• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis semiotika foto berita headline koran Tempo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis semiotika foto berita headline koran Tempo"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BERITA HEADLINE KORAN TEMPO Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana S1 Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Angga Rizal Nurhuda

NIM: 105051101998

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, November 2009

(3)

ABSTRAK

ANGGA RIZAL NURHUDA

Analisis Semiotika Foto Berita Headline Koran Tempo.

Foto Jurnalistik atau Foto Berita merupakan salah satu media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. Karena itu, untuk headline

diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5 kolom

Bagaimana Koran Tempo mengemas foto berita yang juga menjadi sebuah foto headline? Makna apa yang terkandung dari foto berita headline koran

Tempo?

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun subjek penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada Koran Tempo pada bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009. Sedangkan objek penelitian ini ialah foto-foto yang diambil dengan menggunakan purposive sampling, yaitu metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) untuk memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline

pada Koran Tempo bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009.

Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek ideologi. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat pembingkaian peristiwa tertentu.

Koran Tempo merupakan salah satu media massa cetak yang terbit setiap harinya. Dalam penerbitannya Koran Tempo hampir selalu menyertakan foto berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbeda-beda yang akan diangkat. Foto-foto berita pada Koran Tempo, terlebih foto yang menjadi headline

seringkali menampilkan foto-foto yang menarik, kuat dan memiliki relevansi dengan berita yang ditulis.

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin Segala puji dan syukur penulis panjatkan

bagi Allah Swt Tuhan semesta alam, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang

tidak pernah putus memberikan nikmat dan barakah-Nya kepada seluruh

makhluk-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Rasulullah

Saw yang telah membawa ummatnya dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran.

Penulis bersyukur setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya

penulis pun dapat menyelesaikan karya ilmiah ini untuk mencapai gelar Sarjana

Sosial Islam (S.Sos.I). Dalam penyusunan karya ilmiah ini tentu penulis menemui

beberapa hambatan maupun rintangan, namun Alhamdulillah penulis dapat

menyelesaikan karya ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan,

namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya. Tanpa

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat

menyelesaikan karya ini dengan baik. Maka dari itu pada kesempatan ini, penulis

ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan M.A. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan

Komunikasi serta sebagai Dosen pembimbing atas penulisan skripsi ini

serta para Pembantu Dekan; Pudek I, Pudek II dan Pudek III.

2. Drs. Suhaimi, M.Si. Sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra.

(5)

banyak memberikan pengarahan dan bantuan kepada penulis selama

kuliah.

3. Para dewan sidang yang terhormat, Drs. Study Rizal LK, MA selaku

ketua sidang, Rubiyanah, MA selaku sekertaris sidang, Dra. Asriati

Jamil, M.Hum dan Drs. Suhaimi, M.Si selaku penguji 1 dan penguji 2.

4. Seluruh Dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, yang telah banyak membantu penulis selama proses

perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Secara khusus kepada kedua orang tua penulis, Moch. Dawam dan Siti

Suyanti yang selalu memberikan kasih sayang berlimpah dan tidak

akan pernah bisa terbalas, terima kasih ayah dan bunda. Hanya Doa

penulis kepada Allah SWT semoga ridho-Nya selalu menyertai ayah

dan bunda Tercinta.

6. Kedua Adik penulis, Nurul Laily Mariani Fadjrin dan Bunga Ayu

Lestari.

7. Untuk Yikki Arstania, terima kasih atas semua motivasi, dukungan dan

doa serta semangat yang selalu diberikan.

8. Seluruh staf dan karyawan PT. Tempo Inti Media, Khususnya Rully

Kesuma selaku narasumber yang telah memberikan banyak masukan

kepada penulis.

9. Keluarga Besar Komunitas Mahasiswa Fotografi (KMF)

KALACITRA; Andikey, Sinden, Metal, Ghoib, Apo, Meler, DJ, Liga,

Hilma, Ardi, Chris, Zukie, Agin, Kikim, Sobok, Elisha, Jose, Didik,

(6)

10.Teman-teman BATIK Group; Arifin, Aris, Alfan, Tedi, Ihsan, Fikka,

Feby, Nia, Irma, Haia, Yefhi, Emi, Maya & Nissa serta teman-teman

seperjuangan lainnya di konsentrasi Jurnalistik 2005 yang tidak bisa

disebutkan satu persatu. Kalian telah banyak memberikan kenangan,

suka maupun duka kita bersama-sama selama kuliah di Fakultas

Dakwah dan Komunikasi.

11.Keluarga Besar Jurnalistik, dari angkatan pertama (2004) hingga saat

kini. Penulis sangat bangga dan bahagia menjadi bagian dari sejarah

Jurnalistik di kampus yang kita banggakan, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

12.Teman-teman Basecamp, Karang Taruna IKRAM, Sellon band, d’Move

band dan juga d’Bojez band serta Metamorfosis lanjutan dari band

penulis yang terbaru.

Akhirnya penulis hanya mampu mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu

penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah Swt

semakin menambah Rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Penulis

mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para

pembacanya. Amiiiin.

