• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lisensi Dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Lisensi Dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN

Nama Mahasiswa : Eric Hotma Nomor Pokok : O87011037 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, C.N, M.Hum) Ketua

(Syafruddin Hasibuan, SH, M.H) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung,SH., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 28 September 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH, M.H

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 3. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.

(5)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(6)

LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK

CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT

HUKUM PERJANJIAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERIC HOTMA

087011037/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(7)

Judul Tesis : LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN

Nama Mahasiswa : Eric Hotma Nomor Pokok : O87011037 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, C.N, M.Hum) Ketua

(Syafruddin Hasibuan, SH, M.H) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung,SH., M.Hum)

(8)

Telah diuji pada :

Tanggal 28 September 2010

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum Anggota : 1. Syafruddin Hasibuan, SH, M.H

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 3. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.

(9)

ABSTRAK

Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM. Namun, pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar sehingga menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian, pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi dan Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta karya sinematografi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). Pengaturan perjanjian lisensi hak cipta dan pembayaran royalti, termasuk dalam hal ini hak cipta sinematografi diatur dalam ketentuan UUHC dan juga didasarkan pada ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi seperti halnya pada keterlibatan pada berbagai perbuatan hukum yang memerlukan suatu bentuk akta otentik yang nantinya dapat berguna bagi para pihak. Dalam hal ini notaris dapat berperan sebagai pejabat umum yang membuat dan menjamin keotentikan akta dari perjanjian lisensi yang di dalamnya memuat pemberian izin kepada penerima lisensi dengan mewajibkan penerima lisensi membaya royalti sebagaimana yang disepakati.

Disarankan kepada para pemegang hak cipta khususnya hak cipta sinematografi agar hendaknya dalam setiap perjanjian lisensi sinematografi antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi dibuat secara tertulis dan memenuhi segala ketentuan yang berlaku sehingga terdapat keseimbangan tawar menawar antara hak dan kewajiban, guna terhindar dari sengketa antara pihak di kemudian hari termasuk juga dengan membuat melalui akta notaris. Kata Kunci

(10)

ABSTRACT

Articles 45-47 of Law on Copy Right specifically regulate the licence which basically provides a right to the Copy Right Holder to provide licence to other party through the licence agreement. Licence must be made based on the agreement to do the exclusive right to the Creator or Copy Right Holder. According to Article 47 (2), the agreement of licence provision is determined that “in order to make it have a legal consequence on the third party, the licence must be registered at the Directorate General”, meaning the licence agreement made by the Copy Right Holder and the licence recipient must be registered at the Directorate General of Intellectual Property Right in the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights. But, in the Legal Service and Legal development Section of the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights, the Province of Sumatera Utara, up to now, payment of royalty of Cinematography Copy Right and how notary applies his/her authority in meeting the general agreement stipulation in an agreement of cinematography licence.

The result of this study showed that the binding of an agreement of licence of Cinematography Copy Right can be orally done, through an underhanded act made based on the agreement between the parties involved, and it can also be made by a notary in the form of an authentic document. The determination of royalty in the licence agreement is the responsibility of the licence recipient and becomes the right of the licence provider whose amount is based on the agreement made by the parties involved. According to law on agreement, one of the ways is to follow the stipulation of law on agreement in general, such as the stipulation which is regulated in the Indonesian Civil Codes, especially the one related to the principle of freedom to make contract and the validity of agreement (Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes). The regulation of agreement of licence of Cinematography Copy Right and royalty payment, in this case cinematography copy right, is regulated in the stipulation of Law on Copy Right and also based on the general stipulation on agreement regulated in the Indonesian Civil Codes. The authority of notary in meeting the general stipulation on agreement in an agreement of cinematography licence is more or less similar to the involvement of several parties in various legal actions which need an authentic document that can be used by the parties involved later on. In this case, a notary can play a role of a general official who makes and guarantees the authenticity of the document of licence agreement containing the provision of llicence to the licence recipient and requires the licence recipient to pay the royalty as agreed .

The copy right holders, especially the cinematigraphy copy right holders, are suggested to make each agreement of cinematography licence between the licence provide and the licence recipient in the form of writing or notarial document and meet all of existing stipulation to obtain a balanced bergaining power between right and responsibiliy to avoid the dispute which may occur between the parties involved in the future.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

hanya dengan berkatnyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul “LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA

SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan

bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis

dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih

yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, Bapak

Syafruddin Hasibuan, SH, MH dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan

dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium,

seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini

menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya

(12)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis

dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis

ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi

Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat

Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.).

