• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PROGRAM P2M PENERAPAN IPTEK PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN AKHIR PROGRAM P2M PENERAPAN IPTEK PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PROGRAM P2M PENERAPAN IPTEK PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

PELATIHAN PENDIDIKAN ADIL GENDER BAGI GURU AGAMA HINDU JENJANG SEKOLAH DASAR

DI KECAMATAN SUKASADA, BULELENG, BALI

DR.LUH PUTU SENDRATARI, M.HUM PROF.DR N. BAWA ATMADJA,MA

DR. I KETUT MARGI, M.SI DR. I WAYAN MUDANA, M.SI

Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Pendidikan Ganesha dengan SPK : 144/UN 48.15/LPM/2014 tanggal 13 Februari 2014

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSISAL

LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNDIKSHA Tahun 2014

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL PELATIHAN PENDIDIKAN ADIL

GENDER BAGI GURU AGAMA HINDU

JENJANG SEKOLAH DASAR DI

KECAMATAN SUKASADA, BULELENG, BALI

Ketua Tim Pengusul

a. Nama Lengkap Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum

b. Jenis Kelamin Perempuan

c. NIDN 0008126104

d. Disiplin Ilmu Kajian Wanita

e. Pangkat/Golongan Pembina/IVb

f. Jabatan Lektor Kepala

g. Fakultas/Jurusan Fakultas Ilmu Sosial/Pendidikan Ilmu Sejarah

h. Alamat Kantor Telp/Faks/E-Mail Jl. Udayana, Singaraja - Bali (0362) 24789.

Lpsendra@.yahoo.co.id

i. Alamat Rumah/Telp. Jl. Ki Barak Panji Gang Palma I/2 Singaraja, Bali.(0362) 24789

3. Jumlah Anggota Pelaksana

3 (Tiga) Orang

4.Lokasi Kegiatan

Sekolah Dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali

5. Jumlah Biaya Kegiatan 6.000.000,00 (Enam Juta Rupiah) 6. Jangka Waktu Pelaksanaan 6 (Enam Bulan)

Singaraja, 8 Oktober 2014

Mengetahui Ketua Tim Pengusul,

Dekan FIS Undiksha,

Prof.Dr.N. Bawa Atmadja,MA Dr.Luh Putu Sendratari,M.Hum

NIDN 0017025103 NIDN 0008126104

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Analisis Situasi

Salah satu kebijakan “Education for All” yang telah disepakati semua negara anggota UNESCO (termasuk Indonesia) adalah menghapus disparitas gender pada pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005, dan mencapai kesetaraan pendidikan menjelang tahun 2015. Pengarusutamaan gender bidang pendidikan merupakan salah satu strategi agar semua kebijakan, program, proyek, ataupun kegiatan di bidang pendidikan diarahkan untuk mengurangi atau menghapus kesenjangan gender. Untuk mendukung kebijakan tersebut, tenaga pendidikan mempunyai peran strategis. Pendidikan yang bias gender menimbulkan stereotipe peran perempuan dan laki-laki yang umumnya kurang menguntungkan perempuan.

Bila tidak dilakukan perubahan secara strategis dan sistematis, akan terhambat pembangunan di segala aspek kehidupan (Wahyuningsih,dkk,2006).

Kebijakan Unesco berjalan seiring dengan nafas GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) di mana secara legalitas formal rumusan tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang tertuang dalam GBHN 1993 seperti berikut ini.

Wanita sebagai warga negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, merupakan mitra sejajar pria dan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang (BP 7 Pusat,1993:228).

Walaupun berbagai kebijakan telah dikeluarkan, namun dalam kenyataannya berbagai bias gender masih tampak dalam kehidupan publik, tak terkecuali dalam dunia pendidikan.

Ternyata dalam realitasnya, masih menampilkan wajah yang bias gender dalam bahan ajar, media maupun proses pembelajaran. Menurut Diarsi (1989:11) jika pendidikan dimaksudkan untuk membentuk sikap, cara pandang dan nilai-nilai yang relevan untuk masa mendatang, maka pendidikan yang mengandung genderistik hanyalah kesia-siaan. Bahkan, pelestarian ideologi gender yang membatasi penggalian potensi perempuan yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan petaka terutama bagi pemanfaatan sumberdaya manusia.

Di samping landasan normatif yang bersumber dari GBHN tentang pengakuan pentingnya pemahaman kesetaraan gender, pemerintah Indonesia mengeluarkan pula regulasi Program Pengarusutamaan Gender dalam bidang pendidikan dengan payung besarnya Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Sesuai dengan Inpres tersebut lembaga pendidikan berkewajiban untuk mengintegrasikan

(4)

pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Agar suatu penyusunan kebijakan pendidikan dapat mempertimbangkan aspek gender, dukungan pejabat dan insan persekolahan sangat diperlukan.

Inpres Nomor 9 Tahun 2000 diacu oleh Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010-2014, yang menetapkan Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) lintas Bidang pembangunan, sebagai salah satu prinsip dan landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan (RPJMN 2010-2014). Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi keduanya dalam pengambilan keputusan dan penguasaan terhadap sumberdaya pembangunan, seperti misalnya pengetahuan, keterampilan, informasi.

Berpijak pada pengalaman empirik seperti pemberian pendalaman materi pada pendidikan dasar selama pelaksanaan PLPG ternyata kebijakan tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di kalangan guru-guru belum dipahami dan diimplemetasikan dalam perencanaan, dan pelaksanaan pembelajaran. Di samping itu, sumber-sumber belajar yang dijadikan pegangan oleh para guru masih kental dengan bias-bias gender. Pendidikan dasar merupakan landasan utama yang akan membangun kepribadian peserta didik untuk dikembangkan lebih lanjut pada perkembangan usia selanjutnya.

Sosialisasi tentang kesadaran adil gender dalam bentuk pencegahan tindak kekerasan di tingkat keluarga di kabupaten Buleleng sebenarnya sudah disentuh dalam program yang disusun oleh Badan Keluarga Berencana dan PP Kabupaten Buleleng dalam bentuk Sosialisasi dan Advokasi tentang Pelayanan KDRT dan Anak (Badan KB-PP,2012).

Walaupun sosialisasi tentang pentingnya keadilan gender telah dilakukan oleh Badan KB-PP, bukan berarti sosialisasi tentangnya tidak lagi diperlukan. Langkah sosialisasi pendidikan adil gender merupakan kebutuhan mendesak sebagai langkah percepatan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG.

Mengingat PUG adalah suatu pendekatan baru, termasuk di lingkungan dunia pendidikan, maka dirasa perlu untuk memberikan pelatihan pendidikan adil gender kepada guru agama di tingkat Sekolah Dasar di Buleleng sebagai implementasi program PUG, mengingat pendidikan tingkat dasar memiliki posisi yang strategis dalam membangun kesadaran adil gender terhadap

(5)

peserta didik. Sehubungan dengan hal itu diperlukan adanya guru-guru agama yang memiliki kesadaran pentingnya pendidikan adil gender.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan lewat penelusuran buku-buku pelajaran IPS SD, Buleleng, Bali ternyata masih mengandung muatan bias gender yang tampak dan menghasilkan produk Buku Panduan Adil Gender ditemukan hal-hal sebagai berikut :

(1) Guru agama Hindu tingkat sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng belum mengetahui adanya program PUG (Pengarusutamaan Gender) dalam bidang pendidikan

(2) Rancangan Silabus dan RPP yang disusun oleh guru agama Hindu tingkat sekolah dasar belum berperspektif adil gender

(3) Sumber-sumber belajar yang dijadikan pegangan oleh guru dan peserta didik adalah sumber yang mengandung bias gender dalam bentuk wacana-wacana, gambar-gambar

Gejala ini bila dibiarkan diduga dapat menjadi penghambat terwujudnya pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Hal ini menarik untuk diteliti serta mendesak dilakukan pembenahan pembelajaran agama Hindu di sekolah dasar, karena akan memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk pola berpikir siswa tentang cara memahami hakekat manusia.

Menurut Sudarmanto (1986:16) agama adalah sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, pelajaran agama di tingkat dasar sangat urgen dalam membentuk pemahaman makna kesetaraan dan keadilan bagi manusia.

Selain itu, menurut Burhanuddin (2002) kelemahan pendidikan agama dewasa ini adalah kurangya penekanan nilai moralitas yang universal seperti kasih sayang, cinta kasih, tenggang rasa dan penghargaan terhadap perbedaan rasa, agama maupun jenis kelamin (seks dan gender).