Wassalam

Jakarta, November 2009

(7)

DAFTAR ISI A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metodolgi Penelitian... 6

F. Tinjauan Kepustakaan... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita... 13

B. Pengertian Headline ... 18

C. Fungsi Headline... 21

D. Pengertian Semiotika ... 23

BAB III GAMBARAN UMUM A. Sejarah Serta Perkembangan Koran Tempo ... 41

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ... 27

Gambar 2 ... 29

Gambar 3 ... 49

Gambar 4 ... 55

Gambar 5 ... 60

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fotografi adalah seni atau proses atau metode untuk menghasilkan

gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang

mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya melalui sebuah alat

yang biasa disebut kamera.

Fotografi memiliki banyak cabang atau kekhususan, diantaranya:

fotografi jurnalistik, fotografi potret, fotografi alam, fotografi seni murni dan

lain lain.

Fotografi jurnalistik atau foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata

dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Foto Jurnalistik

merupakan salah satu media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga

sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan

komunikasi.1 Sedangkan pengertian foto jurnalistik secara universal adalah

gambar-gambar yang dihasilkan lewat proses fotografis dengan maksud

menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita tentang suatu peristiwa yang

menarik bagi publik dan diserbarluaskan lewat media massa. Ciri-ciri foto

jurnalistik adalah memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri,

melengkapi suatu berita /artikel, dimuat dalam suatu media.

Melalui sebuah foto, kita juga dapat mensyiarkan ajaran agama Islam

dalam bentuk pesan visual. Maka dari itu, foto jurnalistik tidak dapat

1

(10)

diabaikan begitu saja dalam sebuah penyajian berita. Banyak media massa,

terutama media cetak dan online, menyadari hal itu dengan selalu melengkapi

berita yang disajikan dengan sebuah foto atau lebih.

Foto-foto yang dimuat di suratkabar atau majalah merupakan

visualisasi dari suatu kejadian adalah berita. Foto untuk para pers biasanya

disebut foto jurnalistik. Foto-foto yang ditampilkan untuk pemberitaan, tidak

hanya untuk berita tulis saja. Akan tetapi foto-foto yang disajikan itu sudah

menjadi berita. Sedangkan fungsi foto pada berita sebagaimana halnya pada

headline yaitu: menarik perhatian pembaca, menceritakan isinya, memberi

mutu pada berita, membuat suratkabar atau majalah lebih menarik. Karena

foto adalah bentuk komunikasi visual, maka secara langsung dia menyentuh

perasaan sehingga mempercepat terbentuknya pendapat umum.2

Namun terkadang kerap kali terjadi perbedaan persepsi antar penikmat

foto atau khalayak terhadap sebuah foto. Perbedaan tersebut wajar terjadi,

karena tiap-tiap individu memiliki pendapat sendiri terhadap sebuah foto

berdasarkan latarbelakang individu tersebut. Hal ini menjadi masalah apabila

khalayak tidak menerima pesan yang sampaikan fotografer, bahkan terjadi

kesalahan pemahaman terhadap foto berita yang dianggap menyesatkan.

Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa

manusia. Berita adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha

rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks

komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka

2

(11)

acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para

pembacanya.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator

pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat

penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu,

sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia.

Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk

menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai

pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya

bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat

“kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal”

yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang

kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Dalam pemberitaan, terutama pemilihan headline media dituntut

untuk bersikap adil dan netral serta objektif. Namun pada kenyataan tidak

selalu demikian. Sangat banyak peristiwa yang sebenarnya sangat krusial

namun media cenderung mengabaikannya. Sebagai contoh kasus model

Indonesia, Manohara Odelia Pinot yang cenderung dibesar-besarkan namun

pada saat bersamaan terjadi penertiban PKL yang menyebabkan meninggalnya

anak kecil. Dalam kasus ini tersirat ada suatu kepentingan baik politis maupun

strategis bagi suatu media.

Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka

(12)

kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat

pembingkaian peristiwa tertentu.

Koran Tempo merupakan salahsatu suratkabar yang menyajikan foto

berita pada setiap penerbitannya. Dalam penempatan foto berita, Koran Tempo

memiliki pertimbangan tertentu pada penyajiaannya dalam bentuk foto berita,

karena bukan hal yang sederhana ketika suatu media yakni Koran Tempo

memutuskan untuk menampilkan foto berita dalam setiap pemberitaanya.

Koran Tempo sebagai media yang menjadi tolak ukur media di Indonesia,

ternyata cukup hati-hati dalam menempatkan diri di benak orang.

Profesionalisme yang harus terus dianut oleh seluruh jajaran Koran Tempo

membuat mereka memiliki tempat istemewa di hati pembaca dan pelanggan

setianya, termasuk pemunculan foto atau gambar pada headline suratkabar ini.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian

(13)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak melebar, maka yang

diteliti dalam penelitian ini terbatas pada makna-makna yang terkandung

di dalam empat foto berita Headline Koran Tempo edisi bulan Desember

2008 – Januari 2009.

.

Berdasarkan pembatasan masalah yang tertulis diatas, maka

perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apa makna denotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?

