TINJAUAN PUSTAKA
5. Pengertian Semiotika
Menurut Barthes (1968:9), semiologi atau semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda dan makna dalam bahasa, seni, media massa, musik dan setiap usaha manusia yang dapat direprodusikan atau direpresentasikan untuk seseorang atau audien.Semiologi diperkenalkan pertama kali oleh Ferdinand de Saussure, Bapak Linguistik modern, dalam bukunya yang menjadi klasik dalam bidang linguistik, Course de linguistique generale. Saussure telah meramalkan akan timbulnya suatu ilmu baru yang menerapkan metode linguistik struktural dalam ilmu-ilmu sosial lain di luar bahasa, yang disebutnya
“semiologi”.
Menurut Saussure, semiologi sering digunakan dalam analisis teks, selain hermeneutik, kritik sastra, analisis wacana, dan analisis isi. Salah-satu tokoh terpenting dalam semiologi adalah Roland Barthes (1915-1980). Ketika pertama kalinya membaca buku Saussure, Barthes melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menerapkan semiologi atas bidang-bidang lain. Tetapi, bertentangan dengan Saussure, Barthes beranggapan bahwa semiologi termasuk dalam bidang linguistik, bukan sebaliknya.
Pemahaman makna akan tanda menimbulkan pengkajian berdasarkan kepentingan masing-masing. Terutama dalam pengkajian tanda yang diterapkan pada bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual.Untuk gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi, cenderung digunakan tanda-tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi pembiasan makna.Sedangkan untuk hal-hal yang bermuatan ekspresi, seperti bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek humanistik, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif (Sachari, 2005:17).
Tanda dalam bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahasa lisan dan tulisan.Bahasa lisan dapat ditandai dengan suara atau bunyi sedangkan bahasa tulisan dapat ditandai dengan simbol atau lambang.Tanda dalam seni dapat dilihat dari ornamen-ornamen, misalnya dalam seni rupa yang di dalamnya terdapat ornamen. Tanda dalam media massa dapat berupa televise, surat kabar dan lainnya. Sedangkan tanda dalam music dapat ditandai dengan adanya suara yang diiringi nada.
Menurut Wibowo (2013), secara etimologis, istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contoh, asap yang menandai adanya api. Selain itu, beliau juga menyebutkan bahwa semiotika secara terminologis dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Sedangkan menurut Zoest (1993 : 1) semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda.
Semiotika digunakan untuk meneliti banyak bidang ilmu, antara lain sastra misalnya puisi, novel dan prosa, kemudian dapat pula meneliti tentang kebudayaan misalnya kesenian.
Definisi Semiotika dalam kitab “ilmu Ad-Dilalalah (Mukhtar Umar : 1998) yaitu menurut seorang pakar ilmu semiotika, Ferdinande Saussure adalah sebagai berikut:
/Tażkuru mu ᾿ājimu al-muṣṭalahāti al-lugawiyyati anna „ilma ar-rumūzi huwa ad-dirāsatu al-„ilmuyyatulirrumūzi al-lugawiyyati wa al-lugawiyyati, bi I‟tibārihā adawātu li‟ittisālā wa ya‟rifuhu di sūsîr bi annahu al-„ilma al-lażi yadrusu ar-rumūza biṣifatin „āmmatin, wa ya‟uddu „ilma al-lugati aḥadu furū‟hi/“Menurut kamus linguistik (secara istilah), ilmu semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang simbol-simbol bahasa dan bahasa lainnya bahwa ilmu semiotika adalah ilmu yang mempelajari simbol-simbol secara umum dan merupakan salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik).
Dengan demikian, teori semiotika atau semiologi oleh Barthes ada dua tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan pertama adalah denotasi yaitu relasi anatara penanda dan petanda dalam sebuah tanda, serta tanda dengan acuannya, ini menunjukkan pada coomon-sense atau makna tanda yang nyata (tanda yang tampak nyata, bukan makna yang terkandung dalam tanda).
Denotasi dapat pula disejajarkan atau disamakan dengan makna konseptual, yaitu makna yang dimilki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata „kuda‟ memiliki makna konseptual yaitu sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai. Jadi, makna konseptual dapat juga disebut dengan makna leksikal, makna denotatif dan makna referensial.
Penanda yaitu suatu tanda yang menjelaskan „bentuk‟ atau ekspresi.
Dalam hal lain dijelaskan “penanda” merupakan “pemberi makna”.
Penanda juga merupakan aspek material dari suatu bahasan: apayang dilihat, dikatakan atau didengar (Sobur, 2004: 31 & 46).
