BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR
2. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia
Proses lahirnya kaidah hukum tidak terlepas dari mana hukum bersumber. Pengujian asal-usul hukum memang perlu untuk membedakan kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Kaidah-kaidah sosial lain ini sebenarnya bukan hukum, melainkan kaidah yang pada umumnya
merupakan bagian dari aturan-aturan moral. Kaidah sosial lain yang bukan hukum adalah kaidah yang diikuti sebagai sistem nilai yang dianut oleh warga masyarakat secara umum dan tidak dijalankan oleh kekuasaan publik atau penguasa negara.
Paul Bohannan secara tegas menyatakan:
“Hukum sebaiknya dipikirkan sebagai perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain, yang telah dikembangkan lagi dalam lembaga-lembaga hukum supaya masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara demikian.” (Marwan Mas,2014:50)
Kesimpulan Bohannan di atas menunjukkan bahwa kaidah-kaidah hukum itu meupakan “double legitimacy”. Artinya, kaidah hukum merupakan pelembagaan ganda yang diambil dari kaidah-kaidah sosial lainnya (agama, kesopanan dan kesusilaan) agar warga masyarakat dapat terus berfungsi. Misalnya, larangan mencuri yang diatur di dalam Pasal 362 KUHPidana, pada dasarnya juga merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan tidak terpuji (dosa) menurut kaidah agama, kaidah kesopanan dan kaidah kesusilaan.
Menurut Paul Bohannan, asal-usul kaidah hukum adalah dari kaidah-kaidah sosial lainnya. Namun, apabila dikaji lebih mendalam, sebetulnya kaidah hukum itu selain berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya, juga berasal dari otoritas tertinggi (kekuasaan negara). Pandangan Paul Bohannan dikenal pula sebagai teori “reinstitutionalization of norm”
yang memandang keberadaan suatu lembaga hukum sebagai alat yang
digunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di lembaga-lembaga masyarakat.
Pengertian Tindak Pidana menurut para ahli :
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tidak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehinggga tindak pidana haruslah diberiakan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Para pakar hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah :
1. Starfbaarfeit adalah peristiwa pidana;
2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti :
Straf diartikan sebagai pidana dan hokum;
Baat diartikan sebagai dapat dan boleh;
Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa,pelanggaran dan perbuatan.
Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Andi Hamzah (1994:88) memberikan defenisi mengenai delik, yakni : delik adalah “ suatu perbutan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang ( pidana).”
Moeljatno mengartikan strafbaarfeit sebenarnya adalah ”suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. (Chazawi Adami, 2002:72)
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeeit dimana setelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.
H.J Van Schravendik mengartikannya delik sebagai perbuatan yang boleh di hukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut beliau meliputi
perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan atau met doen negatif ).
Sianturi berpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan singkatan dari kata “ tindakan” artinya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang, akan tetapi dalam banyak hal suatu tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-oarang tertentu, misalnya menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan menurut golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai dan lain-lain sebagainya, jadi status/
klasifikasi seorang penindak menurut Sianturi cantumkan unsur“ barang siapa”.
Andi Zainal Abidin (1987 : 146) mengemukakan:
pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “ delik” yang berasal dari bahasa latin “delictum delicta “ karena :
1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat ekonomis karena singkat;
3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “ peristiwa pidana”, “perbuatan pidana “ ( bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya ); dan
4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.
Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu :
Defenisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif; biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.
(Abidin, Andi Zainal, 1995:225)
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R Sianturi bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu :
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam pidana; dan
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya). (Kanter E.Y &
S.R. Sianturi, 2002:211)
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme
Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula harus dibahas adalah suatu “tindakan
manusia”, karena dengan tindakan itulah seseorang dapat melakukan apa yang dilarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
dan
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh perorangan atau individu diatur dalam Pasal 6,7,8,9 dan 10 Undang -Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berikut ini uraian rumusan unsur-unsur tindak pidananya :
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dam harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek – obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun.