2. Apa makna Konotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?

3. Mitos apa yang terdapat pada pada foto berita di Headline dalam Koran

Tempo?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini memberi pengetahuan mengenai makna

dalam sebuah foto dan untuk mengatasi salah membaca pesan dari foto berita.

Tujuan khusus dari penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisa

beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Makna denotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?

2. Makna Konotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?

(14)

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran

mengenai dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik/foto berita

kepada mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik khususnya dan kepada

setiap orang yang ingin dan sedang terjun di dalam bidang fotografi

jurnalistik. Selain itu, memberikan gambaran mengenai cara membaca

makna dan menerapkan ilmu tanda yaitu semiotika dalam membaca

makna dalam foto/gambar dalam sebuah foto berita agar mereka lebih

kritis dan aktif dalam memaknai foto berita di media massa.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran

tahapan yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah foto berita

dan tahapan dalam membaca makna yang terkandung didalam foto

berita khususnya menggunakan ilmu semiotika.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini adalah paradigma interpretatif, dimana

pemaknaan hanya terjadi pada konsep mental pada tiap-tiap individu, sebab

penelitian ini bersifat subjektif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan dalam

ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dan berinteraksi langsung dengan

(15)

Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa3: ”pengetahuan tidak mempunyai

sifat objektif dan tetap, tetapi bersifat enterpretatif.

Penelitian ini mendasarkan diri kepada hal-hal yang bersifat diskursif,

seperti transkrip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara,

dokumen-dokumen tertulis dan data nondiskursif (seperti candi, monumen, arsitektur,

foto, musik, video, gerakan-gerakan tari, fashion dan hidangan makanan

tersaji dalam suatu food festival). Pijakan analisis dan penarikan kesimpulan

dalam penelitian komunikasi kualitatif adalah kategori-kategori substansif dari

makna-makna atau lebih tepatnya adalah interpretasi-interpretasi terhadap

gejala yang diteliti.4

1. Subjek, Objek dan Tempat Penelitian

Yang menjadi subjek penelitian adalah Koran Tempo. Sedangkan,

objek penelitian ini ialah foto-foto berita Headline pada Koran Tempo.

Tempat pengambilan data dalam penelitian ini akan dilaksanakan

di Kantor redaksi koran Tempo, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan

Kebayoran Baru-Mayestik, Jakarta 12240, Indonesia.

2. Sampel Sumber Data

Dalam penarikan sample, peneliti menggunakan tekhnik

pengambilan sampel purposive sampling. Seperti yang dikutip oleh

Fatimah dalam skripsinya yang berjudul Makna Foto Berita Perjalanan

Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqani Maksum Pada Galeri

Foto Antara.co.id), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa purposive

3

Dedy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) h.

4

(16)

sampling yaitu metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada

kriteria-kriteria tertentu. Sample yang diambil mempunyai maksud dan

tujuan tertentu. Juga, dipilih secara sengaja oleh peneliti.

Sample sumber data yang dipilih oleh peneliti ialah empat foto

Headline Koran Tempo edisi bulan Desember 2008 – Januari 2009.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan,

pengubahan, pencatatan dan pengoden serangkian perilaku.5

Menurut Indriantoro dan Supomo, observasi adalah proses

pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau

kejadian yang sistematik tanpa adanya pertnyaan atau komunikasi

dengan individu-individu. Data yang dikumpulkan pada umumnya

tidak terdistorsi, lebih akurat dan rinci, serta bebas dari respon bias.6

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan dengan

melihat langsung serta mencermati setiap tanda-tanda pada objek

penelitian yakni empat foto headline pada Koran Tempo edisi bulan

desember 2008 sampai januari 2009.

b. Dokumentasi

Dokumen adalah resepresentasi dari arsip. Dokumen adalah

rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan percakapan.7

5

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 83.

6

Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 34.

7

(17)

Dokumentasi adalah penelitian mengumpulkan, membaca dan

mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau

jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau instansi lain

yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini.

Dokumen-dokumen yang ada kemudian dipelajari untuk memperoleh data

dan informasi dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data

yang berhubungan dengan penelitian berupa empatt foto headline

Koran Tempo.

c. Wawancara

Wawancara (interview) merupakan alat pengumpulan data yang

sangat penting dlam penelitian komunikasi kualitatif yang

melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku atau aktor).8

Wawancara adalah salah satu faktor penting dalam menggali

informasi dari narasumber.9 Dalam penelitian ini dilakukan

wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu wawancara yang

bersifat terstruktur dan mendetail.10 Dalam hal ini, wawancara

langsung dan mendalam dilakukan kepada Rully Kesuma yang

menjabat redaktur foto Koran Tempo.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan

semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan

8

Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 132. 9

http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses pada 17 Juli 2009

10

(18)

denotasi) untuk memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto

yang menjadi sample dalam penelitian ini.

F. Tinjauan Kepustakaan

Foto berita merupakan salah satu pokok penting dari sebuah berita.

