• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KAITAN MUSIK DAN TASAWUF

B. Tasawuf

1. Pengertian Tasawuf

Tasawuf dalam segi bahasa istilah tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti bening, selain itu kata tasawuf ada pula yang mengartikannya dari kata

shaff yang memiliki makna barisan. Kata shaff ini disandarkan oleh para sufi

bahwa, para sufi selalu berada pada barisan pertama di hadapan Allah swt. Selanjutnya istilah sufi sendiri juga dapat berarti ahlus suffah, yaitu kelompok miskin dari kaum Muhajirin dan Anshor yang tinggal dalam sebuah ruangan masjid dan dikenalnya mereka sebagai orang-orang yang tekun beribadah.

Menurut Abu Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani, kata sufi berasal dari kata

shuf atau bulu domba. Bagi Abu Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazini

pengertian-pengertian seperti di atas adalah pengertian-pengertian yang kurang tepat, baginya sufi berasal dari kata shuf atau bulu domba di dasari perkembangan asketisisme, memakai pakaian bulu domba adalah merupakan suatu symbol para hamba Allah yang tulus dan asketis.72

Pengertian Abu Wafa sendiri dari berbagai macam pengertian yang diambil dari berbagai asal katanya, dikaji terlebih dahulu dari sudut sejarah

72

Abu Wafa Al-Ghanimi Al- Taftazani, Suif Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung: Pustaka) hal. 21.

perkembangan munculnya tasawuf, dan juga aspek asketisme (menjauhkan diri dari kehidupan duniawi). Asketisme ini muncul dari berbagai macam latar belakang, diantaranya ialah aspek kejenuhan dalam diri seseorang sehingga dia merasa jauh akan kehidupan dunia yang tidak sesuai dengan watak dirinya, hal tersebut atas dorongan dari dirinya sendiri. Selain itu bisa juga atas dorongan dari luar, yakni atas dasar dogma agama yang melarang seseorang untuk menjalani hidup mewah atau bersenang-senang dengan cara berlebihan. Sehingga semuanya itu akan menghilangkan atas kesadarannya akan Tuhan sebagai maha pencipta dan manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam hal ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa dengan menggunakan konsep tawakal, yakni aspek penyerahan diri terhadap Tuhan kemudian secara ekstrim dipahami sebagai doktrin dalam pengingkaran atas dunia dan suatu terbebasnya rasa dendam dari sebab-sebab alamiah.73 Dalam perkembangannya,

terjadi perbedaan pemahaman tentang tawakal ini.

Asketisme muncul sebagai landasan dan pegerakan sufisme, atas berbagai pendapat tentang gerakan sufisme itu berasal? Yakni bahwa sufisme ini terpengaruh atas unsur dari Islam itu sendiri, unsur filsafat, agama Hindu, agama Kristen dan lain-lain sebagainya. Salah satu contoh dari unsur Islam yang diambil dari al-Qur‟an adalah terdapat dalam surat Al-Hadid pada ayat 20 yang berbunyi:

73

Artinya: “ ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya, mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di Akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta

keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.74

Selanjutnya dalil tentang kehidupan membujang para pendeta Nasrani atau agama Kristen. Sesungguhnya Allah telah secara tegas menentang hal yang seperti demikian (kehidupan membujang), hal ini tertulis dalam al-Qur‟an pada surat Al -Hadid di ayat 27.

Artinya: Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah75 padahal kami tidak

74

R. H. A. Soenarjo. Dkk, Al-Qur’an dan Terjemahanya. hal. 903.

75

Yang dimaksud dengan Rahbaniyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara

mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.

Demikian dengan berbagai macam latar belakang lainnya, terutama hal-hal yang di mengenai dengan segi kebudayaan, ataupun dari segi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para sufi.

Tasawuf ini memiliki ciri-ciri yang menonjol yang berbeda dari ilmu lainnya. Menurut Al-Taftazani, tasawuf memiliki lima ciri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis, yaitu:

1. Peningkatan moral

2. pemenuhan pana (sirna) dalam realitas mutlak

3. Pengetahuan intuitif langsung

4. Ketentraman dan kebahagiaan

5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan76

Hal ini menunjukan bahwa Tasawuf merupakan falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam rangka merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat, dan kebahagiaan rohani.77

Abu Bakar M. Kalabadzi mengatakan:

76

Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, hal. 4-5.

77

“sufi menghindari keduniawian, jiwa berpaling daripadanya, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya, gemar berpergian (untuk berkhalwat) mencegah dari kemewahan atau kelezatan dunia. Selalu membersihkan diri baik lahir maupun batin, bersifat lapang dada dan mempunyai sifat-sifat

pendahulu (kepemimpinan)”.78

Demikian, tasawuf atau sufisme adalah suatu metode untuk individu ataupun masyarakat, di mana objeknya yaitu penekanan dalam hidup spiritual, dengan mengurangi kehidupan yang bersifat duniawi, dan terlebih untuk mengutamakan kehidupan gnosis (ma’rifah) terhadap Tuhan. Metode tersebut biasanya terdiri dari tahapan (maqām). Apabila telah mencapai maqām tertinggi, maka ia telah mencapai dan mendapatkan kesempurnaan hidup, atau telah mencapai tahap ma’rifah tertinggi. Misalnya ketika seorang Al-Hallaj mengatakan “ akulah kebenaran”, hal seperti ini merupakan keadaan ekstase dari seorang sufi.

Selain itu, tasawuf mempunyai berbagai macam metode, dan pemahaman dalam melaksanakan suatu kegiatan spiritualnya. Kegiatan spiritual sufisme ini selalu dipimpin oleh seseorang yang dianggap mempunyai derajat ilmu lebih tinggi atau telah mencapai maqām tertinggi, dan biasanya disebut guru spiritual atau mursyid.

Dokumen terkait