• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

i TESIS

ANALISIS KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR

Tesis ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh:

GUNAWANG NIM : 4617101010

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2021

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan rasa syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan Rahmat, inayah, dan magfirahNya sehingga Tesis ini dapat terselesaikan secara baik dengan judul:

“Analisis Kekuatan pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar”

Tesis ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar magister hukum di Universitas Bosowa Makassar. Tesis ini dapat disusun dengan baik sesuai dengan rencana, berkat dukungan, motovasi, petunjuk dan bimbingan dari bernagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof Dr. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar

2. Bapak Prof. Dr. Batara Surya, S.T.,M.Si selaku Direkur Program Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar

3. Bapak Dr. Baso Madiong, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bosowa Makassar sekaligus Pembimbing 1 yang aktif memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada penulis Tesis ini.

4. Bapak Dr. Zulkifli Makkawaru, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang aktif juga memberikan masukan, saran dan petunjuk-petunjuk kepada penulis Tesis ini.

(6)

vi

5. Bapak dan Dosen program Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat memahami asaz dan teori-teori Ilmu Hukum.

6. Bapak dan Ibu penulis Tesis ini yang selalu memberikan doa, kasih sayang, kepercayaan, nasehat, motivasi dan segalanya upaya-upaya yang sifatnya membina kepada penulis agar dapat menjadi manusia yang berguna kepada keluarga dan kepada bangsa dan negara melalui dengan dukungan terhadap pendidikan.

7. Teman-teman angkatan 2017 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, yang telah berpartipasi atas kelancaran penulisan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sehinggga saran dan masukan-masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan Tesis ini, semoga penulisan Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat kepada semua pihak terutama akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat hukum.

Makassar, 5 Maret 2021 Penulis,

Gunawang 4617101010

(7)

vii ABSTRAK

Gunawang, Analisis Kekuatan Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Dibimbing oleh Baso Madiong dan Zulkifli Makkawaru.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan serta menganalisis kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa sertifikat hak milik atas tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan faktor-faktor yang mempengaruhi sertifikat hak milik atas tanah menjadi sengketa.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah jenis penelitian yuridis empiris, sifat penelitian deskriptif, jenis data yang digunakan adalah data kepustakaan/sekunder dan primer, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta Perubahan-perubahannya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, KUHPer, KUHAPer) bahan hukum kepustakaan/sekunder (buku-buku teks yang di tulis oleh para ahli hukum, jurnal- jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, Koran, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet), teknik pengumpulan data berupa analisis data kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa sertifikat hak milik atas tanah adalah surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim (Pasal 100 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PERATUN), dan faktor- faktor yang mempengaruhi sertifikat hak milik atas tanah menjadi sengketa adalah faktor kualitas sumber daya manusia, cacat hukum administrasi, dan lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah.

Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian, Sengketa, Sertifikat Hak Milik Atas Tanah

(8)

viii ABSTRACT

Gunawang, Analysis of the Strength of Evidence in Settling Land Ownership Certificate Disputes at the Makassar State Administrative Court, Supervised by Baso Madiong and Zulkifli Makkawaru.

The purpose of this research is to find out, describe and analyze the power of evidence in resolving disputes over land ownership certificates at the Makassar State Administrative Court and the factors that affect the land title certificates being disputed.

The research method used in writing this law is the type of empirical juridical research, the nature of descriptive research, the type of data used is library / secondary and primary data, the data source is secondary data sources that are still relevant to the problem, namely primary legal materials (Law No. 5 of 1986 concerning State Administrative Courts and their Amendments, Law No.

5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles, Government Regulation No. 24 of 1997 concerning Land Registration, KUHPer, KUHAPer) library / secondary legal materials (text books written by legal experts, legal journals, scholarly opinions, scientific papers, newspapers, papers, and magazines), and tertiary legal materials (dictionaries and the internet), data collection techniques are in the form of qualitative data analysis .

Based on the results of research and discussion, the power of evidence in resolving disputes over land ownership certificates is a letter or writing, expert statements, witness testimony, recognition of the parties, and knowledge of judges (Article 100 of Law No.5 of 1986 on Administrative Court), and The factors that influence land title certificates to be disputed are the quality of human resources, defects in administrative law, and weak supervision in the implementation of land registration.

Keywords: Power of Evidence, Disputes, Land Ownership Certificate

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENERIMAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI DAN KONSEPTUAL A. Teori Pembuktian ... 11

B. Pengertian Pembuktian ... 15

C. Kekuatan Pembuktian ... 19

D. Pengertian Sengketa ... 28

E. Sengketa Tata Usaha Negara ... 31

F. Pengertian Sertifikat Hak Milik ... 43

G. Penbuktian dalam Pengadilan Tata Usaha Negara... 44

H. Alat-Alat Bukti dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara ... 45

I. Hak-Hak Atas Tanah ... 55

J. Kerangka Berpikir ... 65

K. Defenisi Operasional ... 67

(10)

x BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 68

B. Lokasi Penelitian ... 69

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ... 69

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 70

E. Analisi Bahan Hukum ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum ... 72

B. Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar... 78

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Menjadi Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar ... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Dapat dikatakan bahwa hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Tanah juga mempunyai arti penting bagi kehidupan Bangsa Indonesia. Hal ini karena Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar rakyat Indonesia senantiasa membutuhkkan dan melibatkan soal tanah.

