SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh:
FANINDA ZENITSA 0543010396
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
Keumala" karya Endang Moerdopo )
Nama Mahasiswa : FANINDA ZENITSA NPM : 0543010396 Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Menyetujui,
Pembimbing Tim Penguji :
1.
Dra. Sumardjijati, M.Si Dra. Dyva Claretta, M.Si
NIP. 030 223 610 NPT. 946 600 025
2.
Syafrida N.F.S,Sos
NPT. 2820706402170
Mengetahui
KETUA PROGRAM STUDI
Disusun Oleh :
FANINDA ZENITSA NPM. 0543010396
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui
DOSEN PEMBIMBING
Dra. Sumardjijati, M.Si NIP. 030 223 610
Mengetahui
DEKAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
FEMINISME DALAM NOVEL “PEREMPUAN KEUMALA” (Studi
Semiotika Tentang Representasi Feminisme Melalui Tokoh Pahlawan
Perempuan Aceh) dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi merupakan akademik yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa
sebagai pengantar membuat skripsi dan juga kelengkapan status kelulusan
program S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.
Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dra. Sumardjijati, Msi selaku Dosen Pembimbing utama yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis.
Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa
moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Dra. Hj. Suparwati., Msi Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Juwito ,S.Sos, Msi Ketua program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa
Timur.
ii
dan kesuksesan saya sekarang dan masa yang akan datang.
5. Suamiku (Eri Budi Cahyono,ST.) yang selalu mendukungku lahir dan bathin
dalam segala hal sampai detik ini. My lil’children yang selalu setia
menungguku mengerjakan skripsi ini...Tiara dan Iqbal
6. Mertua terima kasih atas segala bantuannya, dalam pandanaan dan nasehat-
nasehat yang bermanfaat, serta dukungannya selama ini
7. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak umumnya dan penulis pada khususnya.
Surabaya, April 2010
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
1.4.1 Manfaat Akademis ... 10
1.4.2 Manfaat Praktis ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
2.1 Landasan Teori ... 11
2.1.1 Novel sebagai Media Komunikasi Massa ... 11
2.1.2 Bahasa dalam Karya Sastra ... 12
2.1.3 Karya Sastra sebagai Media Komunikasi ... 14
2.1.4 Perempuan sebagai Feminis ... 17
2.1.5 Feminisme ... 21
2.1.6 Feminisme Liberal ... 25
2.1.7 Fenimisme Radikal-kultural ... 27
2.1.8 Pengertian Semiotika Komunikasi ... 30
iv
3.1 Metode Penelitian ... 39
3.2 Kerangka Konseptual ... 40
3.2.1 Corpus Penelitian ... 40
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.3 Teknik Analisis Data ... 45
BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ... 47
4.1 Gambaran Obyek Penelitian ... 47
4.2 Penyajian Data ... 49
4.3 Hasil Analisis Data ... 53
4.4 Sistem Ideologi ... 71
4.5 Penggambaran Perjuangan Perempuan dalam Novel ... 73
BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 76
5.1 Kesimpulan ... 76
5.2 Saran ... 78
Dalam Novel “Perempuan Keumala” Karya Endang Moerdopo)
Sebuah karya satra berbentuk buku yang dibuat oleh seorang novelis atau pengarang yaitu novel, dapat digolongkan sebagai sebuah media massa. Pesan yang terkandung dalam sebuah novel merupakan dari hasil pemikiran dan perasaan si pengarang novel yang berperan sebagai komunikator yang menarik perhatian karena menyajikan gambaran realitas tentang perjuangan perempuan Aceh.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah satu persatu isi pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui media massa yaitu novel. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana penggambaran perjuangan perempuan Aceh beserta armada “inong balee” pada novel Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo. Manfaat penelitian ini adalah agar dapat lebih membantu pembaca novel untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis novel sehingga gambaran objektif tentang feminisme pada perempuan dapat tercapai dan juga dapat menjadi kerangka acuan dalam pembuatan novel khususnya bagi penulis atau pengarang novel agar semakin selektif dan kreatif dalam menggambarkan dan menyajikan sebuah karya sastra sebagai bagian dari media massa.
Landasan teori yang digunakan adalah metode Semiotik milik Roland Barthes. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan semiologi yaitu bagaimana suatu karya satra ditafsirkan secara subyektif oleh para pembaca lewat tanda-tanda atau lambang-lambang yang ada dalam novel sesuai dengan frame of reference dan field of reference pada tiap-tiap individu.
Data yang terdapat dalam obyek penelitian dibagi dalam dua sistem pemaknaan. Dalam sistem linguistik data diuraikan menjadi 15 leksia (kode pembacaan) yang terdiri dari lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu teks naskah. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik (kode symbol), kode proaretik (logika tindakan) dan kode gnomic (kode kultural) yang membangkitkan suatu pengetahuan tertentu. Pada tahap kedua yaitu sistem mitos yang berupa pemaknaan konotatif tanda-tanda yang akan dimaknai secara subyektif dengan berdasarkan konsep perjuangan hidup anak-anak Down’s syndrome. setelah melalui kode pembacaan Barthes tersebut ditemukan makna mengenai penggambaran perjuangan hidup anak-anak Down’s syndrome
1.1. Latar Belakang
Perempuan dicitrakan sebagai makhluk lemah dan menempati peran yang
tidak membahagiakan (dari aspek fisik), serta lebih rendah daripada laki-laki jika
dilihat dari pandangan laki-laki dan lingkungan masyarakat. Citra perempuan itu
berada dalam masyarakat patriarkhi yang memiliki ideologi gender. Perempuan
merasakan superioritas laki-laki. Ironisnya, ia menerima hal itu sebagai sesuatu
yang semestinya terjadi (Suhendi, 2006 :29).
Persepsi masyarakat bahwa perempuan lebih rendah statusnya dari
laki-laki dapat memicu munculnya diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan
perempuan termajinalkan, meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan
disebabkan ketidakadilan gender (Mufidah,2004: x). Adanya ketidakadilan gender
ini yaitu dikotomi perempuan – laki-laki yang disejajarkan dengan dikotomi
domestik-publik, dan masih adanya subordinasi perempuan dari kaum laki-laki,
menyebabkan masih dirasakan adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Subordinasi terhadap perempuan tersebut dapat terlihat dalam
kehidupan rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Subordinasi karena gender
tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat
dan dari waktu ke waktu.
Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan
yang menempatkannya pada kedudukan yang jauh lebih rendah dibandingkan
laki-laki, memang perjuangan sepanjang hidupnya. Dapat ditinjau bahwa pada
dasarnya perempuan Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman getir yang
sama seperti saudara-saudara di negara-negara terbelakang yang masih
mempertahankan patriarkhi atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan
terpusat di tangan laki-laki juga bergandengan dengan sistem budaya, ekonomi,
sosial dan politik setempat.
Perempuan umumnya memiliki posisi subordinat dalam masyarakat,
mereka lebih cenderung rendah diri dan perempuan ditawari kesempatan
pendidikan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Kepercayaan agama juga
membentuk sikap terhadap perempuan. Interpretasi umum ajaran agama islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia adalah bahwa laki-laki merupakan
pemimpin.
Sistem nilai dan budaya berkontribusi terhadap langgengnya patriarkhi
yang telah melekat dari generasi ke generasi, yang mensubordinatkan perempuan
dibawah superioritas laki-laki (www.kompas.com). Istilah patriarkhi sendiri
digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan di dalam
keluarga dan pada akhirnya berlanjut pada dominasi laki-laki dalam semua
lingkup kemasyarakatan lainnya.
Masalah kedudukan dan hak perempuan yang didominasi sistem
patriarkhi sering tidak menguntungkan bagi perempuan karena dengan adanya
pandangan ini perempuan seringkali mendapat tindakan kekerasan. Kekerasan
laki-laki terhadap perempuan sering dilihat bukan sebagai kekerasan, yang terjadi
justru sebaliknya bahwa sang korban kekerasan memang pantas memperoleh
hukuman ‘kekerasan’ tersebut. Masalah perempuan mengalami kekerasan telah
menjadi pembicaraan yang berlangsung dimana saja, mulai dari lingkungan
keluarga, masyarakat sampai yang terluas yaitu media massa.
Salah satu fungsi media massa terutama media cetak adalah sebagai
institusi sosial. Buku sebagai salah satu bentuk media cetak, efektif dalam
menuliskan realitas sosial suatu negara. Buku, khususnya novel merupakan
sebuah karya fiksi sastra yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia marjinatif, yang dibangun melalui berbagai
unsur instriknya. Dalam pembuatan sebuah novel, hal-hal yang perlu diperhatikan
untuk menjadi kesatuan novel yaitu mulai dari judul, ilustrasi, tampilan novel,
disain sampul dan tak luput pula biografi pengarang novel.
Perjuangan perempuan untuk melakukan perubahan dalam persamaan
gender melalui media massa juga masih sulit. Media massa yang notabene milik
kaum pria, masih menyudutkan posisi perempuan. Budaya patriarkhi yang
menguatkan posisi laki-laki dalam institusi rumah tangga dan publik, bagi
perempuan merupakan ketidakadilan. Standar moralitas dan hukum membenarkan
hak lebih kepada laki-laki dibanding perempuan, didasarkan atas patriarkhi.
Dalam media massa posisi perempuan pada umumnya hanya dijadikan
obyek. Ia berada pada posisi rentan, pada posisi marjinal, tesub-ordinasi dan
selalu menjadi obyek yang potensi untuk dieksploitasi. Dalam industri media
massa cetak misalnya, persaingan bebas yang terjadi dalam media massa cetak
pasca era reformasi membuat para pengelola media berusaha sedemikian rupa
untuk dapat bertahan hidup. Salah satu pilihan adalah dengan mengubah
kebijakan keredaksiannya menjadi tabloid atau majalah yang menyajikan berita
atau foto-foto yang menyangkut pornografi, seputar seks, dan sensualitas yang
tentu saja kemudian menampilkan perempuan sebagai objek komoditi.
Media-media cetak seperti inilah yang pada akhirnya memunculkan perempuan dengan
angle aneh yang sebelumnya tak terpikirkan.
Cerita yang disajikan oleh kebanyakan penulis laki-laki, masih tidak
lepas dari unsur patriarkhi yang mengungkapkan bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan hidup dalam budaya ini. Dan ketika itu dilanggar maka akan
terjadi ketidakstabilan dalam masyarakat. Dalam karya satra Indonesia, khususnya
novel, sosok perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang
bergerak lamban, bahkan kadang-kadang berhenti. Sebagaimana digambarkan
Herliany dalam Sobur (2001:37) Perempuan begitu dekat dengan idiom-idiom
seperti keterpurukan, ketertindasan bahkan pada ‘konsep’ yang diterima dalam
kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ‘objek’ dan ‘subjek’ bagi kaum
laki-laki.
Salah satu contoh karya sastra yang menunjukkan dominasi laki-laki
terhadap perempuan adalah prosa lirik yang berjudul “Pengakuan Pariyem” karya
Linus Suryadi. Prosanya begitu transparan menjelaskan eksploitasi wacana
kepasrahan wanita Jawa (Jogja), dan lebih menyajikan tipikal manusia yang ‘tidak
bergerak’, manusia yang berhenti. Bahkan apabila sikap ‘pemberontakan’ muncul
pun, ia toh masih berada dalam konstelasi ketaberdayaan (Sobur,2001:37).
Singkat kata, “wajah” wanita di media massa masih memperlihatkann
steoripe yang merugikan ; perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi,
menerima keputusan yang dibuat oleh pria, dan terutama melihat dirinya sebagai
simbol seks (Sobur,2001:38). Namun dewasa ini di berbagai belahan dunia
perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan
ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang
telah mengalami subordinasi, represi dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut,
diberbagai bidang, termasuk di bidang sastra (www.suarakarya-online.com).
Memang sulit untuk menyangkal, bahwa ada banyak perubahan yang
terjadi dunia sastra di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Salah
satu gejala perubahan yang sering muncul menjadi diskursus publik adalah
lahirnya para penulis perempuan dengan karya-karya yang menawarkan kebaruan,
laris dipasaran dan beberapa emansipatoris.
Ada sederetan nama pengarang perempuan seperti Ayu Utami, Fira
Basuki, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari yang mengembangkan taktik
penulisan tersendiri untuk menciptakan sosok pribadi yang mereka inginkan. Para
pengarang ini mengangkat isu-isu gender, dominasi, dan kekuasaan. Mereka
berusaha mendobrak tatanan dalam struktur tulisan novel yang ada selama ini
seperti cara penuturannya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan bebas.