Berpijak dari analisis situasi tentang kondisi pendidikan agama Hindu di Kecamatan Sukasada, Buleleng dan pentingnya percepatan penerapan program PUG bidang pendidikan dapat dikatakan bahwa kesenjangan yang masih terdapat dalam pendidikan agama Hindu perlu dibenahi melalui kegiatan pendidikan adil gender bagi guru-guru. Hal penting yang menjadi dasar pertimbangan dilakukannya kegiatan ini adalah adanya temuan penelitian dan telah disusunnya Buku Panduan Praktis Adil Gender dalam Pembelajaran Hindu di Sekolah Dasar oleh Ketut Margi dan Sendratari (2006/2007) dipandang perlu untuk didesiminasikan secara meluas kepada para guru. Kesadaran adil gender yang dimiliki oleh para guru diharapkan akan menetes kepada para peserta didik sehingga muncul kesadaran adil gender yang berkesinambungan di kalangan peserta didik.

(6)

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah 1.2.1 Idetifikasi Masalah

Berdasarkan atas analisis situasi maka dapat diidentifikasi beberapa hal berikut ini.

1.2.1.1 Para guru agama Hindu sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali belum memiliki pemahaman yang memadai tentang pendidikan adil gender.

1.2.1.2 Silabus dan RPP yang disusun oleh para guru agama Hindu sekolah dasar masih mengandung muata bias-bias gender yang sangat kental sehingga pembelajaran agama Hindu masih menampakkan warna bias-bias gender.

1.2.1.3 Sumber-sumber belajar yang digunakan oleh para guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran agama Hindu di sekolah dasar masih mengandalkan sumber-sumber yang mengandung bias-bias gender.

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dapat dirumuskan berikut ini.

1.2.2.1 Apakah melalui kegiatan sosialisasi Pendidikan Adil Gender terdapat perubahan pemahaman guru agama Hindu sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng ? 1.2.2.2 Apakah melalui kegiatan pelatihan Pendidikan Adil Gender terjadi peningkatan

keterampilan guru agama Hindu sekolah dasar dalam penyusunan Silabus dan RPP berspektif adil gender ?

1.2.2.3 Apakah melalui kegiatan pelatihan Pendidikan Adil Gender guru-guru agama Hindu sekolah dasar terampil dalam menentukan sumber-sumber belajar agama Hindu yang mengandung perspektif adil gender

1.3 Tujuan Kegiatan

Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan berikut ini.

1.3.1 Meningkatkan pemahaman guru agama Hindu tingkat sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng tentang pendidikan adil gender.

(7)

1.3.2 Meningkatkan keterampilan guru agama Hindu tingkat sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng mengimplementasikan PUG dalam bentuk penyusunan silabus dan RPP yang berperspektif adil gender.

1.3.3 Meningkatkan keterampilan guru agama Hindu dalam pemilihan sumber-sumber belajar yang berperspektif adil gender.

1.4 Manfaat Kegiatan

Kegiatan ini diharapkan akan memberi manfaat kepada pihak-pihak berikut ini.

1.4.1 Guru

Kegiatan pelatihan ini akan membantu guru membuka kesadaran dan pemahaman tentang adanya bias-bias gender dalam pembelajaran agama Hindu. Di samping itu, kegiatan ini akan memberi pengalaman baru baru dalam menyusun silabus dan RPP yang berperspektif adil gender.

1.4.2 Sekolah

Pelatihan ini akan dapat meningkatkan kualitas dan martabat sekolah karena pelatihan ini dapat dijadikan langkah awal untuk melakukan pembenahan dalam bidang-bidang studi lainnya yang masih mengandung muatan bias gender.

1.4.3 Departemen Pendidikan Agama Tingkat Kabupaten Buleleng

Kegiatan ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi Depag dalam rangka mewujudkan tenaga kependidikan yang profesional dan berkualitas di bidang pengajaran agama Hindu.

1.4.4 Undiksha

Pelatihan ini dapat dijadikan wahana untuk meningkatkan jaringan kemitraan dengan para guru sehingga percepatan pendidikan adil gender dapat dicapai.

(8)

BAB II

METODE PELAKSANAAN

2.1 Penentuan Khalayak Sasaran Strategis

Khalayak yang dijadikan sasaran strategis dalam kegiatan ini adalah para guru agama Hindu di tingkat sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng. Dipilihnya para guru dalam kegiatan ini tidak bisa dilepaskan dari peran guru dalam proses belajar belajar. Perlu ditegaskan bahwa dalam konteks ini guru memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab dalam dunia pendidikan. Menurut Saroni (2011,63) guru memiliki tugas dan kewajiban memberikan bimbingan, arahan, dan fasilitasi pendidikan dan pembelajaran kepada anak didik. Bahkan guru memiliki tanggung jawab agar peserta didik mengedapankan sifat sosialnya, termasuk membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Agar dapat mencapai hal itu guru perlu disiapkan agar memiliki kualitas yang memadai. Pandangan Saroni sejalan pula dengan pandangan Yamin (2007:57) bahwa guru memiliki tugas sebagai agen budaya dan moral. Guru di dalam sekolah tidak hanya bertugas mentransferkan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga sebagai pelopor untuk menciptakan orang- orang berbudaya, berbudi, dan bemoral. Berdasarkan penelusuran data Kantor UPT Kecamatan Sukasada, diperoleh jumlah guru agama Hindu tingkat sekolah dasar 38 orang.

Guru-guru inilah yang dijadikan subjek sasaran dalam pelatihan pendidikan adil gender.

Pelibatan guru agama Hindu dalam kegiatan ini tidak bisa dilepaskan dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng yang membawahi keberadaan guru-guru agama Hindu di Kecamatan Sukasada, Buleleng. Dalam hubungan ini pihak Kantor Kementerian diperlukan keterlibatannya karena keberlanjutan kegiatan memerlukan adanya goodwill dari pengambil kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan agama ditingkat pendidikan dasar.

Dalam pelatihan ini, Ketua UPT Kecamatan Sukasada berkesempatan hadir dalam acara pelatihan. Kehadiran beliau memberi efek psikis yang positif terhadap para peserta. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kehadiran, partisipasi para guru maupun ketaatan dalam mengikuti pelatihan sampai akhir acara.

(9)

2.2 Kerangka Pemecahan Masalah

Permasalahan yang ditemui di kalangan guru-guru agama Hindu sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng perlu dilakukan usaha-usaha sebagai solusi agar terjadi peningkatan pemahaman guru tentang pendidikan adil gender dan peningkatan keterampilan dalam penyusunan Silabus, dan RPP serta pemilihan sumber-sumber belajar berperspektif adil gender. Ada pun solusi yang ditawarkan untuk para guru agama Hindu di Kecamatan Sukasada, Buleleng adalah dengan memberikan pelatihan Pendidikan Adil Gender dengan skema alir kegiatan berikut ini.

Pendidikan Adil Gender

(10)

Gambar 8.1 : Alir Kegiatan Pendidikan Adil Gender Keterangan:

Kegiatan ini bertitik tolak dari suatu pemikiran ideal bahwa dalam pembelajaran agama Hindu seharusnya para peserta didik perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang setara dan tanggung jawab yang sama dalam memahami praktek-praktek keagamaan. Namun dalam kenyataannya, dalam pembelajaran agama Hindu di jenjang sekolah dasar masih mengandung bias-bias gender pada aspek guru, silabus, RPP maupun sumber-sumber belajar

Guru yang Berwawasan Bias Gender

Silabus, RPP dan Sumber belajar yg Bias Gender

Pemberian Materi Konsep Gender dan PUG, Buku Panduan Adil Gender Agama Hindu SD

Workshop Penyusunan Silabus, RPP, Sumber Belajar Berperspektif Adil Gender

Meningkatnya Pemahaman Guru tt Pendidikan Adil Gender Tersusunnya Silabus, RPP Agama yg Adil Gender

Pengetahuan awal guru tt gender, PUG

(11)

guru dan siswa. Berpijak dari kondisi riil semacam itu maka diperlukan upaya-upaya untuk melakukan perbaikan melalui pendidikan adil gender dengan langkah-langkah memberikan materi tentang konsep-konsep, gender, kesetaraan gender, keadilan gender dan Pengarusutamaan Gender. Kegiatan pelatihan pendidikan adil gender untuk menjawab permasalahan para guru agama dicandrakan dalam Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Permasalahan Guru Agama Hindu dan Alternatif Pemecahan

Permasalahan Akar Masalah Solusi Alternatif Guru agama Hindu belum

memiliki pemahaman pendidikan adil gender

Guru tidak memiliki pengetahuan tentang konsep gender, adil gender dan PUG

1. ROLE PLAYING 2. CERAMAH 3. DISKUSI

Silabus, RPP yang dirancang guru belum berperspektif adil gender

Guru masih mengandalkan silabus dan RPP yang telah ada tanpa koreksi

Guru kurang memahami cara penyusunan silabus dan RPP berperspektif adil gender

Workshop bersama guru dalam penyusunan silabus dan RPP agama Hindu yang adil gender

Dalam proses pembela-jaran guru masih sangat tergantung pada sumber-sumber belajar yang bias gender

Dalam pembelajaran agama Hindu tidak memiliki pemahaman tt cara pemilihan sumber belajar yang adil gender

Brainstorming dan diskusi untuk mengidentifikasi sumber belajar yang adil gender

2.3 Metode Pelaksanaan Kegiatan

Metode yang dipilih dalam kegiatan ini adalah pelatihan dengan teknik yang disesuaikan dengan rumusan masalah. Permasalahan kurangnya pemahaman guru tentang gender, adil gender dan PUG dipecahkan dengan teknik role playing, ceramah dan diskusi.

