• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Umum dan Sejarah Hak Cipta

BAB III. PENGATURAN LISENSI DAN ROYALTI HAK CIPTA

A. Pengertian Umum dan Sejarah Hak Cipta

Istilah “hak cipta” diusulkan pertama kalinya oleh St. Moh. Syah pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian diterima oleh Kongres) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Auterus Recht.111

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta, untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya”,112 yang timbul secara

otomatis, setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di lihat dari sejarahnya

perlindungan Hak Cipta yang pertama kali berlaku secara formal di Indonesia adalah Auteurswet 1912, yang dimuat dalam Staatblaad No. 600 Tahun 1912 dan berlaku mulai tanggal 23 September 1912. Pada saat itu Indonesia masih berada dibawah jajahan pemerintah Belanda dengan nama Hindia Belanda.113

111

Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Hal. 58.

112

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, hal. 1.

113

Pembentukan Auteurswet 1912 itu adalah sebagai dorongan setelah keikutsertaan Belanda menjadi anggota Konvensi Bern yang dibentuk dalam rangka perlindungan Hak Cipta bagi karya sastra dan seni. Belanda masuk menjadi anggota konvensi sewaktu konvensi tersebut pertama dibentuk Tahun 1886. Sebagai negara jajahannya, Hindia Belanda diikutsertakan kedalam keanggoataan konvensi pula.

Istilah hak cipta merupakan pengganti auteursrechts atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, dibandingkan jika menggunakan istilah hak pengarang. Secara yuridis, istilah telah dipergunakan dalam UUHC (1982) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet

1912 seperti disebutkan diatas. Dalam Pasal 1 angka 1 UUHC telah dirumuskan pengertian Hak Cipta, yang jika diperbandingkan ternyata tidak jauh berbeda

dengan yang dirumuskan dalam Pasal 2 Auteurswet maupun Pasal 2 UUHC 1997.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 berbunyi “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian Hak

yaitu : pertama, hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain dan kedua, hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.

Apabila ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHC ditelaah lebih jauh, maka terungkap pengertian dan sifat hak cipta itu, yakni :

1. Hak cipta itu merupakan hak yang bersifat khusus, istimewa, atau eksklusif (exclusive rights) yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Dengan hak yang bersifat khusus ini berarti tidak ada orang lain yang boleh menggunakan hak tersebut, terkecuali dengan izin pencipta atau pemegang hak cipta yang bersangkutan.

2. Hak yang bersifat khusus, tunggal, atau monopoli tadi meliputi hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan ciptaannya, memperbanyak ciptaannya, dan memberi izin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya tersebut.

3. Dalam melaksanakan hak yang bersifat khusus ini, baik pencipta, pemegang hak cipta, maupun orang lain yang telah diberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tadi harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan pembatasan-pembatasan tertentu;

4. Hak cipta tersebut dianggap sebagai benda bergerak yang bersifat immateriil yang dapat beralih atau dialihkan kepada orang lain, baik untuk seluruh maupun sebagian.114

Walaupun hak cipta itu merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pencipta/pemegang hak cipta, pemanfaatannya hendaknya berfungsi sosial, karena

114

Rahmadi Usman, Hukum Hak Milik atas Kekayaan Intelekual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung, 2003, hal 86.

ada pembatasan-pembatasan tertentu yang telah diatur dalam Undang-undang Hak Cipta. Dengan kata lain, hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dinikmati oleh penciptanya saja, tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna, di samping nilai moral dan ekonomis.

Sebagaimana diungkapkan di atas, melalui Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta bahwa hak cipta yang bersifat khusus atau eksklusif itu, baik bagi Pencipta, pemegang hak cipta atau orang lain, harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan pembatasan-pembatasan tertentu. Artinya, dengan adanya pembatasan-pembatasan tertentu ini, Undang-undang Hak Cipta telah memberikan sarana guna mewujudkan prinsip fungsi sosial yang harus melekat pada hak milik sebagaimana lazimnya, yang memberikan kemungkinan kepada masyarakat luas untuk memanfaatkan atau menikmati suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya sebagai salah satu hak milik.115

Pasal 2 undang undang Hak Cipta menentukan bahwa :

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

115

Lihat Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt uk kepentingan yang bersifat komersial.

