• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Pihak dalam Lisensi Hak Cipta dan Jenis Lisensi

BAB II. PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN

E. Para Pihak dalam Lisensi Hak Cipta dan Jenis Lisensi

Hak atas kekayaan intelektual lainnya hak cipta juga khususnya hak cipta sinematografi merupakan bagian dari hak atas intelektual yang diatur dalam Undang-undang Hak Cipta. Selain dari alasan yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, maka khusus mengenai hak cipta sinematografi secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans Undang-Undang Hak Cipta, bahwa :

a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman

etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra

dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan

perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;

b. bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya;

c. bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;

Hak cipta dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain melalui, pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya pengalihan karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk mengumumkan atau memperbanyak atau menyewakan ciptaan dengan jangka waktu tertentu. Lisensi berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pengertian lisensi dalam Undang-Undang Hak Cipta disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 yang menyatakan bahwa Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/ atau memperbanyak ciptaanya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Dalam WIPO (Convention Establising The World Intelectual Property Organization), dikenal dua jenis lisensi, yaitu :

a. Lisensi yang bersifat pasif, dimana licensor akan membatasi

kepentingannya hanya sampai pada menerima royalti dan pengawasan atas pemakaian mereknya.

b. Lisensi yang bersifat aktif, licensor bermaksud juga untuk membantu

licensee berkenaan dengan distribusi barang-barang, memberikan pengetahuan dibidang teknologi, keterampilan, kecakapan teknik dalam pembuatan/produksi barang-barang yang dilisensikan, cara pengolahan dan keahlian.98

Di dalam Undang-Undang Hak Cipta ketentuan secara khusus mengenai lisensi ini Pasal 1 angka 14 menyebutkan bahwa Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Selain itu, juga diatur dalam tiga Pasal yaitu :

Pasal 45

(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

98

Fithri Mutiara Harahap, Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan, Mkn, Sps Usu, Medan, 2009, hal 26 – 27.

(2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi. (4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh

penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Pasal 46

Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 47

(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal.

(3) Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur dengan Keputusan Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian lisensi melibatkan para pihak yang antara lain di satu sisi bertindak sebagai pemberi lisensi dalam hal ini pencipta/pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait dan pihak penerima lisensi yang kemudian berwenang untuk mengumumkan dan/ atau memperbanyak ciptaanya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Pengertian "mengumumkan atau memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.99

Pada dasarnya perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian ijin atau hak yang dituangkan dalam akta perjanjian untuk dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat tertentu menikmati manfaat ekonomi suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptaan.

Gunawan Widjaya mengelompokkan lisensi atas dua kelompok yaitu :

1. Lisensi umum

Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi lisensi kepada penerima lisensi.

2. Lisensi paksa, lisensi wajib (compulsory license, non voluntary license) Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah pemberian izin yang diberikan tidak dengan sukarela oleh pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada penerima lisensi melainkan lisensi diberikan oleh suatu badan nasional yang berwenang.100

Lisensi yang diberikan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang Hak Cipta terhadap perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial berlangsung selama

99

Lihat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi

100

jangka waku lisensi yang diberikan serta berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Kompensasi dari pemberian lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi adalah adanya pembayaran sejumlah royalti kepada pemberi lisensi, yaitu pemegang hak cipta oleh penerima lisensi dan jumlah royalti yang diberikan oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Perjanjian pemberian lisensi ini merupakan perjanjian formal yang harus memenuhi bentuk tertulis walaupun dalam Undang-undang Hak Cipta tidak diatur secara jelas tentang dalam bentuk apa perjanjian Lisensi Hak Cipta Sinemaografi harus dimuat. Di dalam Buku Panduan Pengenalan Hak Kekayaan Intelektual disebutkan bahwa :101

a. Pemegang Hak Cipta berhak memberi lisensi kepada pihak lain

berdasarkan Surat Perjanjian Lisensi;

b. Kecuali jika diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi meliputi seluruh ciptaan untuk waktu tertentu dan berlaku diseluruh wilayah R.I.

c. Kecuali jika diperjanjikan lain pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya. d. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian

lisensi wajib dicatatkan di Kantor Hak Cipta.

e. Adapun tujuan pemberian lisensi adalah untuk memberi kesempatan kepada pihak yang bukan pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk memanfaatkan hasil ciptaan Pencipta dan bagi Pencipta dapat menerima imbalan atau royalti atas hasil ciptaannya.

