagai hasrat untuk menghancurkan (power-over), tetapi lebih sebagai hasrat

untuk mencipta (power-to) (Tong, 1998: 83).

Pada feminisme radikal-kultural, konsep yang diambil dan digunakanuntuk

meneliti antara lain:

1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi

dimana, laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.

2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan

untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi

aktif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat

feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik

mereka masing-masing.

3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan dan

dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu.

4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya

merupakan aspek “baik” dari femininitas, dan juga menolak aspek yang sudah

jelas-jelas ”buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat

(38)

5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari

tambahan-tambahan sifat maskulin. (Tong, 1998).

2.1.8. Pengertian Semiotika Komunikasi

Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion

yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain (Sobur, 2006:16). Dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau

metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti

(significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang

menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika

adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna. (Sobur,

2006:17)

Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah semiotika

yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam suatu sistem, berdasarkan

aturan main dan konvensi tertentu. (Sobur, 2006:16)

Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang

dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima

istilah, yaitu:

S(s,i,e,r,c)

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i

untuk interpreter (penafsir); e untuk effect (pengaruh). Misalnya suatu disposisi

(39)

tertentu c karena s.r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (kontek) atau

condition (kondisi). (Sobur, 2004:17).

2.1.9. Teori Semiotika Roland Barthes

Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang

mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya

(Sutrisno & Putranto, 2005:117). Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah

sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat

tertentu dalam kurun waktu tertentu.(Sobur, 2006:63)

Signifiant (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang

bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau

dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep

(aspek mental) dari bahasa. (Kurniawan, 2001:30)

Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan

petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda

tingkat pertama sebagai penanda baru yang kemudian memiliki penanda baru

sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda

pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis.

Sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris

atau mitologi. (Kurniawan, 2001:115)

Barthes mengatakan sutu karya atau teks merupakan sebuah bentuk

konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan

(40)

menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek

rekonstruksi, paling awal adalah teks, atau wacana naratif yang terdiri atas

penenda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi sebagian fragmen

ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan

panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok

kata, beberapa kalimat atau beberapa kalimat atau beberapa paragraph.

(Kurniawan, 2001:93)

Dimensi leksia beragantung kepada kepekatan (density) dari

konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses

pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak

pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah

sedemikian rupa sehingga diperoleh sebagian fungsi pada tataran-tataran

pengorganisasian yang lebih tinggi. (Budiman, 2003:54)

Dalam sutu naskah atau teks, terdapat lima kode pokok (five major codes)

yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah kode hermeneutik (kode

teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika

tindakan), dan kode gnomik (kode kultural). (Sobur, 2006:65)

Kode hermeneutik atau kode teka teki berkisar pada harapan pembaca

untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode

teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam

narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan

penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2006:65). Kode ini merupakan sebuah

(41)

permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan

pemecahan atau jawaban. (Budiman, 2003:55)

Kode semik (code of seems) atau kode konotatif adalah kode yang

memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh

penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003:56). Kode semik menawarkan banyak

sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat

bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan

konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi,

kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada

suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh, dengan atribut tertentu.

Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling

kuat dan paling “akhir’. (Sobur, 2006:65-66)

Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas

bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini

didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau

pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,

maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal,

perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui

istilah-istilah teoritis seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem

simbol Barthes (Sobur, 2006:66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang

dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui

(42)

Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku

manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan

masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi

sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003:56). Kode ini dianggap Barthes

sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua

teks yang bersifat naratif. (Sobur, 2006:66)

Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan

acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.

Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah

diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah

dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006:66). Selanjutnya

dalam Budiman, kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang

terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas

moral dan ilmiah bagi suatu wacana.