Penjelasan Pasal 2 UUHC menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan,

menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan,

mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.116

Perkataan “tidak ada orang lain” tersebut di atas mempunyai pengertian yang sama dengan hak tunggal yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh melakukan hak itu. Dan ini disebut dengan hak yang bersifat eksklusif.117

Pasal 2 UUHC tersebut juga memberikan suatu kepastian bahwa hak cipta termasuk ke dalam hak yang sifatnya khusus. Hak khusus ini memberikan kekuasaan kepada pemegang hak cipta untuk melakukan perbuatan apa saja terhadap ciptaanya (mengumumkan, memperbanyak, atau memberi izin) dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang

116

Lihat Penjelasaan Pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 117

yang berlaku. Pihak lain yang berkeinginan melakukan hak tersebut haruslah terlebih dahulu mendapat izin dari pemegang hak cipta.

Hak Cipta timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang–undangan yang berlaku (Pasal 2

Undang–undang Hak Cipta). Hak cipta lahir bukan karena pendaftaran, artinya, hak cipta termasuk telah dimiliki oleh penciptanya pada saat lahirnya karya cipta yang bersangkutan. Hal ini merupakan prinsip pokok yang

mendasari Hak Cipta, namun prinsip dasar ini tidak menghalangi pencipta untuk mendaftarkan karyanya seperti yang diatur pada bagian lain dari

undang-undang ini.118

Mengenai siapa yang dimaksud dengan pencipta, Pasal 1 angka (2) Undang-undang Hak Cipta menyebutkan bahwa, “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang di atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”. Sedangkan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra”.

Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta menegaskan unsur keasliannya dari suatu karya cipta untuk mendapatkan perlindungan hak cipta.

118

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIP’S , Alumni, Bandung 2005, hal 117

Suatu karya cipta harus memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi. Dalam bentuk yang khas berarti karya tersebut harus telah diselesaikan/diwujudkan sehingga dapat dilihat, dibaca atau didengar.

Mengenai Pencipta ini dalam Pasal 5 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah: a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada

Direktorat Jenderal; atau

b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.

(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.

Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) huruf a dan huruf b serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.119

Pihak yang memegang Hak Cipta ini dapat berupa pribadi atau sekelompok orang baik sebagai pencipta selaku pemilik hak cipta, atau orang yang menerima

119

hak tersebut dari pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak cipta, peralihan hak cipta dapat terjadi baik seluruh ataupun sebagian yang disebabkan oleh pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab-sebab lain dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notariil.120

B. Hak-Hak yang Terkandung dalam Hak Cipta

Hak Cipta merupakan hak khusus bagi pencipta atau pemegangnya untuk memperbanyak atau menggandakan hasil karya ciptaannya yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya suatu ciptaan. Hak cipta bertujuan melindungi hasil-hasil karya intelektual manusia dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan memberikan hak khusus bagi penciptanya untuk dalam waktu tertentu memanfaatkan hak-haknya.

Adapun yang menjadi ruang lingkup Hak Cipta adalah di dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sehingga hal-hal diluar lingkup ketiga bidang ini bukanlah objek kajian dari Hak Cipta. Ni Ketut Supasti Dharmawan menyebutkan

120

bahwa ”Hak Cipta merupakan bagian yang terbesar dari Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property Right) serta kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh penjiplak atau pembajak hasil karyanya, mereka bisa melaporkan ke pihak yang berwajib”.121

Eddy Damian juga mengemukakan bahwa di dalam Hak Cipta (copyright), yang merupakan bagian HAKI terkandung (1) Hak-hak eksploitasi atau Hak Ekonomi (economic rights) dan (2) Hak Moral (moral rights).122

Hak ekonomi (economic rights) adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait dan dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum lain.123 Dalam kaitannya dengan karya cipta sinematografi seperti halnya musik dan lagu maka hak ekonomi dari pencipta atau pemegang Hak Cipta adalah secara hukum dia berhak untuk menikmati royalti dari pihak yang memakai atau merekam ciptaannya.