Bahkan sebagian besar masyarakat, tanah dianggap sebagai sesuatu yang sakral, karena disana terdapat simbol status sosial yang dimilikinya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tanah dibutuhkan oleh banyak orang dan/atau warga negara sedangkan tanah jumlahnya tidak bertambah dan/atau tetap, sehingga tanah yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat. Kebutuhan akan tanah untuk membangun perumahan sebagai tempat tinggal, untuk bercocok tanam dan/atau pertanian, serta untuk membangun fasilitas umum dalam rangka memenuhi tuntutan tehadap kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita negara tersebut di atas, maka di bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan kehidupan rakyat dan negara.

Secara konstitusional, Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(12)

tahun 1945 (UUD 1945) tepatnya pada Pasal (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Pasal ini mengamanahkan bahwa segala kegiatan kenegaraan harus berlandaskan dengan hukum, karena ciri negara hukum dilihat dari seberapa besar kepatuhan pemerintah dan warga negara terhadap hukum yang telah ditetapkan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah sebutan lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960 di Jakarta. Tujuan dikeluarkannya UUPA adalah untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia pada saat itu. Hukum agraria yang berdasarkan hukum barat jelas memiliki tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan. Hal ini dapat dipastikan bahwa pemberlakuan hukum agraria tersebut, tidak mampu mewujudkan cita-cita Negara sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (3), yaitu Bumi air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat, karenaa tanah identik dengan kelangsungan hidup masyarakat. Tak hanya sekedar tanah untuk bermukim, tetapi dapat juga menajadi tempat mata pencaharian masyarakat. Hak atas tanah merupakan hak untuk menguasai sebidang tanah yang dapat diberikan kepada perorangan sekelompok orang atau badan hukum. Jenis hak atas tanah bermacam-macam, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain sebagainya. Tanah berfungsi untuk memberikan pengayoman agar tanah dapat dijadikan saran bagi

(13)

rakyat untuk mencapai penghidupan yang layak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Tanah memiliki nilai ekonomis, karenaa tanah merupakan elemen yang tidak dapat dikesampingkan dalam era pembangunan nasional maupun guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Disamping mempunyai nilai ekonomis, tanah juga memiliki nilai sosial, yang berarti hak atas tanah tidak mutlak, namun negara menjamin dan menghormati hak atas tanah yang diberikan kepada warga negaranya, sehingga dibutuhkaan kepastian hukum dalam penguasaan tanah yang dilindungi oleh Undang-undang. Peraturan hukum perdata mengenai benda/harta kekayaan dituangkan dalam beberapa undang-undang, misalnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA)

Tanah merupakan objek yang paling mudah terkena sengketa, baik sengketa antar individu, antar individu dengan badan hukum, bahkan sengketa yang melibatkan pemerintah, sehingga peraturan hukum terkait penguasaan/pemberian hak atas tanah harus dapat dimaksimalkan untuk menjamin perlindungan terhadap pemegang hak atas tanah. Masalah pertanahan memerlukan perhatian dan penanganan yang khusus dari berbagai pihak, karean pembangunan yang terjadi sekarang meluas di berbagai bidang, sehingga harus ada jaminan kepastian hak-hak atas tanah. Oleh Karen itu, untuk menghindari terjadinya perselisihan antara tiap-tiap manusia yang membutuhkan tanah tersebut, maka dibuat peraturan-peraturan tentang pertanahan yang berguna untuk mengatur segala aktifitas penggunaan tanah di Indonesia. Ketentuan tentang kepastian hukum hak atas tanah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

(14)

1961 tentang Pendaftaran Tanah sesuai dengan dinamika dalam perkembangannya. Peraturan Pemerintah tersebut disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Ketentuan Peraturan Pemerinttah yang baru ini memang banyak dilakukan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan pendaftaran tanah.

Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertifikat hak atas tanah mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya. Adapun fungsi sertifikat tersebut sebagai berikut:

1. Sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat.

fungsi yang utama sebagaimana dalam ketentuan UUPA pada Pasal 19 ayat (2) huruf c yang berbunyi:

“Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”

2. Sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya.

3. Bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung.

Adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang di amanatkan UUPA mengandung dua dimensi yaitu kepastian objek hak atas tanah dan kepastian subjek hak atas tanah. Salah satu indikasi kepastian objek hak atas tanah di tunjukan oleh kepastian letak bidang

(15)

tanah yang terkoordinat georeferensi dalam suatu peta pendaftaran tanah, sedangkan kepastian subjek diindikasikan dari nama pemegang hak atas tanah tercantum dalam buku pendaftaran tanah pada instansi pertanahan. Secara ringkas, salinan dari peta dan buku pendaftaran tanah tersebut dikenal dengan sebutan Sertifikat Tanah. Namun demikian, dalam prakteknya, kepastian hukum hak atas tanah ini kadangkala tidak terjamin sebagaimana yang diharapkan.