Yurnaldi mengatakan dalam buku Jurnalistik Siap Pakai, bahwa foto-foto

jurnalistik sangat penting dan perlu dalam dunia media cetak. Karena foto

membuat segar halaman surat kabar, menolong mata pembaca untuk melihat

hal-hal menarik, memisahkan dua berita agar tidak monoton. Penelitian

dengan subjek foto berita pernah dilakukan oleh Septian Ermawan, mahasiswa

IISIP Jakarta, pada tahun 2008. Judul penelitiannya ialah Penyajian foto

Headline suratkabar Republika edisi juli-desember 2007 dilihat dari nilai

berita, syarat foto berita dan syarat caption.

Selain itu, skripsi lain yang juga meneliti foto berita dan menggunakan

analisis semiotika Roland Barthes disusun oleh Fatimah Thamrin, mahasiswa

Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jakarta pada tahun 2008, berjudul Makna

Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni

(19)

G. Sistematika Penulisan

Bab I: Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, yaitu penjabaran masalah yang dibahas dalam penelitian ini dan seberapa

pentingnya penelitian foto jurnalistik/foto berita yang diteliti

menggunakan analisis semiotika dan terdapat di Headline Koran

Tempo untuk dibahas. Pembatasan dan Perumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,

Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.

Bab II: Menjabarkan isi penelitian yang didapatkan dari hasil studi pustaka dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Yaitu,

pengertian fotografi jurnalistik, pengertian Headline, pengertian

semiotika serta bagaimana membaca makna yang terdapat dalam

foto/gambar menggunakan analisis semiotika, terutama

menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

Bab III: Membahas profil Koran Tempo yang sekarang merupakan surat kabar besar nasional. Sejarah berdirinya Koran Tempo,

perjalanannya hingga bertahan sampai sekarang dan memiliki

banyak divisi di dalamnya. Seberapa besar pengaruh Headline

Koran Tempo dalam setiap berita yang dipublikasikan dan

disebarkan kepada masyarakat.

Bab IV: Bagian analisis data tentang makna yang terkandung dari foto jurnalistik di Headline Koran Tempo bulan Desember 2008 –

(20)

Bab V: Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran untuk memajukan para fotografer maupun yang

ingin menjadi fotografer dalam penyajian atau pengambilan foto

agar tidak sembarang dan memiliki konsep yang matang dalam

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita

Kata fotografi (Inggris: Photography; Belanda: Fotografic) berasal dari

bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi, secara harfiah, fotografi berarti menggambar dengan bantuan

cahaya.11 Foto yaitu cahaya dan grafi ialah tulisan.

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran

transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang

terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks

tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian

pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.12

Foto merupakan sinonim potret. Arti harfiahnya ialah gambar yang dibuat

dengan kamera dan peralatan fotografi lainnya. Fotografi dapat menjadi media

komunikasi. Foto harus dibedakan menjadi banyak kategori dengan tujuan untuk

mempermudah pembuatan dan pemanfaatannya, sesuai dengan standar kualitas

bagi masing-masing keperluan.13

Fotografi pada umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang

memungkinan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang terdapat dalam

11

M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), h. 7.

12

Ajidarma Gumira Seno, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 27.

13

(22)

kenyataan tri-matra. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas)

mengubahnya menjadi kenyataan dwi-matra, baik secara monochrome

(hitam-putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan). Dengan demikian,

sebuah foto pada dasarnya adalah wujud satu moment dari satu atau serangkaian

gerak.14

Suatu foto yang baik adalah sama dengan seribu kata, dan dengan

demikian foto menjadi suatu alat yang essensial dalam pewartaan kantor berita

atau media cetak. Kualitas sebuah foto tergantung dari kualitas si pengambil

gambar; subjek foto tergantung dari penggunaan kameranya secara penuh daya

angan-angan atau imajinatif. Terlebih-lebih, sebuah gambar harus menangkap

action penting, pada saat yang menentukan, sebagaimana dikatakan oleh

fotografer termashur Henri Cartier-Bresson.15

Foto berita ialah dibuat oleh seorang wartawan foto, dengan menggunakan

kamera foto, berupa gambar. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah fotografi serta

kaidah-kaidah jurnalistik. Foto berita adalah fakta objektif karena kamera foto

tidak dapat berbohong dalam membuat gambar.16

Menurut Oscar Motullah dalam makalahnya “suatu pendekatan visual

dengan suara hati”, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk

menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat

seluas-luasnya, bahkan hingga kerak dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo

yangsesingkat-singkatnya. Melihat foto jurnalistik sebagai kajian artinya

memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses sesuatu yang

14

Ed Zoelverdi, Mat Kodak, (Jakarta: PT. Temprint, 1985), h. 76. 15

LKBN Antara, Sebuah Pedoman untuk Pewarta Kantor Berita (Jakarta, PT. Sinar Hudaya), h. 115

16

(23)

dikomunikasikan, dalam hal ini yang bernilai berita kepada orang lain atau

khalayak lain dalam masyarakat17.

Wilson Hick, redaktur senior majalah Life (1937-1950) dalam buku world

and Pictures (New York, Harper dan Brother, Arno Press 1952, 1972), foto

jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan18.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka Magnum

yang terkenal dengan teori “Decisive Moment” menjabarkan, foto jurnalistik

berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera,

merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra

tersebut mengungkap sebuah cerita19.

Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan

medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan

yang mengantar dari isi foto itu sendiri20

Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan

medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan

yang mengantar dari isi foto itu sendiri21.

Jenis-jenis foto jurnalistik dapat diketahui melalui kategori yang dibuat

Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo Foundation) pada lomba foto

tahunan yang diselenggarakan bagi wartawan seluruh dunia kategori itu adalah

sebagai berikut:22

17

Makalalah Seminar Fotografi oleh Eddy Hasby (artikel pada www.tribunkaltim.co.id) 18

ibid 19

ibid 20

Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo. 21

Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, Redaktur Foto Koran Tempo. 22

(24)

a. Spot Photo

Foto spot adalah foto yang dibuat pada peristiwa yang tidak

terduga yang langsung diambil oleh fotografer di tempat kejadian.

Misalnya, foto kecelakaan, kebakaran, perkelahian, dan perang. Karena

dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi serta menampilkan konflik dan

ketegangan, maka foto spot harus segera disiarkan. Dalam hal ini,

keberanian seorang fotografer sangat dibutuhkan. Selain itu,

keberuntunganpun menjadi patokan utama dalam hal posisi dan

keberadaannya.

b. General News Photo

General News Photo Adalah yang diabadikan dari

peristiwa-peristiwa yang terjadwal, rutin, dan biasa. Temanya bisa

bermacam-macam, yaitu, politik, ekonomi dan humor. Contohnya, presiden

membuka pameran foto, pertunjukan badut di suatu acara, dan lain-lain.

c. People in the News Photo

People in the News Photo Adalah foto tentang orang atau

masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah sosok orang pada

berita itu. Bisa kelucuannya, nasib, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh

dalam foto ini bisa tokoh yang populer dan bisa juga tidak, akan tetapi

kemudian menjadi populer karena foto tersebut di publikasikan.

Contohnya, foto Juned, korban kecelakaan peristiwa tabrakan kereta api

(25)

d. Daily Life Photo

Daily Life Photo Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari

manusia dipandang dari segi kemanusiaannya. Misalnya, foto seorang

pengemis di depan sebuah Universitas.

e. Portrait

Portrait Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara

close up. Ditampilkan karena ada kekhasan pada wajah yang dimiliki atau

kekhasan lainnya.

f. Sport Photo

Sport Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.

Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan

penonton dan fotigrafer, dalam pembuatan foto olehraga diperlukan

perlengkapan yang memadai, misalnya lensa yang panjang, serta kamera

yang menggunakan motor drive. Menampilkan gerakan dan ekspresi atlet,

serta hal lain yang menyangkut olahraga.

g. Science and Technology Photo

Secience and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari

peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Dalam hal ini, dalam pemotretan tertentu membutuhkan

perlengkapan khusus, misalnya lensa mikro atau film x-ray , misalnya

untuk pemotretan organ di dalam tubuh.

h. Art and Culture Photo

Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni

(26)

i. Social and Environmant

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta

lingkungan hidupnya. Misalnya, foto asap buangan kendaraan di jalan.

B. Pengertian Headline

Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau

lebih populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang

di halaman depan, dengan judul yang merangsang perhatian dan menggunakan

tipe huruf yang relatif besar. Pendeknya berita yang istemewa.23

Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan,” Headline News atau

berita utama adalah berita suratkabar, majalah, radio atau televisi, yang dinilai

terpenting untuk suatu masa penyiaran.24

Menurut A.M. Hoeta Soehoet pengertian berita utama adalah :

Berita Utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. Karena itu, untuk Headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline

biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5 kolom.25

Berdasarkan isinya headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori

yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan

terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional.

Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan diri audience. Daya tarik rasional

menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.

23

Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 1991), h.257

24

Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensiKomunikasi, ( Bandung: Mandar Maju, 1981), h.160

25

(27)

Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai ekonomis, manfaat,

atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis,

tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap

headline ini.

Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam

memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik

emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau

negatif yang akan memotivasi pembelian. Dalam hal ini headline memiliki

asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong

munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu

dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa

bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak

mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang

positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.

Berdasarkan bentuknya headline dikelompokkan ke dalam 6 kategori,

diantaranya sebagai berikut26:

1. headline berita menyatakan suatu berita (“Krisis Multifungsi Segera

Selesai …”);

2. headline pertanyaan biasanya mengajukan pertanyaan problematik

(“Saban Bulan Mengganggu Sampeyan?”);

3. headline narasi menceritakan sesuatu peristiwa yang mengesankan

(“Permen Yang Terlalu Enak Buat Anak Kecil …”);

26

(28)

4. headline perintah biasanya mensugesti audiens untuk melakukan

sesuatu tindakan (“Jangan Membeli Sebelum Anda Mencoba

Ketiganya …”);

5. headline cara 1–2–3 berisi kiat untuk mengatasi persoalan (“12 Cara

Untuk Mengurangi Pajak Penghasilan Anda”)

6. headline bagaimana–apa–mengapa mengungkapkan rangkaian

kejadian sebab-akibat (“Mengapa Mereka Tidak dapat Berhenti

Membeli”).

