BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Zakat
1. Pengertian Zakat
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzzaki kepada
mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme nonekonomi dalam hal
distribusi harta. Zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh para
muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapa pun yang
termasuk muzakki untuk membayarkan zakatnya. Allah Swt. Berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS
Al-Taubah:103).
Dengan adanya kegiatan yang bersifat memaksa ini, maka akan
orang-orang kaya kepada orang-orang miskin. Dari harta zakat tersebut
kemudian dibagikan kepada golongan tertentu, yakni delapan ashnaf
seperti yang telah disebutkan dalam Al-quran (Sholahuddin, 2007:221).
Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jihad fisabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalnanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Taubah:60)
Jadi zakat merupakan ibadah yang berperan dan berdampak
ekonomi, yakni berperan sebagai instrumen distribusi kekayaan di
antara manusia (Sholahuddin, 2007:222).
Perkataan zakat berasal dari kata zaka, artinya tumbuh dengan
subur. Makna lain kata zaka, sebagaimana digunakan dalam Alquran
adalah “suci dari dosa”. Dalam kitab-kitab hukum Islam, perkataan zakat itu diartikan dengan suci, tumbuh dan berkembang serta berkah.
Jika pengertian itu dihubungkan dengan harta, menurut ajaran Islam,
suci dan berkah (membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang
punya). Jika dirumuskan, zakat adalah bagian dari harta yang wajib
diberikan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat kepada
orang-orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu (Djuanda, 2006:14).
Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah yang mengandung
dimensi vertikal dan horizontal sekaligus. Bagi mereka yang
berpendapat bahwa zakat mengandung dimensi vertikal dan horizontal
sekaligus, maka zakat bukanlah syariat yang final dan kaku. Oleh sebab
itu, masih ada peluang ijtihad didalamnya. Namun bagi mereka yang
berpendapat bahwa zakat adalah ibadah yang berdemensi vertikal
semata, maka zakat merupakan ibadah yang telah final dan tidak ada
peluang ijtihad didalamnya (Rodoni, 2009:222).
Pada pasa1 1 ayat (2) Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh seorang
muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya (Rodoni, 2009:223).
2. Hukum dan Syarat Wajib Zakat
Allah mewajibkan zakat kepada setiap Muslim (lelaki dan
perempuan) atasya hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat
merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan
hak orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator dalam mensucikan
instrumen sosial yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
fakir dan miskin.
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan
jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir
dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah,
diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi
dalam zakat (Said Sa’ad, 2007:118-119).
a. Islam
Intelektual Muslim sepakat bahwa zakat merupakan rukun Islam
dan hanya diwajibkan untuk umat Islam. Hal tersebut berlandaskan
kepada hadits Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman yang
dirawayatkan oleh Al-Bukhari. Zakat tidak diwajibkan kepada
selain Muslim karena zakat merupakan kewajiban harta dalam
Islam yang diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada fakir,
miskin, ibnu sabil, dan yang membutuhkan lainnya. Zakat
merupakan salah satu bentuk syiar Islam. Malikiyah menambahkan,
Islam hanya merupakan syarat sahnya zakat dan bukan merupakan
syarat wajib zakat. Zakat tidak diwajibkan kepada selain Muslim
karena zakat merupakan bentuk ibadah. Namun bagi non-Muslim
bisa diwajibkan pajak sebagai pengganti zakat dalam kerangka
b. Sempuranya Ahliyah
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diwajibkan atas harta
anak kecil dan orang gila. Namun Hanafiyah berpendapat zakat
tidak wajib atas harta mereka kecuali hasil pertanian dan
perkebunan. Perbedaan itu muncul dari karakteristik dasar zakat itu
sendiri. Sebagian berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah
mahdah dan sama halnya dengan shalat ataupun puasa. Karena itu,
zakat hanya diwajibkan kepada orang baligh dan berakal. Sebab
taklif (kewajiban) ibadah tidak sempurna kecuali dengan baligh dan
berakal. Rasulullah Saw Bersabda, “Qalam diangkat oleh Allah
dalam tiga perkara: anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga
bangun, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud). Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat
merupakan kewajiban atas harta yang berhubungan dengan harta
seorang tanpa memandang pemiliknya; baik mempunyai ahliyyah
(kecapakan) maupun tidak, dan tidak ada perbedaan bagi orang gila
ataupun cerdas. Menurut sebagian besar ulama, pendapat ini
merupakan pendapat yang utama. Pendapat ini berdasarkan nash
Al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan zakat atas harta orang kaya secara mutlak, tidak ada pengecualian bagi anak kecil dan orang
gila. Hal tersebut berdasarkan ayat di atas dan hadits Mu’adz bin Jabal.
c. Sempurnanya Kepemilikan
Kepemilikan muzakki (orang yang wajib zakat) atas harta yang
dizakatkan merupakan kepemilikan yang sempuran. Dalam arti,
harta tersebut tidak terdapat kepemilikan dan hak orang lain. Dalam
hal ini, pemilik merupakan kepemilikan tunggal dan mempunyai
kekuasaan penuh untuk melakukan transaksi atas harta tersebut.
d. Berkembang
Harta yang merupakan objek zakat harus berkembang. Artinya,
harta tersebt mendatangkan income atau tambahan kepada
pemiliknya, seperti hasil pertanian, perkebunan, hewan ternak dan
lain sebagainya. Rasulullah Saw tidak mewajibkan zakat atas
barang yang tidak berkembang (harta yang tidak menambah
kekayaan pemiliknya). Beliau bersabda, “Tidak ada kewajiban bagi
Muslim atas kedua dan hambanya sebuah zakat”. e. Nishab
Harta yang wajib dizakati harus sampai pada kadar tertentu yang
disebut dengan nishab. Harta yang dimiliki oleh seorag Muslim
tidak wajib zakat kecuali telah mencapai nishab yang telah
ditentukan, seperti unta harus mencapai 5 ekor, kambing 40 ekor,
dan lain sebagainya. Hikmah dari penentuan nishab adalah untuk
menunjukan bahwa zakat hanya diwajibkan kepada orang-orang
membutuhkan. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada zakat kecuali bagi orang-orang yang kaya.”
f. Haul
Harta zakat yang telah mencapai nishab harus dalam kepemilikan
ahlinya sampai waktu 12 bulan Qamariyah kecuali hasil pertanian,
perkebunan, barang tambang, madu dan sejenisnya. Harta-harta
tersebut tidak disyaratkan adanya haul. Ibnu Qudamah menjelaskan
bahwa tendensi disyaratkannya haul ketika harta tersebut berpotensi
dalam produktivitas (Said Sa’ad, 2007:220-121).