• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Guru Setelah Dilakukan Pelatihan

Pelatihan pendidikan adil gender dilakukan kepada 40 orang guru agama Hindu pada jenjang sekolah dasar. Kegiatan pelatihan diawali dengan acara pembukaan. Acara ini dibuka secara resmi oleh Ketua LP2M Undiksha yang diwakilkan oleh Dr. I Wayan Mudana, M.Si.

Materi yang diberikan adalah:

1. Pembentukan Gender Anak Laki-laki dan Perempuan di Bali, oleh Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA

2. Landasan Normatif PUG dan Kebutuhan Adil Gender di dunia Sekolah, oleh Dr.

Luh Putu Sendratari, M.Hum

Penyampaian materi dilakukan melalui sistem panel yang dilanjutkan dengan tanya jawab, dan pelatihan penyusunan Silabus berperspektif adil gender. Dalam proses penyampaian materi pelatihan para peserta tampak antusias mengikuti. Pada sesi tanya jawab ada peserta yang bertanya dan menyampaikan pandangannya seperti berikut ini.

“Bagaimanakah caranya mengajarkan pelajaran agama Hindu agar mengandung konsep-konsep adil gender” ?

“Saya berterimakasih ada pelatihan semacam ini karena bisa menambah pengetahuan yang selama ini tidak pernah dipikirkan. Sesungguhnya ada beberapa topik dalam pelajaran agama Hindu yang bisa disisipkan tentang aspek-aspek gender. Tetapi hal itu kita sampaikan bukan dalam kaitan adil gender. Misalnya, tentang orang suci di mana kita mengenal sebutan orang suci untuk pria dan wanita, tetapi kita belum mempertanyakan mengapa yang lebih ditonjolkan adalah orang suci yang berjenis kelamin pria dalam pengajaran agama Hindu” ?

“Dalam lingkungan keluarga, siswa memang harus ditanamkan tentang pentingnya saling menghargai, menghormati satu sama lain. Namun, siswa sering melihat adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Bagaimanakah caranya agar tidak terjadi kekerasan di tengah keluarga” ?

Pemakalah menanggapi pertanyaan tersebut dengan jawaban berikut ini.

“cara yang dapat ditempuh agar pengajaran agama Hindu dapat bermuatan adil gender dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut ini:

1. Pahami terlebih dahulu konsep gender, bias-bias gender, kesetaraan gender dan keadilan gender

2. Selanjutnya, temukan bias-bias gender dalam sumber-sumber belajar

3. Biasakanlah untuk merekam, mencatat berbagai hal yang berkaitan dengan konsep gender, bias-bias gender yang ada di lingkungan yang nantinya dapat dijadikan suplement/ilustrasi dalam pembelajaran

4. Periksalah kembali silabus, RPP yang telah disusun. Jika memang belum mengandung isu-isu gender, perbaikilah perangkat pembelajaran tersebut agar berwajah adil gender

5. Perbaiki pula komitmennya tentang pentingnya melakukan upaya inovatif dalam pembelajaran agama Hindu

“sesungguhnya kita percaya bahwa teman-teman guru telah memiliki pengetahuan tentang adanya berbagai peran, fungsi maupun berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari. Namun, patutlah dipahami bahwa masyarakat kita pada umumnya masih berpandangan berat sebelah terhadap arti dari peran yang dilakukan secara berbeda antara pria dan wanita. Pandangan yang umumnya ada adalah memberi prioritas utama kepada aktivitas yang dilakukan oleh pria. Implikasinya adalah terjadi cara pandang yang mapan bahwa aktivitas pria lebih berarti/lebih penting/lebih bernilai dibandingkan aktivitas wanita. Terlebih-lebih aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas yadnya. Pada kasus pelaksanaan yadnya di tingkat keluarga, masyarakat sangat mudah kita temukan bahwa konsentrasi kegiatan lebih menampakkan adanya partisipasi yang besar pada pihak wanita. Hal ini terjadi karena cara pandang kita tidak pernah berubah tentang hal yang berkaitan dengan ukuran pantas dan tidak pantas bagi pria dan wanita dalam menyiapkan dan menyelesaikan ritual yang berkaitan dengan aktivitas yadnya. Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi karena kita tidak pernah mencoba untuk mempertanyakan dan mengubah keadaan itu. Kita juga sering terjebak dengan kesalahan dalam mengartikan konsep kodrat. Semua hal dianggap kodrat. Padahal sesungguhnya yang dimaksud kodrat adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan. Akibatnya, pembagian kerja antara pria dan wanita dinilai sebagai kodrat yang tidak bisa dipertukarkan. Inilah bentuk kesalahan yang dipelihara oleh kita semua melalui banyak cara seperti menanamkan pesan, melihat contoh, menyusun larangan-larangan dan sebagainya. Dalam konteks pelatihan saat ini, kita perlu membuat kesepakatan baru dalam rangka memperbaiki cara pandang kita tentang peran pria dan wanita.