Merancang sebuah headline bukan pekerjaan yang sekedar mengandalkan

akal sehat, pikiran kritis, kreativitas, atau intuisi. Secara teknis headline dituntut

untuk mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi

secara cepat dengan ide yang tepat pula. Suatu penelitian mengenai dua versi iklan

yang sama – dengan elemen-elemen iklan yang sama persis namun dengan

headline yang berbeda, telah menimbulkan reaksi audiens secara berbeda pula.

Untuk menulis headline dibutuhkan waktu berhari-hari. Dalam hari-hari

yang dihabiskan untuk ‘mengkuatirkan perkataan’ itu barangkali telah dihasilkan

puluhan, atau bahkan ratusan headline, dan desainer harus memilih satu

diantaranya yang dianggap paling tepat. Tapi, pilihan ini belum tentu sesuai

dengan kebutuhan audience.

Pada prinsipnya, perancangan headline idealnya berpihak pada

karakteristik dan kebutuhan target audiens. Untuk itu, desainer tidak dapat sekedar

(29)

suatu headline yang unik dan menarik, namun hal ini belum cukup memberikan

jaminan bahwa audience bersedia melanjutkan ketertarikannya itu.

Sesungguhnya, apapun isi dan bentuknya, headline harus mampu

mengemban fungsinya secara optimal. Sebuah headline yang bagus akan mampu

menghentikan audience, menerangkan produk dan merk, serta memulai penjualan

dengan menarik perhatian audiens ke arah bodycopy.

C. FUNGSI HEADLINE27

Pada dasarnya, headline yang bagus akan menarik perhatian audience

yang memiliki prospek; headline tidak akan menarik perhatian mereka yang tidak

berkepentingan dengan produk. Sebuah headline yang bagus akan memilih target

audience -nya dengan membicarakan kesenangan mereka.

Headline berfungsi untuk menghentikan audience. Salah satu cara untuk

menghentikannya adalah dengan melalui pesan yang menantang. Teknik ini akan

semakin memiliki pengaruh jika mengundang audience untuk berpartisipasi dalam

mengembangkan pesan, atau dipaksa untuk membaca dan menemukan

jawabannya. Untuk itu, pesan yang agak tidak sesuai dengan yang diyakini

audiens merupakan penarik perhatian yang paling berharga.

Headline juga berfungsi untuk menerangkan produk dan merk. Untuk itu,

headline mengemban tugas untuk menjawab pertanyaan: “Apa kebaikan merk

itu?” Satu dari tantangan terbaik dalam perancangan headline ialah menciptakan

memori, bahwa merk yang ditawarkan merupakan yang terbaik untuk jenis produk

itu. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kunci verbal sebagai pengingat dan

27

(30)

pemandu identitas sesuatu merk. Kunci verbal yang bagus antara lain ditunjukkan

oleh headline 7-Up yang memberitakan bahwa 7-Up bukanlah minuman cola

dengan “The Un-Cola ”.

Fungsi lain dari headline yang bagus adalah untuk mengenalkan ide yang

hendak dijual. Hal ini dapat dilakukan jika iklan akan dibarengi dengan

perencanaan penjualan, strategi pemasaran, atau strategi promosi yang unik.

Contoh headline ini antara lain dapat dilihat pada Sprite dengan headline “Ku

Tahu Yang Ku Mau”. Akhirnya, headline yang bagus akan mengajak audience

untuk membaca bodycopy. Hal ini bukanlah hal yang mudah, sebab riset telah

menunjukkan bahwa hanya 20% mereka yang membaca headline meneruskan

untuk membaca bodycopy. Idealnya, setiap target audience yang membaca

headline melanjutkannya membaca bodycopy. Jika hal ini tidak terjadi, headline

dipastikan belum berfungsi secara baik; headline hanya berfungsi untuk menarik

perhatian, tetapi tidak mampu mengikat perhatian.

Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa head berarti

kepala. Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita.

Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan

menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau

khalayak menganggapnya sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat

berperan membentuk opini publik (public opinion).

Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada

halaman depan surat kabar yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena

headline yang berada pada halaman depan adalah peristiwa yang dianggap penting

(31)

Grand, M. Hyde dalam bukunya The Journalitic Writing, mengatakan

bahwa judul dalam sebuah surat kabar dapat dinamakan headline. Sedangkan

dalam Majalah disebut heading atau titles.

Terdapat dua pengertian tentang headline. Headline sebagai judul berita.

Dan headline sebagai berita utama yang ditonjolkan. Cirinya menggunakan huruf

lebih besar dibanding dengan yang lain528.

D. Pengertian Semiotika

Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang

berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu

tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi.

Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa

disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan

pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuau

yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap

mewakili sesuatu yang lain.29 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis

untuk mengkaji tanda.30 Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis

mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya dan prosesnya.31

Pada dasarnya para ahli semiotik melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai

pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek.32

28

http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-headline-pada.html

diakses pada 17 Juli 2009. 29

Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 95. 30

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,(Bandung: Rosdakarya, 2006)h. 15. 31

Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1931), h. 3.

