• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KASWANDI 4616101003

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2018

(2)
(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : KASWANDI

NIM : 4616101003

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis ini saya tulis atau ajukan ini benar- benar hasil karya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya menerima konsekuensi atau sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 26 September 2018 Yang menyatakan,

Kaswandi

(4)

ABSTRAK

KASWANDI. “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum Islam”. (Dibimbing oleh Marwan Mas dan Zulkifli Makkawaru).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap terorisme serta bentuk penanggulangannya. Penelitian ini bersifat deskripsi analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari responden dalam hal ini pegawai pengadilan, dan tokoh agama (ulama). Semua tokoh tidak membenarkan tindakan terorisme apapun itu bentuknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia melarang tindakan terorisme. Dalam hukum Islam tindakan terorisme dapat dijatuhi hukuman Qisas. Demikian pula halnya dalam hukum positif Indonesia menerapkan hukuman mati. Dalam hukum islam tindakan terorisme dapat dijatuhi hukuman Qisas sesuai kitab Al-quranSurah Al-baqarah ayat 178.

Demikian pula halnya dalam hukum positif Indonesia menerapkan hukuman mati sesuai Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

Kata Kunci : Hukum, Islam, Terorisme, Penanggulangan

(5)

ABSTRACT

KASWANDI. Counterterrorism in Terrorism in the Perspective of Islamic Law.

(Supervised by Marwan Mas and Zulkifli Makkawaru).

This research aims to know Islam law point of view toward terrorism and its counterterrorism. This research was analysis description by using qualitative approach. Data obtained from respondents as employees of Court Office and religious figures (ulama). All figures do not justify acts of terrorism whatever their forms. The results of this research showed that both Islamic law and positive law in Indonesia prohibit acts of terrorism. In Islamic law, acts of terrorism can be sentenced to Qisas according to Qur'an Surah Al Baqarah Verse 178. Similarly, in positive law, Indonesia applies the death penalty in accordance with Law No.5 of 2018 about amandment to law number 15 of 2003 the stipulation of goverment regulations in lieu of law number 1 of 2002 about the eradication of criminal acts of terrorism into law.

Keywords: Law, Islam, Terrorism, Counterterrorism

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Azza wa Jallah yang telah melimpahkan berkat, rahmat, nikmat dan kehidupan. Salah satu rahmat yang dicurahkan kepada penulis ialah selesainya penyusunan tesis ini. Shalawat serta salam senantiasa kita kirimkan kepada Rasulullah Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bosowa. Sebagai bagian dari perjalanan hidup, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan serta kelemahan di dalamnya. Untuk itu, penulis sangat berterimakasih jika ada saran, kritik yang sifatnya membangun dan koreksi demi kesempurnaan tesis ini dimasa yang akan datang.

Penulis sangat menyadari bahwa rampungnya penyusunan tesis ini juga karena adanya doa, motivasi, bantuan serta kasih sayang dari berbagai pihak, mulai dari persiapan penelitian hingga tesis ini selesai. Untuk itu, pada kesempatan yang sangat berharga ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H.M. Saleh Pallu, M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa.

2. Bapak Prof. Dr. Marwan Mas, SH.,MH dan Dr. Zulkifli Makkawaru, SH.,MH selaku Pembimbing I dan Pembimbing II telah memberikan bantuan serta petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

(7)

3. Dr. Ruslan Renggong, SH.,MH dan Dr. Abd. Haris Hamid, SH.,MH selaku Penguji telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penulis.

4. Bapak Dr. Baso Madiong, SH.,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberi kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Seluruh keluarga yang selalu memberikan kasih sayang doa dorongan dan dukungannya baik materil maupun spritual kepada penulis dengan ketulusan.

6. Para dosen di Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Bosowa yang telah membagi ilmu serta pengetahuan yang sangat berharga.

7. Para staf tata usaha yang telah membantu kelancaran serta pengurusan yang bersifat administratif selama mendalami pendidikan di Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Bosowa.

8. Terima kasih untuk semua orang yang telah membantu penulis yang tidak sempat disebutkan.

Sangat besar harapan bahwa semua yang telah tertuang dalam tesis ini bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain, dan menjadi kajian hukum pidana.

Makassar, 26 September 2018

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR A. Istilah Terorisme 1. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam... 6

2. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia ... 32

3. Teori-Teori Penjatuhan Pidana ... 51

B. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 61

C. Proses Penanganan Terorisme... 67

D. Kerangka Pikir ... 74

(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 75

B. Lokasi Penelitian ... 76

C. Jenis dan Sumber Data ... 76

D. Teknik Pengumpulan Data ... 77

E. Teknik Analisa Data ... 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Terorisme ... 78

B. Bentuk Penanggulangan Kasus Terorisme di Sulawesi Selatan ... 88

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tragedi berdarah 11 September 2001 yang terjadi tujuh belas tahun lalu masih meninggalkan trauma baik bagi Amerika Serikat (AS) maupun negara - negara muslim yang menjadi ”kambing hitam” atas luluh-lantaknya World Trade Center (WTC) dan Pentagon, simbol kedigdayaan ekonomi dan militer AS. Sebagai mana diketahui, telunjuk mantan Presiden George Walker Bush langsung diarahkan kepada Osama bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda-nya sebagai dalang utama peristiwa ”September Hitam” ini. Epilognya sudah sama-sama kita ketahui bahwa stigma teroris tidak hanya menempel pada sosok Osama bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda-nya melainkan juga meluas ke seluruh negara muslim. Pemerintah Taliban di Afganistan pun ikut terguling dari kekuasaan karena dianggap melindungi Sang Teroris yang paling diburu hidup atau mati oleh Barat itu. Hingga tampuk tertinggi kepemimpinan AS kini telah beralih dari Bush Junior kepada Presiden Barrack Hussein Obama, sosok Osama Bin Laden dengan Jaringan Al Qaeda- nya tetap menjadi buruan nomor wahid AS dan sekutu - sekutunya.

Hampir semua aksi pengeboman dan terorisme dengan sasaran AS senantiasa dihubungkan dengan keterlibatan anggota jaringan organisasi yang masih dianggap ”misterius” hingga kini yakni Al-Qaeda. Apakah benar-benar ada organisasi bernama AlQaeda itu? Ada dugaan Al-Qaeda itu sebenarnya hanyalah rekayasa CIA atau setidaknya hanyalah sebutan pers Barat bagi

(11)

kelompok pengikut Osama Bin Laden sebagaimana Pemerintah Malaysia dan Singapura menyebut kelompok pengajian yang didakwahi Ustad Abu Bakar Ba‟asyir dengan nama organisasi Jamaah Islamiyah (JI). Tidak hanya Al- Qaeda, pihak-pihak yang diduga punya keterlibatan dengan jaringan tersebut baik personal maupun kelompok tak luput dari “perburuan” AS dan sekutunya, minimal dicurigai dan diawasi secara ketat dan simultan. (THE MESSENGER, Volume II, Nomor 1, Edisi Januari 2010)

Lepas dari itu semua, yang pasti isu terorisme telah menjadikan citra ajaran Islam dan umat Islam secara keseluruhan termasuk di Indonesia menjadi tersudutkan. Islam dalam kacamata Barat dipersepsikan sebagai ajaran agama yang menghalalkan dan menebarkan terorisme di muka bumi.