Perbaikan ini dimaksudkan untuk menghasilkan perfomance pelajaran agama Hindu.

Memang kita mengakui ini tidak mudah, mengingat masyarakat kita belum berubah.

Walaupun masyarakat kita secara dominan masih berpegang pada cara berpikir dan bertindak yang belum adil gender bukan berarti kita ikut serta larut dalam kondisi ini.

Dalam kaitan ini, kita sebagai guru harus melatih siswa/siswi untuk memiliki keberanian untuk berubah menuju kesadaran adil gender”.

“keluarga adalah basis yang akan membentuk karakter seorang anak. Di dalam keluarga orang tua menjadi penanggung jawab pertama yang membentuk karakter anak. Sikap toleransi, saling menghargai, menghormati satu sama lainnya merupakan contoh karakter yang harus ditanamkan oleh orang tua. Namun, dalam banyak kasus yang lalu maupun saat ini sering kita temukan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga maupun oleh orang tua. Cara untuk mengendalikan tidak kekerasan di tengah keluarga harus dimulai dari orang tua. Artinya, orang tua harus kembali ke fitrahnya, yang terpenting mampu memberi contoh dan berusaha keras untuk mengendalikan diri. Misalnya, jika kita tidak ingin anak menonton TV terlalu lama, orang jangan justru memberi contoh sebaliknya”

Pertanyaan maupun pandangan yang disampaikan oleh para guru mencerminkan bahwa para guru memiliki kepedulian terhadap masalah pembelajaran agama Hindu yang selama ini telah berjalan. Diakui bahwa masih banyak kondisi empirik di tengah keluarga maupun masyarakat yang bisa dijadikan sumber belajar untuk para siswa di dalam kelas. Hanya saja, para guru masih menunjukkan keragu-raguan atas berhasil tidaknya program adil gender sebagai alat perjuangan moral.

Kekwatiran peserta atas penolakan masyarakat terhadap keadilan gender berpijak pada kondisi empirik bahwa perjuangan moral ternyata tidak mudah. Secara umum konstruksi gender anak pria dan wanita di Bali dibentuk melalui garis purusa. Implikasi yang ditimbulkan adalah pengutamaan terhadap anak pria, sehingga bisa terjadi marginalisasi, steriotyp, pembagian kerja yang timpang dan kekerasan. Inilah kondisi umum yang ada pada masyarakat Bali. Melalui pelatihan pendidikan adil gender, para guru diajak untuk berubah sebelum mengajak siswanya berubah.

Perubahan yang tampak terjadi adalah adanya peningkatan pemahaman peserta tentang gender pria dan wanita, terutama pada peserta yang sebelum pelatihan dimulai mengaku belum tahun tentang gender pria dan wanita. Demikian pula pemahaman tentang PUG (Pengarusutamaan Gender), sebelum pelatihan seluruh peserta belum tahu pengertian PUG maupun rasional dan dasar hukum dikeluarkannya kebijakan tentang PUG. Namun, setelah diberikan pelatihan seluruh peserta berdasarkan hasil pre tes akhirnya diketahui bahwa mereka menjadi tahu pengertian PUG maupun dasar hukum dikeluarkannya kebijakan PUG. Bahkan para peserta berpandangan sangatlah penting melakukan perbaikan pembelajaran agama Hindu dengan menyisipkan materi adil gender.

Berdasarkan hasil post tes dapat diketahui bahwa peserta akhirnya memahami bahwa PUG adalah sebuah strategi yang dilakukan secara sistematis untuk mencapai kesetaraan gender. Menurut para guru diperlukan langkah-langkah dalam pembelajaran agama Hindu untuk membentuk prilaku adil gender. Pertama, lakukan identifikasi terhadap materi ajar untuk mengecek kandungan bias gendernya. Kedua, gunakan media yang tidak bias gender pada saat mengajar. Ketiga, lakukan praktek aktivitas keagamaan di lingkungan sekolah yang melibatkan siswa dan siswi secara bersamaan. Melalui aktivitas keagamaan di antara siswa yang beragama Hindu mereka dilatih saling membantu dalam menyiapkan segala keperluan yadnya. Melalui cara seperti ini siswa dapat membangun rasa kebersamaan dan saling menghargai satu sama lainnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya menurut para guru

adalah melakukan evaluasi atas proses pembelajaran agama Hindu baik melalui observasi maupun lewat tes.