Sedangkan royalti itu memiliki pengertian sebagai imbalan berupa uang yang diberikan seseorang kepada seseorang pencipta bilamana mempergunakan hasil karya cipta sang pencipta.124

121

“Masih Banyak Pelaku Pembajakan di Indonesia”, Analisa 2 Juni 2006, hal. 26 122

Eddy Damian, Op.Cit., hal. 8 123

Fathlurachman, “Perkembangan Global dan Sistem Perlindungan Hak Cipta dan Desain Industri di Indonesia” Makalah pada seminar pemanfaatan sistem Hak kekayaan Intelektual oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan yang disenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Medan, 15 Juni 2006

124

Jenis Hak Ekonomi pada Hak Cipta mencakup :

1. Hak Perbanyak (penggandaan), yaitu penambahan jumlah ciptaan dengan

pembuatan yang sama, hampir sama, atau menyerupai ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan – bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk pengalihwujudan ciptaan.

2. Hak adaptasi (penyesuaian), yaitu penyesuaian dari satu bentuk ke bentuk lain, seperti penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain,novel dijadikan sinetron, patung dijadikan lukisan, drama pertunjukan dijadikan radio.

3. Hak pengumuman (penyiaran), yaitu pembacaan, penyuaraan, penyiaran,

atau penyebaran ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa, sehingga ciptaan dapat di baca, di dengar, di lihat, di jual atau di sewa oleh orang lain.

4. Hak pertunjukan (penampilan), yaitu mempertontonkan,

mempertunjukkan, mempergelarkan, memamerkan ciptaan di bidang seni oleh musisi, seniman, peragawati.125

Hak moral (moral rights) adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau di hapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Termasuk dalam hak moral adalah hak– hak yang berikut ini :

1. Hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya nama Pencipta atau Penemu tetap dicantumkan pada ciptaan atau penemuannya.

2. Hak untuk tidak melakukan perubahan pada ciptaan atau penemuan tanpa

persetujuan Pencipta, Penemu, atau ahli warisnya.

3. Hak Pencipta atau Penemu untuk mengadakan perubahan pada ciptaan atau penemuan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kepatutan dalam masyarakat.126

Hak Moral berasal dari sistem hukum kontinental yaitu dari Prancis. Menurut sistem hukum kontinental, Hak Pengarang (author right) terdiri dari Hak

125

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. , Hal.19-20. 126

Ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai uang dan Hak Moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi Pencipta.

Menurut Komen dan Verkade, Hak Moral yang dimiliki Pencipta Meliputi :

1. Larangan mengadakan perubahan dalam ciptaan.

2. Larangan mengubah judul.

3. Larangan mengubah penentuan pencipta.

4. Hak untuk mengadakan perubahan.127

Tamotsu Hozumi dalam Asian Copyright Handbook (Buku Panduan Hak Cipta Asia) menjelaskan bahwa hak moral terdiri atas (1) Hak menyebarluaskan ciptaan, (2) Hak mencantumkan nama pencipta dan (3) Hak melindungi integritas ciptaan.128

Dalam masyarakat, bentuk pelanggaran Hak Moral sering terjadi. Orang seenaknya saja membawakan atau mempertunjukkan ciptaan itu pada berbagai acara tanpa menyebutkan nama penciptanya. Mereka juga mengubah bentuk ciptaan tersebut. Hal ini tampak pada ringtone yang diperjualbelikan tanpa menyebutkan nama penciptanya. Pencipta atau yang berhak atas ciptaan tersebut dapat menuntut pelanggaran semacam itu. Akan tetapi di negara Republik Indonesia,pihak yang dirugikan jarang atau tidak dilakukan penuntutan atas kerugian yang dialaminya. Apalagi ada anggapan, jika karya cipta itu dipertunjukkan oleh orang lain maka pencipta melakukan perbuatan amal.

127Ibid..