Peningkatan keterampilan guru dalam penyusunan silabus, RPP berperspektif adil gender dilakukan dengan teknik workshop bersama guru. Meningkatkan keterampilan guru dalam pemilihan sumber-sumber belajar dilakukan dengan teknik brainstorming dan diskusi.

2.4 Rancangan Evaluasi

(12)

Evaluasi atas kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang dihadapi guru agama Hindu sekolah dasar dapat dirinci berikut ini.

Permasalahan Jenis Instrumen

Saat Evaluasi

Capaian sebelum pelatihan

(%)

Capaian sesudah pelatihan

(%) Guru agama

Hindu belum memiliki

pemahaman pendidikan adil gender dalam pembelajaran agama Hindu

Pre Tes

(Objektif Tes) Post Tes (Objektif dan Essay)

Dilakukan pada awal kegiatan dan akhir

kegiatan

40 % 80 %

Silabus, RPP yang dirancang guru belum berperspektif adil gender

Rubrik Penilaian Pedoman Observasi

Dilakukan selama proses kegiatan dan akhir

kegiatan

30 % 80 %

Dalam PBM

guru masih sangat tergantung pada sumber- sumber belajar yang bias gender

Pre Tes

(Objektif Tes) Post Tes

Dilakukan di awal

kegiatan dan akhir

kegiatan

40% 80%

BAB III

(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Kegiatan

3.1.1 Pra Kondisi Pengajaran Agama Hindu di Sekolah Dasar, Kec. Sukasada

Pelaksanaan Pengajaran Agama Hindu di Sekolah Dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng dapat dilihat pada beberapa aspek yaitu penjabaran RPP, metode pengajaran, bahan ajar dan pemahaman awal guru dan siswa tentang materi ajar yang berperspektif gender.

Selanjutnya, aspek-aspek tersebut dideskripsikan satu persatu seperti berikut ini.

3.1.1.1 RPP

RPP adalah perencanaan yang dibuat oleh para guru untuk menjalankan pembelajaran di kelas. Adapun tujuan disusunnya RPP adalah (1) sebagai bentuk pertanggungjawabab guru terhadap profesinya; (2) panduan guru dalam mengajar di kelas. RPP yang disusun oleh para guru agama Hindu di Kecamatan Sukasada, Buleleng pada umumnya telah mengacu pada ketentuan pokok secara umum dalam penyusunan silabus. Dalam kaitan dengan upaya untuk melakukan intervensi atas pembenahan pembelajaran adil gender, telah dicermati suatu model penjabaran RPP yang paling memungkinkan untuk disisipi isu-isu tentang adil gender.

berdasarkan hasil pelacakan atas RPP yang telah disusun oleh guru agama Hindu di Kecamatan Sukasada ditemukan contoh RPP yang belum memperhitungkan aspek gendernya.

3.1.2.1 Contoh Silabus Agama Hindu Satuan Pendidikan : SD

Mata Pelajaran : Agama Hindu

Kelas : I (satu)

Semester : I (satu)

Topik : Tri Kaya Parisudha

A Kompetensi Dasar: Memahami ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai tutnan hidup B Indikator Pencapaian Kompetensi

(14)

1. Menyebutkan pengertian Tri Kaya Parisudha 2. Menyebutkan bagian-bagian Tri Kaya Parisudha C Tujuan Pembelajaran

1. Siswa dapat menyebutkan pengertian Tri Kaya Parisudha 2. Siswa dapat menyebutkan bagian-bagian Tri Kaya Parisudha D Materi Ajar : Tri Kaya Parisudha

E Metode Pembelajaran:

1. Tanya jawab, ceramah 2. Pendekatan Scientifik F Kegiatan Pembelajaran

1. Apersepsi

a. Salam panganjali b. Berdoa

c. Mengabsen

d. Menyampaikan tujuan pembelajaran 2. Kegiatan Inti

Mengamati dan mendengarkan cerita Ramayana dan Mahabharata Menanyakan arti Tri Kaya Parisudha dan bagiannya

Mengekperimen

- Menggali informasi tentang Tri kaya Parisudha Mengasosiasi/menalar

- Membuat hubungan yang baik dengan akibat dan cara melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari

Mengkomunikasikan

- Menyebutkan contoh berbuat yang baik Penutup

- Guru menyimpulkan bahwa berfikir, berbicara dan berbuat yang baik disebut Tri Kaya Parisudha

(15)

- Guru memberi saran

- Pembelajaran ditutup dengan salam Om Santi, Santi, Santi, OM Alat & Sumber Bahan:

- Buku Pelajaran Agama Hindu Kls I - Gambar

Penilaian

Proses dan Hasil

Contoh RPP tersebut di atas merupakan contoh yang belum bermuatan adil gender. Hal ini dapat dipahami karena para guru di kecamatan Sukasada belum mengetahui tentang adanya kebijakan adil gender dalam dunia pendidikan; belum memahami arti penting dan cara memasukkan aspek-aspek adil gender dalam RPP. Hal ini sesuai dengan hasil pre test yang diberikan kepada peserta. Berikut ini adalah hasil pre tes para guru.

Tabel 3.1 Tingkat Pemahaman Guru Agama Hindu di Kec. Sukasada Tentang Konsep Gender dan Pemanfaatannya dalam Pembelajaran

No Cakupan Pemahaman Pengenalan tentang Gender

Katagori Prosentase (%)

Paham Tdk Paham Paham Tdk Paham

1 Istilah gender 0 40 0 100

2 Cara membedakan anak pria dan wanita secara kultural

40 0 100

3 Konsep PUG 0 40 0 100

4 Perlunya menyisipkan adil gender

0 40 0 100

Sumber: Data Primer, 2014

Berdasarkan Tabel 3.1 tampak bahwa 40 orang guru (100%) belum memiliki pemahaman tentang konsep gender. Ini membuktikkan bahwa istilah gender belum diketahui secara meluas. Di kalangan para guru ternyata terdapat kondisi di mana guru agama Hindu di kecamatan Sukasada belum tahu tentang adanya istilah gender. ketidaktahuan guru berkorelasi dengan kandungan silabus yang dipakai selama ini. Hanya saja, ada kondisi positif yang ada dari para peserta di mana semua peserta (40 orang) punya pemahaman tentang cara membedakan anak pria dan wanita secara kultural (dicontohkan) tentang anak wanita dan pria Bali. Hal ini merupakan bahan dasar untuk memberikan pemahaman lebih lanjut tentang konsep adil gender. Kemampuan memahami perbedaan anak pria dan wanita

(16)

berarti peserta sadar bahwa pria dan wanita memiliki bentukan yang berbeda secara budaya.

Selanjutnya, para guru bisa diajak untuk memahami apa arti menjadi wanita dan pria sehingga ditemukan makna dibalik nilai budaya yang ada dari kedua jenis kelamin tersebut.

Di samping ketidaktahuan guru tentang istilah gender, hal sama terjadi pula pada pemahaman tentang konsep PUG (Pengarusutamaan Gender). Para guru (40 orang/100%) belum mengetahui istilah PUG maupun landasan normatif dikeluarkannya konsep ini.

Walaupun konsep ini telah dikeluarkan sejak tahun 2000, ternyata belum juga menetes ke dunia pendidikan secara menyeluruh. Ketidaktahuan ini akhirnya menimbulkan kekurangpahaman tentang perlu tidaknya adanya penyisipan program adil gender ke dalam pembelajaran agama Hindu. Pengalaman empirik guru dalam mengajar agama Hindu di sekolah dasar selama ini diakui berjalan tanpa memperhitungkan secara jelas arti penting peran pria dan wanita dalam materi pelajaran agama Hindu. Para guru mengakui bahwa apa yang diajarkan selama ini sesuai dengan hal-hal yang tertera dalam buku-buku pegangan di sekolah tanpa harus mempertanyakan lebih jauh dari apa yang digambarkan di buku tersebut, misalnya tentang kalimat, wacana maupun gambar=gambar yang tertera dalam buku pegangan guru maupun siswa.

3.1.1.2 Metode Pengajaran

Guru-guru agama Hindu pada jenjang sekolah dasar di Kecamatan Sukasada, Buleleng memiliki pemahaman tentang metode mengajar yang masih berpijak pada pemilihan metode ceramah sebagai pilihan utama dalam mengajar. Hampir di semua jenjang kelas (rendah, menengah, maupun kelas tinggi) para guru memakai metode ceramah dalam proses pembelajaran. Pilihan atas metode ceramah dinilaia memilik kelebihan yaitu dapat menjelaskan cakupanmateri dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat.

