• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KONSEPTUAL

E. Sengketa Tata Usaha Negara

yaitu mulai tingkat pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi, Kasasi di Mahkamah Agung dan yang terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Rochmat Soemitro juga menjelaskan bahwa sengketa timbul antara dua pihak yang mengganggu serta menimbulkan gangguan dalam tata kehidupan bermasyarakat, dan untuk menyelesaikan sengketa perlu ada suatu bantuan dari pihak ketiga yang bersikap netral dan tidak memihak.

Pengadilan harus dapat mengatasi dan menyelesaikan sengketa secara adil, untuk itu masyarakat atau pihak yang bersengketa harus memiliki kepercayaan pula kepada para hakim yang menangani dipersidangan terhadap perkara yang diajukan oleh warga negara baik perorangan maupuan badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara. Dengan harapan bahwa Pengadilan akan menyelesaikan sengketa secara adil.22

akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Oleh karena itu, apabila penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara di instansi pemerintah menimbulkan suatu kerugian bagi kepentingan seseorang dan/atau badan hukum perdata, maka penetapan dalam bentuk keputusan tersebut merupakan objek sengketa tata usaha negara.

Terkait dengan hal itu, yang menjadi penggugat dalam sengketa tersebut yakni orang dan/atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 1 angka 11 yang berbunyi:

“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”

Kemudian daripada itu, yang menjadi tergugat yakni pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan suatu keputusan tata usaha Negara berdasarkan kewenangan yang telah dilimphakn kepadanya sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1 angka 12 yang berbunyi:

“Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”

a) Objek Segketa Tata Usaha Negara

Obyek sengketa yang diperiksa adalah, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sengketa tata usaha negara dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yang tentunya masing-masing memberikan penguatan dalam menyelesaikan tata usaha negara. Adapun pengelompokan tersebut sebagai berikut:

1) Sengketa Intern

Menurut Wicipto Setiadi, menyangkut persoalan kewenangan pejabat Tata Usaha Negara dalam satu instansi atau kewenangan antar departemen / instansi lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan.23

2) Sengketa Ekstern

Menurut Sjachran Basah dalam Victor Yaved Neno adalah sengketa antara administrasi negara dan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat dengan unsur yang bersumber dari unsur peradilan administrasi murni.24

b) Ciri-Ciri Sengketa Tata Usaha Negara 1) Para Pihak yang Bersengketa

Menurut Rozali Abdullah menjelaskan bahwa peradilan tata usaha negara hanya berwenang mengadili sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara25.

23 Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, . Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 93.

24 Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung, Alumni, hlm. 65.

25 Rozali Abdullah, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 5

Oleh karena itu, dalam ketentuan pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ciri pihak yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya suatu ketetapan tertulis yang bersifat keputusan tata usaha Negara yang termasuk objek sengketa tata usaha negara. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh keputusan tata usaha Negara tersebut.

2) Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara

Penyelesaian sengketa tata usaha negara diproses pada pengadilan yang berwenang, salah satu pelaku kekuasaan kehakiman terkait dengan sengketa tata usaha negara tersebut yakni dipengedilan Tata Usaha Negara, baik ditingkat pertama maupun pada tingkat banding dan terakhir pada Mahkamah Agung sampai pada peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara padapasal 47 yang berbunyi :

“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”

Berdasarkan ketentuan pada pasal di atas, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha merupakan lembaga yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada pasal 50 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama”

Sehubungan dengan pasal tersebut, pada pasal 51 di Undang-Undang yang sama juga ditegaskan bahwa selain lembaga peradilan tingkat pertama ada pula lembaga tingkat di atasnya yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tata usaha negara yang berbunyi:

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding”

Oleh karena itu, lembaga Negara dalam hal ini lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara sengketa tata usaha negara yakni Pengadilan Tata Usaha Negara baik ditingkat pertama maupun pada tingkat banding demi tercapainya keadilan kepada semua pihak yang berperkara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pasal 4 telah ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman yang berbunyi:

“Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara”

Oleh karena itu, kewenangan lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara telah diberikan oleh Undang-Undang yang putusannya bersifat yuridis dan mengikat para pihak yang bersengketa.

3) Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Sengketa

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara didefinisikan sebagai berikut:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Oleh karena itu, keputusan tata usaha Negara dalam berbentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha Negara tersebut, akan menjadi sengketa apabila ada pihak dan/atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan. Menurut Yuslim bahwa rumusan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana telah ditentukan pada Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 mengandung unsur-unsur sebagai berikut:26

26 Yuslim. 2015, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika, hal.47

a) Penetapan tertulis

b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara c) Tindakan hukum tata usaha negara,

d) Peraturan perundang-undangan yang berlaku, e) Konkret,

f) Individual, g) Final,

h) dan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4) Dengan Mengajukan Gugatan Tertulis

Berdasarkan ketentuan pasal 53 aya (1) Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Dengan demikian, sengketa tata usaha negara diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) hruf (a) dan (b)

Undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi sebagai berikut:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

5) Terdapat Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada pasal 55 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”

Oleh karena itu, bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.

Dengan demikian, dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan tata usaha negara yang penyebabnya sengaja melewati batas waktu yang ditentukan maka keputusan yang demikian merupakan objek sengketa sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu di hitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Kemudian daripada itu, pada ketentuan pasal 3 ayat (3) Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan”

Sekaitan dengan hal tersebut,, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut sebagaimana dimaksud pada pasal 55 di atas.

6) Asas Praduga Tak Bersalah

Menurut Rozali Abdullah bahwa di peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) seperti yang kita kenal dalam hukum acara pidana. Di mana seorang pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah di dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan hukum), sebelum adanya putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum).27 Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.

7) Peradilan In Absentia

Ketentuan dalam Pasal 72 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan pula mengenai peradilan in absentia atau sidang berlangung tanpa hadirnya tergugat yang berbunyi:

a) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.

b) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.

c) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1), (2), (3) tersebut di atas, dapat dipahami bahwa meskipun tergugat tidak menghadiri beberapa kali panggilan persidangan setelah dipanggil pihak pengadilan dengan patut, maka persidangan dipengadilan tersebut dapat menetapkan sidang lanjutan,dan hakim memiliki kewenangan menjatuhkan putusan pada pokok perkara setelah melakukan pemeriksaan secara tuntas.

8) Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat

27 Rozali Abdullah, Op.Cit. hal 6

Sebagaimana ketentuan pada pasal , hukum acara formal TUN (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas:

a) Acara biasa

Ketentuan dalam pemeriksaan sengketa tata usaha negara (TUN) dengan acara biasa merupakan tahapan penanganan sengketa melalui Prosedur dismisal, pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima. Pemeriksaan persiapan, pada tahap ini dimaksudkan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Itulah sebabnya penggugat diberi kesempatan untuk memperbaiki permohonannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Menurut Philipus menjelaskan bahwa pemeriksaan dengan acara biasa diawali dengan pemeriksaan persiapan untuk memastikan ada tidaknya suatu pelanggaran. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa dengan 3 (tiga) orang hakim, yang kemudian dalam acara biasa, tahapan penanganan sengketa sebagai berikut:28

(1) Prosedur dismissal Pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima.

(2) Pemeriksaan persiapan Tahap ini dimaksudkan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.

(3) Pemeriksaan di sidang pengadilan b) Acara cepat

28 Philipus M. Hadjon dkk. 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. hal.331

pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pasal 98 yang berbunyi:

(1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.

(2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.

(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.

Berdasarkan ketentuan pasal 98 ayat (1) tersebut, dapat dipahami bahwa apabila seseorang yang sedang mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun penggugat tersebut mengalami suatu kondisi tertentu yang sifatnya mendesak kepentingannya misalnya, seseorang mendaftar sebagai calon legislatif pada pemilihan umum dan segala biaya administrsi dalam kelengkapan berkas telah keluarkan akan tetapi di Komisi Pemilihan Umum, mengeluarkan keputusan untuk tidak ikut sebagai peserta pemilihan padahal syarat administrasi sudah dipenuhi dan layak menjadi peserta pemilihan, sementara pemilihan legislative sudah dekat dalam hal ini pemungutan suara, maka alasan itulah yang menjadi dasar untuk dimohonkan gugatan dihadapan hakim pada pengadilan tata usaha negara yang berwenang, agar proses penaganannya dipercepat disebabkan waktu pemilihan umum telah hampir sampai waktunya yakni hari pemungutan

suara, itulah sebabnya dapat mengajukan permohonan atau gugatan kepada hakim dan dipercepatpenanganan perkara yang telah diajukan.

c) Acara singkat

Pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan terhadap perlawanan perlawanan tersebut diajukan terhadap penetapan dari prosedur dismisal dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah penetapan diucapkan. Pemeriksaan singkat dilakukan karena adanya perlawanan penggugat tentang gugatannya yang tidak diterima atau tidak berdasar. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan tersebut gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

Dokumen terkait