• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Semiotika

BAB II LANDASAN TEORI

D. Pengertian Semiotika

Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuau yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.29 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.30 Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya dan prosesnya.31 Pada dasarnya para ahli semiotik melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek.32

28

http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-headline-pada.html

diakses pada 17 Juli 2009. 29

Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 95. 30

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,(Bandung: Rosdakarya, 2006)h. 15. 31

Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1931), h. 3.

32

Untung Yuwono dan Christomy. T, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h. 77-78

Secara terminologis, menurut Umberto Eco, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yaitu, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.33

Menurut Pateda, Semiotika ada sembilan macam, yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisa sistem tanda. Pierce mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna.

2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit mendung menandakan akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Namun, dengan majunya teknologi, pengetahuan dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi sering juga menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti. Tanda yang dihasilkan oleh hewan ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

33

4. Semiotik cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yangmembedakannya dengan masyarakat yang lain.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.

6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

7. Semiotik normative, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing yang berwujud kata maupun yang berwujud kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah tanda yang terdapat pada bahasa.

9. Semiotik Sruktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 34

Selain itu terdapat aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya, Saussure.35

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.36

Dalam pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure memusatkan perhatian pada sifat dan perilaku tanda linguistik. Di dalamnya terdapat pokok-pokok pikiran yang nantinya memberi bentuk pada tradisi pengkajian tanda di Eropa, yang kemudian dikenal dengan istilah Semiologi (Ilmu tentang Tanda). Menurutnya, definisi tanda linguistik merupakan entitas dua sisi (dyad) yang bersifat arbitrer

34

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 100-102. 35

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, ( Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155. 36

(berdasarkan kesepakatan). Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier)

yaitu aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi pada saat orang berbicara. Bunyi tersebut berasal dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat material). Penanda verbal tersebut disebut Saussure sebagai “citra bunyi (sound image)”. Sisi kedua dari tanda -yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda- disebut sebagai petanda (signified) yang merupakan konsep mental.37

Jadi, tanda menurut Saussure ada tiga. :

- Signifier (penanda), yaitu aspek material, wujud fisik dari tanda itu sendiri, bunyi atau coretan bermakna, misalnya: tulisan dikertas dan suara diudara.

- Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang direpresentasikan atau konsep sesuatu dari signifier.

- Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

Sign, yaitu upaya dalam memberi makna terhadap dunia.

Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified

37

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46-47.

SIGN

signified

Tanda menurut Saussure ialah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan

signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah. Sebagai contoh: kata ‘laki-laki’ (yang terdapat di pintu WC) adalah terdiri dari:

- penanda: kata ‘laki-laki’

- petanda: sebuah ruang wc yang digunakan hanya untuk manusia berjenis kelamin laki-laki.38

Saussure mengibaratkan tanda, penanda, dan petanda seperti lembaran kertas; satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu sendiri adalah tanda. Kita tidak dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda itu sendiri. Sebagai contoh, penyebutan kata arbor (sejenis pohon, Terj.) adalah tanda yang mengandung konsep “pohon (tree)” dan bukan ide keseluruhan dari

“arbor” itu sendiri, namun karena asosiasi terhadap “arbor” sebagai bentuk pohon telah menjadi konvensi publik, telah mengakibatkan konsep ide panca indera kita secara tak langsung menyatakan bahwa bagian ide tersebut menjadi konsep keseluruhan. 39

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.40

Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan

38

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 45-46.

39

Ferdinand de Saussure, A Course In General Linguistics, (New York: Mc. Graw-Hill, 1966).

40

masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).41 Menurut Thomas, dalam semiotik sebuah teks merepresentasikan sebuah rangkaian koheren dari signifiers.42

Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.43

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Janz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.

41

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 42

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39.

43

Ibid., h. 57.

1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)

3. denotative sign (tanda denotative)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.44

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto.45 Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan

44

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 45

yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.46

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang modern (yang hidup dalam

mass image) akan realitas. Foto berita menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa kode (message without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message with a code). Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.47

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi.48

46

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 57-58.

47

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 163-164. 48

Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengn foto berita, Barthes masih memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan

signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabuangan dari ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam

headline atau artikel.49 Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary,

unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan sesuatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran sepersis mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi sebatas sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.

Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi kognitif, dan etis-ideologis.

1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.

2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.

49

3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.50

Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.

Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar (infinity), dalam “The Photographic Message” Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:

a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.

b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut

50

terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:

Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial. • Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto. • Object ialah penentuan point of interest gambar/ foto.

Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar (misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle

dan lainnya). 51

Aestethism yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto/ gambar, yang biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption

ialah:

Fungsi Penambat/ Pembatasan(anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya.

Fungsi Pemancar/ Percepatan (relay) agar langsung dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.52

51

John Fiske (1990) menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan ‘ini foto apa’ , sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto? atau menitikberatkan pertanyaan ‘mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?’.53 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.54

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).Roland Barthes pernah mengatakan, ”Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya

52

Ibid, h. 174. 53

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 58.

54

terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu. 55

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu;

signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.56 Form/penanda merupakan subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiotika.57 Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).58

Menurut Barthes mitos memiliki empat ciri, yaitu:

1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem

55

Alex Sobur, Analisis Teks Media. 56

Ibid. 57

Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Minggu, 25 Maret 2007).

58

tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.

2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.

3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.

4. \Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.59

Salah satu contoh mitos yang diangkat Barthes dalam buku Mitologi ialah permainan gulat. Mitos gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh, ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan mencemoohnya. Mitos gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis, sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya

59

http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded diakses pada 17 Juli 2009.

karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah mitos gulat itu terungkap.60

Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan bahwa membagi tanda denotasi dan konotasi sebagai penciptaan mitos. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda yang hadir.61

Jadi, dalam penelitian semiotik tentang foto berita headline surat kabar Kompas ini

,

penulis menggunakan analisis semiotika untuk menjadi titik berdiri penelitian dengan mengacu kepada makna denotasi dan konotasi yang mengacu kepada nam prosedur yang dikemukakan oleh Roland Barthes, sehingga penulis dapat mengetahui makna denotasi dan konotasi yang ada di dalam foto-foto yang diteliti.

E. Definisi Istilah Penelitian

Sebagai acuan dalam penelitian ini, maka dibuatlah definisi istilah penelitian ini agar memperjelas keterkaitan antara landasan teori dalam Bab II

Dokumen terkait