Di samping perubahan pada tingkat pemahaman, guru agama Hindu yang telah dilatihkan menghasilkan pula contoh silabus berperspektif adil gender. Para peserta membentuk 5 kelompok kerja (dari 40 orang peserta pelatihan). Melalui proses pendampingan oleh para instruktur dihasilkanlah 5 contoh silabus (terlampir). Silabus yang dihasilkan selanjutnya dipresentasikan dan didiskusikan bersama. Tujuan dilakukannya diskusi adalah untuk penyempurnaan silabus yang telah dihasilkan. Berdasarkan pemeriksaan silabus diketahui masih perlu dilakukan penyempunaan dalam hal perumusan indikator maupun tujuan sesuai kaidah-kaidahnya. Namun aspek keadilan gender telah tampak dalam rancangan yang dihasilkan oleh peserta pelatihan.

Para peserta pelatihan mengemukan alasan tentang perlu tidaknya pelatihan ini diteruskan di masa-masa mendatang. Semua peserta memandang perlunya pelatihan adil gender diteruskan di masa mendatang dengan alasan bahwa guru perlu terus menerus menambah pengalaman belajarnya agar menjadi guru yang inovatif. Dalam kaitannya dengan pengetahuan adil gender, perubahan kognisi para guru harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan perubahan kedudukan pria dan wanita yang perlu direspon secara tepat melalui pembelajaran. Di samping itu, para peserta beralasan bahwa pendidikan adil gender diperlukan untuk melakukan perubahan sosial atas kedudukan pria dan wanita di mana selama ini wanita diposisikan sebagai makhluk nomor dua atau dibeda-bedakan dengan pria. Melalui pembelajaran yang mengandung sisi adil gender, para guru punya keyakinan akan terjadi perubahan pemahaman dan sikap pada diri siswa.

3.2 Pembahasan

Kajian tentang bias gender dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru dilakukan.

Telah ada beberapa kajian seperti dilakukan oleh Logdson (1985) tentang General Roles in Elementary School Texts in Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa buku-buku teks yang digunakan di SD mengandung konsep gender sekaligus berperan membakukan peran-peran gender yang harus dilakukan siswa. Selain itu, Rostiawati (1997) memfokuskan kajian tentang Memutus Sosialisasi Ketimpangan Gender: Guru Sekolah Dasar Sebagai Agen yang Potensial. Kajian ini merekomendasi bahwa ketimpangan gender di sekolah dasar perlu

diputus mengingat usia sekolah dasar adalah awal dari pembentukan kesadaran gender sekaligus berpeluang terjadinya penanaman gender yang timpang. Oleh karena itu, guru yang memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Kajian yang sejenis dilakukan pula oleh Astuti, Indarti dan Sasriyani (1999) tentang Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini menemukan pula adanya muatan bias gender dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan di SD, SMP, maupun SMA. Ditemukan pula bahwa peran publik perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki serta akses dan kontrol perempuan terhadap kepemilikan barang dan pengambilan keputusan lebih rendah daripada laki-laki. Penelitian sejenis yang bersetting budaya Jawa, Nasional dan Islam telah dilakukan oleh Muhtaliin (2001) tentang Bias Gender dalam Pendidikan. Kajian ini berhasil menemukan fakta bahwa muatan bias gender lebih sedikit terurai dalam GBPP namun paling banyak terdapat dalam buku pelajaran berupa kalimat maupun gambar.

Pada intinya, kajian-kajian yang telah dilakukan telah menemukan fakta bahwa bahan ajar di sekolah dasar sarat dengan muatan gender. Di samping itu, kajian tersebut menyiratkan pula suatu pemikiran pentingnya mengkritisi bias-bias gender di sekolah dasar pada bahan ajar, media maupun proses pembelajaran. Walaupun kajian tentang bias gender dalam dunia pendidikan di sekolah dasar telah dilakukan, bukan berarti kajian tentangnya tidak diperlukan lagi. Terlebih-lebih kajian yang sebelumnya barulah memfokus pada pelajaran tertentu seperti Bahasa Indonesia, IPS dan PKN. Padahal masih terdapat mata pelajaran yang mengandung bias gender seperti mata pelajaran agama. Fungsi utama agama menurut Mulkhan (2005:xix) adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan sesudah hari kematian. Fungsi agama yang menciptakan keselamatan dapat berupa keharmonisan, keselarasan antar dan inter umat memerlukan adanya pendidikan agama yang memberi tempat pada pluralitas beragama. Muatan bias gender yang terkandung dalam materi ajar maupun proses pembelajaran agama dapat dikatakan jauh dari sasaran ideal untuk menciptakan keharmonisan relasi antar manusia.