Isi pesan dalam sebuah novel bermacam-macam ada yang berupa
ungkapan sedih, rasa kagum terhadap seseorang, rasa kecewa, benci, dendam dan
kritik terhadapa sesuatu. Karena di setiap penciptaan novel, seorang pengarang
berusaha untuk menyampaikan suatu pesan kepada khalayak dan hal tersebut
adalah sebuah realitas atau fenomena yang dirasakan pengarang.
Dari semua penjelasan di atas, lewat salah satu novel “Perempuan
Keumala” karya Endang Moerdopo, pengarang berusaha menciptakan isi pesan
yang berisi perjuangan seorang perempuan pejuang Aceh yang bernama
Keumalahayati. Perempuan tersebut memiliki jiwa pejuang yang muncul karena
kondisi yang mengancamnya dan didalam dirinya mengalir rasa balas dendam
yang sangat dalam pada serdadu Portugis dan Belanda. Cerita tragis berawal dari
suami Keumalahayati yang bernama Tuanku Mahmudin bin Said Al Latief yang
tewas karena peperangan dahsyat dengan serdadu Portugis di Teluk Haru. Kedua
Cut Dek, putri semata wayangnya direnggut nyawanya oleh teman ayahnya
sendiri, Teuku Bantana Lela dibuang ke dalam lautan lepas beserta dua
pelayannya. Kini sosok perempuan itu hidup sendiri, namun hal itu tidak begitu
dirasakan terlalu dalam karena dia harus bangkit untuk membalas dendam pada
orang-orang yang telah mengusik keluarganya dan menjaga keamanan kerajaan
Darud Aceh Darussalam.
Dia berjuang dengan gigih berani bersama armada “inong balee” untuk
melawan serdadu Portugis dan Belanda. Armada “inong balee” terdiri dari
pasukan para janda yang ditinggal mati oleh suaminya akibat ikut dalam medan
perang. Armada “inong balee” juga berlatih dan belajar layaknya armada
laki-laki pada umumnya seperti olah tubuh, mengatur ketrampilan siasat perang dan
menggunakan senjata. Mereka hampir setiap hari berlatih membentuk barisan,
menggunakan pakaian latihan dan membawa senjata lengkap. Setelah mereka
berlatih keras ketika ditanah lapang, mereka tidak lupa untuk mencurahkan kasih
sayang kepada anak-anaknya seperti menyuapi, mengendong, memberikan asi,
memasak dan sebagainya layaknya perempuan sejati.
Perempuan-perempuan perkasa dan sejati telah membuktikan dirinya,
mereka tidak pernah melakukan “perlawanan” terhadap laki-laki, tetapi justru
mampu membuat laki-laki langsung tersungkur dihadapannya. Laksamana
Keumalahayati bersama armada “inong balee” telah berani berperang melawan
Belanda yang secara sembunyi-sembunyi telah bergabung dengan pengkhianat
Kerajaan Darud Donya Darussalam, bahkan Laksamana Malahayati berani
bertarung satu lawan satu dengan pemimpin pencari rempah dari Belanda yaitu
Cornelis de Houtman, dan memenangkan pertarungan tersebut.
Dari rangkuman cerita diatas, isi novel ini terlihat adanya keterkaitan
perempuan dan keinginan-keinginannya untuk memperoleh hak yang sama
dengan laki-laki. Penulis berusaha untuk mendobrak stereotipe perempuan dengan
menempatkan perempuan sebagai wanita yang mempunyai jiwa feminin,
emansipasi dan berhak mengambil keputusan. Menurut Mary Wollstonecraft
dalam buku A Vidication of the Rights of Woman seharusnya perempuan
mempunyai kebebasan dan hak yang sama setara dengan laki-laki Dengan
demikian secara nonverbal, perempuan dalam novel tersebut direpresentasikan
atau digambarkan seperti perempuan yang memiliki pandangan feminis. Pada
prinsipnya feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
Secara umum, istilah feminisme merujuk pada pengertian sebagai ideologi
pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah
keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya.
(Kasiyyan, 2008:73)
Apa yang disebut sebagai Feminisme ialah suatu pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut
mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula
pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Problematika konsep ideologi gender yang telah terinternalisasi dalam
akumulasi ruang dan waktu yang amat panjang di masyarakat, kemudian telah
menghasilkan semacam wacana standarisasi pelabelan antara laki-laki dan
perempuan dalam konteks sosial. Atau dalam istilah lain, adanya sebuah stereotip
gender laki-laki dan perempuan, secara sosial. Dalam hal ini, segala yang
dianggap ‘pantas’ dan ‘biasanya’ diekspresikan oleh perempuan atau laki-laki.
Oleh karena itu stereotip gender maskulinitas dan feminitas ini dikonstruksikan
secara kultural dalam periode waktu yang panjang, bahkan diwariskan dari
generasi ke generasi, kemudian menjelma menjadi seolah-olah merupakan kodrat
Tuhan. (Kassiyan,2008:51)
Akar teori feminisme bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender.
(http://id.shvoong.com/humanities/1796119-sejarah feminisme/)
Pada penelitian ini yang mendasari peneliti untuk menganalisa konsep
feminisme dari tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ”Perempuan
Keumala” karena tokoh perempuan ini memiliki peran yang sangat sentral dan
dapat menimbulkan tanda tanya besar dimana dalam konsep feminisme seorang
perempuan yang seharusnya lemah lembut tapi justru tampak garang dan agresif
dan posisi perempuan dalam novel ini disejajarkan dengan pria.
1.2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan
penelitian ini, yaitu “Bagaimana Representasi Perempuan dalam Novel
Perempuan Keumala?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui “Bagaimana Representasi
Perempuan dalam Novel Perempuan Keumala?”
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan kontribusi untuk
penelitian berikutnya mengenai kajian komunikasi, yaitu tentang analisa novel
dengan pendekatan semiotika.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi pembaca
terhadap pesan yang disampaikan dalam novel Perempuan Keumala. Dan dapat
menjadi masukan bagi pihak-pihak yang menggeluti dunia sastra yang juga
2.1.1. Novel sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut Cecep Syamsul Hari (www.kompas.com/kompas-cetak), istilah
novel berasal dari Italia, novella, yaitu prosa naratif fiksional yang panjang dan
kompleks, yang secara imajinatif berjalin dengan pengalaman manusia melalui
suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan
melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar
(setting) yang spesifik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, novel
diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.