6. Seluruh Staf/Pegawai pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada

(13)

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah banyak

memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan

(M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu

membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

9. Kasubbid Pelayanan Hukum dan Umum Kantor Wilayah Kementerian

Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Sumatera Utara,

beserta seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu

dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang

berkenaan dengan penulisan tesis ini.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini

penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang

tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, yang telah melahirkan,

mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, yang telah memberikan doa

dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam

kepada rekan-rekan seangkatan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan

(14)

sehingga membuat warna tersendiri dalam tesis pada Program Studi Magister

Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah

diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang

Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan

rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari

sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini

dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati

hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya.

Amien…..

Medan, September 2010

Penulis,

(15)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Eric Hotma

Tempat/Tanggal lahir : Medan 02 Desember 1982

Alamat : MT. Haryono 11 Medan

Status : Belum Kawin

II. KELUARGA

Ayah : Sianto Hotma

Ibu : Tjinni

Kakak : Vinny Hotma

Adik : Felik Hotma

III. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : Sutomo I (Tahun 1991-1997)

Sekolah Menengah Pertama : Sutomo I (Tahun 1997-2000)

Sekolah Menengah Atas : Sutomo I (Tahun 2000-2003)

Strata I : Fakultas Hukum USU (Tahun 2003-2007)

Strata II : Program Studi Magister Kenotariatan FH –

(16)

DAFTAR ISI

BAB II. PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU DARI KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Pada Umumnya …………...……….. 30

B. Syarat-syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian ...………… 43

C.Pembatalan dan Hapusnya Suatu Perjanjian ………... 54

D.Lisensi dan Tujuan Lisensi Menurut Hukum Perjanjian ….. 64

E. Para Pihak dalam Lisensi Hak Cipta dan Jenis Lisensi ……. 75

F. Royalti dalam Perjanjian Lisensi ……….. 83

(17)

B. Hak-Hak yang Terkandung Dalam Hak Cipta …….………. 94

C. Pengaturan Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta

Sinematografi ……….. 100

BAB IV. PERANAN NOTARIS DALAM PEMENUHAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN DALAM SUATU PERJANJIAN LISENSI SINEMATOGRAFI

A.Kewenangan dan Tugas Notaris ……… 114

B. Peranan Notaris Dalam Pemenuhan Ketentuan Umum

Perjanjian Dalam Suatu Perjanjian Lisensi

Sinematografi ……… 122

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(18)

DAFTAR SINGKATAN

UUD 1945 : Undang-undang Dasar 1945

UU : Undang-undang

UUHC : Undang-undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002)

HKI : Hak Kekayaan Intelektual

CD : Compact Disk

VCD : Video Compact Disk

KUH Perdata : Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Ditjen HKI : Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

PJN : Peraturan Jabatan Notaris

UUJN : Undang-undang Jabatan Notaris

HAM : Hak Asasi Manusia

WIPO : World Intellectual Property Organization

YKCI : Yayasan Karya Cipta Indonesia

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

WTO : World Trade Organization

TRIPs : Agreement On Trade Related of Intellectual Property

(19)

DAFTAR ISTILAH

Advance : Secara bertahap

Accessoir : Pelengkap

Consist to be baund : Sepakat mengikatkan diri pada perjanjian

Copyrights : Hak Cipta

Economic rights : Hak Ekonomi

Flatpay : Secara langsung

Goede zeden : Kesusilaan

Good-faith : Iktikad baik

Intelektual Property Right : Hak Kekayaan Intelektual

Lay Out : Perwajahan

License fee : Pembayaran royalti

Licensee : Penerima lisensi

Licensor : Pemberi lisensi

Moral rights : Hak Moral

Moving images : Gambar gerak

Neighboring rights : Hak terkait

Openvare orde : Ketertiban umum

Rechts title : Alas hak

(20)

ABSTRAK

Pasal 45-47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi. Llisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM. Namun, pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar sehingga menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan tentang pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian, pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi dan Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan suatu perjanjian lisensi hak cipta karya sinematografi dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lisan, melalui akta di bawah tangan yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dan dapat juga dibuat oleh notaris dalam bentuk akta otentik. Ketentuan royalti dalam perjanjian lisensi merupakan kewajiban dari penerima lisensi dan menjadi hak dari pemberi lisensi yang besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Apabila ditinjau ketentuan hukum perjanjian salah satu cara adalah mengikuti ketentuan hukum perjanjian secara umum, yaitu ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya yang berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian (Pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata). Pengaturan perjanjian lisensi hak cipta dan pembayaran royalti, termasuk dalam hal ini hak cipta sinematografi diatur dalam ketentuan UUHC dan juga didasarkan pada ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi seperti halnya pada keterlibatan pada berbagai perbuatan hukum yang memerlukan suatu bentuk akta otentik yang nantinya dapat berguna bagi para pihak. Dalam hal ini notaris dapat berperan sebagai pejabat umum yang membuat dan menjamin keotentikan akta dari perjanjian lisensi yang di dalamnya memuat pemberian izin kepada penerima lisensi dengan mewajibkan penerima lisensi membaya royalti sebagaimana yang disepakati.

