• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Pengertian Akhlak Tasawuf

2. Pengertian Tasawuf

Menurut Muhammad bin Ali Qasab, guru imam Junaid al-Bagdadi, tasawuf adalah akhlak mulia yang Nampak di zaman yang mulia dari seorang manusia yang mulia bersama kaum yang mulia. Sedangkan menurut al-Junaid al-Bagdadi, ,menyatakan:

ا

لٍ َ َ َع َ ِب ِ ا َ َم َ ْىُكَت ْ َا َىُه ُ ُىَ َّتل

Tasawuf adalah engkau ada bersama Allah tanpa „alaqah (tanpa

perantara). Dan dalam statemen yang agak lengkap ia mengatakan

“tasawuf adalah Allah mematikanmu, Allah menghidupkanmu, dan kamu ada bersama Allah tanpa perantara”.

Syekh Samnun ai-Muhib berpendapat, tasawuf adalah

31 Artinya:

“engkau tidak memiliki sesuatu dan engkau tidak dimiliki oleh sesuatu”, Usman al-Makki menyatakan bahwa tasawuf adalah “keadaan

dimana seorang hamba setiap waktu melakukan suatu perbuatan(amal)

yang lebih baik dari waktu yang sebelumnya”.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat bahwa tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan kholwat, riyadah, dan terus-terus berdzikir dengan dilandasi iman yang benar, mahabbah, taubah, dan ikhlas. Jika seorang mukmin duduk dalam khalwat dengan taubat dan talqin dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka Allah memurnikan amalnya, menyinari hatinya, menghaluskan kulitnya, mensucikan lisannya, memadukan anggota badannya lahir batin, mengangkat amalnya ke haribaan-Nya dan Allah mendengar permohonannya (Alba, 2012:10-11).

Al-Tasawwuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam islam, atau secara keilmuan merupakan hasil peradaban islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat (Tamrin, 2010:3).

a. Objek Ilmu Tasawuf

Objek ilmu tasawuf adalah perbuatan hati dan panca indera ditinjau dari segi cara penyuciannya. Penyucian h ati manusia menjadi amat penting keberadaannya karena tanpa tasfiat al-qalb manusia tidak bisa dekat dengan Zat Yang Maha Suci (Alba, 2012:12).

32 b. Tujuan Tasawuf

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran

“antara” dari tasawuf, yaitu,:

Pertama, tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis. Kedua, tasawuf yang bertujuan ma‟rifatullah melalui penyingkapan

langsung atau metode al-kasyf al-hijab. tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis teoritis.

Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekaan diri kepada Allah secara mistis filosifis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.

Terdapat tiga simbolisme mengenai makna dekat dengan Tuhan yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makna dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah

33

monolog antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan(Siregar, 2000:57).

c. Keutamaan Ilmu Tasawuf

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling mulia karena berkaitan dengan makrifat kepada Allah Ta‟ala dan Mahabbah kepada-Nya. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling utama secara mutlak, karena objeknya adalah hati manusia hubungannya dengan Allah SWT(Alba, 2012:12).

d. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

Maqamat-maqamat tersebut selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Al-Zuhud

Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution dalam Nata (2002:194-195) mengatakan bahwa zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.

Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendaliakn diri dari pengaruh

34

kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akherat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. 2) Al-Taubah

Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disetrai dengan melakuakn amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang seesungguhnya dan dirasakan oleh Allah tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai taubat yang sesungguhnya.

3) Al-Wara’

Secara harfiah al-wara‟ artinya shaleh, menjauhkan diri

dari perbuatan dosa. Dan dalam pengertian sufi al-wara‟ adalah

meninggalkan segala yang ada di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Ssikap menjauhi diri dari syubhat sejalan dengan hadis yang artinya:

“Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram”.

Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya yang haram dapat memberi

35

pengaruh bagi orang memakan, meminum, atau memakainya. Orang yang demikian akan keras hhatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan.

4) Kefakiran

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sngguhpun tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tapi tidak menolak.

5) Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Sedangkan dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.

6) Tawakkal

Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabial seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkang dihadapan orang

36

yang memandikannya, ia mengkuti semuuanya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak.

Pengertian tawakkal yang seperti itu sejalan dengan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan yang ada untuk hari ini.

7) Kerelaan

Secara harfiah ridha artinya rela, suka ,senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surge dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnyaqada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar. Malahan perasaan cinta bergelora di

waktu turunnya bala‟ (cobaan yang berarti).

Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinay dengan akhlak yang mulia.

37 e. Hal

Harun Nasution (dalam Nata, 2002:205-206) menuturkan bahwa hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawaddu), patuh taqwa), ikhlas ikhlas), rasa berteman uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr).

Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, dating dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.

Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti rriyadlah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyalah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Kemudian khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarrti mendekatkan diri kepada Allah,

38

dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.

f. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf

Para ahli tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dari perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapad dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli(mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan

39

mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya akan berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa (Nata, 2002:17-18).

g. Model-Model Pendidikan Akhlak

Model merupakan suatu pola (contoh, acuan ,ragam, dsb) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Purwadarminta, 1984:75).