101

Klinik Konsultasi HKI, Buku Panduan Pengenalan Hak Kekayaan Intelektual, Dirjen Industri Kecil Menengah, Deperindag, Jakarta, 2006, hal 6.

Sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian lisensi Sinematografi dapat dilakukan dalam bentuk akta dibawah tangan ataupun dalam bentuk akta otentik; yang kemudian ditandatangani antara pihak pemberi lisensi (yaitu Pemegang Hak yang sah) dengan pihak penerima Lisensi. Di dalamnya tercantum nama, alamat para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu, wilayah berlaku, royalti dan kewajiban para Pemberi Lisensi (licensor) untuk mengadakan pengawasan (kendali mutu). Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi oleh kedua belah pihak, maka dapat mengakibatkan batalnya perjanjian.102

Kewajiban agar perjanjian lisensi ini dibuat secara tertulis juga diperkuat dengan mewajibkan pemegang hak lisensi atau pemegang hak cipta untuk mendaftarkan perjanjian lisensi tersebut ke Kantor Hak Cipta yaitu di Direktorat Jenderal, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta.

Oleh sebab itu para pihak bebas menentukan isi perjanjian diluar isi pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian lisensi Hak Cipta termasuk dalam hal ini Hak Cipta Sinematografi, tergantung pada kesepakatan mereka dengan pembatasan menurut undang-undang. Hal ini dimungkinkan karena dalam hukum perikatan dikenal prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) yang menyatakan bahwa para pihak bebas membuat perjanjian.

102

Ch. Besila, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Beberapa Aspek Hukum di Bidang Lisensi, BPHN, 1994, hal. 17

Berdasarkan bunyi dari kalimat di atas, dapat diketahui bahwa dasar dari lisensi tersebut adalah perjanjian sehingga di dalam prakteknya disebut dengan perjanjian lisensi. Hal ini tampak dalam Pasal 47 angka (1) Undang Undang Hak Cipta. Kecuali diperjanjikan oleh kedua belah pihak, pemegang hak cipta masih

diperbolehkan untuk melaksanakan sendiri perbuatan mengumumkan,

memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial atau memberikan lisensi lain kepada pihak ketiga, dan hal ini tampak di dalam Pasal 46 Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian, pengikatan perjanjian lisensi dan pembayaran royalti pada pada dasarnya adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). Dalam hal ini perjanjian lisensi dapat di lakukan secara bebas oleh para pihak asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengikat para pihak serta dilaksanakan dengan iktikad baik dan memenuhi syarat sahnya perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Perjanjian lisensi juga didasarkan pada asas kepatutan dan kewajaran, yang juga merupakan asas dari hukum perjanajian dan berkaitan erat dengan asas itikad baik. Asas ini merupakan penyeimbang dari asas kebebasan berkontrak yang dalam penerapannya dapat dijadikan ukuran dalam penilaian klausula yang dianggap tidak “fair”.

Dalam perjanjian lisensi juga berlaku ketentuan mengenai hak dan kewajiban antara para pihak yang muncul karena pada dasarnya perjanjian lisensi menimbulkan kewajiban bagi salah satu pihak yang menjadi hak pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kemudian pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut harus dilakukan secara adil. Dalam hal ini keadilan merupakan tiang utama yang menjembatani antara hak dan kewajiban antar para pihak yang terkait di dalam perjanjian lisensi.

Berdasarkan uraian di atas, perjanjian lisensi adalah perjanjian formil oleh karena Undang-undang Hak Cipta secara tegas mensyaratkan bahwa perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis. Kewajiban perjanjian lisensi untuk dibuat secara tertulis bukanlah tanpa sebab oleh karena Undang-undang Hak Cipta tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa perjanjian lisensi hanya akan membawa akibat hukum bagi pihak ketiga jika telah didaftarkan dan hanya perjanjian tertulis saja yang dapat didaftarkan.

Keabsahan dari tiap perjanjian ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Jika suatu perjanjian tidak sah maka berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian secara

otomatis juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sampai seberapa jauh suatu nulitas atau kebatalan dapat dianggap ada pada suatu perjanjian hanya dapat ditentukan oleh sifat dari perjanjian itu sendiri.