Fenomena umum yang sering terjadi dikalangan masyarakat saat ini adalah banyaknya sertifikat palsu, sertifikat asli tapi palsu atau sertipikat ganda/overlapping di seluruh wilayah indonesia sehingga pemegang hak atas tanah perlu mencari informasi tentang kebenaran data fisik dan yuridis atas bidang tanah tertentu di Kantor Pertanahan setempat. Pada umumnya masalah baru muncul dan diketahui terjadi penerbitan sertipikat tanah yang saling tumpang tindih, ketika pemegang sertipikat yang bersangkutan akan melakukan suatu perbuatan hukum atas bidang tanah yang dimaksud.

Fenomena yang kerap kali terjadi di Negara Indonesia sudah tidak dapat di toleransi dan di atasi secara maksimal diberbagai daerah terutama peristiwa- peristiwa hukum yang berkaitan dengan penerbitan surat-surat dan/atau dokumen yang mengandung hak keperdataan warga negara yang penerbitannya bertentangan dengan asas hukum. Aka tetapi, pada faktanya telah menunjukkan bahwa banyaknya perkara hukum, sengketa, konflik di berbagai daerah di wilayah Indonesia antara warga negara yang satu dengan yang lain yang berkenaan dengan akta outentik dan/atau surat-surat yang diterbitkan oleh para pejabat tata usaha negara membuktikan bahwa pejabat negara kurang profesional dalam

(16)

menjalankan tugas dan wewenangnya serta kewajibannnya yang berlandaskan hukum. Pemalsuan dokumen-dokumen dan/atau banyaknya surat-surat yang tumpang tindih bahkan ganda menyebabkan terjadinya suatu perkara hukum yang dapat merugikan hak-hak keperdataan warga negara. Salah satu peristiwa hukum yang kerap kali terjadi dan merugikan hak kerperdataan warga negara.

Sehubungan dengan banyaknya perkara sengketa dokumen, akta outentik dan/atau surat-surat yang bersifat keperdataan bagi warga negara, maka di dalam mencari keadilan di lembaga peradilan tentu sangat diutamakan pembuktian terhadap apa yang didalilkan oleh warga negara selaku pihak yang dirugikan Namun, menyatakan sesuatu hak tidaklah sekedar ucapan saja. Akan tetapi, diperlukan pembuktian terhadap apa yang didalilkan agar dapat memberikan suatu keyakinan tentang kebenaran hak-hak yang dipertahankan oleh warga negara di hadapan hakim di lembaga peradilan yang berwenang mengadili. Masalah yang sering terdengar di kalangan masyarakat menjadi sumber informasi tentang kekhawatiran masyarakat terhadap jaminan kepastian hukum dari hak-hak atas tanah yang dikuasai atau dimiliki sebagai ladang untuk memenuhi segala kebutuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu contoh kasus tentang penerbitan sertifikat tanah yang saling tumpang tindih (overlapping) yang terjadi di kota Makassar yang diajukan di hadapan sidang pengadilan, yaitu sengketa sertifikat hak milik atas tanah dengan nomor Register Nomor: 79/G/2019/PTUN.Mks. Dalam perkara tersebut, yang menjadi Penggugat adalah atas nama Katrina Amba dan Tergugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar kemudian Tergugat II Intervensi atas nama M.

(17)

Suka, pada pokok sengketa Penggugat merasa dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara berupa sertifikat hak milik yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Kota Makassar karena perbuatan Tergugat dalam menerbitkan Setifikat Hak Milik No. 20363 yang berlokasi di Panaikang atas tanah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TataUsaha Negara yang berbunyi :

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Semestinya Tergugat sebelum menerbitkan Sertifikat Hak Milik No.

20363 di Kelurahan Panaikang atas tanah objek sengketa meneliti dahulu data riwayat tanah tersebut, tentang asal usulnya, apakah atas dasar jual beli, atau hibah, dan/atau tanah yang dimohonkan tersebut tidak menimpa tanah milik orang lain dan semuanya haruslah dilengkapi dengan bukti-bukti alas hak. sehingga pada pokoknya Hakim menetapkan dalam putusannya dengan mengabulkan Gugatan Penggugat dengan seluruhnya dan membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara berupa sertifikat yang telah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Kota Makassar.

(18)

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kasus ini merupakan salah satu bukti bahwa masih sering terjadi penetapan tertulis berupa Keputusan Tata Usahan Negara yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan prosedur hukum sebagaimana mestinya. Kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah harus diikuti dengan kegiatan pendaftaran tanah baik yang dimiliki oleh masyarakat maupun oleh badan hukum ke kantor pertanahan guna mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang dikuasainya atau yang dimilikinya. Walaupun pelaksanaan pendaftaran tanah sudah dilakukan, namun masih terjadinya sengketa-sengketa hak-hak atas tanah di tengah-tengah masyarakat yang bahkan sampai pada gugatan-gugatan ke Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya pemblokiran sertifikat hak atas tanah tersebut oleh Kantor Pertanahan.