Contohnya : Lampu Lalu Lintas di sisi jalan. Seiring perkembangan teknologi, lampu lalu lintas yang awalnya berbentuk T dengan warna merah, kuning dan hijau, kini lampu lalu lintas memiliki banyak variasi, misalnya lampu lalu lintas digital dengan perhitungan mundur otomatis yang sering kita temui saat ini, hingga adanya penambahan kamera yang berguna untuk mengurangi pelanggaran aturan lampu lalu lintas, dan lain sebagainya.
Petanda yaitu suatu tanda yang menjelaskan „konsep‟ atau „makna‟.
Dalam hal lain juga dijelaskan “petanda” merupakan “yang dimaknakan”. Petanda juga merupakan aspek mental dari suatu bahasan: gambaran mental, pikiran atau konsep (Sobur, 2004 : 31 &
46). Contohnya : lampu lalu lintas di sisi jalan yang kita ketahui sebagai alat pembantu tertibnya berlalu lintas yang memilki kode-kode di dalamnya. Lampu lalu lintas sudah banyak mengalami perubahan karena semakin majunya teknologi, namun perubahan tersebut tidak pernah meninggalkan wujud aslinya yaitu sebuah lampu yang dibuat
di bagian atas sebuah tiang dan terdiri dari tiga warna, yaitu merah, kuning, dan hijau. Lapu-lampu ini selalu dibuat berdampingan, baik itu dibuat secara vertical maupun horizontal.
2. Tingkatan kedua adalah konotasi. Barthes (1968) mengungkapkan bahwa konotasi sebagai suatu ekspresi budaya yang dapat dimunculkan melalui mitos. Mitos merupakan suatu pesan yang di dalmnya ideologi berada. Selain itu juga terdapat Simbol yang merupakan suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus. Konotasi dapat disebut dengan makna asosiatif yaitu makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang „suci‟ dan kata merah berasosiasi dengan „berani‟. Makna asosiatif sama dengan lambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal lata atau leksem tersebut, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda.
Tingkat signifikan yang terakhir di atas dapat menjelaskan bagaimana mitos-mitos dan ideologi beroperasi dalam teks melalui tanda-tanda.Mitos-mitos tersebut menjalankan fungsi naturalisasi, yakni untuk membuat nilai-nilai yang bersifat historis dan cultural, sikap dan kepercayaan menjadi tampak “benar”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan semiology Barthes terarah secara khusus pada apa yang disebut “mitos” ini. (Barthes, 1968: 9-14)
Pemahaman makna akan tanda menimbulkan pengkajian berdasarkan kepentingan masing-masing. Terutama dalam pengkajian tanda yang diterapkan pada bidang desain yang dapat dianalogikan dengan bahasa visual.Untuk gambar teknis, informasi ataupun aspek-aspek yang berkaitan dengan produksi, cenderung digunakan tanda-tanda visual yang bersifat denotatif, sehingga tidak terjadi pembiasan makna.Sedangkan untul hal-hal yang bermuatan ekspresi, seperti
bentuk, citra, motif, ornamen ataupun hal-hal yang bersentuhan dengan aspek kemanusiaan, cenderung diterapkan tanda-tanda konotatif. (Sachari, 2005:71).
Teori semiologi oleh Roland Barthes ((1968) sering kali digunakan untuk menganalisis ornamen-ornamen yang mengandung kebudayaan suatu masyarakat, berikut peneliti cantumkan beberapa contoh penggunaan teori tersebut pada ornamen Masjid Azizi Langkat oleh Mahfuzah Yusuf (2015):
Gambar 2: Ornamen Floralis Pada Bagian Atas Serambi Masjid
Secara denotatif, ornamen floralis menggambarkan bunga teratai yaitu salah satu jenis bunga yang sering kali digunakan dalam ornamen-ornamen Arabesque yang terdapat pada bagian atas serambi Masjid Azizi ini ornamen tersebut diukir sebagai pengisi ruang kosong disisi kiri dan kanan yang berbentuk segitiga dengan salah satu sisi berbentuk lengkungan.
Secara konotatif, ornamen floralis yang terdapat pada bagian atas serambi Masjid Azizi ini memiliki bentuk dasar segitiga memiliki pemaknaan yaitu
“symbol of human, consciousnessand the principle of harmony” (Pancawati dan faqih, 2012:2) yang artinya “Lambang dari manusia tentang kesadaran yang dimiliki manusia untuk berbuat sesuai dengan akal dan pikirannya dan yang dianggap baik dan berguna bagi lingkungannya.
Teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teori semiotika oleh Roland Barthes untuk menganalisis makna denotatif dan makna konotatif ornamen makam Putroe Nahrisyah, teori Gaya Ornamen oleh Al-Faruqi untuk menganalisis gaya ornamen makam Putroe Nahrisyah, dan teori Ragam Hias Ornamen oleh Aryo Sunaryo untuk menganalisis ragam hias ornamen yang terdapat pada makam Putroe Nahrisyah desa Kuta Krueng Kecamatan Samudera Geudong Kabupaten Aceh Utara.
BAB III