Dalam teori Barthes akrab dengan apa yang disebut dengan sistem

pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada

sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran

kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua

ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara

tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda

(43)

1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)

4. connotative signifier (penanda konotatif)

6. connotative sign (tanda konotatif)

5.  connotative signified (petanda konotatif)  3. denotative sign (tanda denotatif)

Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes

(Sumber : Drs. Alex Sobur Msi, 2004, Semiotika komunikasi, Remaja

Rosda Karya, hlm 69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur

material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga

diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. (Sobur, 2006:69)

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

(44)

2.2. Kerangka Berpikir

Dalam sebuah penelitian, diharapkan ada kecakapan dan ketelitian. Dua

hal tersebut yang nantinya secara keseluruhan akan dapat mempengaruhi peneliti

dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel. Sebab, pandangan setiap

individu dalam memaknai suatu peristiwa atau objek tertentu berbeda. Hal ini

dikarenakan pengaruh yang didapat dari latar belakang pengalaman (field of

experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap

individu. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, pesan disampaikan

melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang

dituliskan didalam novelnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.

Peneliti harus menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan

karya sastra mempunyai makna. (Sobur, 2006:144). Sastra juga dijabarkan dan

digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa

indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan

sebab-akibat.

Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo adalah sebuah

karya novel yang dapat dijadikan wahana bagi para perempuan Indonesia untuk

bangkit dan melanjutkan semangat kepahlawanannya. Dalam penelitian ini

peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan

pada novel “Perempuan Keumala”. Dalam hubungannya dengan representasi

Perempuan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan

(45)

Representasi Perempuan dalam novel kali ini akan diinterpretasikan

melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Perempuan Keumala”

akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan

beruntun yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan

menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode

tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan

kode cultural.

Pada tahap kedua novel “Perempuan Keumala” sebagai sebuah bahasa

dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau

system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai

berikut:

a. Dalam tataran linguistik, yaitu sistem semiologi tingkat pertama

penanda-penanda berhubungan dengan penanda-penanda sedemikian

sehingga menghasilkan tanda.

b. Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis kedua, tanda-tanda pada

tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi

penanda-penanda yang berhubungan pula pada petanda-petanda pada tataran

kedua. Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan

interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal.

(46)
(47)

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Alasan

digunakannya metode ini karena dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan

banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Barthes adalah salah satu

tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi

strukturalisme Ferdinand de Saussures. Semiotika strukturalis saussures lebih

menekankan pada linguistik. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui

penggambaran tokoh perempuan yang berjuang untuk mempertahankan

wilayahnya dalam novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo.

Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang

mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya

(Purwanto, 2005:117). Sastra adalah salah satu bentuk budaya yang ada dalam

masyarakat yang dapat diteliti.

Analisis teks berarti menganalisis tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan sistem simbolik dan semantik dari peradaban manusia

seluruhnya (Purwanto, 2003:239). Sedangkan Barthes berpendapat bahwa bahasa

adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Bahasa ini

merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda. Sistem tanda kedua

(48)

terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai

petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem

tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya

dengan istilah denotasi atau sistem retoris atau mitologi. (Kurniawan, 2001:115).

Untuk memberikan ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi

makna dan pluralitas teks, Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-

penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun

yang disebutnya sebagai leksi-leksia (lexias) yaitu unit pembacaan (units of

reading) dengan panjang pendek yang bervariasi.

3.2 Kerangka Konseptual

3.2.1 Corpus Penelitian

Penelitian ini adalah keseluruhan teks dari awal cerita hingga akhir

cerita dalam novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo.

Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas atau berbatas yang

ditentukan pada perkembangannya oleh analisa kesemenaan. Menurut Barthes

corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa

unsur-unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap

(Kurniawan, 2001:70).

Sebuah analisis corpus lebih bersifat terbuka terhadap konteks yang

beraneka ragam, sehingga mungkin untuk memahami banyak aspek dari sebuah

 

(49)

teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisa yang bertolak dari unsur

tertentu yang tidak terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan.

