• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KONSEPTUAL

H. Alat-Alat Bukti dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara

I. Hak-Hak Atas Tanah

Setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegera memiliki hak masing-masing. Berbagai ilmu mengartikan bahwa hak merupakan sesuatu yang dimiliki manusia. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan hak adalah sesuatu yang benar,milik, kewenangan, dan kekuasaan seseorang untuk berbuat sesuatu karena sudah diatur undang-undang atau peraturan.

40 Victor Situmorang, 1987, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Bina Aksara,hal. 50

Menurut Darji Darmodiharjo, hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap individu yang telah ada sejak masih dalam kandungan.

Misalnya, hak untuk hidup, hak memperoleh kebidupan yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulis, hak memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, dan lain-lain.41

Sehubungan dengan hal tersebut, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.42 Kemudian masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.43

Terkait dengan itu, Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.44 Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang

41 https://www.kompas.com/Pengertian hak dan Bagiannya. Diakses di Makassar tanggal 01 November 2020.

42 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Yogyakarta : Liberty, hal.160

43 Ibid

44 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambata,Bandung, hal. 283

merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.45

Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakaan, perkebunan.46

Perwujudan tanggung jawab negara untuk memberikan rasa aman dan ketertiban kepada warga negaranya dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yakni “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”47

Tujuan hukum adalah mewujudkan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi masyarakat sebagaimana menurut Aristoteles dan Aguinas Grotius yang mengajarkan bahwa kepastian hukum dan keadilan adalah tujuan dari sistem hukum. Demikian juga ketentuan pasal 19 Ayat (2) UUPA menegaskan bahwa pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian

45 Ibid.

46 Urip Santosa, 2010, Pendaftaran dan Perolehan Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, hal.49

47 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua.

yang kuat, ini sesuai pula dengan penjelasan atas UUPA Bab IV alinea 2 yang menyebutkan pendaftaran tanah yang bersifat rechtkadaster yang artinya bertujuan menjamin kepastian hukum.

Kepastian hukum sertifikat seharusnya dapat dipahami sebagai sertifikat yang merupakan produk dari lembaga pemerintah adalah sesuatu sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang tidak dapat di gangu gugat lagi. Akan tetapi sebagaimana penjelasan pasal 32 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi:

“sertifikat merupakan tanda bukti yang kuat selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya diterima sebagai data yang benar”

Oleh karena itu, Ini dapat pahami bahwa sertifikat sebagai produk lembaga pemerintah ada kemungkinan tidak benar (terlepas dari sebab-sebabnya), dengan demikian dapat mengurangi arti kepastian hukum sertifikat itu sendiri.

Kepastian hukum menurut pendapat Jan Michiel Otto dalam bukunya Adrian Sutendi, bahwa untuk menciptakan kepastian hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten

2. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten tunduk dan taat terhadapnya

3. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut

4. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum

5. Putusan pengadilan secara konkrit dilaksanakan.48 Kepastian hukum menurut Van Apeldoorn adalah:

1. Hal yang dapat ditentukan dari hukum, dalam hal-hal yang konkrit.

Maksudnya adalah bahwa pihak-pihak pencari keadilan ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara.

2. Keamanan hukum, maksudnya adalah melindungi para pihak terhadap kesewenang-wenangan hakim.49

Sedangkan menurut Sudirman Saad dalam bukunya Urip Santoso,50 perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam pendaftaran tanah dapat terwujud apabila dipenuhi 3 (tiga) syarat kumulatif sebagai berikut:

1. Penerbitan sertifikat tanahnya telah berusia 5 tahun atau lebih 2. Proses penerbitan sertifikat tersebut didasarkan pada itikad baik 3. Tanahnya dikuasai secara fisik oleh pemegang hak atau kekuasaanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa

“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6

48 Adrian Sutedi, 2011, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 27

49 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya:

Arkola, hal. 178

50 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, hal. 280.

Adapun Pasal 6 yang berbunyi:

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”.

Kemudian pada ayat (2) disebutkan

“Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”

Sebagaimana yang telah ditentukan pada ayat (1) bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, yang maksudnya adalah hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Kemudian daripada itu, disebutkan pula bahwa hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, maksud dari kata-kata tersebut menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh dan bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat.

Hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, berarti hak milik tidak mudah dihapus dan lebih mudah dipertahankan apabila terdapat gangguan dari pihak lain.51 Oleh karena itu, arti kata tepenuh pada pengertian hak milik di atas adalah hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, hak milik dapat menjadi induk dari hak atas tanah lainnya, misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.

Wewenang seorang pemegang hak milik tidak terbatas selama tidak dibatasi oleh penguasa. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bemaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak-hak-hak atas tanah yang

51 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Jakarta, Sinar Grafika, hal. 60

dapat dimiliki orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh. Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian terhadap persoalan hak milik atas tanah.52

Hak milik atas tanah di dalam UUPA termasuk ke dalam konsep hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer ini maksudnya adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya.53

Selain hak milik atas tanah yang termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak Pakai. Hak milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya.

Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

1. Subjek Hak Milik

52 A.P. Parlindungan, 2018, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit,cv. Mandar Maju, hal. 124

53 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64

Hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga negara indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing selain itu hak milik atas tanah juga dapata diberikan kepada badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut menyebutkan bahwa badan badan hukum tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara). Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU No. 79 Tahun 1958.

b) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/

Agraria, setelah mendengar Menteri Agama.

c) Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing ataupun oleh orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia dan juga warga negara asing). Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada Pasal 21 ayat (3) yang berbunyi:

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undangundang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.

Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”

Sedangkan ketentuan pada Pasal 4 berbunyi:

“Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini”

Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA warga negara asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian juga bagi warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan kemudian kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganeraannya itu. Ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak kepada peorangan harus dilakukan dengan teliti, agar betul-beul terjadi pemerataan atas status hak tersebut.54

2. Sifat dan Ciri Hak Milik

Setiap hak milik atas tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak-hak lainnya. Hak milik itu hak-hak terkuat artinya bahwa hak-hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya hak milik dapat memberikan wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan hak-hak lainnya. Itu berarti bahwa hak milik dapat menjadi sumber dari hak-hak lainnya, karena hak milik memiliki kekuatan yang penuh. Misalnya, pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain. Sedangkan ciri-ciri hak milik dapat dilihat sebagai berikut:

54 Ibid, hal 66-67

a) Wajib didaftarkan

b) Dapat beralih kepada ahli waris c) Dapat dialihkan

d) Dapat diwakafkan e) Turun Temurun f) Dapat dilepaskan

g) Dapat dijadikan induk hak lain

h) Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan

Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa tanah hak milik merupakan tanah yang dapat di alihkan kepada ahlis waris, dapat pula didaftarkan untuk penerbitan sertifikat dan boleh juga diwakafkan kepada seseorang dan/atau kepada badan pemerintah secara cuma-cuma serta dapat pula dilepaskan dengan cara jual beli.

Oleh karena itu, kewenangan seseorang sebagai pemegang hak milik atas tanah dapat menjadi sumber kekuasaan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut karena telah memiliki hak penuh yang berbeda dengan hak-hak tanah yang bukan hak milik. Secara yuridis juga mendapatkan perlindungan hukum dalam menggunakan tanah hak milik tersebut, disebabkan telah memiliki alat bukti kepemilikan tertulis selaku pemegang kekuasaan atas tanah tersebut.

3. Terjadinya Hak Milik

Terjadinya hak milik atas tanah dapat dengan berbagai macam peristiwa.

Terjadinya hak milik atas tanah diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang isinya sebagai berikut :

a) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah

b) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak milik terjadi karena :

1) Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

2) Ketentuan Undang-Undang.

Menurut Edy Ruchyat, Hak milik dapat terjadi karena:55 a) Menurut Hukum Adat

Berdasarka ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUPA yang berbunyi

“Terjadinya hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan pemerintah”

Pasal tersebut menegaskan supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat tertentu. Itulah sebabnya, tanah adat harus diatur dalam suatu peraturan agar tidak berpotensi menjadi tanah sengketa seperti tanah-tanah masyarakat yang lainnya.

b) Penetapan Pemerintah

Hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tanah yang diberikan dengan hak milik itupun dapat

55 Edy Ruchyat, 2007, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi,Alumni, Bandung, hal.47-51

diberikan sebagai perubahan daripada yang sudah dipunyai oleh pemohon, misalnya hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai, hak milik ini merupakan pemberian hak baru.

c) Pemberian Hak Milik Atas Negara

Hak milik tersebut diberikan atas permohonan yang bersangkutan.

Permohonan untuk mendapatkan hak milik itu diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang dengan perantara Bupati, Walikota, dan atau kepala Daerah ke kepala Kantor Agraria Daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, instansi yang berwenang hak milik yang dimohon itu diberikan dengan menerbitkan suatu surat keputusan pemberian hak milik.

d) Pemberian Hak Milik Perubahan Hak

Pihak yang mempunyai tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai, jika menghendaki dan memenuhi syarat-syarat dapat menunjukkan permintaan kepada instansi yang berwenang, agar haknya itu diubah menjadi hak milik, pemohon lebih dahulu harus melepaskan haknya hingga tanahnya menjadi tanah Negara sesudah itu dimohon (kembali) dengan hak milik. Oleh karena itu, di dalam proses perubahan hak guna bangunan menjadi hak milik ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yang telah diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal.

Salah satu persoalan di lapangan ialah apabila masyarakat yang ingin meningkatkan Hak guna bangunannya menjadi hak milik yang telah lewat jangka waktunya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas tanah itu tidak bisa dilakukan, karena tanah tersebut dikembalikan kepada negara, pemegang hak pengelolaan, dan kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik. Selanjutnya bekas pemegang hak guna bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya serta menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya hak guna bangunan. Dengan demikina, hak milik atas tanah dapat diperoleh melalui proses perubahan hak dari hak guna bangunan. Hak guna bangunan memiliki jangka waktu, hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPA, yang menyatakan bahwa jangka waktu hak guna Bangunan ialah paling lama 30 tahun serta dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Oleh karena itu pemegang hak guna bangunan harus memperpanjang jangka waktu atau memperbarui haknya tersebut. Berbeda dengan hak milik yang mempunyai sifat turun-temurun, terkuat, terpenuh. Sehingga mayoritas dari pemegang hak guna bangunan yang berwarga Negara Indonesia lebih memilih meningkatkan status haknya dari hak guna bangunan menjadi hak milik.

Dokumen terkait