Menurut Jalaludin dalam makalahnya ”Mempersiapkan Anak

Shaleh: Telaah Pendidikan terhadap Sunnah Rasulullah SAW.” Yang

dikutip oleh Jauhari (2008:225-226) menjelaskan bahwa model pendidikan yang diberikan Nabi adalah secara berjenjang sesuai dengan usianya masing-masing.

Berikut adalah model bimbingan pendidikan Rasulullah SAW. Sesuai dengan tingkat usia anak didik

1) Bimbingan anak usia 0-7 Tahun

Rasulullah menekankan peran orang tua bagi anak usia 0-7 tahun, yakni dengan cara belajar sambil bermain, dan mengidentifikasi anak. Pembiasaan merupakan hal yang sangat ditekankan Rasulullah, sebab anak mendapat pengetahuan dari apa yang dilihat, dipikir, dan dikerjakannya. Jika dalam kesehariannya anak sudah terbiasa melakukan hal-hal yang baik, maka akan terpatri sampai dewasa kelak.

40 2) Bimbingan anak usia 7-14 tahun

Pada tahap ini Rasulullah menekankan pada pembentukan disiplin dan moral. Adab menurut Syekh Muhammad al-Nauqib al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh. Adab mencakup ilmu dan amal sekaligus. Sehingga dalam membentuk adab perlu bimbingan teori dan prakter. Salah satu contoh yang tepat adalah perintah mengerjakan shalat seperti yang dicontohkan Rasulullah. 3) Bimbingan anak usia 14-21 tahun

Rasulullah menandaskan pada anak usia ini bimbingan secara dialogis, misalnya diskusi atau bermusyawarah layaknya teman sebaya (shihibbi). Jangan menganggap anak usia 14-21 tahun ini sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan harus diajarkan serta dituntun terus-menerus.

4) Bimbingan di atas usia 21 tahun

Pada tahap usia ini, Rasulullah membimbing dengan cara “bil hikmah, Mauidzatul Khasanah, Wazahidatul biya Ahsan” yaitu susunan kata yang logis dan sesuai kenyataan, menyentuh hati, serta menyampaikan dengan cara diskusi. Karena yang ddihadapi adalah manusia dewasa maka bimbingan dan pendidikan pun harus disampaikan dengan cara bijaksana.

Model pendidikan akhlak terbaik menurut Nauqib al Attas dalam buku Konsep Pendidikan Islam yang dikutip Jauhari (2008:227) adalah Rasulullah SAW. Karena pendidikan barat dan

41

model pendidikan lainnya tidak mencerminkan aspek manusia dan tidak ada seorang pun bisa ditiru akhlaknya.

Konsep pendidikan islam hanya berkenaan dengan manusia, maka perumusannya sebagai sistem harus mengambil model manusia sempurna (yaitu Rasulullah SAW). Jadi pendidikan harus bisa membentuk manusia-manusia yang mempunyai akhlak sedekat mungkin dengan Rasulullah SAW. Pendidikan semestinya menghasilkan manusia-manusia yang baik dan beradab sebagaimana Rasulullah SAW.

Seperti halnya Al-Ghazali dalam bukunya menjelaskan bahwasanya model pendidikan yang ideal adalah dengan pentahapan, seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, yaitu:

a) Usia 0-6 tahun, adalah masa asuhan orang tua. Sedini mungkin anak dijaga dari segala yang mengotori jasmani dan ruhaninya, antara lain disembelihkan akikah dan diberi nama yang baik. Pendidikan pada usia ini bersifat informal, anak dibiasakan agar melakukan amalan-amalan yang baik berupa perkataan dan perbuatan yang terpuji dengan memberikan contoh-contoh praktis atau teladan. Dengan kata lain, usia ini adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan).

b) Usia 6-9 tahun, adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal. Pada masa ini anak telah mampu menerima pengertian dari apa yang telah dibiasakan, anak juga mampu

42

menerima ganjaran dan hukuman, tetapi dampak keduanya berbeda.

c) Usia 9-13 tahun, adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian. Sebagai kelanjutan dari pembiasaan terhadap yang baik dan pemberian pengertian tentang apa yang dibiasakan, anak pada usia ini telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk.

d) Usia 13-16 tahun, adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah bejalan sejak pembiasaan, dimulainya formal, pendidikan kesusilaan dan pendidikan kemandirian. Jika ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mendidik anak, maka untuk membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, anak perlu diberi sangsi. Misalnya ketika meninggalkan shalat.

e) Usia 16 tahun dan seterusnya, adalah pendidikan kedewasaan. Menurut Islam, anak usia ini diangap dewasa dan segala yang dilakukan sudah mempunyai nilai tersendiri dihadapan Allah (Rusn, 1998:89).

Dokumen terkait