Padahal Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta) yang justru mengharamkan terjadinya tindak terorisme apapun dalihnya. Apalagi terorisme yang mengatasnamakan Islam dan umatnya secara totalitas. Bukan hanya pembajakan ajaran Islam itu sendiri sesuai tafsir hawa nafsunya, melainkan juga merusak dan merobohkan Islam dan bangunannya dari dalam.

Akibat lain yang timbul akibat petaka terorisme khususnya pascatragedi 11 September 2001 adalah muncul dan maraknya Islamophobia (ketertakutan atas Islam) di Barat. Sebagian masyarakat Barat menjadi takut, khawatir hingga antipati terhadap Islam dan umatnya. Tidak hanya lewat lisan dan tulisan, Islamophobia juga mengarah ke relasi disosiatif bersifat destruktif fisik dan nonfisik seperti ”teror” mental dan fisik terutama kepada kaum

(12)

muslimin yang menjadi minoritas di Barat khususnya di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda dan Australia. Tentu saja kondisi ini sangat tidak konstruktif bagi dunia internasional. Tidak hanya bagi Islam dan umatnya, namun juga bagi terciptanya peradaban global yang damai. Penghembusan isu krusial dan pelik soal terorisme oleh Barat terutama AS dan sekutunya kepada dunia Islam berhasil bergulir secara massif di tataran internasional tidak lepas dari peran media massa yang dimiliki Barat. Dengan kecanggihan teknologi dan banyaknya jaringan mitra yang bekerja, media-media di Barat berhasil membangun opini publik global seakan - akan dalang terorisme dunia adalah Islam dan ajarannya. (THE MESSENGER, Volume II, Nomor 1, Edisi Januari 2010)

Pasca tragedi bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang tercatat, sedikitnya, 202 orang tewas dan 209 orang terluka, Indonesia mulai mengintensifkan penanganan terorisme. Hal ini diapresiasikan dengan di bentuknnya pasukan Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan khusus lainnya yang tugas utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme di Indonesia.

Di belahan timur Indonesia tidak luput juga dari kejahatan terorisme.

Poso misalnya, seakan-akan telah menjadi rumah bagi para teroris. Daerah ini dijadikan tempat mengatur strategi bahkan sebagai tempat pelatihan bagi anggotanya. Makassarpun tidak luput dari kejahatan terorisme yang dikejutkan dengan beberapa peristiwa teror diantaranya: peledakan Mac Donald Mall Ratu Indah, peledakan Show Room NV. Hadji Kalla jalan Urip

(13)

Sumoharjo No. 227, penembakan terhadap dua terduga teroris di sekitar Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo ( R.S Wahidin Sudirohusodo ).

Menyadari dampak tindak pidana terorisme yang sedemikian besar serta kerugian yang ditimbulkannya, yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.

Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Sehingga mampu menjadi efek jera bagi pelaku teroris dan calon-calon teroris selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dikembangkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap terorisme ?

2. Bagaimanakah bentuk penanggulangan kasus terorisme di Sulawesi Selatan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap terorisme.

2. Untuk mengetahui bentuk penanggulangan kasus terorisme di Sulawesi Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :

(14)

a. Secara Teoritis

Kegunaan penelitian ini sangat diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk peningkatan dan pengembangan serta pembaharuan ilmu hukum pidana serta memberikan gambaran kepada pemerintah dalam mengukur relevansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

b. Secara Praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam usahanya mengambil atau menerapkan penanggulangan tindak pidana terorisme di Sulawesi Selatan.

(15)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Istilah Terorisme

1. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam

Terdapat berbagai pengertian tentang terorisme. Namun hingga saat ini belum ada rumusan yang jelas dan obyektif tentang istilah terorisme. PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme.

Menurut Noam Chomsky, istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah (penguasa) yang ditujukan untuk menjamin ketaatan rakyat. Dengan kata lain istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kekuatan koersif (pemaksa-penekan ) suatu rezim yang berkuasa.(Riza Sihbudi,2006:50)

Terorisme secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu„terrere‟ yang artinya “menakut-nakuti”. Kata teror sendiri berasal dari bahasa latin “terrorem” yang memiliki arti rasa takut yang luar biasa.

Pengertian terorisme digunakan untuk menggambarkan sebuah serangan yang disengaja terhadap ketertiban dan keamanan umum. Terorisme juga dapat diartikan menakut- nakuti atau menyebabkan ketakutan, sedangkan teroris berarti orang atau pihak yang selalu menimbulkan ketakutan pada pihak lain.(Fajar Purwawidada,2014:13)

Penggunaan istilah terorisme digunakan pasca terjadinya revolusi Prancis dan dimulainya „Reign of Terror‟ antara tahu 1793-1794, yang menggambarkan pemerintahan yang berkuasa dengan mempraktekkan cara

(16)

- cara teror dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya.(Petrus Reinhard Golose,2009:2)

Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, definisi terorisme adalah kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik, ditujukan terhadap targe-target yang tidak bersenjata oleh kelompok - kelompok sempalan atau agen agen bawah tanah, biasanya bertujuan untuk mempengaruhi khalayak.(Title 22 of the U.S. Code, Chapter 38, Section 2656f(d)(2))

Sementara itu menurut FBI, definisi terorisme adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan secara tidak sah terhadap orang orang atau harta benda untuk menakut-nakuti atau memaksa suatu pemerintahan, populasi sipil atau bagian dari mereka, untuk mencapai tujuan - tujuan yang bersifat sosial dan politik.(ttps://www.fbi.gov/stats- services/publications/terrorism-2002-200,diakses pada 7 Mei 2017)

Secara umum istilah terorisme terbagi menjadi Terorisme Negara (State Terrorism) dan Terorisme Non-Negara (Non-state Terrorism).

Namun yang dikembangkan akhir-akhir ini hanya yang terkait dengan terorisme non negara sementara terorisme negara cenderung diabaikan.