Permohonan pemblokiran terhadap sertifikat hak atas tanah tersebut dapat dilakukan pihak pengadilan yang berwenang karena adanya gugatan, di antaranya karena terjadinya sertifikat ganda, hutang piutang atau karena pailit. Apabila dintinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Peranan Kantor Pertanahan dalam menyelesaikan sengketa sertifikat ganda kurang maksimal karena sertifikat ganda atau sertifikat tumpang tindih masih sering terjadi ditengah masyarakat, Sehingga sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga pertanahan tersebut,

(19)

menimbulkan kerugian terhadap warga negara yang kemudian menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara oleh karena tanah merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan sengketa antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian kualitatif dengan judul “Analisis Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa sertifikat hak milik atas tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makasar ? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi sertifikat hak milik atas tanah

menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara ? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan serta menganalisis kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa sertifikat hak milik atas tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

2. Untuk mengetahui proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah yang menjadi sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Makasar

(20)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan atas penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran, pengetahuan dan gambaran yang nyata mengenai peranan lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa tata usaha Negara

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pengembangan Ilmu Hukum terutama dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi Negara b. Sebagai referensi terhadap peneliti berikutnya yang melakukan suatu

penelitian yang sama.

(21)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KONSEPTUAL A. Teori Pembuktian

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang bagaimana hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa di dalam sidang. Adapun 3 (tiga) teori tersebut sebagai berikut:

1. Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan beberapa saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.1

1 Zairin Harahap, 1997. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 129

(22)

2. Teori Pembuktian Terikat

Terkait dengan pembuktian terikat dalam suatu peristiwa hukum, hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi hakim harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan.

Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. kemudian dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.

Namun, kelemahan teori terikat ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu sebagai berikut:

a) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Oleh karena itu, hakim dilarang menjatuhkan hukuman apabila hanya seorang saksi saja tanpa ada bukti lain sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum Acara Perdata yang disebut HIR (Herzien Inlandsch Reglement) pada Pasal 169 yang berbunyi:

“Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercaya dalam hukum”

(23)

Sehubungan dengan ketentuan pasal tersebut, dalam ketentuan hukum acara baik Perdata maupun Pidana diluar Jawa dan Madura yang disebut Rbg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) telah ditegaskan pada Pasal 306 yang berbunyi:

“Keterangan satu orang saksi tanpa disertai alat bukti lain, menurut hukum tidak boleh dipercaya”

Kemudian daripada itu, pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut BW (Burgerlijk Wetboek)telah ditegaskan pula pada Pasal 1905 yang berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya”

b) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata yang disebut HIR (Herzien Inlandsch Reglement) pada Pasal 165 yang berbunyi:

“Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berwenang untuk membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli waris masingmasing serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan tentang hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan; tetapi yang tersebut temkhir ini hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung menyangkut pokok akta itu”

Sehubungan dengan Pasal tersebut di atas, telah dtegaskan pula dalam hukum acara baik Perdata maupun Pidana bagi daerah diluar Jawa dan Madura

(24)

yang disebut Rbg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) pada Pasal 285 yang berbunyi:

“Sebuah akta otentik, yaitu yang dibuat dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta.itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka; hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu”

Terkait dengan pembuktian pada akta otentik tersebut di atas, ditegaskan pula kesempurnaan akta otentik sebagai lata bukti yang kuat dan sempurna sebagai dasar untuk menguatkan perkara yang diajukan ke pengadilan yang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang disebut BW (Burgerlijk Wetboek) pada Pasal 1870 yang berbunyi:

“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”

c) Teori Pembuktian Gabungan

Terkait pembuktian hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan.2 Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.

2 Ibid, hal. 53

(25)

Menurut Teguh Samudera , bahwa masalah pembuktian penting sekali diketahui oleh seluruh masyarakat masyarakat dan oleh karena itu perlu pula untuk disebar luaskan agar masyarakat lebih jelas memahahi masalah pembuktian dengan alasan pertimbangan sebagai berikut bahwa:

a) Pada dasarnya pembuktian adalah merupakan bagian yang penting dalam hukum acara

b) Dalam mengadili perkara, hakim selalu memerlukan pembuktian dalam menyelesaikan suatu perkara melalui Pengadilan berdasarkan dengan alat-alat pembuktian.

c) Adanya pembuktian maka akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang benar.

d) Adanya pembuktian maka akan dapat dijamin adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara seimbang.

e) Adanya Pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa pemeriksaan suatu perkara benar menurut hukum.

f) Adanya alat alat pembuktian itu dapat menjamin bahwa hakim dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ada karena telah ditentukan dalam undang-undang.3

B. Pengertian Pembuktian

Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya terdakwa atau tergugat di dalam sidang

3 Eddy O.S.Hilariej, 2015, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga Jakarta. hal. 98

(26)

pengadilan.4 oleh karena itu, pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dan atau tergugat didalam persidangan.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan.5 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pembuktian merupakan proses penyajian alat-alat bukti dalam proses persidangan dihadapan para hakim untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara dan/atau sengekta tata usaha negara.