Disarankan kepada para pemegang hak cipta khususnya hak cipta sinematografi agar hendaknya dalam setiap perjanjian lisensi sinematografi antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi dibuat secara tertulis dan memenuhi segala ketentuan yang berlaku sehingga terdapat keseimbangan tawar menawar antara hak dan kewajiban, guna terhindar dari sengketa antara pihak di kemudian hari termasuk juga dengan membuat melalui akta notaris. Kata Kunci

(21)

ABSTRACT

Articles 45-47 of Law on Copy Right specifically regulate the licence which basically provides a right to the Copy Right Holder to provide licence to other party through the licence agreement. Licence must be made based on the agreement to do the exclusive right to the Creator or Copy Right Holder. According to Article 47 (2), the agreement of licence provision is determined that “in order to make it have a legal consequence on the third party, the licence must be registered at the Directorate General”, meaning the licence agreement made by the Copy Right Holder and the licence recipient must be registered at the Directorate General of Intellectual Property Right in the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights. But, in the Legal Service and Legal development Section of the Regional Office of Ministry of Law and Human Rights, the Province of Sumatera Utara, up to now, payment of royalty of Cinematography Copy Right and how notary applies his/her authority in meeting the general agreement stipulation in an agreement of cinematography licence.

The result of this study showed that the binding of an agreement of licence of Cinematography Copy Right can be orally done, through an underhanded act made based on the agreement between the parties involved, and it can also be made by a notary in the form of an authentic document. The determination of royalty in the licence agreement is the responsibility of the licence recipient and becomes the right of the licence provider whose amount is based on the agreement made by the parties involved. According to law on agreement, one of the ways is to follow the stipulation of law on agreement in general, such as the stipulation which is regulated in the Indonesian Civil Codes, especially the one related to the principle of freedom to make contract and the validity of agreement (Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes). The regulation of agreement of licence of Cinematography Copy Right and royalty payment, in this case cinematography copy right, is regulated in the stipulation of Law on Copy Right and also based on the general stipulation on agreement regulated in the Indonesian Civil Codes. The authority of notary in meeting the general stipulation on agreement in an agreement of cinematography licence is more or less similar to the involvement of several parties in various legal actions which need an authentic document that can be used by the parties involved later on. In this case, a notary can play a role of a general official who makes and guarantees the authenticity of the document of licence agreement containing the provision of llicence to the licence recipient and requires the licence recipient to pay the royalty as agreed .

The copy right holders, especially the cinematigraphy copy right holders, are suggested to make each agreement of cinematography licence between the licence provide and the licence recipient in the form of writing or notarial document and meet all of existing stipulation to obtain a balanced bergaining power between right and responsibiliy to avoid the dispute which may occur between the parties involved in the future.

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional Indonesia adalah bertujuan untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spirituil berdasarkan

Pancasila dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu

pemenuhan kebutuhan rohani dalam masyarakat yang modern sekarang ini adalah

sarana hiburan, termasuk di dalamnya musik atau lagu dan film atau karya

sinematografi.

Pada tingkat kehidupan masyarakat seperti sekarang ini musik, lagu dan

juga film yang termasuk sinematografi bukan lagi sekedar sarana hiburan yang

hanya habis setelah dinikmati tanpa memberikan dampak apapun bagi pencipta

maupun penikmatnya. Lebih dari itu sekarang ini telah mampu menampakkan

diri sebagai potensi ekonomi yang memiliki dampak sosial bahkan politik bagi

suatu negara.

Apabila dilihat dari segi ekonomi, hak cipta lagu, musik dan film sebagai

suatu karya cipta pada perwujudannya telah kian membuktikan kemampuannya

untuk memberikan berbagai kemungkinan finansial yang tidak terbatas sifatnya,

karena tidak bisa ditentukan berapa banyak yang menggunakan lagu untuk

(23)