Padahal jenis terorisme negara seperti yg dipraktekkan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, atau oleh militer Amerika Serikat terhadap rakyat Afghanistan dan Irak, jauh lebih biadab ketimbang terorisme non negara.(Riza Sihbudi, 2006: 51)

(17)

Adapun ungkapan teroris dalam Bahasa Arab disebut dengan kata Al Irhab maknanya adalah “menimbulkan rasa gentar”. Makna ini

tidaklah terpuji atau tercela secara langsung kecuali jika diketahui maknanya oleh orang yang mengatakannya. Kalau tidak, maka dilihat dari dampaknya. Siapa yang mengatakan bahwa “Irhab” dalam Islam selalu berarti pembunuhan, maka dia keliru. Irhab artinya adalah menimbulkan rasa gentar, bukan membunuh. Allah Ta‟ala telah memerintahkan kita untuk gentar dan takut kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 40 yang artinya : “Dan hanya kepada-Ku- lah kamu harus takut (tunduk).” (http://www.islamqa.com. Sabtu 14 juli 2018)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Ta‟ala memperingatkan kepada Bani Israil untuk menepati janji. Di antara janji Bani Israil kepada Allah ialah hanya menyembah Allah, tidak mengadakan tandingan bagi Allah, serta beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sebagaimana kitapun diperintahkan untuk melakukan persiapan menghadapi musuh yang diperkirakan melakukan berbagai makar dan tipu daya dalam perang. Persiapan ini untuk menimbulkan rasa gentar agar jangan menjadi santapan yang mudah bagi mereka. Hal tersebut dijelaskan Allah Ta‟ala dalam Al Qur‟an yang artinya :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang

(18)

orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Al Anfal:60)

Ayat di atas menegaskan bahwa kaum muslimin diperintahkan oleh Allah Ta‟ala untuk mempersiapkan kekuatan melawan Bani Quraizhah dan kaum-kaum yang lain. Persiapan ini bisa berupa kuda betina dan apa saja yang dimiliki oleh setiap orang muslim.

Negara-negara penjajah yang jahat tersebut telah menyematkan istilah teroris ini kepada Islam. Mereka ingin merusak citra Islam dalam pandangan manusia. Untuk hal ini mereka gelar berbagai konferensi, seminar-seminar serta dibuat lembaga-lembaga anti teroris. Semua itu tidak diarahkan kepada Negara-negara penjajah yang jahat yang telah membantai kaum muslimin, seperti tindakan teroris kaum Hindu terhadap kaum muslimin di Kashmir, atau tindakan teroris bangsa Rusia terhadap kaum muslimin di Chechnya, terorisme Amerika terhadap kaum muslimin di Afghanistan dan Irak, kaum Yahudi yang melakukan teror terhadap bangsa Palestina.

Lalu berikutnya, ada sebagian kaum muslimin yang zalim menyematkan kata ini kepada siapa saja yang ingin dia perangi atau memprovokasi masyarakat untuk menjauhinya. Boleh jadi mereka benar saat menetapkan hukum tersebut terhadap beberapa kelompok, tapi bagaimana halnya dengan negara-negara teroris tersebut atau kelompok- kelompok teroris separatis (non muslim).

(19)

Syariat Islam yang bersumber dari Tuhan di dalamnya mengandung perlindungan terhadap kehormatan, darah dan harta seorang muslim. Atas alasan itulah, maka diharamkan pembunuhan, mencuri, berzina atau tuduhan tanpa bukti. Lalu dikenakan hukuman berat bagi siapa yang melakukan perkara-perkara haram tersebut, bahkan hukumannya ada yang sampai kepada hukuman mati, seperti zina muhshan (orang yang sudah menikah) untuk melindungi kehormatan

manusia. Juga telah ditetapkan hukuman berat bagi siapa yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, seperti terhadap para perampok. Siapa yang melakukan perbuatan tersebut di dalam kota dan mereka menebar kerusakan di muka bumi, maka Allah tetapkan hukuman yang sangat berat kepada mereka untuk mencegah kejahatan mereka dan melindungi harta, darah dan kehormatan masyarakat. Allah Ta‟ala berfirman dalam Al Qur‟an yang artinya :

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”(Al Maidah:33)

Yang lebih jelas dari itu adalah bahwa Islam melarang seorang muslim menakut-nakuti saudaranya walaupun bercanda. Orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi, Allah Ta‟ala sangat membenci perbuatan mereka. Pembalasan terhadap perbuatan mereka yaitu dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki, dibuang dari tempat kediamannya, dan di akhirat diberikan siksa yang sangat pedih.

(20)

Dari Saib bin Yazid Radhiallahu anhu, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya :

“Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya (walau) bercanda atau tidak sungguh-sungguh. Siapa yang mengambil tongkat saudaranya, dia harus mengembalikannya kepadanya.” (HR.

Tirmizi, no. 2160, Abu Daud, no. 5003, dinyatakan shahih oleh Al- Albany)

Dari Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepadanya, kami dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang dari mereka tidur. Lalu ada salah seorang dari mereka menghampirinya untuk mengambil panahnya.

Ketika terbangun orang itu kaget, lalu teman-temannya tertawa. Maka beliau bertanya, “Mengapa kalian tertawa?” Mereka berkata, “Tidak, kami mengambil panahnya dan dia kaget.” Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti muslim (lainnya).” (HR.

Ahmad, no. 23064, redaksi berasal darinya, Abu Daud, no. 4351, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Teroris dalam Islam ada dua macam;

a. Terpuji; yaitu menakut-nakuti musuh karena khawatir mereka akan menyerang kaum muslimin atau menjajah negeri mereka. Hal tersebut terwujud dengan melakukan persiapan matang, mempersenjatai diri dengan iman, persatuan, senjata. Telah

(21)

dijelaskan sebelumnya ayat-ayat dalam surat Al-Anfal yang menjelaskan bahwa perkara ini wajib bagi kaum muslimin.

Islam bukanlah pihak yang pertama kali dalam masalah ini.

Lihatlah berbagai negara berlomba-lomba dalam industri militer, mempersenjatai diri dengan senjata-senjata penghancur, membangun sistem militer yang besar lalu memperlihatkan tentara dan senjatanya. Itu semua bertujuan untuk menunjukkan kekuatannya menimbulkan kegentaran bagi tetangga atau musuh-musuhnya agar mereka tidak berani menyerangnya.

b. Tercela, yaitu menakut-nakuti mereka yang tak berhak ditakut-takuti, seperti kaum muslimin dan orang-orang yang harus dilindugi, seperi orang kafir yang terikat perjanjian, orang kafir yang mendapatkan keamanan dan orang kafir yang hidup dalam naungan pemerintahan Islam. (http://www.islamqa.com. Sabtu 14 juli 2018)

Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islamy menjelaskan bahwa terorisme merupakan permusuhan yang dilakukan oleh individu dan kelompok atau negara sebagai tindak sewenang-wenang terhadap manusia (agamanya, darahnya, akalnya, hartanya dan kehormatannya), mencakup semua cara teror, gangguan, ancaman dan pembunuhan tanpa hak, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan onar, ancaman yang dilakukan dalam sebuah program kejahatan, baik atas nama individu atau kelompok dengan tujuan menimbulkan ketakukan di tengah masyarakat atau menakut-nakuti

(22)

akan menyakiti mereka atau mengancam kehidupan mereka, kebebasan mereka atau keamanan mereka atau keadaan mereka. Di antara bentuknya yaitu menimbulkan kerusakan lingkungan, atau terhadap salah satu fasilitas umum dan milik publik atau pribadi, atau mengancam sumber- sumber vital Negara atau lingkungan. Itu semua merupakan bentuk kerusakan di muka bumi yang dilarang Allah Ta‟ala dalam firmanNya surat Al Qasas ayat 77 yang artinya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berbuat kerusakan.” (http://www.islamqa.com. Sabtu 14 juli 2018)

Istilah terorisme pada tahun 1970-an ditujukan pada beragam fenomena mulai dari bom yang meletus di tempat - tempat publik sampai dengan kemiskinandan kelaparan. Beberapa pemerintah bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai “teroris‟ dan aksi aksi mereka disebut “terorisme”. Amerika Serikat (AS) sebagainegara yang pertama kali mendeklarasikan “War on Terrorism” atau “Perang terhadap terorisme” belum mampu mendefinisikan terorisme dengan gamblang dan jelas sehingga semua orang dapat memahami makna sesungguhnya.

Ketidakkonsistenan AS dalam menggunakan istilah terorisme telah menimbulkan kesan bahwa apa yang mengancam kepentingan AS sesungguhnya merupakan perang melawan pihak-pihak yang mengancam kepentingan AS. Hal ini sejalan dengan “Doktrin Bush” pasca tragedi 11 September yang meminta negara-negara untuk memberikan pilihan

(23)

mendukung AS atau kelompok teroris. Artinya siapapun yang tak mau mendukung perang melawan terorisme, secara otomatis dianggap berpihak pada kaum teroris. (Riza Sihbudi, 2006:58)

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut pendapat Mardenis, AS juga adalah sebagai “the real terrorist” karena AS senantiasa menggunakan kekerasan jika kepentingan politiknya terancam. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa pengeboman AS di Hiroshima dan Nagasaki.

Di Vietnam AS juga yang menjatuhkan bom “Napalm” dan “Agent Orange” yang membunuh ratusan orang dan merusak Vietnam, demikian halnya tindakan AS yang menyerang Kuba, Granada, Irak, Afganishtan, Irak, melibatkan diri dalam perang Arab-Israel dan pembantaian Israel terhadap rakyat Palestina. Dengan kata lain, sampai saat ini pengertian dan klasifikasi terorisme sangat bias kepentingan, terutama kepentingan politik dan ideologi negara-negara Barat, terutama AS yang membuat banyak berbagai pihak menjadi skeptic terhadap kebijakan internasional memerangi terorisme.(Mardenis,2011;18)

Secara dikotomis, istilah terorisme terbagi menjadi State Terrorism (State Sponsored Terrorism) dan State Terrorism. State Terrorism merupakan bentuk terorisme yang dilakukan pemerintahan suatu negara atau sebagai alat yang digunakan oleh pemerintah (bertindak atas nama negara) sebagai sarana paksa untuk menundukkan pihak lain sehingga dapat diatur seperti yang dikehendaki pemerintah. State Terrorism cenderung lebih terjadi pada setiap pemerintahan yang otoriter

(24)

dan represif. Artinya pemerintahan tipe otoriter dan represif selalu melakukan instrumen teror untuk melakukan intimidasi terhadap siappaun saja yang dianggap dapat mengusik kekuasaannya. Terorisme Negara juga muncul dalam kebijaksanaan pemerintahan rezim totaliter Adolf Hitler (Jerman) dan Joseph Stalin (Uni Soviet) yang banyak melakukan penangkapan, penghukuman, penyiksaan dan eksekusi yang dilakukan secara membabi buta sehingga menimbulkan suasana ketakutan yang luar biasa.

Peristiwa teror yang sama juga terjadi pada era kediktatoran Benito Mussolini yang memberi dukungan kepada teroris sayap kanan Kroasia, Ustasha. Teroris Ustasha menerima bantuan dan dukungan untuk melancarkan operasi mereka salah satunya yang paling terkenal adalah pembunuhan ganda atas Raja Alexander dari Yugoslavia dan PM Perancis Louis Barthou di Marseiles tahun 1934. Ketika Mao Zedong berkuasa di Cina pada Oktober 1949, rezim Mao melalui Kementerian Keamanan Publiknya juga melakukan teror dan pembunuhan yang keji pada kelompok-kelompok yang dianggap membangkang yang menyebabkan sekitar 10-20 juta rakyat dimusnahkan.

Demikian juga halnya dengan rezim diktator Kamboja, Jenderal Pol Pot yang membunuh sekitar 3 hingga 8 juta rakyatnya. „State Sponsored Terrorism‟ bisa bersifat transnasional bilamana suatu negara melakukan tindakan teror terhadap negara lain dengan cara memberikan bantuan, perlindungan, pendaanaan dan perencanaan serta memberikan

(25)

fasilitas kepada negara lain. Sedangkan “non-State Terrorism” merupakan terorisme yang dilakukan oleh non-negara dalam arti individual atau kelompok terhadap pihak lain seperti kelompok teror bom Bali, kelompok teroris Noordin M. Top yang berasal dari Jemaah Islamiah (JI) dan kelompok teroris Poso. Gerakan terorisme di Asia Tenggara merupakan salah satu bagian dari gerakan terorisme internasional. Jaringan teroris yang berkonsentrasi di Asia Tenggara memiliki kaitan yang erat dengan jaringan yang berada di negara-negara lain khususnya Timur Tengah yang menjadi sumber „radikalisme agama‟. Ideologi radikal yang didasari keyakinan keagamaan itu semula hanya sebagai gerakan sosial akan tetapi kemudian berubah menjadi gerakan politik. Persebaran ideologi yang berorientasi politik itulah yang sekarang menjelma menjadi gerakan terorisme.(Wawan H. Purwanto,2007:13)

Pasca tragedi WTC 2001, tahun 2002 merupakan babak baru tragedi bom diIndonesia. Meskipun tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 merupakan peristiwa pengeboman terbesar yang pernah terjadi di Indonesia namun sudah banyak tragedi peledakan bom sebelumnya yang telah merenggut banyak korban sipil baik dari masyarakat Indonesia maupun warga negara asing.

Motif dan Taktik Terorisme

Menurut A.C. Manullang , latar belakang atau motif dari tindakan- tindakan terorisme secara nasional dapat bersumber pada beberapa faktor yaitu : 1)ekstrimisme keagamaan, 2) nasionalisme kesukuan yang

(26)

mengarah pada separatisme dan 3) kelompok kepentingan tertentu yang ingin menimbulkan kekacauan. (A.C., Manullang ,2006:98-133)

Pertama, motivasi kelompok teroris didasarkan pada sikap radikalisme agama yaitu membangun komunitas eksklusif sebagai modal dan identitas kelompok. Mereka meyakini dirinya paling benar dan paling dekat dengan ambang pintu Tuhan. Menurut mereka, berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian adalah jalan menuju rumah surgawi. Sikap radikalisme seperti inilah yang setiap saat dapat melahirkan bencana sosial politik. Sikap seperti inilah yang mendasari aksi kekerasan kelompok Imam Samudera dalam melakukan aksi ledakan bom Bali yang dianggap sebagai jihad, demikian halnya seperti bom Natal tahun 2000 dan juga tindakan sweeping terhadap warga negara Amerika.