Menurut De Fleur dan Dennis Mc Quail dalam Gunarsih (2006:33), secara
garis besar media komunikasi massa dapat digolongkan kedalam tiga hal yaitu
media cetak atau print (buku, majalah, surat kabar, dan film khususnya film
komersil) serta media broadcasting yaitu radio dan televisi. media cetak sebagai
salah satu bentuk media komunikasi umumnya memiliki fungsi sebagai pemberi
informasi, artikel, majalah yang lebih bersifat mempengaruhi dan novel
mempunyai fungsi utama untuk menghibur. Selain itu, novel juga memberi
informasi dan mempersuasi pembacanya.
Dalam arti umum, novel diartikan sebagai suatu cerita rekaaan yang
panjang dalam bentuk prosa. Sebagai bentuk karya sastra, novel merupakan
struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar serangkaian tulisan yang
menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun
dari unsur-unsur yang terpadu ( Sugihastuti dan Suharto, 2002:43).
Isi pesan novel menjadi penting, berkaitan dengan fungsi novel yang
dikemukakan oleh Culler, yaitu novel merupakan wacana yang di dalamnya dan
lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia. Di dalam novel kata-kata disusun
sedemikian rupa agar melalui aktivitas pembacaan akan muncul suatu model
mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individual, model
hubungan dengan masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, model signifikasi dari
aspek dunia tersebut ( Faruk, 2001:47).
Novel sebagai suatu karya satra merupakan salah satu bahasa untuk
berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan
perubahan masyarakat dimana ia hidup ( Sunardi,2004:14).
2.1.2. Bahasa dalam Karya Sastra
Bahasa dalam perspektif semiotika hanyalah salah satu sistem tanda-tanda
(system of sign). Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, yang
keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya (Sobur, 2005:14).
Menurut Rolland Wardhaugh, seorang linguis barat, dalam Introductions to
linguistic memberikan definisi sebagaii berikut : “Bahasa ialah suatu sistem
simbol-simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system
Berdasarkan uraian di atas kita dapat member arti penting tentang
stand for other things). Pengertian ini berarti bahwa di sekeliling kita terdapat
banyak symbol dan kita akan senatiasa dihadapkan pada berbagai symbol
(Hidayat,2006:23).
Menurut Amiruddin ada delapan belas ciri bahasa manusia, yaitu:
1. Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertentu.
2. Organisme yang digunakan memiliki hubungan timbal balik .
3. Menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental.
4. Mengandung kriteria semantik atau fungsi semantik tertentu.
5. Memiliki kriteria sintaksis, kata-kata yang digunakan untuk menjadi suatu
kalimat harus disususn sesuai dengan pola kalimat yang telah disepakati.
6. Melibatkan unsur bunyi ataupun unsur audiovisual.
7. Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produktif .
8. Bersifat arbiter, mana suka.
9. Memiliki ciri previkasi.
10. Terbatas dan relatif tetap.
11. Mengandung kontinuitas dan mengandung diskontinuitas.
12. Bersifat hierarkis, yaitu pemakaian yang keberadaannya memiliki tatanan
yang berada dalam tata tingkat tertentu.
13. Bersifat sistematis dan simultan.
14. Saling melengkapi dan mengisi, baik secara paradigmatic maupun sintagmatis.
15. Informasi kebahasan dapat disegmentasi , dihubungkan, disatukan dan
diabadikan.
17. Bahasa itu dapat dipelajari.
18. Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensial (Hidayat,2006:25-26).
Salah satu fungsi bahasa menurut P.W.J. Nababan, seorang linguistik
Indonesia adalah bahasa sebagai fungsi kebudayaan, jalur penerus kebudayaan
dan invetaris ciri-ciri kebudayaan.
Tanda-tanda kebahasaan, setidaknya memiliki dua buah karakteristik,
yaitu bersifat linier dan arbiter. Karakteristik pertama, linearitas penanda (the
linier nature of the signifier), berkaitan dengan dimensi kewaktuaanya.
Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak
mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteristik kedua, karbiterian tanda
(the arbitrary nature of the sign) bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan
petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”, tak termotivasi (unmotivated).
Relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan kovensi
(Budiman, 2005:38).
2.1.3. Karya Sastra sebagai Media Komunikasi
Sastra menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya
yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat dimana ia hidup
(Sunardi,2004:14).
Karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang
sangat luas. Menurut Duncan, dalam karya seni terkandung bentuk-bentuk ideal
komunikasi, sebab karya seni menyajikan pengalaman dalam kualitas antar
Entitas karya sastra sebagai representasi semetaan sosial berlangsung
sepanjang sejarah. Identifikasi dan internatualiasi terhadap universum
sosiokultural mengandaikan keakraban antara subjek kreator dengan objek-objek
kulturalnya. Tanpa eksistensi dan kreativitas subjek kreator, maka fakta-fakta
kultural tetap merupakan fakta-fakta alamiah, nontesis dan dengan sendirinya
denotatif (Ratna, 2003:42-43) .
Untuk menyajikan material kultural, dibandingkan dengan puisi, bahkan
juga drama, novel memiliki medium narativitas yang sangat kaya. Secara
kronologis, transmisi material kultural kedalam karya, meliputi : pengamatan dan
penelitian, penulisan dan penyebaran, pembacaan dan penilaian (Ratna,2003:44).
Menurut Dr.Nyoman Kutali Ratna dalam bukunya yang berjudul
Paradigma Sosial Sastra, sebagai simbol ekspresif, medium komunikasi, dan
manifestasi transdental, fungsi-fungsi sosial karya sastra tidak terbatas hanya
sebagai penjelasan materialism kultural dari individu ke individu yang lain, tetapi
yang lebih penting adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas yang lain,
dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya sastra dengan ciri kreativitas,
kapasitas evokasi dan penggunaan sarana bahasanya yang metaforsa, merupakan
mediasi-mediasi yang paling tepat untuk menanamkan unsur-unsur objektivitas
hubungan-hubungan sosial.
Selanjutnya masih menurut Ratna, content (isi) dari suatu karya satra dapat
mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Karya sastra,
seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan
dan cara pemahaman yang berbeda. Karya sastra bukan semata-mata respons
interaksi sosial, aktivitas-aktivitas karya seni yang mengimplementasikan
motivasi yang jauh lebih luas dan dalam, yaitu rekontruksi asumsi-asumsi
kesadaran sosial, berbagai asumsi yang dikonfigurasikan secara verbal.