Karena, menurut Abdullah (2001) maupun Fakih (1997) pemilahan sifat dan peran perempuan - laki-laki dapat mengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasi yang berlanjut pada ketidakadilan gender, marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, steriotyp jenis kelamin, beban kerja lebih berat dan kekerasan terhadap perempuan.

Karenanya, pendidikan agama yang di dalamnya mengandung muatan doktrin dapat dikatakan memiliki peran yang strategis untuk membangun keadilan gender, sehingga

pembenahan kesadaran para guru tentang pendidikan adil gender dalam pendidikan agama adalah sesuatu yang mendesak dilakukan.

Definsi tentang kebudayaan dikemukakan oleh Suparlan (1995) sebagai sistem ide bersama yang dipakai pedoman dalam kehidupannya. Selain itu, Koentjaraningrat (1990) secara lebih jelas menyatakan bahwa kebudayaan meliputi keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya yang kemudian dijadikan milik bersama melalui proses belajar. Gender yang merupakan pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari budaya tersebut, karena gender mencakup gagasan, perlakukan, dan bahkan teknologi yang bias gender.

Gender secara leksikon merupakan identitas atau penggolongan gramatikal yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada kelompok – kelompoknya. Secara terminologi gender digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich,1998:43-58). Perbedaan yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi, media massa, mode, pendidikan, profesi, alat-alat produksi, dan alat rumahtangga (Dzuhayatin,1998:11).

Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan ciri fisik yang berbeda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan mereproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih,1997; Saptari dan Holzner,1997).

Istilah Feminitas dan Maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan prilaku yang secara kompleks telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya. Contohnya: di lingkungan budaya kita, sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi dan senang melayani kebutuhan orang lain dianggap sebagai karakteristik yang positif dari feminitas (Sadli dan Soemarti Patmonodewo,1995:70).

Prilaku tersebut diperkuat dengan cara anak perempuan didandani, mainan yang dibelikan untuknya, dan diberinya peringatan-peringatan bila berprilaku yang oleh lingkungannya dianggap tidak feminin, sebagai anak perempuan ia belajar sifat-sifat yang dianggap pantas sebagai perempuan.

Peran gender perempuan dan laki-laki merupakan pola prilaku yang ditentukan bagi seseorang yang mengisi peran seksual sesuai dengan lingkungan budaya, tingkatan sosial ekonomi, umur, agama dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya Bali, pola pendidikan untuk anak laki-laki berbeda dibandingkan dengan anak perempuan. Para ibu selalu menonjolkan sifat tertentu dalam kegiatan hidup sehari-hari. Yang ditonjolkan adalah kerajinan, dan kesediaan untuk melayani keluarga lelakinya, ayah, kakak atau adik lakinya seperti pernyataan yang sering muncul sebagai berikut.

Belajarlah dan bekerjalah rajin-rajin. Agar jangan nanti dimanapun kau ’ngayah’

(istilah Bali untuk pelayanan) kamu dipergunjingkan sebagai pemalas, hanya tau makan tidur hingga mengurangi kekayaan-harta suamimu. Itu akan merupakan hinaan terbesar terhadap orang tuamu yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Tetapi lebih parah ialah sikap malas dan benalu itu menyebabkan kemudian kamu menjelma lagi sebagai budak kerabat suami atau dalam kedudukan yang lebih rendah dari mereka.

Sebaliknya usahakan agar kamu menjadi pihak yang ’memberi’ dan bukan

’menerima’ (Oka,1992:60).

Pola penanaman nilai semacam itu, yang didengar sedari kecil oleh si gadis niscaya akan menanamkan ingatan bahwa memang perempuan dilahirkan untuk meladeni kaum laki-laki saja. Mudah dimengerti bahwa ’conditioning’ seperti ini lambat laun perempuan menerima pola demikian seakan-akan itu merupakan kodrat agama yang tidak usah dipertanyakan lagi.

Padahal sifat yang dikontruksi secara sosial dan kultural dapat dipertukarkan. Maksudnya, laki-laki dapat memiliki sifat lembut, keibuan dan emosional. Sebaliknya, perempuan bisa bersifat kuat, rasional dan perkasa. Pertukaran sifat atau ciri tersebut tergantung jaman, latar budaya, maupun stratifikasi sosial yang mengitarinya.