Pentingnya metode ceramah dalam mengajar tidak dapat diabaikan, karena dapat menyampaikan cakupan materi yang banyak dalam waktu rekatif singkat. Hanya saja, pemakaiannya tidak memadai jika tidak diimbangi dengan metode yang inovatif. Dalam mengajar materi adil gender, diperlukan kondisi pengajaran yang berkarakter yang dicirikan dengan pelibatan komponen olah rasa, olah hati, olah otak dan olah raga. Pelibatan komponen-komponen tersebut merupakan prasyarat yang bertujuan agar siswa wanita dan pria bisa menemukan makna belajar adil gender dalam agama Hindu. Dalam olah otak semua siswa diajak untuk memahami konsep-konsep yang sedang dipelajari; olah rasa dapat dilakukan dengan cara mengajak siswa mendiskusikan topik tentang yadnya, teri kaya

(17)

parisudha, dsb di lingkungan rumah atau sekolah; sedangkan olah rasa bisa dilakukan dengan membuat karangan yang berkaitan dengan yadnya, orang suci, tat twam asi, peran orang tua dsb. Olah raga adalah melakukan gerak dapat dilakukan dengan mengajak siswa memperagakan bagian-bagian tertentu dari aktivitas yadnya. Semua aktivitas tersebut diharapkan akan bermuara pada pemahaman adil gender dalam aktivitas beryadnya, kedudukan orang suci

3.1.1.3 Sumber Belajar

Sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran agama Hindu yang digunakan oleh guru dan siswa adalah buku paket terbitan Ganeca Exact. Misalnya, Pelajaran Agama Hindu untuk Kelas 1 SD dikarang oleh Dewa Ketut Artana, dkk; Pelajaran Agama Hindu untuk Kels 3 SD dikarang oleh Ida Bagus Gede Arnawa, dkk. Tambahan lain yang digunakan adalah Kitab Bhagawadgita karangan Nyoman S. Pendit. Berdasarkan hasil penelitian Margi dan Sendratari (2010) tentang Adil Gender dalam Agama Hindu ditemukan fakta bahwa buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan dalam pembelajaran agama Hindu di Singaraja mengandung bias gender. Bias-bias gender yang terdapat dalam buku teks adalah berikut ini.

a. Gambar ayah dan anak laki-laki berdiskusi tentang agama b. Subordinasi: gambar orang suci/pedanda semuanya laki-laki c. Emininasi : Raja Kudungga berputra Aswawarman

d. Dalam gambar dan teks ada steriotyp pekerjaan dan tanggung jawab.

Dalam bahan ajar tampak anak perempuan sedang mengerjakan yadnyasesa dan mebanten

e. Dalam teks digambarkan siswa laki-laki lebih aktif bertanya tentang fungsi alat-alat upacara yadnya dibandingkan dengan anak perempuan.

Bahan ajar berupak buku teks yang mengandung unsur bias gender akan dapat memperkuat kemapaman struktur gender yang tidak adil.

Jika dicermati topik-topik dalam pelajaran agama Hindu pada semua jenjang pendidikan (kelas 1- kelas 6) semuanya dipadati dengan ilustrasi yang mengandung bias-bias gender. Misalnya, materi kelas 3 diawali dengan materi pemilihan ketua kelas. Pada materi ini, anak pria yang ditonjolkan menjadi ketua kelas sedangkan anak wanita hanyalah menjadi pilihan berikutnya. Deskripsi ini hanya menguatkan pandangan bahwa yang cocok menjadi pemimpin adalah anak pria karena dipandang memiliki kepribadian yang kuat, luwes dan disiplin. Gambar lain yang ditonjolkan adalah gambar antar siswa pria berkelahi. Gambar ini

(18)

dapat dinilai menguatkan pandangan bahwa anak prialah yang gemar berkelahi untuk menunjukkan kejantanan, ketangguhan dan maskulinitas. Penguatan aspek maskulinitas yang tidak diimbangi dengan aspek feminin akan menghasilkan pribadi yang timpang. Karakter anak pun akan condong pada karakter maskulin saja. Padahal, dalam kehidupan senyatanya aspek maskulin dan feminin diperlukan secara seimbang.

3.1.2 Pengetahuan Awal Guru Tentang Pendidikan Adil Gender

Pengetahuan awal guru dilakukan dengan memberikan pre test sebelum pelatihan dilakukan. Pemberian pre test dimaksudkaan untuk melakukan penjajagan tentang pengetahuan awal guru tentang pre test. Adapun cakupan pertanyaan yang ditanyakan meliputi : pengetahuan tentang istilah gender, ciri-ciri gender wanita dan pria pandangan tentang status anak wanita dan pria, pengetahuan tentang PUG, pendapat tentang perlunya integrasi adil gender, karakter silabus/RPP guru. Pertanyaan-pertanyaan ditujukan kepada 40 orang guru agama Hindu jenjang SD yang mengajar di Kecamatan Sukasada, Buleleng.

Hasil pre test tentang pengetahuan guru tentang istilah gender menunjukkan bahwa dari 40 orang (100%) mengatakan tidak tahu. Terdapat beberapa pandangan tentang perbedaan gender pria dan wanita Bali menurut peserta pelatihan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, cara penataan rambut, kewajiban dan hak wanita dan pria dalam hal warisan, status wanita sebagai pradana, sedangkan status pria adalah purusa, jenis permainan wanita dan pria berbeda. Demikian pula muncul pandangan bahwa pembagian kerja antara pria dan wanita juga berbeda. Pandangan yang muncul adalah, wanita membuat sarana upacara, sedangkan pria jarang ikut, hanya memberi materi.

Walaupun sebagian peserta telah mengetahui istilah gender, bahkan bisa menyebutkan contoh-contoh yang mencerminkan pengetahuan mereka tentang gender wanita dan pria Bali, namun hal tersebut belum cukup sebelum bisa memahami implikasi apa yang dapat ditimbulkan dari bentukan gender terhadap wanita dan pria. Implikasi yang dapat timbul dari adanya bentukan gender wanita dan pria adalah marginalisasi, subordinasi, pembagian kerja yang timpang, steriotyp dan kekerasan. Menurut Fakih (1997:11) perbedaan gender (gender differences) sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepnajang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum pria dan terutama terhadap kaum wanita. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum wanita dan pria menjadi korban dari sistem tersebut. Ketika gender wanita dan pria dibedakan dapat timbul marginalisasi. Proses marginalisasi merupakan proses pemiskinan

(19)

bagi kaum wanita. Salah satu bentuk pemiskinan satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh karena gender misalnya kebijakan revolusi hijau yang memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan menggnakan sistem tebang, dengan menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan menggunakan ani- ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum wanita. Akibatnya, banyak kaum wanita miskin di desa menjadi termarginalisasi yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender. Di samping itu, perbedaan gender juga dapat memunculkan tindakan subordinasi terhadap wanita. Adanya anggapan bahwa wanita itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Contoh lainnya adalah, anggapan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur; prioritas utama dalam pendidikan diberikn pada anak pria merupakan gambaran subordinasi terhadap wanita.

Steriotyp terhadap wanita merupakan pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu.

Celakanya steriotyp selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, label yang berawal dari asumsi bahwa wanita bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Bahkan pemerkosaan yang dialami terhadap kaum wanita kecenderungan masyarakat untuk menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum wanita adalah melayani suami. Steriotyp ini berakibat layak sekali pendidikan kaum wanita dinomorduakan. Steriotyp terhadap kaum wanita ini terjadi di mana-mana.

Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena steriotyp ini. Di samping adanya steriotyp, anggapan gender dapat pula menimbulkan adanya kekerasan. Kekerasan gender pada dasarnya disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Bentuk kekerasan misalnya, pemerkosaan terhadap wanita, termasuk di dalamnya perkawinan, aksi pemukulan dan serangan non fisik yang terjadi dalam rumah tangga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak wanita. Contoh lainnya adalah prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana, pelecehan seksual. Di dalam kekerasan-kekerasan yang telah dijelaskan, terkandung pula Kekerasan lainnya yaitu kekerasan simbolik. Berbeda dari kekerasan fisik, kekerasan simbolik sering terselubung di dalam tindakan yang berlawanan dengan pengertian dan konsep kekerasan umumnya.