Sehubungan dengan pembuktian tersebut, Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dengan menggunakan istilah membuktikan, dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:

1. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti-bukti lain.

4 Ebta Setiawan, ‚arti atau makna pembuktian‛ dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna pembuktian. diakses pada tanggal 25 Oktober 2020.

5 Martiman Prodjohamidjojo, 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti , Ghalia Jakarta:, hal.12

(27)

2. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatan tingkatan:

a) Kepastian yang didasarkan atas keyakinan hakim saja, maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut Conviction Intime.

b) Kepastian yang didasarkan pada keyakinan hakim atas alasan yang logis, yang disebut Conviction Raisonnee.

c) Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.6

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara baik tata usaha Negara, perdata maupun pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah, sebagai berikut:

a) Undang-undang b) Doktrin atau ajaran c) Yurisprudensi.7

6 Andi Sofyan, 2017. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, Prenada Media Grup (Kencana), Jawa Barat, hal. 242

7 Hari Sasongko dan Lili Rosita, 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, Bandung: Mandar Maju, hal.10

(28)

Kemudian daripada itu, pengertian pembuktian diungkapkan pula oleh Subekti salah satu ahli hukum bahwa hukum pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Oleh karena itu, pembuktikan hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam hal perkara di muka pengadilan terhadap hal-hal yang tidak dapat dibantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan pembuktian.8

Sehubungan dari doktrin-doktrin tersebut di atas, maka dapat pahami bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh pihak berperkara untuk memberikan dasar kepada hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang didalilkan. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengatakan suatu peristiwa maka seseorang yang mengatakan suatu peristiwa itu harus dapat membuktikannya agar suatu peristiwa itu dapat memberikan keyakinan terhadap hakim dalam memutus perkara di pengadilan.

Pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat.

Secara umum dapat dipahami bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta

8 R. Subekti, 1983. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pranadya Paramita, hal.5

(29)

tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama oleh hakim di dalam persidangan.

C. Kekuatan Pembuktian

Kekuatan pembuktian sangat bergantung pada kebenaran suatu perbuatan hukum yang membuat hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang laim. Apabila ada suatu surat atau akta baik akta otentik maupuan akta dibawah tangan dibuat dengan merekayasa sedemikian rupa, maka tentu kekuatan pembuktiannya dipersidangan akan mengalami kelemahan dan tidak menjadi sempurna. Suatu akta otentik memerlukan pula saksi karena akta otentik tanpa ada seorang saksi tidak dapat dibenarkan dalam hukum maupun dalam persidangan.

Menurut Achmad Ali dan Wiwie Heryani menjelaskan bahwa alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke persidangan namun sudah berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh, akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka persidangan, namun sudah merupakan alat bukti.9 Oleh karena itu, alat bukti ini sangat tergantung pada tanda tangan para pihak juga yang membuat hubungan hukum dalam suatu kesepakatan yang dilakukan, sebab walaupun dibuat dihadapan pejabat umum tetapi masih membutuhkan pula tanda tangan dari para pihak agar dapat lebih kuat dan memperlihatkan kekuatan pembuktiannya.

9 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, hal. 73

(30)

Menurut M. Yahya Harahap,10 fungsi tulisan atau akta dari segi hukum pembuktian, ialah sebagai berikut:

1. Berfungsi sebagai formalitas kausa (sebab yang menimbulkan suatu kejadian)

2. Berfungsi sebagai alat bukti

3. Fungsi Probationis causa (akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti).

Oleh karena itu, fungsi tulisan atau suatu akta sebagai formalitas kausa ialah sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan hukum yang dilakukan.

Apabila perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan tidak sesuai dengan surat atau akta, tindakan itu menurut hukum tidak sah, karena tidak memenuhi formalitas kausa (causa). Terdapat beberapa tindakan atau perbuatan hukum yang menjadikan surat atau akta sebagai syarat pokok keabsahannya. Surat Bukti tulisan atau surat menurut Pasal 1866 KUHPerdata yang berbunyi Alat pembuktian meliputi:

a) Bukti tertulis b) Bukti saksi c) Persangkaan d) Pengakuan e) Sumpah.

Oleh karena itu, pada pasal tersebut dapat dipahami bahwa surat dan/atau tulisan ditempatkan pada tempat teratas, yang sekaligus menjelaskan pentingnya bukti tulisan dalam pembuktian perkara perdata dan bukti tulisan itu sendiri pada dasarnya sudah menjadi alat bukti. Kemudian daripada itu, pada Pasal 1867

10 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 563-565

(31)

ditentukan pula tentang kekuatan akta otentik dan akta dibawah tangan yang diakui sebagai alat bukti yang benar menurut hukum yang berbunyi:

“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan”

Fungsi utama surat atau akta ialah sebagai alat bukti. Tujuan utama membuat akta diperuntukkan dan digunakan sebagai alat bukti. Dalam transaksi jual beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian yang telah dibuat.