Corpus pada penelitian ini berupa leksia-leksia yang berhubungan

dengan feminisme. Di dalam novel “Perempuan Keumala” tersebut terdapat 14

leksia yaitu :

1. Keumalahayati, selain istri panglima Armada Selat Malaka, ia sendiri

menjabat sebagai Komandan Protokol Kerajaan Darud Donya Aceh

Darussalam. Tugasnya adalah mengatur seluruh kegiatan yang akan

dilakukan oleh Yang Mulia Baginda Sultan dan petinggi-petingginya. Tugas

lain yang tidak tentu mudah adalah menerima tamu-tamu dari lingkungan

keluarga, orang kaya, maupun tamu-tamu dari negeri seberang yang

kebanyakan ingin melakukan hubungan perdagangan dengan kerajaan.

(hal 64)

2. Sebelum itu, Keumala menjabat sebagai kepala pengamanan samudra.

Jabatan itu diraihnya setelah Keumala berhasil menumpas

perompak-perompak laut negeri sendiri yang mengganggu nelayan-nelayan yang sedang

mencari ikan. Perompak-perompak itu melakukan perampasan hasil

tangkapan ikan mulai dari perairan Selat Malaka hingga Samudra Hindia.

Sangat luas wilayah tugas pengamanannya. Sejak itulah seluruh rakyat mulai

membuktikan keberanian perwira perempuan yang menyelesaikan pendidikan

di Ma’had Baitul Maqdis dengan julukan terhormat karena nilai tertingginya.

(hal 65)

 

(50)

3. Begitu keris dihunuskan, dengan cekatan Keumala malah menangkis dan

beringsut ke sisi sebelah kanan. Laki-laki itu memutar badan dan kembali

menyerang. Lahan sempit didalam kapal sangat tidak nyaman untuk gerak

pertahanan. Namun Keumala tetaplah siaga, keris kembali menghunus namun

dengan sigap ia menangkisnya. (hal 129)

4. Keumala semakin kalut, segera ia mendorong Mughal kuat-kuat yang

membuatnya kembali terhuyung dan terjebur ke laut lepas. Diatas kapal yang

semakin lama semakin tergenang, Keumala melangkahkan kakinya

lebar-lebar dan dengan kekuatan yang tersisa, ia menarik tangan Cut Dek dalam

gerombolan berkedok itu. (hal 131 )

5. Sementara di belakangnya. Mughal terus berusaha menggapai kakinya.

Pertempuran keras terjadi di dalam air, ditengah samudra luas. Keumala

berusaha menjejak-jejakkan kakinya menghindari gapaian tangan laki-laki

yang berusaha menahannya. (hal 132)

6. “Bedebah kau, pengecut, bersembunyi dibalik kedok hitam tak berguna itu.

Tak lah berlaku untukku. Aku tetap tengarai siapa dirimu ! hardik Keumala. “

(hal 130 )

7. Tidak terlalu keras, namun diri Keumala menengarai adanya seseorang yang

sedang mendengarkan percakapannya dengan Baginda. Dahinya mengernyit,

telinganya dipasang tajam-tajam. Tanpa menoleh, Keumala mencabut keris

dan melemparkannya dengan tenaga penuh kearah datangnya suara. Keris

tertancap pada sasaran. ( hal 187 )

 

Gambar

Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis citra perempuan dengan tinjauan feminisme sastra, citra perempuan yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan yaitu citra

Hasil analisis dari penelitian adalah makna yang ingin disampaikan pada film Kisah 3 Titik dalam realitas kehidupan sosial yang dikategorikan menjadi lima

Pesan yang ingin disampaiakn penulis kepada pembaca berupa nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan contoh atau teladan. Penyampaian pesan didasarkan berdasarkan tujuan yang

“Dinamika Feminisme dalam Novel Karya Pengarang Wanita Indonesia (1933- 2005).” Disert asi Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, UniversitasGadjah Mada,

Manfaat penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresian karya sastra Indonesia, serta membantu pembaca memahami bentuk-bentuk konflik batin tokoh Tari

Sedangkan manfaat secara praktis temuan dari penelitian ini, yaitu membantu pembaca untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik dalam novel dan perjuangan hidup tokoh

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat 22 leksia yang mempresentasikan diskriminasi perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk..

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, terdapat 5 jenis feminisme di dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tersebut yaitu, 10 teks feminisme liberal, 23