Bourdieu (1991) menjelaskan bahwa kekerasan simbolik tidak selalu berbentuk aksi fisik yang bisa dilihat akibatnya. Kekerasan bisa dikemas dalam bentuk simbolik. Dengan kata

(20)

lain, kekerasan simbolik bisa berwujud tindakan yang lemah lembut dan tidak kelihatan atau bahkan tidak dikenal sebagai kekerasan. Sarana kekerasan simbolik sering berupa tindakan susila yang diagungkan oleh kode etik pergaulan umat manusia. Selanjutnya, menurut Bourdieu, kekerasan simbolik dilakukan untuk mendapatkan imbalan berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, ketaatan dan keramahtamahan. Ciri lain dari kekerasan simbolik adalah tidak dikenal sebagai tindak kekerasan, dianggap suatu tindakan yang sah, wajar dan tidak menyalahi aturan, dan dipakai oleh kelompok dominan sebagai usaha rekayasa untuk mendefinisikan realitas hidup di sekitarnya.

Pembagian kerja yang berlebih atau beban kerja merupakan implikasi lainnya dari adanya anggapan gender terhadap pria dan wanita. Adanya anggapan bahwa kaum wanita bersifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, maka anggapan itu membawa akibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum wanita. Dari akibat ini maka banyak kaum wanita yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumahtangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi dan memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin beban ini sangatlah berat di tanggung oleh wanita sendiri.

Para peserta pelatihan memiliki pemahaman yang kuat tentang perbedaan gender antara wanita dan pria etnis Bali. Fokus perhatian peserta yang paling menonjol tentang perbedaan gender wanita dan pria di Bali adalah prihal pemberian warisan. Secara umum masyarakat Bali menerima hal ini sebagai pengetahuan yang telah mapan, terutama pada kalangan masyarakat yang masih memegang teguh prinsip-prinsip pemikiran tradisional.

Sejalan dengan perkembangan jaman, masyarakat Bali pun mengalami perubahan terkait soal warisan yang diberikan kepada anak pria dan wanita. Fenomena yang ada saat ini, terdapat orang tua yang memberikan warisan dalam bentuk material kepada anak wanitanya berupa benda bergerak dan tidak bergerak. Sumber yang diberikan biasanya adalah berdasarkan hasil jerih payah dari orang tua mereka, atau pengertiannya bukan berasal dari warisan yang diterima secara turun temurun. Prinsip yang dipegang teguh secara umum oleh masyarakat Bali adalah pengaturan warisan berdasarkan garis purusa (garis pria). Atas dasar inilah warisan yang diberikan kepada anak wanita dan pria menjadi berbeda.

Pengetahuan peserta tentang gender pria dan wanita tergolong memadai, walaupun implikasi terhadap perbedaan gender antar keduanya belum dipahami secara maksimal. Hal lainnya yang belum diketahui oleh peserta adalah pengetahuan tentang PUG (Pengarusutamaan Gender) dalam dunia pendidikan. Data menunjukkan 40 orang peserta (100%) belum mengetahui tentang PUG. Ketidaktahuan peserta tentang kebijakan PUG di

(21)

bidang pendidikan mencerminkan lemahnya proses sosialisasi tentang kebijakan ini. Asumsi yang cukup untuk dikemukakan atas terjadinya hal ini adalah kuatnya cara berpikir tentang hal-hal mana yang dipandang penting dalam pengaturan negara ini, mana pula yang dinomorduakan. Pengetahuan tentang kebijakan Pengarusutamaan Gender ternyata masuk pada katagori bukan sesuatu yang diutamakan untuk dimplementasikan dalam dunia pendidikan. Padahal kebijakan ini telah tercetus pada tahun 2000. Kondisi ini sangat ironis, mengingat pendidikan oleh banyak pihak diyakini sebagai arena yang sangat strategis untuk melakukan perubahan moralitas terhadap sumberdaya manusia, namun kenyataan yang tejadi justru sebaliknya, di mana insan pendidikan belum mengetahui kebijakan ini.

Melalui kegiatan ini dapat pula diketahui bahwa, para peserta (100%) sangat mendukung diperlukannya adanya langkah integrasi adil gender ke dalam pembelajaran agama Hindu. Di samping itu terungkap pula bahwa para guru (100%) yang dilatihkan belum melakukan pengintegrasian materi adil gender ke dalam pembelajaran agama Hindu.

Terjadinya kondisi seperti ini lebih disebabkan dari faktor internal dan eksternal. Secara internal, para guru masih dibelenggu kemapaman berpikir tentang ketimpangan gender dalam kehidupan sosial di tengah keluarga dan masyarakat (termasuk di sekolah). Kemapanan ini sekaligus memasung kognisi para guru untuk melakukan pembaharuan dalam pembelajaran agama Hindu, sehingga tampilan perencanaan (RPP) maupun proses pembelajaran tidak pernah mengalami perubahan. Faktor ekternal terkait dengan adanya kemandegan sosialisasi tentang PUG oleh pihak-pihak yang berwenang. Ketidaktahuan para peserta atas kebijakan tentang PUG dilatarbelakangi tentang kondisi politis tingkat tinggi yang tidak menyentuh sampai pada level pendidikan dasar, menengah maupun atas. Artinya, tidak pernah dilakukan sosialisasi tentang rasionalitas pentingya PUG dan implementasinya di sekolah. Akibatnya, para guru tudak pernah tahu perubahan yang perlu dilakukan untuk perbaikan persiapan, proses pembelajaran maupun sumber belajar agama Hindu.

3.1.3 Pengetahuan Guru Setelah Dilakukan Pelatihan

Pelatihan pendidikan adil gender dilakukan kepada 40 orang guru agama Hindu pada jenjang sekolah dasar. Kegiatan pelatihan diawali dengan acara pembukaan. Acara ini dibuka secara resmi oleh Ketua LP2M Undiksha yang diwakilkan oleh Dr. I Wayan Mudana, M.Si.

Materi yang diberikan adalah:

(22)

1. Pembentukan Gender Anak Laki-laki dan Perempuan di Bali, oleh Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA

2. Landasan Normatif PUG dan Kebutuhan Adil Gender di dunia Sekolah, oleh Dr.

Luh Putu Sendratari, M.Hum

Penyampaian materi dilakukan melalui sistem panel yang dilanjutkan dengan tanya jawab, dan pelatihan penyusunan Silabus berperspektif adil gender. Dalam proses penyampaian materi pelatihan para peserta tampak antusias mengikuti. Pada sesi tanya jawab ada peserta yang bertanya dan menyampaikan pandangannya seperti berikut ini.

“Bagaimanakah caranya mengajarkan pelajaran agama Hindu agar mengandung konsep-konsep adil gender” ?

“Saya berterimakasih ada pelatihan semacam ini karena bisa menambah pengetahuan yang selama ini tidak pernah dipikirkan. Sesungguhnya ada beberapa topik dalam pelajaran agama Hindu yang bisa disisipkan tentang aspek-aspek gender. Tetapi hal itu kita sampaikan bukan dalam kaitan adil gender. Misalnya, tentang orang suci di mana kita mengenal sebutan orang suci untuk pria dan wanita, tetapi kita belum mempertanyakan mengapa yang lebih ditonjolkan adalah orang suci yang berjenis kelamin pria dalam pengajaran agama Hindu” ?

“Dalam lingkungan keluarga, siswa memang harus ditanamkan tentang pentingnya saling menghargai, menghormati satu sama lain. Namun, siswa sering melihat adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Bagaimanakah caranya agar tidak terjadi kekerasan di tengah keluarga” ?

Pemakalah menanggapi pertanyaan tersebut dengan jawaban berikut ini.

“cara yang dapat ditempuh agar pengajaran agama Hindu dapat bermuatan adil gender dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut ini:

1. Pahami terlebih dahulu konsep gender, bias-bias gender, kesetaraan gender dan keadilan gender

2. Selanjutnya, temukan bias-bias gender dalam sumber-sumber belajar

3. Biasakanlah untuk merekam, mencatat berbagai hal yang berkaitan dengan konsep gender, bias-bias gender yang ada di lingkungan yang nantinya dapat dijadikan suplement/ilustrasi dalam pembelajaran

4. Periksalah kembali silabus, RPP yang telah disusun. Jika memang belum mengandung isu-isu gender, perbaikilah perangkat pembelajaran tersebut agar berwajah adil gender

(23)

5. Perbaiki pula komitmennya tentang pentingnya melakukan upaya inovatif dalam pembelajaran agama Hindu

“sesungguhnya kita percaya bahwa teman-teman guru telah memiliki pengetahuan tentang adanya berbagai peran, fungsi maupun berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari. Namun, patutlah dipahami bahwa masyarakat kita pada umumnya masih berpandangan berat sebelah terhadap arti dari peran yang dilakukan secara berbeda antara pria dan wanita. Pandangan yang umumnya ada adalah memberi prioritas utama kepada aktivitas yang dilakukan oleh pria. Implikasinya adalah terjadi cara pandang yang mapan bahwa aktivitas pria lebih berarti/lebih penting/lebih bernilai dibandingkan aktivitas wanita. Terlebih-lebih aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas yadnya. Pada kasus pelaksanaan yadnya di tingkat keluarga, masyarakat sangat mudah kita temukan bahwa konsentrasi kegiatan lebih menampakkan adanya partisipasi yang besar pada pihak wanita. Hal ini terjadi karena cara pandang kita tidak pernah berubah tentang hal yang berkaitan dengan ukuran pantas dan tidak pantas bagi pria dan wanita dalam menyiapkan dan menyelesaikan ritual yang berkaitan dengan aktivitas yadnya. Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi karena kita tidak pernah mencoba untuk mempertanyakan dan mengubah keadaan itu. Kita juga sering terjebak dengan kesalahan dalam mengartikan konsep kodrat. Semua hal dianggap kodrat. Padahal sesungguhnya yang dimaksud kodrat adalah sesuatu yang tidak dapat dipertukarkan. Akibatnya, pembagian kerja antara pria dan wanita dinilai sebagai kodrat yang tidak bisa dipertukarkan. Inilah bentuk kesalahan yang dipelihara oleh kita semua melalui banyak cara seperti menanamkan pesan, melihat contoh, menyusun larangan-larangan dan sebagainya. Dalam konteks pelatihan saat ini, kita perlu membuat kesepakatan baru dalam rangka memperbaiki cara pandang kita tentang peran pria dan wanita.