Adapun unsur- unsurnya adalah : 1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja;
3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;
4. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut;
5. Terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;
6. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Adapun unsur-unsurnya adalah :
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja;
3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;
4. Bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut;
5. Terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;
6. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang :
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil, atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,tidak dapat dipakai, atau rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau mempertahankan peranpasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang
menyebabkan tidakdapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan peswat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam pnerbangan;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayaka keamanan dalam pesawat udara dalam penerbengan;
r. di dalam pesawat udara melakukn perbuatan-perbautan yang dapat mengganggu ketertiban di dalam pesawat udara dalam penerbangan.
Adapun unsur-unsurnya adalah : 1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja;
3. Menghancurkan, merusak bangunan pengamanan lalu lintas udara atau membuat tidak dapat dipakai atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
4. Mengambil, memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan;
5. Menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara;
6. Merampas atau menguasai pesawat udara;
7. Melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang didalam peswat udara;
8. Menempatkan alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat;
9. Memberikan keterangan palsu yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara;
10. Melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu kertertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara.
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Adapun unsur-unsurnya adalah : 1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persedian padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkat, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/ atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut
terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Adapun unsur-unsurnya adalah : 1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja;
3. Menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;
4. Menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas;
5. Menimbulkan korban yang bersifat massal;
6. Membahayakan kesehatan, kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang lain, terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, fasilitas internasional.
Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh kelompok atau korporasi diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Berikut ini uraian rumusan unsur-unsur tindak pidananya :
Pasal 17
(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sam.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Adapun unsur-unsurnya adalah : Pasal 17 ayat (1)
1. Dilakukan oleh korporasi;
2. Atas nama korporasi.
Pasal 17 ayat (2)
1. Dilakukan oleh korporasi;
2. Dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain;
3. Bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 18
(1)Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(2)Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000, -(satu triliun rupiah).
(3)Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Penyertaan Dalam Tindak Pidana Terorisme
Kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) kita
berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana.
Dalam praktek ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang ikut serta.
Hazewingkel-Suringa menceritakan bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja, dan baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan sampai di mana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenai hukuman.(Wirjono, 2003:117)
Ketentuan mengenai pesertaan dalam tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasa 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam:
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau kerusakan harta benda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau Negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal 13
Setiap orang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
Pasal 16
Setiap oarng di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Rumusan ini terlihat pula pada pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( Wirjono, 2003:118 ) yang berbunyi :
(1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum :
ke-1: mereka melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
ke-2: mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
(2) Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan-perbuatan yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnya dapat diperhatikan.
Dan juga pada pasal 56 yaitu :
Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :
ke-1: mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu dilakukan.
ke-2: mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu : a. yang melakukan perbuatan (plegen, dader);
b. yang menyuruh melakukan perbuatan (doenplegen, middelijke dader);
c. yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader);
d. yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker);
e. yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).
Wujud pesertaan (deelneming) yang pertama-tama disebutkan oleh pasal 55 adalah menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Ini terjadi apabila orang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukuman pidana. Jadi, si pelaku (dader) itu seolah-olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus ministra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).
Juga dapat dikatakan ada “menyuruh melakukan” apabila kepada si pelaku perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasar adanya penyakit jiwa padanya menurut pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Code Penal dari Perancis tidak mengenal pengertian pelaku tak langsung, tetapi menggolongkannya ke dalam si pembujuk (uitlokker) dari pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.
Sedangkan dalam KUHP Indonesia, seperti Belanda, justru diadakan perbedaan si penyuruh (doen plegen) dan si pembujuk (uitlokken). Perbedaan ini adalah demikian bahwa dalam hal pembujukan (uitlokking) si pelaku langsung tetap dapat dihukum, demikian juga si pembujuk. Perbedaan lain adalah bahwa si pembujuk hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan ikhtiar-ikhtiar yang dirinci dalam pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.(Wirjono, 2003:119)