Sesuai dengan pendapat Dewey, Duncan memandang bahwa masyarakat
lahir dalam dan melalui komunikasi, yaitu komunikasi simbol-simbol bermakna.
Mekanisme melalui hubungan-hubungan lisan dan tulisan dianggap sebagai
cara-cara berkomunikasi yang paling konstan dan lazim dalam kehidupan sosial, yaitu
dengan sendirinya merupakan fondasi, sumber, dan energi semua aktivitas
(Ratna,2003 :12).
Karya sastra, khususnya novel, dengan peralatan formalnya, makin lama
makin dirasakan sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral
dalam struktur sosial. Dalam proses komunikasi, karya sastra dianggap sebagai
gejala yang sarat dengan referensi-referensi sosial. Karena itulah Duncan
menyatakan bahwa kekuatan seni yang sesungguhnya terletak dalam kapasitasnya
untuk menerobos tembok pemisah antar manusia (Ratna,2003:134).
Selanjutnya Dr.Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa komunikasi
sastra merupakan komunikasi tertinggi. Sebab, melibatkan mekanisme
unsur-unsur yang paling luas. Schmidt misalnya,menjelaskan bahwa komunikasi sastra
melibatkan proses total yang meliputi : a) produksi teks, yaitu aktivitas pengarang
dalam menghasilkan teks tertentu, b) teks itu sendiri dengan berbagai
pembaca nyata dan d) penerima teks, melalui aktivitas pembaca khususnya
pembaca implisit.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas
hubungan yang bertujuan untuk saling menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial
yang terjadi pada saat-saat tertentu (Ratna,2003 :137).
2.1.4. Perempuan sebagai feminis
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini
melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan
dengan Barat di masa pencerahan (the enlightenment), di Barat oleh Lady Mary
Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan.
Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan
menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama
(first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang
kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau postfeminism. Istilah
perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar.
Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan atau
diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau
melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan atau diskriminasi tersebut,
pada dasarnya dapat disebut feminis.
Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya yang
lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang
mengurusi dapur. Seperti ditulis oleh Sara Ahmed, pengetahuan feminis adalah
persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang located
dan situated sedemikiam sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara
pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar saya juga mengalami
perubahan”. (Aquarini, 2006:14)
Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini
akibat hegemoni budaya patriarkhi dan struktur masyarakat yang berkiblat pada
sistem patriarkhi yang mendominasi semua lini kehidupan. Secara kebahasan,
patriarkhi berarti rule of the father, atau aturan dari sang Bapak. Dalam sistem
patriarkhi, laki-laki yang berusia lebh tua mengendalikan kekuasaan secara
absolute terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada persoalan
hukum, dari persoalan kulit sampai persoalan politik. Maka berbagai upaya
mencari sparing patner hegemoni budaya patriarkhi inilah kira-kira yang
diagungkan oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum
perempuan selama ini adalah sebagai warga masyarakat kelas dua atau menduduki
posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana
‘kesejahteraan jender’ dalam mensejahterahkan kaum perempuan. Menurut
feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih
terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan
pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Munculnya budaya
patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan
dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses
berkepanjangan. (www.qiyanfikir.worspress.com )
Menurut Aquarini, dia mengasumsikan bahwa perempuan memang
dikonstruksikan untuk melayani laki-laki, baik secara sosial dan seksual, tanpa
mempertimbangkan kekuatan ekonomi, perbedaan kelas, atau bahkan “senioritas”
(Aquarini,2006 :35). Menurut Rieke Dyah Pitaloka seorang aktivis perempuan,
dalam budaya patriarkhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi ada pada suami,
kepala rumah tangga, yang berhak memberikan aturan apapun yang menyangkut
orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri.
Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem tersebut
dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyarakatkan enyahnya cara
pandang patriarkhi dari ruang privat sekaligus publik (www.kompas.com)
Sementara Kate Millet menyatakan bahwa, ideologi patriarkhi merupakan
kekuasaan laki-laki, yang mengkondisikan perempuan untuk memperlihatkan
perilaku yang melayani laki-laki dan menerima peran sebagi pelayan laki-laki.
Beliau beranggapan bahwa idiologi seperti ini merembes ke segala aspek budaya
dan menyentuh setiap aspek kehidupan kita bahkan kepada aspek yang sifatnya
pribadi (Holidin dan Soenyono, 2004:81).
Konsep penguasaan laki-laki yang bersifat absolut ini merupakan prinsip
pengorganisasian universal. Relasi yang terjadi melibatkan kekuasaan serta
ideologi yang berjalan secara pasif, misalnya laki-laki merupakan sosok yang
powerful sedangkan perempuan sengaja dibuat tidak berdaya (powerless). Hal ini
laki-laki merupakan subjek yang menentukan.
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/25/khal.htm)
Dominasi laki-laki itu sendiri tampaknya selalu dapat menemukan
jalannya. Kekuatan ekonomi hanyalah satu dari cara-cara pendominasian
perempuan oleh laki-laki. Selain itu, perkawinan, adalah merupakan suatu instansi
yang merupakan kaki tangan patriarkhi, tetapi disisi lain, jika proses sosialisasi
ideologi patriarkhi memang terutama berlangsung didalam keluarga, maka
sesungguhnya keluarga menjadi sangat potensial untuk menjadi alat
pembongkaran ideologi itu sendiri (Aquarini, 2006:34-35)
Gayle Rubin seorang feminis radikal-libertarian, dalam pandangannya
tentang patriarkhi, mereka menolak asumsi bahwa ada atau seharusnya ada,
hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan)
dengan gender seseorang (maskulin atau feminin). Sebaliknya, mereka mengklaim
bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarkat patriarkhial
menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap
pasif (penuh kasih sayng, penurut, tanggap terhadap simpati) dan laki-laki tetap
aktif (kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab). Karena itu, cara bagi
perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang dianggap tidak layak
atas perempuan, adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak
ditakdirkan untuk menjadi pasif, seprti juga laki-lakitidak ditakdirkan menjadi
aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin
dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka
Karena struktur masyarakat yang menganut sistem patriarkhi
menyebabkan budaya digunakan untuk memurukkan perempuan dalam suatu
tatanan ideologis dan sosial yang sangat eksploitatif dan diskriminatif. Patriarkhi
juga menimbulkan adanya diskriminasi-diskriminasi sosial, sehingga perempuan
semata-mata dijadikan obyek eksploitasi dalam segala aspek yaitu : sosial, politik,
ekonomi, dan budaya (http//:www.jurnalperempuan.com).