Perbaikan ini dimaksudkan untuk menghasilkan perfomance pelajaran agama Hindu.

Memang kita mengakui ini tidak mudah, mengingat masyarakat kita belum berubah.

Walaupun masyarakat kita secara dominan masih berpegang pada cara berpikir dan bertindak yang belum adil gender bukan berarti kita ikut serta larut dalam kondisi ini.

Dalam kaitan ini, kita sebagai guru harus melatih siswa/siswi untuk memiliki keberanian untuk berubah menuju kesadaran adil gender”.

“keluarga adalah basis yang akan membentuk karakter seorang anak. Di dalam keluarga orang tua menjadi penanggung jawab pertama yang membentuk karakter anak. Sikap toleransi, saling menghargai, menghormati satu sama lainnya merupakan contoh karakter yang harus ditanamkan oleh orang tua. Namun, dalam banyak kasus yang lalu maupun saat ini sering kita temukan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga maupun oleh orang tua. Cara untuk mengendalikan tidak kekerasan di tengah keluarga harus dimulai dari orang tua. Artinya, orang tua harus kembali ke fitrahnya, yang terpenting mampu memberi contoh dan berusaha keras untuk mengendalikan diri. Misalnya, jika kita tidak ingin anak menonton TV terlalu lama, orang jangan justru memberi contoh sebaliknya”

(24)

Pertanyaan maupun pandangan yang disampaikan oleh para guru mencerminkan bahwa para guru memiliki kepedulian terhadap masalah pembelajaran agama Hindu yang selama ini telah berjalan. Diakui bahwa masih banyak kondisi empirik di tengah keluarga maupun masyarakat yang bisa dijadikan sumber belajar untuk para siswa di dalam kelas. Hanya saja, para guru masih menunjukkan keragu-raguan atas berhasil tidaknya program adil gender sebagai alat perjuangan moral.

Kekwatiran peserta atas penolakan masyarakat terhadap keadilan gender berpijak pada kondisi empirik bahwa perjuangan moral ternyata tidak mudah. Secara umum konstruksi gender anak pria dan wanita di Bali dibentuk melalui garis purusa. Implikasi yang ditimbulkan adalah pengutamaan terhadap anak pria, sehingga bisa terjadi marginalisasi, steriotyp, pembagian kerja yang timpang dan kekerasan. Inilah kondisi umum yang ada pada masyarakat Bali. Melalui pelatihan pendidikan adil gender, para guru diajak untuk berubah sebelum mengajak siswanya berubah.

Perubahan yang tampak terjadi adalah adanya peningkatan pemahaman peserta tentang gender pria dan wanita, terutama pada peserta yang sebelum pelatihan dimulai mengaku belum tahun tentang gender pria dan wanita. Demikian pula pemahaman tentang PUG (Pengarusutamaan Gender), sebelum pelatihan seluruh peserta belum tahu pengertian PUG maupun rasional dan dasar hukum dikeluarkannya kebijakan tentang PUG. Namun, setelah diberikan pelatihan seluruh peserta berdasarkan hasil pre tes akhirnya diketahui bahwa mereka menjadi tahu pengertian PUG maupun dasar hukum dikeluarkannya kebijakan PUG. Bahkan para peserta berpandangan sangatlah penting melakukan perbaikan pembelajaran agama Hindu dengan menyisipkan materi adil gender.

Berdasarkan hasil post tes dapat diketahui bahwa peserta akhirnya memahami bahwa PUG adalah sebuah strategi yang dilakukan secara sistematis untuk mencapai kesetaraan gender. Menurut para guru diperlukan langkah-langkah dalam pembelajaran agama Hindu untuk membentuk prilaku adil gender. Pertama, lakukan identifikasi terhadap materi ajar untuk mengecek kandungan bias gendernya. Kedua, gunakan media yang tidak bias gender pada saat mengajar. Ketiga, lakukan praktek aktivitas keagamaan di lingkungan sekolah yang melibatkan siswa dan siswi secara bersamaan. Melalui aktivitas keagamaan di antara siswa yang beragama Hindu mereka dilatih saling membantu dalam menyiapkan segala keperluan yadnya. Melalui cara seperti ini siswa dapat membangun rasa kebersamaan dan saling menghargai satu sama lainnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya menurut para guru

(25)

adalah melakukan evaluasi atas proses pembelajaran agama Hindu baik melalui observasi maupun lewat tes.

Di samping perubahan pada tingkat pemahaman, guru agama Hindu yang telah dilatihkan menghasilkan pula contoh silabus berperspektif adil gender. Para peserta membentuk 5 kelompok kerja (dari 40 orang peserta pelatihan). Melalui proses pendampingan oleh para instruktur dihasilkanlah 5 contoh silabus (terlampir). Silabus yang dihasilkan selanjutnya dipresentasikan dan didiskusikan bersama. Tujuan dilakukannya diskusi adalah untuk penyempurnaan silabus yang telah dihasilkan. Berdasarkan pemeriksaan silabus diketahui masih perlu dilakukan penyempunaan dalam hal perumusan indikator maupun tujuan sesuai kaidah-kaidahnya. Namun aspek keadilan gender telah tampak dalam rancangan yang dihasilkan oleh peserta pelatihan.

Para peserta pelatihan mengemukan alasan tentang perlu tidaknya pelatihan ini diteruskan di masa-masa mendatang. Semua peserta memandang perlunya pelatihan adil gender diteruskan di masa mendatang dengan alasan bahwa guru perlu terus menerus menambah pengalaman belajarnya agar menjadi guru yang inovatif. Dalam kaitannya dengan pengetahuan adil gender, perubahan kognisi para guru harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan perubahan kedudukan pria dan wanita yang perlu direspon secara tepat melalui pembelajaran. Di samping itu, para peserta beralasan bahwa pendidikan adil gender diperlukan untuk melakukan perubahan sosial atas kedudukan pria dan wanita di mana selama ini wanita diposisikan sebagai makhluk nomor dua atau dibeda- bedakan dengan pria. Melalui pembelajaran yang mengandung sisi adil gender, para guru punya keyakinan akan terjadi perubahan pemahaman dan sikap pada diri siswa.

3.2 Pembahasan

Kajian tentang bias gender dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru dilakukan.

Telah ada beberapa kajian seperti dilakukan oleh Logdson (1985) tentang General Roles in Elementary School Texts in Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa buku-buku teks yang digunakan di SD mengandung konsep gender sekaligus berperan membakukan peran-peran gender yang harus dilakukan siswa. Selain itu, Rostiawati (1997) memfokuskan kajian tentang Memutus Sosialisasi Ketimpangan Gender: Guru Sekolah Dasar Sebagai Agen yang Potensial. Kajian ini merekomendasi bahwa ketimpangan gender di sekolah dasar perlu

(26)

diputus mengingat usia sekolah dasar adalah awal dari pembentukan kesadaran gender sekaligus berpeluang terjadinya penanaman gender yang timpang. Oleh karena itu, guru yang memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Kajian yang sejenis dilakukan pula oleh Astuti, Indarti dan Sasriyani (1999) tentang Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini menemukan pula adanya muatan bias gender dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan di SD, SMP, maupun SMA. Ditemukan pula bahwa peran publik perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki serta akses dan kontrol perempuan terhadap kepemilikan barang dan pengambilan keputusan lebih rendah daripada laki-laki. Penelitian sejenis yang bersetting budaya Jawa, Nasional dan Islam telah dilakukan oleh Muhtaliin (2001) tentang Bias Gender dalam Pendidikan. Kajian ini berhasil menemukan fakta bahwa muatan bias gender lebih sedikit terurai dalam GBPP namun paling banyak terdapat dalam buku pelajaran berupa kalimat maupun gambar.