Kemudian daripada itu, akta juga berfungsi sebagai Probationis Causa.

Maksud surat atau akta yang bersangkutan merupakan satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, keperluan atau fungsi akta itu merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanda akta itu, peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Pembahasan tentang kekuatan mengikatnya alat bukti tulisan atau surat, akan bermula dari akta otentik itu sendiri.

Menurut Habib Adji, menerangkan bahwa arti kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.11

Sedangkan Menurut M. Yahya Harahap, bahwa dari ketentuan pasal tersebut, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang

11 Habib Adjie, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 6

(32)

disebut pejabat umum.12 Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cacat atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi:

“Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya,mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak”

Akta tersebut tidak sah memenuhi persyaratan formal sebagai akta otentik atau juga disebut akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. Namun akta yang demikian mempunyai nilai pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para pihak yang memiliki kepentingan dalam akta tersebut. Lebih lanjut perihal kekuatan pembuktian dari akta otentik ialah beberapa asas yang melekat pada akta tersebut yakni:

a) Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik b) Kekuatan pembuktian formal

c) Kekuatan pembuktian materiil.13

Oleh karena itu, kekuatan pada pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat di dalam akta otentik, merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat dalam suatu akta. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai hukum, maka kekuatan pembuktian yang sempurna (voledig) dan mengikat (bindende) menjadi tidak berarti menurut hukum. Oleh karena itu, untuk melekatkan nilai kekuatan pembuktian seperti itu

12 M. Yahya Harahap, Op Cit, hal. 566

13 M. Yahya Harahap, Loc Cit.

(33)

maka pada akta otentik harus terpenuhi secara terpadu kekuatan pembuktian sebagai berikut:

a) Kekuatan bukti luar.

Suatu akta otentik harus dianggap dan diberlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan bahwa akta itu bukan akta otentik karena dapat dibuktikan kepalsuannya sehingga tidak boleh diterima dan dinilai sebagai akta otentik.

Sesuai dengan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak yang berperkara wajib menganggap akta otentik itu sebagai akta otentik, sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang diajukan, bukan akta otentik karena pihak lawan dapat membuktikan yakni adanya Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang, atau tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu serta isi yang terdapat di dalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.

b) Kekuatan pembuktian formil.

Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik dijelaskan Pasal 1871 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta”

Oleh Karen itu, dapat dipahami bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penandatangan kepada pejabat yang membuatnya. Dengan demikian, segala keterangan yang diberikan penandantanganan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang

(34)

dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta yakni:

(1) Mengenai tanggal yang tertera di dalamnya (2) Tanggal tersebut harus dianggap benar

(3) Berdasarkan kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal pembuatan akta tidak dapat digunakan lagi oleh para pihak dan hakim.

Kemudian daripada itu, kekuatan pembuktian yang ditentukan pada Pasal 1871 KUHPerdata, dapat dipahami bawah tidak hanya membuktikan secara formal kebenaran para pihak yang telah menerangkan hal-hal yang tercantum di dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga meliputi bahwa yang diterangkan itu adalah benar.

c) Kekuatan Pembuktian Materiil.

Mengenai kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan, benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik, akta otentik merupakan alat bukti yang kuat dalam menguatkan hak-hak perdata seseorang yang dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara terutama dalam proses persidangan dipengadilan yang berwenang.

Dengan demikian, kebenaran akta-akta baik akta otentik maupun akta yang dibuat dibawah tangan oleh para pihak yang membuat hubungan hukum

(35)

dalam suatu objek kesepakatan maka yang dibuat oleh para pihak pada suatu hubungan hukum tersebut, dapat ditegakkan kekuatan pembuktian materiil akta otentik yang telah di tandatangani masing-masing pihak, adapun kekuatan pembuktian tersebut sebagai berikut:

(1) Siapa yang menandatangani akta otentik berarti dengan sukarela telah menyatakan maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta.

(2) Tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta, untuk menjamin kebenaran keterangan tersebut.

Oleh karena itu, di belakang hari penandatangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa ia tidak menulis atau memberikan keterangan seperti yang tercantum dalam akta. Namun demikian perlu diingat, bahwa bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya.

Menurut Habib Adjie, aspek lahiriah dari akta notaris dalam yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa akta notaris sebagai alat bukti yang berkaitan dengan tugas pelaksanaan tugas jabatan notaris, ialah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, yang menegaskan bahwa judex factie dalam amar putusannya membatalkan akta notaris, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena pejabat notaris fungsinya hanya mencatatkan (menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban notaris untuk

(36)

menyelidiki secara materiil hal-hal yang dikemukakan oleh penghadap notaris tersebut.14

Sehubungan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 16 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No.

30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris, menyatakan sebagai berikut:

(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan bukti akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), notaris berwenang pula:

(a) Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tandatangan dengan mendaftar dalam buku khusus

(b) Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus

(c) Membuat copy dari surat asli di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

(d) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya

(e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta

(f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan (g) Membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan notaris yang demikian luas dan kompleks tersebut, di dalam kaitannya dengan kewenangan membuat akta ditinjau dari aspek lahiriah suatu akta notaris, jelas sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya yang

14 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Op Cit, hal. 21

(37)

utama dan pertama, yakni membuat akta autentik yang sekaligus merupakan akta notaris.