2.1.5 Feminisme
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah
kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara konsep seks
(jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kalamenjing) dan
memiliki sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim
dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalkan bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa
dipertukarkan.Artinya ada laki-laki yang emisonal, lemah lembut, keibuan,
sifat-sifat itu dapa terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Fakih, 2001:7).
Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Jender diartikan sebagai,
“interpretasi mental dan kultural terhadapa perbedaan kelamin yakni laki-laki dan
perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan
Francine D’ Amico, Eds, jender didefinisikan sebagi karakteristik sosial yang
diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan
hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun
universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan
perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia publik bersifat maskulin
pantas untuk kaum laki-laki dan dunia privat, domestik, dan rumah tangga bersifat
feminin adalah milik perempuan (Sumiarni, 2004:1-3).
Humm (2002: 158), dalam Kasiyan adalah menunjuk pada pengertian
sebagai pemaknaan istilah feminisme yang ada di masyarakat tidaklah tunggal,
melainkan kompleks. Definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan
realitas sosiokultural yang melatarbelakangi lahirnya faham tersebut dan
perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para
feminis itu sendiri (Kasiyan, 2008: 72). Istilah feminisme berasal dari kata Latin
femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan (Sumiarni, 2004). Namun,
secara umum, menurut ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat
ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Di bawah payung lebar berbagai
feminisme ini, ditawarkan berbagai analisis mengenai penyebab serta pelaku dari
penindasan perempuan.
Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang
dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu
memunculkan apa yang disebut dengan emansipasi atau feminisme. Dimana
emansipasi sendiri memiliki pengertian sebgai gerakan yang mencita-citakan
kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang
memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Karena konstruksi sosial diciptakan
manusia maka feminitas dan gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat
berubah. Apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang
mendefinisinya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi
hidup mereka (Aquarini, 2006:22). Feminisme telah dibedakan dengan feminin
dalam pengertiannya, feminin berasal dari bahasa Perancis “feminine” yang
merupakan sebuah kata sifat (adjektif) yang berarti “kewanitaan” atau
menunjukkan sifat perempuan.
Makna feminis disini adalah mencari peluang kebebasan atau kemrdekaan
perempuan untuk perempuan itu sendiri. Dengan demikian, gerakan feminis pada
saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan laki-laki
Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti
kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal
dengan sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis
kelamin.
3. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan
tertentu atas dasar jenis kelamin.
4. Berjuang untuk membentuk pengakuan manusia yang menyeluruh tentang
laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan
kemanusiaan. (Hubbies dalam Sumiarni,2004 :20)
Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun
60-an di60-anggap sebagai lahirnya gerak60-an itu. Muncul di Amerika sendiri sebagai
bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada dan
Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang
Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang nyata di mana
dalam 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut
nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan International
Decade Of Woman, terjadi beberapa peristiwa bagi kaum perempuan. Kini hampir
setiap negara memiliki perundang-undangan anti diskriminasi yang
menguntungkan kaum perempuan. (Fakih,1997:106)
Menurut Fakih (2001: 80-98), di antara sekian banyak jenis gerakan
berbagai belahan dunia, ada beberapa jenis gerakan yang menjadi arus utama
(mainstream) dan mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga banyak
dijadikan sebagai tokoh perempuan gerakan di berbagai tempat. Secara garis besar
arus utama jenis gerakan feminisme tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori
besar, yakni paradigma fungsionalisme struktural, yakni Feminisme Liberal. Dan
kedua adalah yang dipengaruhi oleh paradigma konflik, yakni Feminisme Radikal,
Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis.
2.1.6. Feminisme Liberal
Gerakan Feminisme Liberal merupakan gerakan perjuangan proyek
kesetaraan gender yang usianya paling tua sejak abad ke-17. Gerakan ini diilhami
oleh aliran fungsionalisme struktural (sebuah mazhab besar dalam ilmu sosial),
yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Aliran ini muncul
sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai
otonomi, persamaan, nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang
sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Beberapa feminis awal
berusaha memasukkan ide bhwa perempuan merupakan makhluk yang sama
dengan pria, dan mempunyai hak yang sama dengan pria. Asumsi dasarnya adalah
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Feminisme liberal memberikan
landasan teoritis akan kesamaan wanita dalam potensi rasionalitasnya dengan pria.
Perspektif gerakan ini, memandang bahwa keterbelakangan kaum
perempuan selain bersumber dari sikap irasional yang sumbernya karena
berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
dalam industrialisasi dan program pembangunan, dianggap sebagai jalan untuk
meningkatkan status kaum perempuan (Kasiyan, 2008:86-87).
Gerakan feminisme liberal meningkatkan status perempuan dengan
menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain. Feminis liberal bekerja keras
terhadap reformasinya di bidang pendidikan dan hukum yang telah memperbaiki
kualitas hidup perempuan. Sangatlah diragukan bahwa tanpa usaha feminis liberal
begitu banyak perempuan dapat mencapai posisi profesi untuk meningkatkan
status pekerjaan dan posisi kerja yang tinggi (Tong, 1998: 66).
Dasar pemikiran kelompok ini adalah bahwa semua manusia laki-laki dan
perempuan diciptakan seimbang dan serasi mestinya tidak terjadi penindasan
antara satu dengan lainnya. Meskipun tetap menolak persamaan menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan (dalam beberapa hal) terutama yang berhubungan
dengan fungsi reproduksi (Sumiarni, 2004:62)
Untuk mencapai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat
terjamin pelaksanaannya, perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat. Ada tiga
aspek yang ingin dihindari dari hukum perkawinan Amerika Serikat oleh para
feminis liberal, yaitu anggapan suami sebgai kepala keluarga, anggapan bahwa
suami bertanggung jawab atas nafkah isteri dan anak-anaknya, dan anggapan
bahwa isteri bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah
tangga.
Pada feminisme liberal, konsep yang digunakan dan diambil untuk
1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan,
dalam pendidikan, hak politik dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom.
3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara sosial.
4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang
melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan
laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata dan
juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan
perempuan.