Pada intinya, kajian-kajian yang telah dilakukan telah menemukan fakta bahwa bahan ajar di sekolah dasar sarat dengan muatan gender. Di samping itu, kajian tersebut menyiratkan pula suatu pemikiran pentingnya mengkritisi bias-bias gender di sekolah dasar pada bahan ajar, media maupun proses pembelajaran. Walaupun kajian tentang bias gender dalam dunia pendidikan di sekolah dasar telah dilakukan, bukan berarti kajian tentangnya tidak diperlukan lagi. Terlebih-lebih kajian yang sebelumnya barulah memfokus pada pelajaran tertentu seperti Bahasa Indonesia, IPS dan PKN. Padahal masih terdapat mata pelajaran yang mengandung bias gender seperti mata pelajaran agama. Fungsi utama agama menurut Mulkhan (2005:xix) adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan sesudah hari kematian. Fungsi agama yang menciptakan keselamatan dapat berupa keharmonisan, keselarasan antar dan inter umat memerlukan adanya pendidikan agama yang memberi tempat pada pluralitas beragama. Muatan bias gender yang terkandung dalam materi ajar maupun proses pembelajaran agama dapat dikatakan jauh dari sasaran ideal untuk menciptakan keharmonisan relasi antar manusia.

Karena, menurut Abdullah (2001) maupun Fakih (1997) pemilahan sifat dan peran perempuan - laki-laki dapat mengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasi yang berlanjut pada ketidakadilan gender, marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, steriotyp jenis kelamin, beban kerja lebih berat dan kekerasan terhadap perempuan.

Karenanya, pendidikan agama yang di dalamnya mengandung muatan doktrin dapat dikatakan memiliki peran yang strategis untuk membangun keadilan gender, sehingga

(27)

pembenahan kesadaran para guru tentang pendidikan adil gender dalam pendidikan agama adalah sesuatu yang mendesak dilakukan.

Definsi tentang kebudayaan dikemukakan oleh Suparlan (1995) sebagai sistem ide bersama yang dipakai pedoman dalam kehidupannya. Selain itu, Koentjaraningrat (1990) secara lebih jelas menyatakan bahwa kebudayaan meliputi keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya yang kemudian dijadikan milik bersama melalui proses belajar. Gender yang merupakan pemilahan peran antara laki- laki dan perempuan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari budaya tersebut, karena gender mencakup gagasan, perlakukan, dan bahkan teknologi yang bias gender.

Gender secara leksikon merupakan identitas atau penggolongan gramatikal yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada kelompok – kelompoknya. Secara terminologi gender digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual (Illich,1998:43-58). Perbedaan yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi, media massa, mode, pendidikan, profesi, alat-alat produksi, dan alat rumahtangga (Dzuhayatin,1998:11).

Secara sederhana dan umum, gender diartikan berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan ciri biologis manusia yang diperoleh sejak lahir sehingga secara biologis dibagi menjadi jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan ciri fisik yang berbeda. Laki- laki memiliki penis, jakun, dan mereproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, sel telur, serta air susu. Ciri biologis ini akan melekat selamanya dan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan gender merupakan ciri yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin (Fakih,1997; Saptari dan Holzner,1997).

Istilah Feminitas dan Maskulinitas yang berkaitan dengan istilah gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan prilaku yang secara kompleks telah dipelajari seseorang melalui pengalaman sosialisasinya. Contohnya: di lingkungan budaya kita, sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi dan senang melayani kebutuhan orang lain dianggap sebagai karakteristik yang positif dari feminitas (Sadli dan Soemarti Patmonodewo,1995:70).

Prilaku tersebut diperkuat dengan cara anak perempuan didandani, mainan yang dibelikan untuknya, dan diberinya peringatan-peringatan bila berprilaku yang oleh lingkungannya dianggap tidak feminin, sebagai anak perempuan ia belajar sifat-sifat yang dianggap pantas sebagai perempuan.

(28)

Peran gender perempuan dan laki-laki merupakan pola prilaku yang ditentukan bagi seseorang yang mengisi peran seksual sesuai dengan lingkungan budaya, tingkatan sosial ekonomi, umur, agama dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya Bali, pola pendidikan untuk anak laki-laki berbeda dibandingkan dengan anak perempuan. Para ibu selalu menonjolkan sifat tertentu dalam kegiatan hidup sehari-hari. Yang ditonjolkan adalah kerajinan, dan kesediaan untuk melayani keluarga lelakinya, ayah, kakak atau adik lakinya seperti pernyataan yang sering muncul sebagai berikut.

Belajarlah dan bekerjalah rajin-rajin. Agar jangan nanti dimanapun kau ’ngayah’

(istilah Bali untuk pelayanan) kamu dipergunjingkan sebagai pemalas, hanya tau makan tidur hingga mengurangi kekayaan-harta suamimu. Itu akan merupakan hinaan terbesar terhadap orang tuamu yang dianggap tidak bisa mendidik anak. Tetapi lebih parah ialah sikap malas dan benalu itu menyebabkan kemudian kamu menjelma lagi sebagai budak kerabat suami atau dalam kedudukan yang lebih rendah dari mereka.

Sebaliknya usahakan agar kamu menjadi pihak yang ’memberi’ dan bukan

’menerima’ (Oka,1992:60).

Pola penanaman nilai semacam itu, yang didengar sedari kecil oleh si gadis niscaya akan menanamkan ingatan bahwa memang perempuan dilahirkan untuk meladeni kaum laki-laki saja. Mudah dimengerti bahwa ’conditioning’ seperti ini lambat laun perempuan menerima pola demikian seakan-akan itu merupakan kodrat agama yang tidak usah dipertanyakan lagi.

Padahal sifat yang dikontruksi secara sosial dan kultural dapat dipertukarkan. Maksudnya, laki-laki dapat memiliki sifat lembut, keibuan dan emosional. Sebaliknya, perempuan bisa bersifat kuat, rasional dan perkasa. Pertukaran sifat atau ciri tersebut tergantung jaman, latar budaya, maupun stratifikasi sosial yang mengitarinya.

Dalam perspektif teori ada beberapa teori dasar yang sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan berikut ini.

a. Teori Nature. Teori ini menegaskan bahwa kodrat fisik yang berbeda antara perempuan dan laki-laki berpengaruh pada kondisi psikis masing.- masing.

Perempuan dengan kodrat melahirkan berakibat berkembangnya perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang. Sebaliknya laki-laki dengan kodrat fisik yang kuat berdampak pada perangai psikologis tegar dan kuat sehingga dikontruksi melindungi pihak yang lemah yaitu perempuan (Budiman,1985:1-14).

Dalam hubungan ini Sanderson (1995:411) menegaskan bahwa perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin.

b. Teori Nurture atau Kebudayaan. Teori ini merupakan kebalikan dari teori nature di mana faktor biologis bukanlah menjadi penyebab keunggulan laki-laki atas perempuan namun lebih disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing.- masing (Sanderson,1995:409). Bahkan menurut Budiman (1985:4)

(29)

penggolongan manusia atas perempuan dan laki-laki merupakan tindakan yang direncanakan atau dikonstruksi secara budaya.

c. Teori Psikoanalisis. Teori ini berpangkal pada penis envy (iri kepada kelamin laki- laki). Anak perempuan ketika melihat kelamin anak laki-laki saudaranya atau teman bermainnya tampak sebagai sesuatu yang besar sehingga mereka menjadi sadar bahwa apa yang mereka miliki adalah sangat kecil sehingga sejak saat itu mereka menjadi korban perasaan iri hati untuk memiliki kelamin seperti yang mereka lihat milik anak laki-laki. Dari sini anak perempuan mengembangkan perasaan rendah diri seumur hidup.

d. Teori Fungsionalisme Struktural. Menurut teori ini, penyimpangan yang melanggar norma akan menimbulkan gejolak. Jika terjadi gejolak, maka masing-masing bagian akan berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.

Oleh kerena itu, integrasi dipandang fungsional, sedangkan konflik ditinggalkan.

Dengan demikian, pemilahan peran laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini, merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi harmoni masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985).

Mengacu kepada teori tersebut di atas kajian tentang gender berimplikasi pada munculnya dikotomi sifat maskulin-feminin; peran domestik dan publik; posisi mendominasi dan tersubordinasi. Menurut Widy N (2004) walaupun perempuan dan laki-laki dibentuk secara berbeda, maka tidak seharusnya bahwa perbedaan tersebut menjadikan keduanya dipisahkan secara kontras bahkan dipertentangkan. Satu hal yang harus disadari bahwa keberadaan nilai- nilai yang berbeda adalah saling melengkapi satu sama lain.