Jika dilihat segi sosial, sarana hiburan berupa hak cipta lagu dan film sebagai

karya sinematografi juga mampu memberikan citra baik ke dalam maupun

ke luar. Ke dalam hak cipta lagu dan sinematografi memberikan status sosial

tertentu kepada pemilik atau pemegang hak ciptanya dari lagu tersebut, sedangkan

ke luar hak cipta memberikan cermin atas sikap dan apresiasi masyarakat terhadap

karya cipta serta penciptanya sendiri. Begitu pula secara politis masalah ini

memberikan cermin terutama bagi pemerintah yaitu tentang seberapa jauh

upaya-upaya yang telah dilakukan dalam membina dan menata kehidupan

masyarakatnya.1

Perkembangan bidang karya cipta lagu atau musik dan juga sinematografi

saat ini telah menjadi lahan yang kian subur dan juga menarik minat untuk

industri perekaman ataupun untuk “show business”. Bagi setiap orang yang

berkecimpung dalam dunia ini terutama pihak yang berkaitan langsung dalam

dunia musik/perfilman seperti pencipta karya cipta musik dan sinematografi

maupun pemakai/pengguna (user), akan mendapat manfaat yang besar sekali dari

lahan baru ini karena bisa mendatangkan keuntungan secara finansial serta

kepopuleran.2

1

Bambang Kesowo, dalam Andreas Argo Batoro, Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Cipta Atas Lagu Antara Pencipta Dengan User Di Indonesia, http://www.menulisyuk.com/html/ . Maret 2010

2

(24)

Karya cipta sinematografi sebagai suatu karya cipta dapat berupa film

dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario,

dan film kartun, seperti halnya jenis karya cipta lainnya yang merupakan hasil

karya yang perlu mendapat perlindungan oleh hukum. Perlindungan hukum yang

diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap ciptaan

tersebut akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk

melahirkan ciptaan baru di bidang tersebut di atas.

Perlindungan hak cipta di Indonesia mulai disuarakan pada dekade tahun

1960 yang dilanjutkan dengan kajian-kajian pada dekade 1970-an. Indonesia

menerbitkan peraturan yang mengatur hak cipta ini pada tahun 1982 yaitu dengan

terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta”.3

Susilo Halim mengatakan bahwa :

Kemunculan undang-undang hak cipta ini, dari hari ke hari kian dianggap penting, sehingga secara terus menerus disempurnakan. Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta membuka wawasan dan kesadaran bangsa untuk memberikan perlindungan-perlindungan yang berkait dengan hak cipta, sehingga tahun 1987 terbit Undang-undang Nomor 7 tahun 1987, Undang Nomor 12 tahun 1997 dan terakhir Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002.4

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) disebutkan bahwa, hak

cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

3

Susilo Halim, Pengaturan Hak Cipta di Indonesia, LP3S, 2006, Jakarta, hal.2. 4

(25)

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izinnya untuk

itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut undang-undang

yang berlaku.

Adapun yang dimaksud hak eksklusif dari pencipta ialah tidak ada pihak lain

yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin pencipta. Hak

eksklusif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan kepada pencipta untuk

mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin kepada orang lain untuk

menggunakan hak cipta tersebut.

Walaupun dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Hak Cipta ditentukan

bahwa Hak Cipta adalah hak ekslusif, tetapi sesuai dengan jiwa yang

terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka ia mempunyai

“fungsi sosial”, dalam arti bahwa hak eksklusif itu haknya dibatasi dengan

“kepentingan umum”. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya

ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Pada kemungkinan membatasi hak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan Nasional, maka diwajibkan memberi ganti rugi kepada pencipta.

b. Adanya pengurangan waktu berlakunya hak cipta dari 50 (lima puluh) tahun

c. Ada kemungkinan hak cipta diberikan kepada negara atas benda budaya nasional.5

5

(26)

Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta

dalam peraturan Undang-Undang Hak Cipta diatur tentang pendaftaran Hak Cipta.

Pendaftaran ciptaan ini memang tidak mutlak dilakukan, karena tanpa pendaftaran

pun hak cipta dilindungi oleh hukum. Hanya mengenai Hak Cipta yang tidak

didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu untuk membuktikannya, di

samping itu hak cipta dapat juga dialihkan kepada orang lain, di mana pengalihan

hak cipta ini diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta, pengalihan Hak Cipta ini

berguna untuk melindungi dan memelihara hasil ciptaannya yang diperoleh dari

ilmu pengetahuannya.

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa,

yang disebut dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara

bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan

kemampuan, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke

dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa

“ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keaslian dalam

lapangan ilmu pengetahuan, seni, sastra”. Perlindungan hukum yang diberikan atas

hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap karya cipta tersebut

akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan

(27)

Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

(1)Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. arsitektur;

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta menyebutkan bahwa

ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni,

dan sastra yang meliputi karya sinematografi. Seperti halnya objek perlindungan

hak cipta lainnya, hak cipta sinematografi merupakan hak absolut, artinya

hak cipta sinematografi hanya dimiliki oleh penciptanya sehingga yang

(28)

ciptanya tersebut. Oleh karena itu, suatu hak absolut seperti hak cipta mempunyai

segi balik (segi pasif), artinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak

tersebut.6)

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta,

menyebutkan bahwa Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi

massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film

iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.

Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video,

cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan

di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.

Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau

perorangan.7

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa ciptaan berupa sinematografi

juga memperoleh perlindungan dalam Undang-undang Hak Cipta. Perlindungan

hukum menjadi penting dalam menjamin hak-hak dari pencipta. Dalam sebuah

karya sinematografi/film terdapat 2 (dua) jenis perlindungan hukum, yaitu

perlindungan terhadap pemegang hak cipta (copyrights) seperti sutradara dan

perlindungan terhadap pemegang hak terkait (neighboring rights) seperti kepada

pelaku (aktor), produser rekaman, dan lembaga penyiaran.8

6

Muhammad Djumhana, dan R. Djubaidillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 30.

7

Lihat Penjelasan Pasal 1 huruf k UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 8

(29)

Jadi Hak Cipta juga mengenal subjek-subjek lain, yaitu subjek yang ikut

membantu mengumumkan, membawakan, memperbanyak ataupun menyiarkan

karya cipta milik Pencipta. Subyek tersebut, kemudian diberikan suatu hak, yang

kemudian disebut dengan Hak Terkait.

Hak pencipta termasuk hak cipta sinematografi dapat dialihkan kepada pihak

atau diberikan wewenang untuk memperbanyak dan menyebarluaskan,

menyiarkan, atau menyewakan suatu hasil ciptaan atau menggunakankan kepada

pihak lain untuk keperluan komersil. Hal ini diperbolehkan oleh undang-undang

dan dilakukan melalui pemberian lisensi. Lisensi selalu dikaitkan dengan

kewenangan dalam bentuk privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau

suatu pihak tertentu. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta

atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau

memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan

tertentu.9

Pengalihan hak cipta ini juga merupakan efek dari perdagangan bebas yang

selama ini didengungkan telah banyak menimbulkan kebutuhan akan adanya

peraturan-peraturan yang dapat dipatuhi oleh pihak-pihak dalam melakukan

perdagangan internasional. Peraturan-peraturan yang dimaksud dapat memenuhi

kebutuhan akan terciptanya sistem perdagangan yang lebih bebas, adil dengan

9

Lihat Poin 1 huruf H Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang

(30)

tetap memperhatikan perbedaan tingkat sosial ekonomi dari negara-negara dunia.

Hal ini sangat berpengaruh pada penggunaan/pemanfaatan Hak Kekayaan

Intelektual (HKI). Penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) melintasi

batas negara-negara, mulai terjadi menjelang akhir abad ke-19, yang

mengakibatkan perlunya perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual tidak

hanya secara bilateral, melainkan juga secara multilateral atau secara global.10

Perkembangan perdagangan bebas di dunia dewasa ini juga merupakan salah

satu pemicu timbulnya perjanjian lisensi. Pemberian lisensi ini dilakukan melalui

suatu kesepakatan atau perjanjian yang juga dikaitkan dengan ketentuan asas

kebebasan berkontrak dari pencipta atau pemegang hak cipta dengan penerima

lisensi. Pasal 1313 KUH Perdata menentukan bahwa ”Suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih”. Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan

bahwa

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

10

(31)

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tidak dapat berjalan sendiri, akan

tetapi selalu berdampingan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat

sahnya perjanjian, yaitu (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu, dan

(4) Suatu sebab yang halal.

Pasal 45 – 47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai

lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk

memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi untuk

melaksanakan atau mempergunakan suatu karya cipta secara komersil dengan

menerima royalti atas penggunaan hasil ciptaannya.

Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.

4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh

penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.11

11

(32)

Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa lisensi harus dibuat

berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta

atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,

dimana dalam hal ini Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya

sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin

atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut

untuk kepentingan yang bersifat komersial.12

Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan

bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi

wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian

lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus

didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil

Departemen Hukum dan HAM Provinsi yang sekarang dikenal dengan

Kementrian Hukum dan HAM.

Selain itu, berdasarkan hasil informasi dari Sub.Seksi Hak Kekayaan

Inteletual pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil

Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa

sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya

Cipta Sinematografi yang terdaftar pada instansi yang berwenang. Hal ini

menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang

terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi yang belum memahami

12

(33)

pentingnya suatu Karya Cipta Sinematografi yang merupakan suatu hasil karya

cipta sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak

(moving images) dan meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film

cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dalam penggunaan oleh

pihak lain tidak melalui perjanjian lisensi termasuk juga dalam pendaftaran lisensi

karya cipta sinematografi sangat jarang dilakukan. Padahal banyak karya cipta

sinematografi yang dipakai menjadi objek bisnis tetapi tidak dilakukan melalui

perjanjian lisensi sesuai dengan ketentuan dalam hukum perjanjian dan tidak

menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah

lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian lisensi karya cipta sinematografi

dilihat dari hukum perjanjian.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang

dibahas dalam pada penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau

ketentuan hukum perjanjian ?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta

sinematografi ?

3. Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum

(34)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan

royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui pengaturan lisensi dan pembayaran royalti hak cipta

sinematografi

3. Untuk mengetahui kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum

perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini diharapkan dapat memberi

manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih

lanjut sebagai berikut:

1.Secara Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran

dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan perlindungan hak

kekayaan intelektual khususnya, terutama mengenai masalah lisensi dan

pembayaran royalti hak cipta sinematografi menurut hukum perjanjian.

2.Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat

(35)

sinematografi, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam

penyebarluasan dan penggunaan hak cipta sinematografi orang lain dan

peranan notaris sebagai pembuat akta perjanjian lisensi, sekaligus pula memberi

masukan kepada aparat dan praktisi hukum yang berkaitan dengan hak milik

intelektual.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah

penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum,

maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan

sejauh yang diketahui, ditemukan beberapa judul penelitian yang menyangkut

dengan Hak Kekayaan Intelektual diantaranya :

1. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta atas Lagu

yang Tidak di Ketahui Penciptanya”, Oleh Sandhiyaning Wahyu A Arifani,

077011086/MKn

2. Penelitian dengan Judul “Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Para Pihak

Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan”, Oleh Fithri Mutiara

(36)

3. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman

Suara Studi Mengenai Jasa Pengisian Ringtone Di Kota Medan, A. Enrico

Tandean, 057011026/MKn

Dilihat dari topik yang dikaji pada kedua diatas jelas sangat berbeda

dengan penelitian yang penulis lakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang

“LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI

MENURUT HUKUM PERJANJIAN, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,

penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat

dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan

penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain

bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat

ditentukan oleh teori.13 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan

mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

benarannya.14

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6. 14

(37)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

pegangan teoritis.15

Lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai

konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan

dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam

penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang

mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga

digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan

bahwa “Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan

landasan diatas mana dibangun tertib hukum.17 Hal yang sama juga dikatakan

oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah

(38)

unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama

lain oleh satu atau beberapa asas.18

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi

dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada

asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.

Salah satu teori yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian antara

underwriter dan emiten adalah teori hasrat yaitu teori yang merupakan prestasi

kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada pentingnya

“hasrat” (will atau intend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan

eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan

hasrat tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa

yang akan dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang

mereka inginkan. Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak

para pihak.19

18

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bias dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

19

(39)

Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang

mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.20

Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus

dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam

membuat perjanjian, yaitu :21

1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara

para pihak;

3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai

kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus

menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling

penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta

syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa permasalahan lisensi di dalam

Undang-undang Hak Cipta di atur di dalam bab V mulai dari Pasal 45 – 47 Undang-Undang-undang

Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta maka pemegang hak

cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian

20

Lely Niwan, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hal. 26

21

(40)

lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan

serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Sedangkan pengertian lisensi berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah izin yang diberikan oleh

pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk

mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya

dengan persyaratan tertentu.

Gunawan Widjaya mengelompokkan lisensi atas dua kelompok yaitu :

1. Lisensi umum

2. Lisensi paksa, lisensi wajib (compulsory license, non voluntary

license).22

Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek

perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain

setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi

lisensi kepada penerima lisensi.

Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah pemberian izin yang diberikan tidak

dengan sukarela oleh pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada

penerima lisensi melainkan lisensi diberikan oleh suatu badan nasional yang

berwenang.

22

(41)

Dalam praktek, lisensi dikategorikan atas 3 macam lisensi, yaitu :

1. Lisensi eksklusif, yaitu penerima lisensi yang memberikan izin hanya kepada penerima lisensi untuk menjalankan perbuatan yang diperjanjikan di dalam perjanjian lisensi.

2. Lisensi tunggal yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak ciptanya kepada pihak lain akan tetapi si pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.

3. Lisensi non eksklusif yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak cipta kepada sejumlah pihak serta tetap pencipta atau pemegang hak cipta tetap dapat

mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.23

Lisensi yang diberikan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Hak

Cipta terhadap perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta

menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial

berlangsung selama jangka waktu lisensi yang diberikan serta berlaku di seluruh

wilayah negara Republik Indonesia.

Kompensasi dari pemberian lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima

lisensi adalah adanya pembayaran sejumlah royalti kepada pemberi lisensi, yaitu

pemegang hak cipta oleh penerima lisensi dan jumlah royalti yang diberikan

oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan

berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.24

23

Swari N. Tarigan, Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman Suara (Studi Mengenai Jasa Pengisian Rington Di Kota Medan, Thesis, PPS USU, Medan, 2008, hal. 69.