Kedua, kelompok teroris melakukan aksi teror dengan tujuan untuk memperoleh kemerdekaan politik yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas atau yang lebih besar di wilayah yang bersangkutan. Pemicunya adalah karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah pusat sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Dalam motif ini yang sering menjadi sasaran adalah gedung - gedung dan kantor pemerintah.

Ketiga, kelompok teroris cenderung melakukan aksinya demi kepentingan politik, ekonomi dan sosial dengan tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu seperti menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan di masa lalu atau sebagai „bargaining‟

(27)

untuk mendapatkan posisi di bidang politik, ekonomi dan sosial. Aksi teror akan semakin meningkat manakala suatu negara mengalami ketidakstabilan dalam situasi politik dan ekonomi. Selain dari ketiga faktor tersebut diatas, „fundamentalisme agama‟ juga dapat menjadi motif dari kelompok teroris. Pengertian fundamentalis adalah suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan baik yang bersifat agama , politik, ataupun budaya yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah.(Moch.Faisal Salam,2005:22)

Dengan begitu , ia yakin bahwa ia memiliki kebenaran mutlak dan oleh karena itu kebenaran tersebut harus diberlakukan. Sumber utama dari fundamentalisme agama dewasa ini adalah perpaduan dari adanya penindasan, ekanan, kesewenang-wenangan terhadap kebudayaan , sosial dan agama. 19(Riza Sahbudi,2006:23)

Tidak hanya itu, lahirnya fundamentalisme juga sebagai akibat dari dekadensi moral yang melanda negara negara barat sebagai akibat dari kapitalisme dan kolonialisme yang berkepanjangan serta kebebasan pasar yang melahirkan persaingan rivalitas serta pertarungan demi memenangkan keinginan-keinginan untuk berkuasa dengan kemakmuran sehingga hal ini menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan dan perlombaan persenjataan di berbagai belahan dunia yang didukung oleh kemajuan industri serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fundamentalisme merupakan bahaya yang paling besar untuk era modern saat ini, karena dapat menumbuhsebarkan persoalan yang akarnya

(28)

tertanam pada problema ekonomi dan politik disaat solusi terhadap problema manapun tidak bisa dilakukan dengan bertolak dari komunitas secara sepihak atau parsial dan menopangkan diri pada keyakinan- keyakinan yang statis. Kelompok-kelompok teroris kerap menggunakan berbagai taktik dalam melakukan aksinya antara lain dengan ancaman, penggunaan zat-zat kimia dan biologi zat radioaktif dan sejata nuklir (CBRN), pengiriman bom berbentuk paket, penggunaan racun, cyberterrorism, peledakan bom, serangan dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam, pembajakan kendaraan atau pesawat terbang, pembunuhan, penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan, sabotase, Narcoterrorism, bergerak secara individu.( Agus SB,2014:17-22) Makna Kekerasan dalam Islam (Radikalisme)

Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-„unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhab. Al-„unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang.

Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-„unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksanakan kehendak dan pendapat. Sekalipun kata ini tidak digunakan dalam al-Qur‟an, tetapi beberapa hadis Nabi saw. menyebutnya, baik kata al-„unf maupun lawannya (arrifq). Dari penggunaan kata tersebut dalam hadis-hadis, tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang tidak menyukai kekerasan terhadap siapa pun, termasuk penganut agama yang berbeda. Sebaliknya

(29)

Islam adalah agama yang penuh dengan kelembutan.(Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama,2014:97)

Kata at-tatarruf secara bahasa berasal dari kata at-tarf yang mengandung arti “ujung atau pinggir”. Maksudnya berada di ujung atau pinggir, baik di ujung kiri maupun kanan. Karenanya, dalam bahasa Arab modern kata at-tatarruf berkonotasi makna radikal, ekstrem, dan berlebihan. Dengan demikian, at-tatarruf ad-dini berarti segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama, yang merupakan lawan kata dari al- wasat (tengah/moderat) yang memiliki makna baik dan terpuji.(Muchlis

M. Hanafi,2009:39)

Adapum kata al-guluww yang secara bahasa berarti berlebihan atau melampaui batas sering digunakan untuk menyebut praktik pengamalan agama yang ekstrem sehingga melebihi batas kewajaran. Al-Qur‟an mengecam keras sikap Ahli Kitab yang terlalu berlebihan dalam beragama sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an surat An-Nisa ayat 171 dan al-Maidah ayat 77.

Sikap berlebihan itu pula yang membuat tatanan kehidupan umat terdahulu menjadi rusak sebagaimana disabdakan Nabi, “Wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan (al-guluww) dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.” (H.R. Ibnu Majah dan an-Nasa‟i). Sabda Nabi ini muncul dalam peristiwa Haji Wada. Ketika itu, Nabi saw. meminta kepada Ibnu „Abbas di pagi hari jumrah „aqabah agar mengambilkan kerikil untuk melempar

(30)

jumrah di Mina. Ketika Ibnu „Abbas mengambilkan kerikil sebesar kerikil ketapel, beliau berkata, “Dengan kerikil-kerikil semacam inilah hendaknya kalian melempar.” Kemudian beliau bersabda sebagaimana hadis di atas.

Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Mas‟ud, Rasulullah . Bersabda,

“Celakalah orang-orang yang melampaui batas (al-mutanatti„un).” (H.R.

Muslim). Perkataan tersebut diulang tiga kali untuk mengindikasikan bahwa Nabi sangat tidak menyukai umatnya yang mempraktikkan agama secara berlebihan, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Sebaliknya beliau ingin mengajarkan sikap beragama yang moderat dan menghindari sikap guluww (radikal) dalam beragama.

Irhab artinya menimbulkan rasa gentar, bukan membunuh. Allah

Ta‟ala telah memerintahkan kita untuk gentar dan takut kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam Al Qur‟an Surat Al Baqarah ayat 40 yang artinya : “Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).”

Makna jihad yang multi tafsir, membuat banyak intelektual yang mencoba memberikan penafsiran dan landasan hukum mengenai pentingnya jihad, seperti pada hadits-hadits dibawah ini yang lebih menengahkan hadits-hadits yang diambil dari kitab “Jihad” karangan Imam Hasan Al-Bana dalam buku Jihad yaitu :

1. Diceritakan dari Abi Hurairah Radiallahu Anhu, sesungguhnya Nabi bersabda: “Demi dzat dimana aku berada dalam kekuasaan- Nya, tidak seorangpun terluka di jalan Allah kecuali Allah tahu orang yang terluka dijalan-Nya akan datang besok di hari kiamat

(31)

dengan warna seperti warna darah dan beraroma seperti aroma minyak misk.”