Pluralisme dan Pluralitas adalah dua kata yang sering dipakai secara bergantian tanpa ada penjelasan tentang apakah dua kata ini mempunyai arti yang sama atau berbeda. Ada kalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai arti yang sama, yaitu keadaan yang bersifat plural, jamak dan banyak. Hanya saja, menurut Noer (2005:872) pluralisme dalam konteks pendidikan agama bukanlah hanya sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak namun adalah suatu sikap yang mengakui, dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak itu.

Pendidikan agama mempunyai tempat yang amat strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak. Menurut Soedjatmoko (1984) semua pendidikan bertugas membina manusia susila, manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ma’arif (2005) bahwa abad ini sebagai abad sumberdaya manusia (SDM), yang menuntut manusia untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dengan kecerdasan tinggi, yang bereteknologi dan berprilaku produktif tinggi. Semua orang secara individual atau pun bersama-sama dalam ikatan organisasi dituntut untuk belajar terus menerus dalam proses interaktif yang bermutu. Dengan

(30)

kata lain, dalam era globalisasi saat ini setiapindividu dituntut untuk mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk dan secara spritual dapat memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan agama, etnis, dan kelas sosial serta gender.

Untuk merealisasikan pendidikan agama berwawasan multikultur/plural, maka pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya. Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup secara refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Hamid (2000) menyarankan dalam pengembangan kurikulum hendaknya dilihat kurikulum sebagai proses yang memperhatikan hal-hal yaitu : (1) posisi siswa sebagai sujek dalam belajar; (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya; (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah kultur siswa ; (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

Semangat yang mencuat dalam fungsi agama menurut Sumartana (1997) adalah agama selaku kekuatan kohesi sosial di masyarakat majemuk sehingga agama bisa menjadi kekuatan moral transformatif yang peka terhadap ketimpangan maupun ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat bawah. Dalam konteks ini ketimpangan dan ketidakadilan gender yang muncul dalam dunia pendidikan menjadi relevan untuk dibenahi melalui kekuatan agama dalam lingkup pembelajaran sehingga dapat ditekan bias-bias gender dalam pembelajaran agama.

Peggy Riehl sebagaimana dikutif oleh Baidhawy (2002:91) menawarkan beberapa upaya pendekatan anti bias yang dapat diterapkan dalam pengajaran antara lain.

2 Perhatikan semua isu bias kapan dan di mana pun anda berada. Bias bisa dijumpai dalam surat kabar, televisi,bus, atau jalan menuju tempat kerja atau sekolah;

3 Cermin harga diri. Setiap siswa membutuhkan harga diri yang positif, jadikanlah kelas sebagai tempat yang aman dalam dunia yang sedang dirundung perselisihan;

4 Jendela menuju keragaman dan keseimbangan. Semua siswa mengalami keragaman karena mereka dari dunia yang berbeda;

5 Perlu ada penghargaan kultural, akurasi kesejarahan dan non steriotip

6 Berpikir kritis dan aktivisme untuk menjadikan anak – anak agar kuat dan terampil menilai dunia demi keragaman

Selain itu, Kuntowijoyo (1997:6) menambahkan fungsi agama yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang multikultur yaitu social solidarity, yaitu berfungsi dalam membentuk komunitas. Menurut Baidhawy (2002:97) pendidikan agama berwawasan multikultur perlu memberi penguatan mengenai keadilan gender antara laki-laki dan

(31)

perempuan melalui pendekatan teologis dan legal formal. Ada banyak tafsir terhadap teks- teks suci keagamaan yang mengandung mysogini, yakni ideologi kebencian terhadap kaum perempuan.

Ideologi gender yang berkembang dalam masyarakat multikultur/pluralisme yang menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan maupun ketimpangan, dalam perspektif agama dapat dikaji ulang karena mendasarkan atas fungsi agama sebagai kritik sosial dapat dibangun wacana baru maupun komunitas yang berkeadilan gender. Dunia sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang berperan untuk membangun komunitas baru yang bisa membebaskan manusia dari segala keterbelakangan.

Sesuai dengan ajaran agama Hindu gender bukan merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Agama Hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia diperlakukan sama dihadapan Tuhan sesuai dengan dharma baktinya. Untuk memahami hakekat perempuan dalam kitab suci agama Hindu sangat terkait dengan mite penciptaan alam menurut agama Hindu. Di dalam mite itu dijelaskan bahwa Brahma, pencipta alam dipandang sebagai laki-laki sekaligus perempuan. Brahma membagi dirinya menjadi dua, sebagai Purusha (laki-laki) dan sebagian yang lain Prakriti (perempuan). Di dalam kitab Manavadharmacastra I.32 dijelaskan bahwa : ”Dengan membagi-bagi dirinya sendiri Tuhan menjadikan Perempuan dan Laki-laki”. Rujukan yang termuat dalam kitab ini memperjelas bahwa laki-laki (purusha) dan perempuan (prakriti) merupakan emanasi langsung dari jasad Tuhan sendiri, maka perempuan merupakan bagian dari kekuatan Tuhan yang asli, yang berarti kekuatan perempuan adalah kekuatan Tuhan. Dengan demikian secara esensial terdapat kesamaan spiritual. Secara aktual, purusha dan prakerti merupakan pasangan yang ideal, dalam diri prakriti tersimpan potensi feminin, akan tetapi feminitas tersebut tidak aktual tanpa kerjasama dengan purusha (Dahlan,1992:72).

Selain itu, dalam hukum agama Hindu tidak dikenal adanya manusia kelas satu, dan manusia kelas dua, seperti yang tercantum dalam Manu Smrti Buku III ayat 55 Manavadharmasastra, yang artinya : ”Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah, kakak, suami dan ipar – ipar. Berdasarkan ayat ini kedudukan perempuan dalam hukum Hindu sangat diistimewakan dan kata harus dihormati mempunyai arti wajib hukumnya bagi laki-laki mengutamakan perempuan (ini merupakan materi pokok penyadaran gender).

Lebih jauh lagi hukum agama Hindu tidak membenarkan meminggirkan peranan perempuan dalam kehidupan beragama, berbanagsa dan bernegara, seperti yang disebut dalam Manu Smrti Buku III ayat 57 Manavadharmasastra (Pudja, G dan Sudartha,1981) yang artinya.

(32)

Di mana warga perempuan hidup dalam kesedihan karena dipinggirkan oleh laki-laki, keluarga/negara itu akan cepat hancur, tetapi di mana warga perempuan tidak menderita/tidak bersedih karena diperlakukan sejajar oleh laki-laki, keluarga/negara itu akan selalu bahagia dan sejahtera (Materi pokok penyadaran gender).

Beberapa terjemahan sloka kitab Manavadharmasastra menurut Pudja, G dan Sudartha (1981) memberi gambaran tentang kedudukan perempuan di dalam agama Hindu dalam posisi terhormat sebagaimana kutipan berikut ini.

Manavadharmasastra III 55-58

”Perempuan harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suami dan ipar- iparnya, jika menghendaki kesejahteraan”

”Di mana perempuan dihormati, di sanalah para dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun dalam keluarga itu akan berpahala”.

”Di mana warga perempuannya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi di mana perempuan itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia”.

”Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kasar, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”.

Di dalam kitab suci Weda dinyatakan tentang peran sosial laki-laki dan perempuan sebagai Ardha Nara Isvara artinya antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang saling isi mengisi. Gender dalam agama Hindu, diartikan merupakan hubungan sosial yang membedakan prilaku antara perempuan secara proporsional menyangkut moral, etika dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan untuk berperan dan bertindak sesuai dengan ketentuan moral, etika dan budaya di mana mereka berada.

Gambar

Gambar 8.1 : Alir Kegiatan Pendidikan Adil Gender  Keterangan:
Tabel 2.1 Permasalahan Guru Agama Hindu dan Alternatif Pemecahan
Tabel  3.1 Tingkat  Pemahaman  Guru  Agama  Hindu  di  Kec.  Sukasada  Tentang  Konsep Gender dan Pemanfaatannya dalam Pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

Berlo juga bersifat heuristik ( merangsang peneliti ), karena merinci unsur-unsur penting dalam proses komunikasi. Model ini misalnya dapat memandu anda untuk

Gambar 10 pada dasarnya memberikan informasi bahwa dalam mencari pekerjaan untuk alumni Fakultas Ekonomi Bisnis Program Studi S1 Manajemen Universitas Lampung

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun perkawinan beda agama telah mendapat izin pengadilan dan dicatatkan pada KCS, namun, persoalan ini belum jelas dari segi kepastian

Rekor [23 tahun] tumbang merupakan tajuk berita yang memberitakan kemenangan Suryo Agung Wibowo di final lari 200 m SEA Games XXIV, sama dengan tajuk berita (53). Seharusnya

189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Pengembangan Modul Pembelajaran Fisika Berbasis Problem Based Learning

Jokainen tarvii just ehkä niinku vähän niitä omantasosia tehtäviä että sekään se lahjakkaiden ryhmä ei oo sellanen mikään niinku yksi yksittäinen ryhmä et ne pystyis