24

(42)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa bahwa dasar dari lisensi

tersebut adalah perjanjian sehingga di dalam prakteknya disebut dengan perjanjian

lisensi. Hal ini tampak dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta

yang menentukan bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi

kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan

perbuatan mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dan Pencipta dan/atau

Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer

memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa

persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt uk kepentingan yang bersifat

komersial.25

Kecuali diperjanjikan oleh kedua belah pihak, pemegang hak cipta masih

diperbolehkan untuk melaksanakan sendiri perbuatan mengumumkan,

memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan

yang bersifat komersial atau memberikan lisensi lain kepada pihak ketiga. Hal ini

tampak di dalam Pasal 46 Undang-undang Hak Cipta. Dari ketentuan ini dapat

ditarik kesimpulan bahwa lisensi yang diberikan oleh pemberi lisensi belum tentu

merupakan lisensi eksklusif yang hanya dapat dipegang oleh satu pihak penerima

lisensi.

25

(43)

Menurut Swari N. Tarigan isi dari perjanjian lisensi adalah :

Pemberian izin untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial dan di dalam perjanjian lisensi dilarang dimuat ketentuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia atau ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.26

Lebih lanjut Husain Audah menyebutkan bahwa

Lisensi hak cipta dituangkan di dalam bentuk kontrak tertulis. Klausul yang termuat di dalam kontrak tersebut disusun untuk tidak membuka peluang adanya penafsiran yang argumentatif serta termuat di dalamnya ketentuan yang dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan dengan jelas dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta tidak menyalahi asas kepatutan.27

Oleh karena itu, yang harus diperhatikan di dalam perjanjian lisensi adalah :

1. Para pihak dimana masing-masing penandatangan kontrak tersebut harus jelas kedudukannya baik nama, jabatan dan domisili.

2. Materi dimana materi yang dilisensikan harus disebutkan dengan jelas judul lagunya dengan lampiran lirik dan notasinya, rekaman dasar karya ciptanya.

3. Pemberian hak yaitu batasan hak yang diberikan dalam lisensi tersebut harus dicantumkan dengan lengkap dan jelas baik format kemasan (kaset, CD, VCD dan lain sebagainya) maupun jenis musiknya (pop, dangdut, campursari, dan lain sebagainya).

4. Durasi atau jangka waktu. Pencantuman jangka waktu penggunaan hak

cipta bagi hak lisensi tersebut harus tertuang dengan pasti.

5. Wilayah. Batasan wilayah bagi penggunaan hak cipta dalam lisensi itu juga sebaiknya jelas dan terinci.

6. Pembayaran. Sistem pembayaran yang dilakukan dalam bentuk flatpay

(langsung) atau royalti dengan atau tanpa advance (bertahap).

26Ibid

., hal. 70 27

(44)

7. Kontrol. Dalam perjanjian yang menganut sistem royalti, dimuatkan klausul yang menyangkut hak inspeksi atau kontrol keuangan secara reguler minimal 3 bulan sekali terhadap perkembangan hasil eksploitasi karya cipta tersebut.

8. Jaminan. Jaminan dari pemberi lisensi (licensor) bahwa karya cipta yang diperjanjikan tersebut adalah asli atau original. Harus dimuat sebagai jaminan bagi penerima lisensi (licensee) dalam penggunaan karya cipta tersebut.

9. Arbitrase. Pencantuman lembaga arbitrase yang akan ditunjuk sebagai mediasi apabila terjadi sengketa yang menyangkut isi perjanjian tersebut perlu dipertimbangkan.28

Supaya perjanjian lisensi yang dilakukan oleh pemberi lisensi kepada

penerima lisensi memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga, maka perjanjian

lisensi tersebut harus dicatatkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

(Ditjen HKI). Pencatatan pada Ditjen HKI dilakukan sebagai upaya untuk

melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian lisensi dan sekaligus juga

sebagai sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara para pihak dalam

pelaksanaan perjanjian lisensi.29

Dengan adanya, perjanjian lisensi ini, penerima lisensi sinematografi

terdaftar tidak dapat digugat karena, dianggap melanggar hak atas hasil ciptaan

sinematografi. Sebab pemilik (pemberi) Lisensi Terdaftar telah memberikan izin

kepadanya, untuk menggunakan karya sinematografi tersebut, baik untuk seluruh

atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan.