2. Dari Abdullah bin Abi Aufa Radiallahu Anhu, bahwa Rasulullah bersabda: “syurga adalah berada dalam bayang-bayang pedang.”

(Hadist Riwayat Bukhari Muslim dan Abu Daud).

3. Hadist diceritakan dari Zaid bin Khalidal-Junha Radiallahu Anhu Sesungguhnya Nabi bersabda: “Barang siapa telah bersiap untuk bertempur dijalan Allah, maka ia telah bertempur. Dan barang siapa meninggalkan perang dalam jalan Allah dengan kebajikan, maka ia telah berperang,” (Hadist Riwayat Bukhari Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)

4. Diceritakan dari Sa‟id al-Khudri Radiallahu Anhu. ia berkata: Nabi bersabda: “Maukah aku beritahu mengenai sebaik-baik orang dan seburuk-buruk orang? Sesungguhnya diantara sebaik orang laki- laki adalah orang yang beramal dijalan Allah diatas punggung kudanya, atau diatas punggung untanya, atau berjalan diatas kakinya sampai maut menjemput, dan diantara seburuk-buruk manusia adalah orang yang membaca kitab Allah dan tidak mengambil pelajaran sedikitpun darinya,”(Hadist Riwayat Nasa‟i).

5. Dari Ibnu Abbas Radiallahu Anhu, Ia berkata: Aku dengar Nabi bersabda: “ Dua mata yang tidak tersentuh oleh api neraka adalah, mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang

(32)

senantiasa dipergunakan untuk berjuang pada jalan Allah,” (Hadist Riwayat Tirmidzi).

6. Dari Abi Umairah Radialllahu Anhu, Ia berkata: Nabi telah bersabda: “Terbunuh di jalan Allah lebih aku sukai dari pada aku memiliki pengikut dari orang-orang berperadaban maupun orang- orang badui,” (Hadist Riwayati Nasa‟i).

7. Dari Abu Hurairah Radiallahu Anhu, ia berkata: Nabi telah bersabda: “orang yang mati tidak terdapat bekas-bekas berjihad, maka ia menghadap Allah dengan terdapat retak-retak bibirnya,”

(Hadist Riwayat Tirmidzi dan Ibn Majah).

8. Dari Anas Radiallahu Anhu, Ia berkata: Nabi telah bersabda:

“Barangsiapa mencari kesyahidan dengan sungguh-sungguh, Allah akan memberikannya pahalanya meski ia tidak menemukannya kesyahidan itu,” (Hadist Riwayat. Muslim)

9. Dari Ustman bin Affan Radiallahu Anhu dari Nabi, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengikat malam dalam jalan Allah, maka malam tersebut setara dengan seribu malam beserta puasa dan salat malamnya,” (Hadist Riwayat Ibnu Majah)

Hadis-hadis diatas atau yang senada, itulah yang dipergunakan mereka untuk mendukung paham jihad yang terdapat dalam kitab “Jihad”

karangan Hasan al-Bana. Menurut Nasaruddin Umar, (2006:145) hadits- hadits ini harus kita letakkan dalam kerangka Qurani yang sangat luas dan memberikan padanya makna yang plural, dengan mengakui adanya

(33)

perbedaan, dan menjaga perbedaan serta mengakui keberadaan agama lain, hal itu menyebabkan diamalkannya sebagian hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain, terlebih atas hadits-hadits yang tidak mencapai tarap Sahih.

Adapun tujuan-tujuan jihad oleh beberapa ulama mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

1. Ibnu Taimiyah menyatakan: ”maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.”

2. Syaikh Abdur Rohman bin Nashir Al sa‟di menyatakan bahwa jihad ada dua jenis. Pertama, jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam akidah, ahlaq, adab (perilaku), dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik ilmiah dan amaliah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya serta menjadi dasar bagi jihad yang ke dua yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang islam dan kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid, dan seluruh musuh-musuh agama dan menentang mereka”

3. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan: ”jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad At tholab (menyerang) dan jihad Ad daf‟u (bertahan). Maksud tujuan ke duanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah

(34)

di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata.Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan, seperti waktu pelaksanaannya yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal, atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan

"teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism :

"Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad, Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan

(35)

perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).

Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.

Meskipun begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan, khususnya jika dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro walaupun dengan menggunakan kategori “Jihad.” Jika manusia yang tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak berantakan, serta Negara dilanda disharmonisasi nasional, maka kategori“Jihad” maupun alasan keagamaan apapun yang membenarkan kebiadaban tersebut patut dipertanyakan.

Seorang anak muda yang menyatakan diri sebagai pelaku pemboman bunuh diri mengatakan bahwa “ketika saya meledakkan” dan

“menjadi martir Tuhan yang suci,” dia dijanjikan sebuah tempat untuk dirinya dan keluarganya di surga, 72 bidadari, dan “pemberian ganti rugi”

kepada keluarganya yang setara dengan 6000 dolar”.

Doktrin di atas merupakan salah satu dari ribuan doktrin-doktrin yang ditanamkan kepada para pelaku terror, dimana mereka tidak

(36)

mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya dari nilai essensial jihad tersebut, sehingga mereka hanya memikirkan iming-iming balasan serta pahala atas tindakan aksi terror mereka.

Karena itu Rasulullah jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa para mujahidin yang diberi ganjaran ialah yang niatnya ikhlas lillahi Ta‟ala, tidak bercampur dengan ingin dilihat dan dikenal orang. Dan mereka tidak pernah memikirkan hadiah apa yang akan diberikan Tuhan kepadanya, karena para mujahidin tersebut benar–benar berjuang dengan ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah di dalam hatinya.

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda yang artinya :

Dari Abu Musa Radiallahu Anhu katanya, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ditanya tentang seorang yang berperang karena dorongan keberanian, karena fanatisme, dan berperang karena ingin dikenal. “Yang mana yang dikatakan berperang fi sabillillah, wahai Rasulullah?”

Rasulullah Saw menjawab: “Siapa yang berperang supaya kalimat Alloh tegak dan tinggi, maka dia dinyatakan telah berperang fi sabilillah.”