Menurut Zainal Asikin, akta autentik yang dibuat oleh pegawai pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk), sedangkan akta autentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai (acte partij).15

Pejabat yang berwenang membuat akta autentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya.

Adapun akta jual beli tanah yang dibuat di hadapan camat atau notaris, merupakan akta autentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Untuk membuat akta partai (acte partiji) tidak pernah berinisiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat (acte ambtelijk) justru pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta tersebut.

Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara akta otentik yang dibuat oleh notaris dan yang dibuat oleh Camat, masing-masing selalu PPAT, ialah kedudukan dan pengakuan terhadap notaris yang memiliki kualifikasi khusus sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik dibandingkan Camat. Notaris lebih luas cakupan wilayah kerjanya dibandingkan dengan cakupan wilayah Camat yaitu di kecamatan tertentu.

Demikian pula, notaris tidak mudah pindah dibandingkan Camat yang sewaktu-waktu terjadi mutasi kerjanya. Perbedaan mendasar lainnya ialah Camat selaku PPAT hanya berwenang membuat akta tanah seperti jual beli tanah belaka,

15 Zainal Asikin, 2015, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 124

(38)

sementara ruang lingkup tugas, fungsi dan kewenangan notaris lebih luas lagi, oleh karena notaris berwenang membuat akta pendirian perseroan terbatas, suatu tugas, fungsi dan wewenang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan, membuat akta pendirian perseroan terbatas tidak diserahkan kepada Camat. Terkait dengan bukti tulisan atau bukti surat selain terkait dengan akta autentik, juga mempunyai hubungan erat kaitannya dengan akta di bawah tangan, yang menurut Pasal 1874 KUHPerdata, di dalam ayat (1) disebutkan bahwa :

“sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.16

Dengan demikian, akta di bawah tangan merupakan bukti tulisan namun kekuatan pembuktiannya berada di bawah kekuatan pembuktian akta otentik.

D. Pengertian Sengketa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian; perselisihan, perkara (dalam pengadilan).17 Sedangkan menurut Nurnaningsih Amriani, menjelaskan bahwa sengekat merupakan perselisihan yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.18 Sementara menurut Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling

16 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2002, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 476

17 https://jagokata.com/arti-kata/sengketa. diakses di Makassar tanggal 26 Oktober 2020

18 Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hal. 13

(39)

mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja. Sengketa adalah kondisi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan tersebut kepada pihak kedua.19

Apabila suatu kondisi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan sengketa tersebut. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Sehingga dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak, karena tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan atau dipenuhi namun kurang atau berlebihan yang akhirnya mengakibatkan pihak satunya dirugikan.20 Sengketa yang timbul antara para pihak harus diselesaikan agar tidak menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dan agar memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak. Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara yaitu jalur litigasi maupun jalur non- litigasi. Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya dilakukan menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui Lembaga litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi (di luar pengadilan). Sehingga dapat dipahami bahwa litigasi merupakan proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana setiap pihak

19 Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.

Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hal. 1.

20 Nurnaningsih Amriani. Op. Cit. hal. 12

(40)

bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk mengajukan gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban.

Penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui Lembaga pengadilan. Menurut Frans Hendra Winarta, mengatakan bahwa litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain.

Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil.21 Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama karena menghasilkan suatu putusan win-lose solution. Sehingga pasti akan ada pihak yang menang pihak satunya akan kalah, akibatnya ada yang merasa puas dan ada yang tidak sehingga dapat menimbulkan suatu persoalan baru di antara para pihak yang bersengketa. Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama dan biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih mahal.

Proses yang lama tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus diselesaikan tidak sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan, juga karena terdapat tingkatan upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia

21 Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. hal. 1-2

(41)

yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Rochmat Soemitro juga menjelaskan bahwa sengketa timbul antara dua pihak yang mengganggu serta menimbulkan gangguan dalam tata kehidupan bermasyarakat, dan untuk menyelesaikan sengketa perlu ada suatu bantuan dari pihak ketiga yang bersikap netral dan tidak memihak.

Pengadilan harus dapat mengatasi dan menyelesaikan sengketa secara adil, untuk itu masyarakat atau pihak yang bersengketa harus memiliki kepercayaan pula kepada para hakim yang menangani dipersidangan terhadap perkara yang diajukan oleh warga negara baik perorangan maupuan badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara. Dengan harapan bahwa Pengadilan akan menyelesaikan sengketa secara adil.22

E. Sengketa Tata Usaha Negara

1. Pengertian Sengketa Tata Usaha

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang “Peradilan Tata Usaha Negara pada pasal 1 angak 10 yang berbunyi:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai

22 Rochmat Soemitro,1998, Peradilan Tata Usaha NegaraBandung, Refika Aditama, hal.

4

(42)

akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Oleh karena itu, apabila penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara di instansi pemerintah menimbulkan suatu kerugian bagi kepentingan seseorang dan/atau badan hukum perdata, maka penetapan dalam bentuk keputusan tersebut merupakan objek sengketa tata usaha negara.