128

Hak Cipta yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak cipta memiliki jangka waktu berlaku. Mengenai jangka waktu berlaku hak cipta lagu atau musik dengan atau tanpa teks berdasarkan sejarah perkembangannya di Indonesia

mengalami perubahan sejalan dengan pengaruh perjanjian internasional tentang hak cipta, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang

Hak Cipta yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Auteurswet 1912 (Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 ) dimana Indonesia masih merupakan jajahan Belanda. Di dalam Undang-Undang ini hak cipta hanya dibatasi jangka waktunya sampai 50 tahun. Pada tanggal 12 April 1982, Auteurswet 1912 (Staatsblad

Nomor 600 tahun 1912 ) dicabut dan digantikan dengan Undang–Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam Undang-Undang ini, jangka waktu

berlaku dibatasi hanya 25 tahun. Tampak terjadi pengurangan jangka waktu berlaku. Kemudian Undang–Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta diubah pada tanggal 19 September 1987 dengan Undang–Undang Nomor 7 tahun 1987 lalu diubah dengan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta.129

Dalam kedua Undang-undang ini, jangka waktu berlaku kembali dimajukan menjadi selama hidup pencipta ditambah 50 tahun, begitu juga dengan pengaturan jangka waktu berlaku di dalam Undang-undang tentang Hak Cipta yang

129

diundangkan paling akhir yaitu Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dalam Pasal 29 Undang–Undang Hak Cipta ketentuan jangka waktu perlindungan hak cipta ditentukan bahwa :

(1) Hak Cipta atas Ciptaan:

a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;

c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;

d. seni batik;

e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. arsitektur;

g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain; h. alat peraga;

i. peta;

j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.

(3) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh

2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut ada kesan di mata sebagian orang bahwa Undang–Undang Hak Cipta Indonesia nampaknya ingin menonjolkan hak individu dengan jangka waktu berlaku hak cipta selama 50 tahun (semasa hidup ditambah 50 tahun). Akan tetapi pendapat itu adalah salah. Dengan jangka waktu relatif yang panjang itu, diharapkan dapat tercapai keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat yang di kenal dengan konsep hak milik berfungsi sosial dapat lebih terwujud, di samping itu, Republik Indonesia ingin

menyesuaikan diri dengan Konvensi Internasional serta memberikan penghargaan yang maksimal kepada pencipta dan ahli warisnya. Dengan demikian diharapkan aktivitas dan kreativitas para pencipta dapat tumbuh dan berkembang di tengah– tengah kehidupan masyarakat.

C. Pengaturan Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi

Dalam pelaksanaannya karya sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan.130

Dilihat dalam wujudnya karya cipta sinematografi tidak jauh berbeda dengan karya cipta musik dan lagu. Oleh karena itu, permasalahan lisensi sinematografi sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Undang–undang Hak Cipta diatur di dalam Bab V dari Pasal 45-47. Berdasarkan Pasal 45 Undang–Undang Hak Cipta maka pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain

130

berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Ketentuan ini juga berlaku terhadap Hak Cipta Sinematografi, di mana lisensi terhadap hak cipta sinematografi juga dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu : 131

1. Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi lisensi kepada penerima lisensi. Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi lisensi kepada penerima lisensi.

2. Lisensi paksa, lisensi wajib (compulsory license, non voluntary license), Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah pemberian izin yang diberikan tidak dengan sukarela oleh pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada penerima lisensi melainkan lisensi diberikan oleh suatu badan nasional yang berwenang.

Di dalam praktek, lisensi sinematografi juga dapat dikategorikan atas 3 macam lisensi yaitu :

1. Lisensi ekslusif, yaitu perjanjian lisensi yang memberikan izin hanya kepada penerima lisensi untuk menjalankan perbuatan yang diperjanjikan di dalam perjanjian lisensi.

2. Lisensi tunggal, yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak ciptanya kepada pihak lain

131

akan tetapi si pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.

3. Lisensi non ekslusif, yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak cipta kepada sejumlah pihak serta tetap pencipta atau pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.

Lisensi sinematografi dalam pelaksanaan juga berpedoman pada ketentuan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta. Hal ini disebabkan karena karya cipta sinematografi juga merupakan salah satu bentuk hak cipta yang termuat dalam Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta. Oleh karena itu, terhadap perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan sinematografi serta menyewakan ciptaan sinematografi tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial berlangsung selama jangka waku lisensi yang diberikan serta berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Mekanisme pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi, yaitu:132

a. Dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;

132

Lihat ketentuan Pasal Poin 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-58/Pj/2009 Tanggal 04 Juni 2009 Tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya