• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tindak Pidana Terorsime

2. Pengertian Terorisme

Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari bahas Latin

“terrere”yang berarti menimbulkan rasa gemetar atau menggetarkan.122

Secara leksikal kata terror dalam bahasa Inggris memiliki arti “takut” dan “cemas”.123

Jika diturunkan dalam bahasa Indonesia terorisme memiliki arti sebuah usaha usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.124 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik.125 Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.126

Terorisme juga dapat diartikan sebagai tindakan pengacauan untuk menyebarkan rasa takut dan cemas pada negara dan warga negaranya, atau merupakan aksi kekerasan untuk tujuan-tujuan pemaksaan kehendak, koersi, dan publikasi politik yang memakn korban masyarakat sipil yang tidak berdosa, dan menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan politik.127 Definisi terorisme menurut Konvensi PPB 1937 yang dikutip oleh Nur Islami, bahwa terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan

121

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

122

Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspekstif Agama,

HAM, dan Hukum, (Jakarta: PT Rafika Aditama, 2004) cet. IV, hlm 22. 123

S. Wojowasito dan WJS. Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris Indonesia,

Indonesia-Inggris, (Bandung: Hasta Bandung, 2007) hlm. 231.

124 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1185.

125 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2008), hal. 1455.

126 Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta:

O.C. Kaligis & Associates, 2001), hlm. 19.

127 Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan

langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.128

FBI (Federal Bureau of Investigation) memiliki definisi sendiri mengenai terorisme, yaitu penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial politik.129 Menurut Knet Lyne Oot, yang dikutip dari Mohaddesin, terorisme mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;

2. Sebuah metode pemaksaan terhadap suatu tindakan orang lain; 3. Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas; 4. Tindakan kriminal bertujuan politik;

5. Kekerasan bermotif politik;

6. Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politik atau ekonomi.130 Walter Reich menyebutkan bahwa terorisme adalah masalah yang kompleks, penyebabnya beragam dan orang-orang yang terlibat didalamnya juga beragam. Semua usaha untuk memahami motivasi tindakan kelompok teroris harus memperhitungkan keberagaman yang begitu banyak. Oleh karena itu, tidak ada satu pun teori psikologi atau bidang ilmu lain yang secara sendirian dapat menjelaskan prihal terorisme.131

Menurut Laqueur, setelah mengkaji beberapa definisi terorisme, terdapat unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme bervariasi, karena

128 Muhammad Nur Islami, Terorisme Sebuah Upaya Perlawanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), cet. I, hlm. 3.

129 Muladi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The

Habibie Center, 2002), hlm. 172.

130 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, hlm. 62.

131 Walter Reich, Origins of Terorism, Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi dan Sikap Mental, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.132

Dari berbagai definisi yang ada, Kai Nielsen mengklasifikasikan enam macam definisi terorisme sebagai berikut:

1. Terorisme adalah penggunaan sarana paksa yang ditujukan kepada penduduk sipil dalam upaya untuk mencapai tujuan politik, agama atau lainnya;

2. Terorisme adalah taktik yang dilakukan secara sengaja dengan target penduduk sipil menggunakan kekerasan yang berat atau mematikan untuk tujuan politik;

3. Terorisme adalah penggunakan kekerasan baik secara acak maupun terarah yang ditujukan kepada terhadap seluruh penduduk;

4. Terorisme adalah pembunuhan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah, dilakukan secara acak dalam rangka untuk menyebarkan ketakutan pada seluruh penduduk dan memaksa pemimpin politik;

5. Terorisme adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan kekerasan atau ancaman, terhadap orang yang tidak bersalah dengan tujuan mengintimidasi mereka untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu;

6. Terorisme dilakukan dengan tujuan khusus untuk menjadikan penduduk sipil sebagai sasarannya.133

Diskursus mengenai terorisme telah muncul dan menjadi entitas yang memunculkan beragam spekulasi. Namun, hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima dan disepaakati secara universal. Para pakar politik, hukum dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai dengan persepsi dan latar belakang ilmu mereka masing-masing. Konsekuensinya adalah pluralitas definisi yang memunculkan perbedaan persepsi dalam memandang masalah terorisme, sehingga melahirkan

132

Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal

Kriminologi Indonesia, Vol. 2. No. 3, 2002, hlm. 33.

keragamaan terminologi terorisme.134 Berbagai defisnisi tersebut memberikan ruang konstruksi definisi terhadap term terorisme. Terorisme kemudian didefinisikan menurut kepentingan masing-masing pihak.

Perbedaan pemaknaan konsep terorisme diakibatkan karena beberapa faktor, antara lain:

1) Pertama, perbedaan persepsi tentang suatu tindakan yang dilakukan perorangan atau kelompok yang dapat dianggap legal dan bisa dibenarkan ataupun tidak dapat dibenarkan;

2) Kedua, perbedaan tentang tujuan dan cakupan yang harus dimasukkan dalam rumusan masalah yang disepakati

3) Ketiga, kemiripan berbagai tindak kekerasan politik dengan aksi teror, sehingga sulit membedakan antara tindakan teror, kejahatan politik, kriminal terorganisasi, dan kediktatoran suatu pemerintah;

4) Keempat, kerancuan pemahaman tentang makna teror sebagai sebuah aksi dengan enis tindak kekerasan lainnya yang juga mempunyai hubungan erat dengan konflik-konflik yang bernuansa politik.135

Banyaknya perbedaaan mengenai definisi terorisme, maka perlu dilakukan pelacakan arti secara etimologis maupun terminologis untuk mendapatkan makna yang komperhensi dari term terorisme. Secara etimologis, terorisme memiliki beberapa pengertian, antara lain:

1) Pertama, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha menapai tujuan (terutama tujuan politik) dan praktik tindakan teror; 2) Kedua, tindakan pengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan

(bidang politik).136

Adapun pengertian terorisme secara terminologis, antara lain:

1) Pertama, definisi yang diformulasikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang dikutip oleh Djelantik bahwa yang dimaksud

134

Mukhammad Ilyasin, et. al., Teroris dan Agama: Konstruksi Teologi Teoantroposentris, (Jakarta: Kencana, 2017), cet. I, hlm. 37.

135 Ibid, hlm. 41.

136 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Ar-Kola, 1994), hlm. 748.

dengan terorisme adalah kekerasan yang direncanakan, bermotif politik, ditujukan terhadap target-target yang tidak bersenjata (warga sipil) oleh kelompok-kelompok atau agen-agen bawah tanah, yang biasanya bertujuan untuk memengaruhi khalayak;137

2) Kedua, terorisme adalah upaya menempuh cara-cara kekerasan untuk suatu target-target politis, dilakukan pihak-pihak yang tidak memiliki kekuasaan. Metode kekerasan bertujuan sebagai ungkapan kemarahan atau penentangan secara politis terhadap pemerintah yang disebabkan negara tidak memenuhi tuntutan mereka.138

Istilah terorisme baru dikenal pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjukkan aksi-aksi pemerintah dalam menjamin ketaatan rakyatnya. Istilah terorisme juga diterapkan untuk “terorisme pembalasan” yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok terhadap penguasa.139 Kata terorisme petama kali populer saat revolusi Perancis. Pada waktu itu kata terorisme memiliki konotasi positif. Sistem atau Rezim de la terreur pada tahun 1793-1794 dimaknai sebagai cara untuk memulihkan tatanan saat periode kekacauan dan pergolakan anarkis setelah pemberontakan rakyat pada tahun 1789.140

Manifestasi terorisme yang sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, akan tetapi baru dikenal secara masif pada abad ke-19 dengan elemen mistis metafisika seperti yang terlihat pada terorisme Rusia, Irlandia, Jepang dan Arab. Keyakinan ontologis para teroris adalah bahwa mereka akan memperoleh kehidupan abadi. Keyakinan ontologis ini muncul pada terorisme Irlandia yang juga terlihat pada kaum Syiah dan Muslim.141 Terorisme bermula dari fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah

137 Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan

Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010) hlm. 21.

138 Kasim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 69-70.

139 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, hlm. 71.

140 Muhammad Nur Islami, Terorisme Sebuah Upaya Perlawanan, hlm. 3.

141 Abdullah Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 89.

menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap tiran.142

Pada akhir abad ke-19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I (PD-I), aksi terorisme diidentikan sebagai bagian dari gerakan “sayap kiri” yang berbasiskan ideologi. Pasca Perang Dunia II (PD-II), berbagai pergolakan terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, ketika sebagian besar terorisme berasal dari sayap kiri, maka argumentasi yang dibangun bahwa terorisme merupakan sebuah respon dari ketidakadilan.143

Namun pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika kebanyakan terorisme di Eropa dan Amerika berasal dari ekstrim kanan dan korbannya merupakan orang asing, minoritas nasional, ataupun secara acak, muncul pandangan baru yang berbeda dari sebelumnya. Terorisme kemudian berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, bahkan digunakan pemerintah sebagai cara dan sarana dalam menegakkan kekuasaannya.144