Terkait dengan hal itu, yang menjadi penggugat dalam sengketa tersebut yakni orang dan/atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 1 angka 11 yang berbunyi:

“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”

Kemudian daripada itu, yang menjadi tergugat yakni pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan suatu keputusan tata usaha Negara berdasarkan kewenangan yang telah dilimphakn kepadanya sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1 angka 12 yang berbunyi:

“Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”

a) Objek Segketa Tata Usaha Negara

Obyek sengketa yang diperiksa adalah, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan

(43)

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sengketa tata usaha negara dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yang tentunya masing-masing memberikan penguatan dalam menyelesaikan tata usaha negara. Adapun pengelompokan tersebut sebagai berikut:

1) Sengketa Intern

Menurut Wicipto Setiadi, menyangkut persoalan kewenangan pejabat Tata Usaha Negara dalam satu instansi atau kewenangan antar departemen / instansi lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan.23

2) Sengketa Ekstern

Menurut Sjachran Basah dalam Victor Yaved Neno adalah sengketa antara administrasi negara dan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat dengan unsur yang bersumber dari unsur peradilan administrasi murni.24

b) Ciri-Ciri Sengketa Tata Usaha Negara 1) Para Pihak yang Bersengketa

Menurut Rozali Abdullah menjelaskan bahwa peradilan tata usaha negara hanya berwenang mengadili sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara25.

23 Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, . Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 93.

24 Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung, Alumni, hlm. 65.

25 Rozali Abdullah, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 5

(44)

Oleh karena itu, dalam ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ciri pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya suatu ketetapan tertulis yang bersifat keputusan tata usaha Negara yang termasuk objek sengketa tata usaha negara. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh keputusan tata usaha Negara tersebut.

2) Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara

Penyelesaian sengketa tata usaha negara diproses pada pengadilan yang berwenang, salah satu pelaku kekuasaan kehakiman terkait dengan sengketa tata usaha negara tersebut yakni dipengedilan Tata Usaha Negara, baik ditingkat pertama maupun pada tingkat banding dan terakhir pada Mahkamah Agung sampai pada peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara padapasal 47 yang berbunyi :

(45)

“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”

Berdasarkan ketentuan pada pasal di atas, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha merupakan lembaga yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada pasal 50 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama”

Sehubungan dengan pasal tersebut, pada pasal 51 di Undang-Undang yang sama juga ditegaskan bahwa selain lembaga peradilan tingkat pertama ada pula lembaga tingkat di atasnya yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tata usaha negara yang berbunyi:

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding”

Oleh karena itu, lembaga Negara dalam hal ini lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara sengketa tata usaha negara yakni Pengadilan Tata Usaha Negara baik ditingkat pertama maupun pada tingkat banding demi tercapainya keadilan kepada semua pihak yang berperkara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pasal 4 telah ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman yang berbunyi:

(46)

“Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara”

Oleh karena itu, kewenangan lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara telah diberikan oleh Undang-Undang yang putusannya bersifat yuridis dan mengikat para pihak yang bersengketa.

3) Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Sengketa

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang- Undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara didefinisikan sebagai berikut:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Oleh karena itu, keputusan tata usaha Negara dalam berbentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha Negara tersebut, akan menjadi sengketa apabila ada pihak dan/atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan. Menurut Yuslim bahwa rumusan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana telah ditentukan pada Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 mengandung unsur-unsur sebagai berikut:26

26 Yuslim. 2015, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika, hal.47

Referensi

Dokumen terkait

Apakah Ibu bisa menonton tayangan yang tersedia di internet, atau media sosial yang menunjang Ibu untuk menambah wawasan terkait materi pembelajaran Fiqih..

dalam penelitian ini adalah seluruh auditor internal yang berjumlah 56 (lima puluh enam) orang yang bekerja pada inspektorat provinsi jawa barat profesionalisme dan

Mengingat proyek sudah tertunda sejak 2011, KPPIP mengalokasikan dana untuk penyusunan OBC kilang minyak Bontang agar menyediakan rekomendasi skema pendanaan dan menjadi

Hrast lužnjak je česta vrsta velikoga broja šumskih zajednica od kojih su kod nas najčešće šuma hrasta lužnjaka i običnoga graba ( Carpino betuli – Quercetum. roboris)

Pertumbuhan berat gurami terendah terdapat pada perlakuan P1 (tanpa perendaman hormone tiroksin) dengan berat mutlak 0,81 g, hal ini diduga karena media yang

Berdasarkan penelitian Wibowo, F.C (2013) peneliti mencoba mengembangkan penelitian sebelumnya dengan memberikan perlakuan pada siswa menggunakan suatu model

Pengamatan panen meliputi angka kerapatan panen, kriteria matang buah, produksi per pemanenan, proses kegiatan panen, dan kebutuhan tenaga kerja panen serta pengamatan