(dikeluarkan oleh kelima imam)

Demikian juga hadist yang di riwayatkan oleh Abu Daud yang artinya : Dari Abu Hurairah Ra. Katanya,”Ada seorang bertanya kepada Rasulullah Saw. Tanyanya,”Ya Rasulullah, ada seorangyang berperang jihad fi sabilillah tetapi tujuannya untuk mendapatkan kedudukan dunia.” Maka Rasulullah menjawab, ”Dian tidak akan mendapatkan pahala (diulangnya sabdanya itu sampai tiga kali) Laa ajru lahu!”(HR.Abu Daud)

Hal ini mengantarkan pada suatu pertanyaan, jika terorisme membenarkan kekerasan dalam menggapai tujuannya, lalu bagaimanakah dengan jihad, apakah ia memiliki kesamaan dengan terorisme? Ini merupakan pertanyaan sederhana tetapi mengena karena jika jihad tersebut memang berasal dari ideology keagaman, pastilah akan berakibat positif

(37)

bagi pemeluknya dan orang disekitarnya, karena agama pastilah mempunyai standarisasi atau norma tersendiri dalam mekanisme pelaksanaan jihad tersebut sesuai dengan tujuannya untuk menjadi rahmat li al-„alamin. Jadi, jihad sama sekali berbeda dengan aksi terorisme yang selalu menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya.

Perbedaan-perbedaan signifikan antara jihad dengan terorisme, antara lain:

1. Jihad : untuk menegakkan Kalimah Allah di muka bumi.

Terorisme : mencoreng citra Islam di mata ummat manusia.

2. Jihad : dilakukan dengan alasan-alasan yang jelas. Misalnya, dalam rangka membela diri atau memperluas wilayah Islam.

Terorisme : dilakukan dengan tanpa alasan yang jelas, selain penafsiran-penafsiran sepihak atas masalah-masalah politik tertentu.

3. Jihad : diikat oleh adab-adab yang ketat. Misalnya, jihad tidak mengarahkan sasaran ke kalangan sipil atau orang-orang lemah.

Terorisme : tidak diikat oleh adab apapun, selain tujuan menghancurkan sasaran dengan cara apapun.

4. Jihad : diawali dengan kepastian suatu konflik antar negara. Konflik itu harus pasti dulu, baik melalui pengumuman perang, maupun melalui tindakan penyerangan yang dilakukan suatu negara agresor.

Terorisme: tidak jelas kapan konflik itu resmi dimulai, dan kapan pula ia akan berakhir.

(38)

5. Jihad : rata-rata berhubungan dengan posisi suatu negara dalam kancah konflik politik dengan negara-negara lain.

Terorisme: bisa dilakukan oleh siapapun, baik pribadi, kelompok, atau milisi-milisi tertentu.

Secara metode terorisme itu dilakukan dengan menciptakan rasa takut di hati masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa. Sementara jihad dilakukan di atas konflik yang sudah sama-sama dipahami dan tidak memiliki tujuan menciptakan rasa takut ke masyarakat sipil, namun mengalahkan musuh tertentu.

Jika mereka membenarkan kekerasan dengan mengemas jihad sebagai labelnya tanpa mendalami makna esensial dari arti jihad itu sendiri hingga nyawa-nyawa yang tidak berdosa turut menjadi korban, maka keabsahan jihad tersebut patut kita pertanyakan kembali.

Ajaran Terorisme Yahudi

Ahmad Abdul Ghafur mengemukakan bahwa :

“Ajaran terorisme yang berkembang dalam pemikiran Yahudi sangatlah keliru. Betapa tidak, Yahudi berkeyakinan bahwa mereka adalah bangsa Allah yang terpilih, mereka adalah suci, mereka adalah manusia, sedangkan bangsa lain adalah hewan yang berwujud manusia yang diciptakan untuk menjadi budak mereka”.(Ismail Yaghi, 2001:47)

Konsekwensinya, selagi bangsa lain milik Yahudi, otomatis mereka punya hak untuk membinasakan, menyiksa, mendengki, dan memusuhi “ hewan- hewan “ itu. Akidah ini sudah berurat berakar dalam jiwa mereka, dan mereka juga diperintahkan untuk membunuh. Inilah Taurat mereka yang dipenuhi oleh ajaran perbudakan manusia,

(39)

penindasan, penghapusan akidah, penghancuran agama dan tempat ibadahnya, peradaban, sawah lading, hewan ternak, tempat tinggal, kota- kota dan seterusnya.

Dalam Sifru Al „Adad (bagian kitab Taurat) 33 / 50-53,dikatakan bahwa :

“ Tuhan telah berfirman kepada Musa…,katakanlah kepada Bani Israil, kamu sekalian menyeberangi negeri Urdun ke tanah Kan‟an maka, usirlah para penduduk setempat dengan paksa, dan hapuslah segala hasil karya mereka,perbudaklah mereka, keluarkanlah bangunan- bangunannya, rebutlah tanahnya, dan tinggallah di sana, karena sesungguhnya Aku memberi tanah kepada kalian untuk dimiliki hanya oleh kalian”.(Ismail Yaghi 2001 : 48)

Jelaslah bahwa ajaran dari kitab mereka telah membenarkan perampasan hak orang lain, pengusiran paksa, penghapusan budaya, penghancuran bangunan.

Dalam kitab Sifur Attatsniah Al Ishshah pertama / 7 dikatakan,”Ingatlah bahwa Tuhanmu telah memilih kamu supaya menjadi bangsa yang istimewa dari bangsa-bangsa lain di muka bumi”. (Ismail Yaghi, 2001 : 48)

Perintah penghancuran dan pembunuhan kepada bangsa lain bukan hanya ditemukan dalam kitab-kitab suci mereka tetapi dapat kita dengar secara langsung dari para orator pemimpin Yahudi yang menyediakan berbagai fasilitas teror untuk perampasan hasil bumi dan penguasaan bangsa-bangsa dunia serta pembentukan suatu Negara Yahudi dunia. Sifat mayoritas manusia lebih suka keburukan, dan jalan satu- satunya untuk memperoleh hasil yang maksimal adalah dengan jalan

(40)

kekerasan dan teror, bukan melalui meja perundingan ilmiah yang formal.

Masyarakat primitif pada masa prasejarah tunduk kepada kekuatan buta, dan kemudian menjadi hukum rimba yang baku. Hukum rimba merupakan kekuatan yang memuaskan, dan kekuatan alami menegaskan bahwa yang benar adalah kekuatan.

Orasi ini lebih gamblang lagi memaparkan tentang perintah penghancuran manusia dan eksistensinya sebagai langkah awal untuk menguasai dunia. Al Qur‟anul Karim telah menjelaskan tentang karakteritik dan watak Yahudi yang mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa yang rasis, penumpah darah, cinta keburukan, sampai-sampia mereka berani membunuh para nabi tanpa sungkan-singkan. Hal ini dapat kita lihat dalam Al Qur‟an yang artinya:

“serta mereka mendapat kemurkan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas”. (Al Baqarah:61)

Demikan halnya, Al Qur‟an telah memberi isyarat, bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang keras hatinya tidak mengenal belas kasihan.