Dalam perspektif teori ada beberapa teori dasar yang sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan berikut ini.

a. Teori Nature. Teori ini menegaskan bahwa kodrat fisik yang berbeda antara perempuan dan laki-laki berpengaruh pada kondisi psikis masing.- masing.

Perempuan dengan kodrat melahirkan berakibat berkembangnya perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang. Sebaliknya laki-laki dengan kodrat fisik yang kuat berdampak pada perangai psikologis tegar dan kuat sehingga dikontruksi melindungi pihak yang lemah yaitu perempuan (Budiman,1985:1-14).

Dalam hubungan ini Sanderson (1995:411) menegaskan bahwa perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin.

b. Teori Nurture atau Kebudayaan. Teori ini merupakan kebalikan dari teori nature di mana faktor biologis bukanlah menjadi penyebab keunggulan laki-laki atas perempuan namun lebih disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing.- masing (Sanderson,1995:409). Bahkan menurut Budiman (1985:4)

penggolongan manusia atas perempuan dan laki-laki merupakan tindakan yang direncanakan atau dikonstruksi secara budaya.

c. Teori Psikoanalisis. Teori ini berpangkal pada penis envy (iri kepada kelamin laki-laki). Anak perempuan ketika melihat kelamin anak laki-laki saudaranya atau teman bermainnya tampak sebagai sesuatu yang besar sehingga mereka menjadi sadar bahwa apa yang mereka miliki adalah sangat kecil sehingga sejak saat itu mereka menjadi korban perasaan iri hati untuk memiliki kelamin seperti yang mereka lihat milik anak laki-laki. Dari sini anak perempuan mengembangkan perasaan rendah diri seumur hidup.

d. Teori Fungsionalisme Struktural. Menurut teori ini, penyimpangan yang melanggar norma akan menimbulkan gejolak. Jika terjadi gejolak, maka masing-masing bagian akan berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.

Oleh kerena itu, integrasi dipandang fungsional, sedangkan konflik ditinggalkan.

Dengan demikian, pemilahan peran laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini, merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi harmoni masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985).

Mengacu kepada teori tersebut di atas kajian tentang gender berimplikasi pada munculnya dikotomi sifat maskulin-feminin; peran domestik dan publik; posisi mendominasi dan tersubordinasi. Menurut Widy N (2004) walaupun perempuan dan laki-laki dibentuk secara berbeda, maka tidak seharusnya bahwa perbedaan tersebut menjadikan keduanya dipisahkan secara kontras bahkan dipertentangkan. Satu hal yang harus disadari bahwa keberadaan nilai-nilai yang berbeda adalah saling melengkapi satu sama lain.

Pluralisme dan Pluralitas adalah dua kata yang sering dipakai secara bergantian tanpa ada penjelasan tentang apakah dua kata ini mempunyai arti yang sama atau berbeda. Ada kalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai arti yang sama, yaitu keadaan yang bersifat plural, jamak dan banyak. Hanya saja, menurut Noer (2005:872) pluralisme dalam konteks pendidikan agama bukanlah hanya sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak namun adalah suatu sikap yang mengakui, dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak itu.

Pendidikan agama mempunyai tempat yang amat strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak. Menurut Soedjatmoko (1984) semua pendidikan bertugas membina manusia susila, manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ma’arif (2005) bahwa abad ini sebagai abad sumberdaya manusia (SDM), yang menuntut manusia untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan tinggi, yang bereteknologi dan berprilaku produktif tinggi. Semua orang secara individual atau pun bersama-sama dalam ikatan organisasi dituntut untuk belajar terus menerus dalam proses interaktif yang bermutu. Dengan

kata lain, dalam era globalisasi saat ini setiapindividu dituntut untuk mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk dan secara spritual dapat memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan agama, etnis, dan kelas sosial serta gender.

Untuk merealisasikan pendidikan agama berwawasan multikultur/plural, maka pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya. Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup secara refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Hamid (2000) menyarankan dalam pengembangan kurikulum hendaknya dilihat kurikulum sebagai proses yang memperhatikan hal-hal yaitu : (1) posisi siswa sebagai sujek dalam belajar; (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya; (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah kultur siswa ; (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

Untuk merealisasikan pendidikan agama berwawasan multikultur/plural, maka pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya. Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup secara refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Hamid (2000) menyarankan dalam pengembangan kurikulum hendaknya dilihat kurikulum sebagai proses yang memperhatikan hal-hal yaitu : (1) posisi siswa sebagai sujek dalam belajar; (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya; (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah kultur siswa ; (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

Dokumen terkait