6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran
yang digunakan sebagai alas an atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi
perempuan. (Tong, 1998)
2.1.7. Feminisme Radikal-Kultural
Alice Echols menyatakan dalam feminis radikal-kultural mengungkapakan
salah satu pandangan bahwa lebih baik menjadi perempuan atau feminin daripada
menjadi laki-laki atau maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba
untuk menjadi seperti laki-laki. Sebaliknya, perempuan harusnya mencoba untuk
menjadi lebih seperti perempuan dan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang
secara kultural, dihubungkan terhadap perempuan (“ saling ketergantungan,
alam, imanensi, proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan”), dan
meninggalkan penekananatas nilai - nilai dan sifat – sifat yang secara kultural
dihubungkan terhadap laki laki (“ independensi, otonomi, intelek, kemauan, kehati
hatian, hirarki, dominasi, kebudayaan, transendensi, produk, askestisme, perang,
dan kematian”). Meskipun begitu, Echols dan Acoff mengakui, bahwa tidak
semua feminis radikal-kultural percaya bahwa perbedaan perempuan – laki-laki
berakar pada alam. Beberapa diantara mereka, menurut Echlos, berpendapat
bahwa perdedaan seks/gender mengalir bukan semata mata (jika memang
demikian) dari biologi, melainkan juga dari “sosialisasi” atau dari sejarah
keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang petriarkal (Tong,
1998: 71).
Salah satu pandangan feminis radikal-kultural yang lainnya adalah seperti
yang diungkapkan oleh Marilyn French, beliau mengantribusikan perbedaan laki
laki terhadap perempuan lebih kepada biologi (nature/ alam) daripada kepada
sosialisasi (nature/ pengasuhan). Jika mungkinmemberikan pembenaran atas
dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan
pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi.
“Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan, pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas: yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai “lebih dekat ke alam”
French menyimpulkan bahwa manusia awal hidup dalam harmoni dengan
alam. Dalam hasrat laki-laki untuk menguasai kombinasi “perempuan/
alam”lahirlah patriarkhi, sebagai suatu sistem hirarki yang menghargai apa yang
sangat jelas atas nilai-nilai maskulin power-over, French mengklaim bahwa
soerang manusia yang androgini, harus menyeimbangkan diri bukan antara
pleasure with dengan power-over, melainkan antara pleasure with dengan versi
yang sudah difeminisikan dari power-over , yang dibelinya sebagai power-to.
French menekankan bahwaadalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa, dan
juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan
sebagai hasrat untuk menghancurkan (power-over), tetapi lebih sebagai hasrat
untuk mencipta (power-to) (Tong, 1998: 83).
Pada feminisme radikal-kultural, konsep yang diambil dan digunakanuntuk
meneliti antara lain:
1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi
dimana, laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.
2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan
untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi
aktif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat
feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik
mereka masing-masing.
3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan dan
dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu.
4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya
merupakan aspek “baik” dari femininitas, dan juga menolak aspek yang sudah
jelas-jelas ”buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat
5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari
tambahan-tambahan sifat maskulin. (Tong, 1998).
2.1.8. Pengertian Semiotika Komunikasi
Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion
yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain (Sobur, 2006:16). Dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti
(significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika
adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna. (Sobur,
2006:17)
Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah semiotika
yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam suatu sistem, berdasarkan
aturan main dan konvensi tertentu. (Sobur, 2006:16)
Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang
dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima
istilah, yaitu:
S(s,i,e,r,c)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i
untuk interpreter (penafsir); e untuk effect (pengaruh). Misalnya suatu disposisi
tertentu c karena s.r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (kontek) atau
condition (kondisi). (Sobur, 2004:17).
2.1.9. Teori Semiotika Roland Barthes
Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang
mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya
(Sutrisno & Putranto, 2005:117). Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam kurun waktu tertentu.(Sobur, 2006:63)
Signifiant (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
(aspek mental) dari bahasa. (Kurniawan, 2001:30)
Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan
petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda
tingkat pertama sebagai penanda baru yang kemudian memiliki penanda baru
sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda
pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis.
Sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris
atau mitologi. (Kurniawan, 2001:115)
Barthes mengatakan sutu karya atau teks merupakan sebuah bentuk
konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan
menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek
rekonstruksi, paling awal adalah teks, atau wacana naratif yang terdiri atas
penenda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi sebagian fragmen
ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan
panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok
kata, beberapa kalimat atau beberapa kalimat atau beberapa paragraph.
(Kurniawan, 2001:93)
Dimensi leksia beragantung kepada kepekatan (density) dari
konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses
pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak
pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah
sedemikian rupa sehingga diperoleh sebagian fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi. (Budiman, 2003:54)
Dalam sutu naskah atau teks, terdapat lima kode pokok (five major codes)
yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah kode hermeneutik (kode
teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika
tindakan), dan kode gnomik (kode kultural). (Sobur, 2006:65)
Kode hermeneutik atau kode teka teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam
narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2006:65). Kode ini merupakan sebuah
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan
pemecahan atau jawaban. (Budiman, 2003:55)
Kode semik (code of seems) atau kode konotatif adalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh
penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003:56). Kode semik menawarkan banyak
sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi,
kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh, dengan atribut tertentu.
Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling
kuat dan paling “akhir’. (Sobur, 2006:65-66)
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau
pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal,
perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah-istilah teoritis seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem
simbol Barthes (Sobur, 2006:66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang
dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui
Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku
manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan
masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003:56). Kode ini dianggap Barthes
sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua
teks yang bersifat naratif. (Sobur, 2006:66)
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006:66). Selanjutnya
dalam Budiman, kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang
terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas
moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Dalam teori Barthes akrab dengan apa yang disebut dengan sistem
pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran
kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda
1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)
4. connotative signifier (penanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif)
5. connotative signified (petanda konotatif) 3. denotative sign (tanda denotatif)
Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes
(Sumber : Drs. Alex Sobur Msi, 2004, Semiotika komunikasi, Remaja
Rosda Karya, hlm 69)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. (Sobur, 2006:69)
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
2.2. Kerangka Berpikir
Dalam sebuah penelitian, diharapkan ada kecakapan dan ketelitian. Dua
hal tersebut yang nantinya secara keseluruhan akan dapat mempengaruhi peneliti
dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel. Sebab, pandangan setiap
individu dalam memaknai suatu peristiwa atau objek tertentu berbeda. Hal ini
dikarenakan pengaruh yang didapat dari latar belakang pengalaman (field of
experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap
individu. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, pesan disampaikan
melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang
dituliskan didalam novelnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Peneliti harus menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan
karya sastra mempunyai makna. (Sobur, 2006:144). Sastra juga dijabarkan dan
digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa
indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan
sebab-akibat.
Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo adalah sebuah
karya novel yang dapat dijadikan wahana bagi para perempuan Indonesia untuk
bangkit dan melanjutkan semangat kepahlawanannya. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan
pada novel “Perempuan Keumala”. Dalam hubungannya dengan representasi
Perempuan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan
Representasi Perempuan dalam novel kali ini akan diinterpretasikan
melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Perempuan Keumala”
akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan
beruntun yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan
menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode
tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan
kode cultural.
Pada tahap kedua novel “Perempuan Keumala” sebagai sebuah bahasa
dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau
system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai
berikut:
a. Dalam tataran linguistik, yaitu sistem semiologi tingkat pertama
penanda-penanda berhubungan dengan penanda-penanda sedemikian
sehingga menghasilkan tanda.
b. Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis kedua, tanda-tanda pada
tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi
penanda-penanda yang berhubungan pula pada petanda-petanda pada tataran
kedua. Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan
interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal.
3.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Alasan
digunakannya metode ini karena dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan
banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Barthes adalah salah satu
tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi
strukturalisme Ferdinand de Saussures. Semiotika strukturalis saussures lebih
menekankan pada linguistik. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui
penggambaran tokoh perempuan yang berjuang untuk mempertahankan
wilayahnya dalam novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo.
Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang
mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya
(Purwanto, 2005:117). Sastra adalah salah satu bentuk budaya yang ada dalam
masyarakat yang dapat diteliti.
Analisis teks berarti menganalisis tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan sistem simbolik dan semantik dari peradaban manusia
seluruhnya (Purwanto, 2003:239). Sedangkan Barthes berpendapat bahwa bahasa
adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Bahasa ini
merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda. Sistem tanda kedua
terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai
petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem
tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya
dengan istilah denotasi atau sistem retoris atau mitologi. (Kurniawan, 2001:115).
Untuk memberikan ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi
makna dan pluralitas teks, Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-
penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun
yang disebutnya sebagai leksi-leksia (lexias) yaitu unit pembacaan (units of
reading) dengan panjang pendek yang bervariasi.
3.2 Kerangka Konseptual
3.2.1 Corpus Penelitian
Penelitian ini adalah keseluruhan teks dari awal cerita hingga akhir
cerita dalam novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo.
Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas atau berbatas yang
ditentukan pada perkembangannya oleh analisa kesemenaan. Menurut Barthes
corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa
unsur-unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap
(Kurniawan, 2001:70).
Sebuah analisis corpus lebih bersifat terbuka terhadap konteks yang
beraneka ragam, sehingga mungkin untuk memahami banyak aspek dari sebuah
teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisa yang bertolak dari unsur
tertentu yang tidak terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan.
Corpus pada penelitian ini berupa leksia-leksia yang berhubungan
dengan feminisme. Di dalam novel “Perempuan Keumala” tersebut terdapat 14
leksia yaitu :
1. Keumalahayati, selain istri panglima Armada Selat Malaka, ia sendiri
menjabat sebagai Komandan Protokol Kerajaan Darud Donya Aceh
Darussalam. Tugasnya adalah mengatur seluruh kegiatan yang akan
dilakukan oleh Yang Mulia Baginda Sultan dan petinggi-petingginya. Tugas
lain yang tidak tentu mudah adalah menerima tamu-tamu dari lingkungan
keluarga, orang kaya, maupun tamu-tamu dari negeri seberang yang
kebanyakan ingin melakukan hubungan perdagangan dengan kerajaan.
(hal 64)
2. Sebelum itu, Keumala menjabat sebagai kepala pengamanan samudra.
Jabatan itu diraihnya setelah Keumala berhasil menumpas
perompak-perompak laut negeri sendiri yang mengganggu nelayan-nelayan yang sedang
mencari ikan. Perompak-perompak itu melakukan perampasan hasil
tangkapan ikan mulai dari perairan Selat Malaka hingga Samudra Hindia.
Sangat luas wilayah tugas pengamanannya. Sejak itulah seluruh rakyat mulai
membuktikan keberanian perwira perempuan yang menyelesaikan pendidikan
di Ma’had Baitul Maqdis dengan julukan terhormat karena nilai tertingginya.
(hal 65)
3. Begitu keris dihunuskan, dengan cekatan Keumala malah menangkis dan
beringsut ke sisi sebelah kanan. Laki-laki itu memutar badan dan kembali
menyerang. Lahan sempit didalam kapal sangat tidak nyaman untuk gerak
pertahanan. Namun Keumala tetaplah siaga, keris kembali menghunus namun
dengan sigap ia menangkisnya. (hal 129)
4. Keumala semakin kalut, segera ia mendorong Mughal kuat-kuat yang
membuatnya kembali terhuyung dan terjebur ke laut lepas. Diatas kapal yang
semakin lama semakin tergenang, Keumala melangkahkan kakinya
lebar-lebar dan dengan kekuatan yang tersisa, ia menarik tangan Cut Dek dalam
gerombolan berkedok itu. (hal 131 )
5. Sementara di belakangnya. Mughal terus berusaha menggapai kakinya.
Pertempuran keras terjadi di dalam air, ditengah samudra luas. Keumala
berusaha menjejak-jejakkan kakinya menghindari gapaian tangan laki-laki
yang berusaha menahannya. (hal 132)
6. “Bedebah kau, pengecut, bersembunyi dibalik kedok hitam tak berguna itu.
Tak lah berlaku untukku. Aku tetap tengarai siapa dirimu ! hardik Keumala. “
(hal 130 )
7. Tidak terlalu keras, namun diri Keumala menengarai adanya seseorang yang
sedang mendengarkan percakapannya dengan Baginda. Dahinya mengernyit,
telinganya dipasang tajam-tajam. Tanpa menoleh, Keumala mencabut keris
dan melemparkannya dengan tenaga penuh kearah datangnya suara. Keris
tertancap pada sasaran. ( hal 187 )