Seabagai firman Allah yang artinya: “kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi”. (Al Baqarah:74)

Dan mereka sebagai bangsa yang tamak dan sebagai bangsa yang berperilaku sangat buruk. Sebagaimana firman Allah yang artinya:

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil”. (An Nisa:161)

(41)

Dan mereka juga sebagai bangsa yang rusak dan pembuata kerusakan, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al Maidah:64)

Bukan itu saja, bangsa Yahudi juga menggambarkan Allah Azza wa Jallah dengan gambaran yang bertentangan dengan Islam. Dalam gambaran mereka Allah adalah Tuhan yang Maha cinta khusus kepada mereka, tidak kepada bangsa lain, dan Allah telah memilih sebuah bangsa khusus untuk mereka, tidak seorangpun masuk ke dalam bangsa itu untuk mempersempit kekuasaannya, dan tidak seorangpun yang menentang mereka kepada keridhaannya.

Bertolak dari akidah mereka, selam ini Yahudi sedang getol- getolnya melakukan pengajaran teror kepada anak-anaknya yang diprovokatori oleh kitab suci mereka, oleh para orator-oratornya dan oleh ajaran yang lainnya, supaya mereka dapat merealisasikan tujuannya dalam mengatasi masalah bangsa Yahudi yakni mempersatukan orang-orang Yahudi di tanah yang satu, Palestina.

2. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia

Proses lahirnya kaidah hukum tidak terlepas dari mana hukum bersumber. Pengujian asal-usul hukum memang perlu untuk membedakan kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Kaidah-kaidah sosial lain ini sebenarnya bukan hukum, melainkan kaidah yang pada umumnya

(42)

merupakan bagian dari aturan-aturan moral. Kaidah sosial lain yang bukan hukum adalah kaidah yang diikuti sebagai sistem nilai yang dianut oleh warga masyarakat secara umum dan tidak dijalankan oleh kekuasaan publik atau penguasa negara.

Paul Bohannan secara tegas menyatakan:

“Hukum sebaiknya dipikirkan sebagai perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain, yang telah dikembangkan lagi dalam lembaga-lembaga hukum supaya masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara demikian.” (Marwan Mas,2014:50)

Kesimpulan Bohannan di atas menunjukkan bahwa kaidah-kaidah hukum itu meupakan “double legitimacy”. Artinya, kaidah hukum merupakan pelembagaan ganda yang diambil dari kaidah-kaidah sosial lainnya (agama, kesopanan dan kesusilaan) agar warga masyarakat dapat terus berfungsi. Misalnya, larangan mencuri yang diatur di dalam Pasal 362 KUHPidana, pada dasarnya juga merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan tidak terpuji (dosa) menurut kaidah agama, kaidah kesopanan dan kaidah kesusilaan.

Menurut Paul Bohannan, asal-usul kaidah hukum adalah dari kaidah-kaidah sosial lainnya. Namun, apabila dikaji lebih mendalam, sebetulnya kaidah hukum itu selain berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya, juga berasal dari otoritas tertinggi (kekuasaan negara). Pandangan Paul Bohannan dikenal pula sebagai teori “reinstitutionalization of norm”

yang memandang keberadaan suatu lembaga hukum sebagai alat yang

(43)

digunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan- perselisihan yang terjadi di lembaga-lembaga masyarakat.

Pengertian Tindak Pidana menurut para ahli :

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tidak pidana.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa- peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehinggga tindak pidana haruslah diberiakan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Para pakar hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah :

1. Starfbaarfeit adalah peristiwa pidana;

2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan

3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.

(44)

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti :

Straf diartikan sebagai pidana dan hokum;

Baat diartikan sebagai dapat dan boleh;

Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa,pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).

Andi Hamzah (1994:88) memberikan defenisi mengenai delik, yakni : delik adalah “ suatu perbutan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang ( pidana).”

Moeljatno mengartikan strafbaarfeit sebenarnya adalah ”suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang- undangan”. (Chazawi Adami, 2002:72)

Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeeit dimana setelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.

H.J Van Schravendik mengartikannya delik sebagai perbuatan yang boleh di hukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut beliau meliputi

(45)

perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan atau met doen negatif ).

Sianturi berpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan singkatan dari kata “ tindakan” artinya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang, akan tetapi dalam banyak hal suatu tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-oarang tertentu, misalnya menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan menurut golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai dan lain-lain sebagainya, jadi status/

klasifikasi seorang penindak menurut Sianturi cantumkan unsur“ barang siapa”.

Andi Zainal Abidin (1987 : 146) mengemukakan:

pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “ delik” yang berasal dari bahasa latin “delictum delicta “ karena :

1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;

2. Bersifat ekonomis karena singkat;

3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “ peristiwa pidana”, “perbuatan pidana “ ( bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya ); dan

4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.

Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu :

Defenisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

(46)

Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif; biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.

(Abidin, Andi Zainal, 1995:225)

Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R Sianturi bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu :

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam pidana; dan

e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya). (Kanter E.Y &

S.R. Sianturi, 2002:211)

Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme

Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur- unsurnya, maka yang mula-mula harus dibahas adalah suatu “tindakan

(47)

manusia”, karena dengan tindakan itulah seseorang dapat melakukan apa yang dilarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan- tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

dan

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

(48)

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh perorangan atau individu diatur dalam Pasal 6,7,8,9 dan 10 Undang -Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berikut ini uraian rumusan unsur-unsur tindak pidananya :

Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dam harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek – obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun.

Adapun unsur- unsurnya adalah : 1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja;

3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;

(49)

4. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut;

5. Terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;

6. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Pasal 7

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Adapun unsur-unsurnya adalah :

1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja;

3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;

4. Bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut;

5. Terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;

6. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menyimak video pembelajaran peserta didik dapat secara aktif dan tekun menentukan nilai variabel pada sistem persamaan linier dua variabel dalam masalah

Segala materi yang digunakan seharusnya berhubungan dengan topik yang sedang dibahas di dalam pelajaran, sehingga fokus dalam proses pengajaran bahasa asing tidak

Dalam suatu penelitian yang mempelajari hubungan sebab-akibat antar variabel, dapat diidentifikasi beberapa jenis variabel, yaitu: variabel terikat, variabel bebas, variabel

Hasil wawancara yang dilakukan pada bulan april 2017 di Puskesmas Klampis didapatkan jumlah penderita tuberkulosis paru pada tahun 2016 sebanyak 151.Salah satu

Ditinjau dari data penelitian menggunakan uji Tukey di atas diperoleh Q hitung = 3,9983 lebih besar dari pada Q tabel = 3,63 ( Q hitung = 3,9983 > Q tabel = 3,63 )

Ari Prasetyo mengungkapkan, apabila dalam sebuah gendhing menggunakan pancer lebih dari satu, maka pada tabuhan pancer yang dimaksud adalah balungan maju kembar yang

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa: 1) Tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik termasuk kategori tinggi saat

Abu Hassan Ali Al- Mawardi (1960), dalam al-Ahkam al Sultaniyyah, telah menyentuh aspek ketenteraan dan dihubungkan dengan aspek kepimpinan. Al-Mawardi menyebut