28Ibid

., hal 33. 29

(45)

2. Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping penggunaan

asas dan standar, karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan hal

yang sangat penting dalam pembentukan hukum. Konsep juga dapat diartikan

sebagai suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses

yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.30 Kerangka

konsep mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan

dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.31 Agar tidak terjadi perbedaan

pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka

perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Berkaitan dengan judul penelitian tesis ini, berikut ini dikemukakan pula

beberapa pengertian yang menjadi kerangka konsepsi penelitian, maka

a) Lisensi adalah hak yang dimiliki oleh pihak yang menjadi pemilik suatu bentuk

hak kekayaan intelektual untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

b) Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara pencita atau pemegang hak cipta

untuk mengalihkan penggunaan dan pemanfaat hak atas suatu karya cipta

sinematografi kepada pihak lain.

c) Karya Cipta adalah hasil imajinasi seorang pencipta yang kemudian bermanfaat

bagi orang lain.

30

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung hal. 307. 31

(46)

d) Karya Sinematografi adalah karya cipta yang berupa media komunikasi massa

gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film

iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.

Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan

video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk

dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di

media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun

televisi atau perorangan;

e) Pencipta adalah orang yang dengan pemikiran dan imajinasinya menghasilkan

sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

f) Penggunaan tanpa izin adalah orang atau badan hukum yang menggunakan

karya cipta sinematografi tanpa izin pencipta.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menurut sifat dan jenisnnya dikategorikan sebagai penelitian

yang bersifat deskriptif-analitis. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif

dimaksudkan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya,32 kemudian

menelaah dan menjelaskan serta menganalisis data secara mendalam dengan

mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari

32

(47)

berbagai pendapat ahli hukum, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran

jawaban atas permasalahan yang diteliti, yakni gambaran mengenai Lisensi dan

Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian.

Sedang jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah

metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut juga penelitian

hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald

Dworkin menyebut metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal

atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum

sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided

by the judge through judicial process.33

Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang

bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma

hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan

balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data

yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki

sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk

dikuantifisir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah

33

(48)

bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic, dimana

hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi

yang mendalam atau indepth information.34

Ronny Hanitijo Sumitro menyatakan bahwa penelitian yuridis normatif

terdiri atas :

1) penelitian inventarisasi hukum positif; 2) penelitian terhadap asas-asas hukum;

3) penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito; 4) penelitian terhadap sistematika hukum; dan

5) penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.35

Dalam penelitian ini maka penelitian yuridis normatif yang tepat adalah

penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito, yakni suatu penelitian yang

berusaha menemukan aspek hukum yang sesuai untuk permasalahan di bidang

perjanjian lisensi sinematografi. Dalam penelitian ini metode yuridis normatif

digunakan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur

tentang lisensi dan pembayaran royalti.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library

research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran

konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan

34Ibid ., hal 2. 35

(49)

penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan

ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Penelitian kepustakaan (library research) dalam penelitian ini ditekankan

pada pengambilan data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun

bahan-bahan yang antara lain adalah sebagai berikut :

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, seperti Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang

Hak Cipta dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan obyek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,

bahkan dokumen pribadi atau pendapat dan kalangan pakar hukum sepanjang

relevan dengan objek telaahan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukurn sekunder,

seperti kamus umum dan kamus hukum.

3. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di

lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam

tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat

pelaksanaannya dalam melihat Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta

Referensi

Dokumen terkait

pengurus/pengawas sebagai seorang mahasiswa , yang lebih b:l1lyak me m -.. perhatikan pela j arannya, Ia b e rtindak sebagai

Langileen Estatutuak arautzen dituen, eta ikusi di- tugun, barruko malgutasunako neurriak eta kaleratzearen arteko interakzioa aztertuz gero, salatu beharra dago legeak ez

bahwa dengan memperhatikan dinamika dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, maka perlu melakukan beberapa perubahan terhadap ketentuan dalam Peraturan Daerah

IT pun juga menekankan bahwa hal itu hanyalah pengibaratan saja, bukan berarti status BLUD Bertahap membuatnya menjadi “swasta” layaknya terbebas dari kungkungan

juga harus sudah dibuat pedoman pelayanan klinik (PPK) dan disusun clinical pathway (CP) untuk tiap penyakit, atau penyakit terpilih, menentukan standar

Bagi proposal yang memenuhi syarat administrasi dilanjutkan dilakukan penilaian substansi proposal : untuk skim penelitian Hibah Bersaing, Fundamental, Unggulan dan Bantuan

Dengan demikian standart emas mencakup tawaran dari pemerintah Amerika Serikat untuk menukarkan dolar atau emas pada suatu tingkat harga yang resmi dan tawaran dari negara lain

Hukum Konstitusi, sebagai ilmu, adalah Hukum cabang atau spesialisasi Hukum Tata Negara yang mempelajari konstitusi sebagai obyek material dan hukum dasar sebagai obyek