32

(32)

Secara terminologis, menurut Umberto Eco, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yaitu, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.33

Menurut Pateda, Semiotika ada sembilan macam, yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisa sistem tanda. Pierce

mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi

ide, objek dan makna.

2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang

dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap

seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit mendung menandakan

akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Namun,

dengan majunya teknologi, pengetahuan dan seni, telah banyak tanda yang

diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan

sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan

tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi sering juga

menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor

ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau

ada sesuatu yang ia takuti. Tanda yang dihasilkan oleh hewan ini, menjadi

perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

33

(33)

4. Semiotik cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa

masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang

telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat

dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan

tanda-tanda tertentu yangmembedakannya dengan masyarakat yang lain.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi

yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Itu sebabnya Greimas

(1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia

membahas persoalan semiotik naratif.

6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda

dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun

hujan dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang

tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor,

sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah

merusak alam.

7. Semiotik normative, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda

yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya

rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing yang

berwujud kata maupun yang berwujud kalimat. Buku Halliday (1978) itu

sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial

(34)

9. Semiotik Sruktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 34

Selain itu terdapat aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland

Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna

primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes

menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi.

Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan

semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya, Saussure.35

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi

manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang

mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud,

keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi

Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan

bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek

manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan

manusia pada semua keadaan.36

Dalam pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik

adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure memusatkan perhatian pada sifat

dan perilaku tanda linguistik. Di dalamnya terdapat pokok-pokok pikiran yang

nantinya memberi bentuk pada tradisi pengkajian tanda di Eropa, yang kemudian

dikenal dengan istilah Semiologi (Ilmu tentang Tanda). Menurutnya, definisi

tanda linguistik merupakan entitas dua sisi (dyad) yang bersifat arbitrer

34

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 100-102. 35

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, ( Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155. 36

(35)

(berdasarkan kesepakatan). Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier)

yaitu aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi pada

saat orang berbicara. Bunyi tersebut berasal dari getaran pita suara (yang tentu

saja bersifat material). Penanda verbal tersebut disebut Saussure sebagai “citra

bunyi (sound image)”. Sisi kedua dari tanda -yaitu sisi yang diwakili secara

material oleh penanda- disebut sebagai petanda (signified) yang merupakan

konsep mental.37

Jadi, tanda menurut Saussure ada tiga. :

- Signifier (penanda), yaitu aspek material, wujud fisik dari tanda itu sendiri,

bunyi atau coretan bermakna, misalnya: tulisan dikertas dan suara diudara.

- Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang direpresentasikan atau

konsep sesuatu dari signifier.

- Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

Sign, yaitu upaya dalam memberi makna terhadap dunia.

Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified

37

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46-47.

SIGN

signified

(36)

Tanda menurut Saussure ialah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan

signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah.

Sebagai contoh: kata ‘laki-laki’ (yang terdapat di pintu WC) adalah terdiri dari:

- penanda: kata ‘laki-laki’

- petanda: sebuah ruang wc yang digunakan hanya untuk manusia berjenis

kelamin laki-laki.38

Saussure mengibaratkan tanda, penanda, dan petanda seperti lembaran

kertas; satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu

sendiri adalah tanda. Kita tidak dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda

itu sendiri. Sebagai contoh, penyebutan kata arbor (sejenis pohon, Terj.) adalah

tanda yang mengandung konsep “pohon (tree)” dan bukan ide keseluruhan dari

“arbor” itu sendiri, namun karena asosiasi terhadap “arbor” sebagai bentuk

pohon telah menjadi konvensi publik, telah mengakibatkan konsep ide panca

indera kita secara tak langsung menyatakan bahwa bagian ide tersebut menjadi

konsep keseluruhan. 39

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak

isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film,

bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.40

Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland

Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat

feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena

gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan

38

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 45-46.

39

Ferdinand de Saussure, A Course In General Linguistics, (New York: Mc. Graw-Hill, 1966).

40

(37)

masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita.

Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita

tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).41

Menurut Thomas, dalam semiotik sebuah teks merepresentasikan sebuah

rangkaian koheren dari signifiers.42

Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of

signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of

signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang

berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda

tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada

tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.43

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Janz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.

41

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 42

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39.

43

Ibid., h. 57.

1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)

3. denotative sign (tanda denotative)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

(38)

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi

penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran

denotatif.44

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan

antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika

konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem

konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam

gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara

keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur

gambar dalam foto.45 Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis

binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain,

seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan

literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa

harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga

sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan

44

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 45

(39)

yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan

ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.46

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real

unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal

anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan

disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara

spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang modern (yang hidup dalam

mass image) akan realitas. Foto berita menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa

kode (message without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message

with a code). Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna

atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada

pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah

hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat

konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri

melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul

karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah

yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.47

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem

yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai

tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode

sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem

komunikasi.48

46

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 57-58.

47

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 163-164. 48

(40)

Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam

membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca

berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengn foto berita, Barthes

masih memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan

signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan

oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabuangan dari

ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena

itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam

headline atau artikel.49 Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary,

unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan

sesuatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran

sepersis mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa

menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi

sebatas sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.

Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan

dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi

kognitif, dan etis-ideologis.

1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau

verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.

2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya

menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam

imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat

menentukan.

49

(41)

3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang

siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.50

Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau

diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang

berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.

Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar (infinity), dalam “The Photographic

Message” Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk

mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan

dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah

kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic

message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas

harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:

a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic

message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran

denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.

b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message),

sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang

keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau

familiaritas terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes

mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya

menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses

produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut

50

(42)

terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi

melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu

sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects) dan konotasi yang

diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism

dan Syntax), yaitu:

Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial.

Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto.

Object ialah penentuan point of interest gambar/ foto.

Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan

gambar (misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle

dan lainnya). 51

Aestethism yaitu format gambar atau estetika komposisi

gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna

konotasi.

Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto/ gambar, yang

biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat

membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption

ialah:

Fungsi Penambat/ Pembatasan(anchorage) agar pokok

pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud

penyampaiannya.

Fungsi Pemancar/ Percepatan (relay) agar langsung

dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.52

51

(43)

John Fiske (1990) menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan

menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto

yang memunculkan pertanyaan ‘ini foto apa’ , sedangkan konotasi adalah

bagaimana ini bisa difoto? atau menitikberatkan pertanyaan ‘mengapa fotonya

ditampilkan dengan cara seperti itu?’.53 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa

yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya.54

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita

pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden,

ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita

kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut

Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang.

Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam

dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya

ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat

mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda

(gambar).Roland Barthes pernah mengatakan, ”Apa yang tidak kita katakan

dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu

mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini,

manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan

interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya

52

Ibid, h. 174. 53

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 58.

54

(44)

terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada

bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan

tertentu. 55

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu;

signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga

unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.56 Form/penanda merupakan

subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil

perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda

diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut

tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai

konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu

bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos

dalam semiotika.57 Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan

atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos

merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo,

mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest,

ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita

itulah yang dinamakan mitos (myth).58

Menurut Barthes mitos memiliki empat ciri, yaitu:

1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan

deformatif. concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem

Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Minggu, 25 Maret 2007).

58

(45)

tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada

fakta yang sebenarnya.

2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,

dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud

tertentu.

3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita

menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu

diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar

awam.

4. \Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung

motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap

berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.59

Salah satu contoh mitos yang diangkat Barthes dalam buku Mitologi ialah

permainan gulat. Mitos gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk

profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton

pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan

rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang

penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh,

ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan

mencemoohnya. Mitos gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu

ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis,

sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya

59

(46)

karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah

mitos gulat itu terungkap.60

Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas

bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu

direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana

mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang

dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan bahwa membagi tanda denotasi

dan konotasi sebagai penciptaan mitos. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi

mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang

lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas

tanda yang hadir.61

Jadi, dalam penelitian semiotik tentang foto berita headline surat kabar

Kompas ini

,

penulis menggunakan analisis semiotika untuk menjadi titik berdiri

penelitian dengan mengacu kepada makna denotasi dan konotasi yang mengacu

kepada nam prosedur yang dikemukakan oleh Roland Barthes, sehingga penulis

dapat mengetahui makna denotasi dan konotasi yang ada di dalam foto-foto yang

diteliti.

E. Definisi Istilah Penelitian

Sebagai acuan dalam penelitian ini, maka dibuatlah definisi istilah

penelitian ini agar memperjelas keterkaitan antara landasan teori dalam Bab II

dengan analisis data yang ditulis dalam Bab IV. Perumusannya meliputi empat

60

Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Minggu, 25 Maret 2007.

61

Gambar

Gambar 3 ......................................................................................................49
gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang
Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified
gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap pelaksanaan program bimbingan dan konseling di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo: 1) Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling belum sesuai dengan apa yang

Oleh karena itu dengan kondisi pelemahan ekonomi global yang berdampak pada kondisi ekonomi domestik Indonesia, sehingga mengakibatkan Pemerintah Republik

Dari uraian kajian diatas menurut peneliti pendekatan investigasi adalah cara yang ditempuh guru dalam pembelajaran dengan memberikan kesempatan pada peserta didik

Ketersediaan ruangan ASI di dasari dari adanya faktor terutama pada pegawai yang memiliki bayi usia 0- 6 bulan, mereka dapat memompa ASI di ruang yang tersedia, setelah

Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi inventarisasi dan Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan. Maksud inventarisasi

L adalah halusinasi pendengaran yang didukung dengan data subjektif: Sdr.L mendengar bisikan – bisikan yang menyuruhnya untuk mengamuk orang tuanya, dan linkungan rumahnya,

Menurut Zlotnick (2018) ASD merupakan salah satu faktor individu mengalami PTSD, yang mana ASD merupakan reaksi maladaptive setelah individu mengalami trauma

Analisis pola pita isozim peroksidase menunjukkan kultivar Beta 1, Beta 2 dan Papua Solossa memiliki pola pita yang berbeda (baik secara kualitatif maupun