• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Karakteristik Responden

5.2.1 Pengetahuan Responden Tentang Gizi

Berdasarkan tabel 4.4. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden yang tidak tahu tentang pengertian gizi buruk. Sedangkan responden yang tahu tentang gizi buruk hanya sedikit. Temuan ini membenarkan bahwa wajar saja sebagian besar balita di daerah ini mengalami gizi buruk karena dilandasi oleh mayoritas orangtua tidak mengetahui tentang gizi buruk. Menurut Green (1980) yang dikutip oleh Sarwono (2003), bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh pengaruh latarbelakang pengetahuannya.

Orangtua membiarkan saja ketika berat badan anak balita tidak sesuai dengan tinggi badan atau tidak sesuai menurut umur jika dinilai secara klinis. Mereka lebih cenderung berpendapat dan yakin jika balita yang kurus kering itu karena kurang nafsu makan, nanti ketika anak balita mereka sudah berumur lebih dari umur balita dengan sendirinya berat badannya akan bertambah seiring dengan pertambahan usianya.

Berdasarkan tabel 4.4. di atas diketahui sebagian besar responden tidak tahu tentang manfaat makanan bergizi, sedangkan hanya sedikit responden yang mengetahui manfaat makanan bergizi. Padahal dari temuan ini bahwa ketika orangtua tidak mengetahui betapa pentingnya manfaat dari makanan yang bergizi yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan badan anak balita, sehingga orangtua tidak memperhatikan pola makan anaknya. Disini yang terjadi adalah anak-anak

balita hanya diberikan makan nasi saja dengan menu kawan nasi seadanya seperti cukup dengan garam,ditambah kecap sesuai dengan selera si anak. Akibanya anak balita menderita gizi buruk banyak ditemukan di daerah ini, yang disebabkan karena faktor responden yang tidak memahami dan tidak memperhatikanan makanan balita yang bergizi. Hal inilah yang sesuai dengan pendapat Soekidjo (2003) yang dikutip oleh Nurasiyah (2007) bahwa memahami dapat diartikan suatu kemampuan seseorang untuk menjelaskan secara benar tentang sesuatu obyek yang diketahuinya dan dapat menginterpretasikan sesuatu materi tersebut secara benar.

Makan nasi seadanya akan berpengaruh pada tumbuh kembang badan balita, sebagai mana menurut teori Jeliffe yang dikutip oleh Supariasa, (2002) pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai dengan remaja. Jadi pengetahuan orangtua tentang makanan bergizi sangatlah perlu untuk menumbuh kembangkan anak balita, karena pada masa inilah pertumbuhan badan anak berkembang dengan cepat. Jika asupan makanan kedalam tubuh balita kurang mengandung protein dan zat gizi yang baik maka akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan tabel 4.4. di atas bahwa hasil temuan di lapangan ternyata umumnya orangtua tidak mengetahui ciri-ciri anak balita yang menderita gizi buruk. Hanya sebagian kecil saja responden yang mengetahui ciri dari gizi buruk pada anaknya. Ini adalah sebuah hal yang fantastis sekali, sebenarnya angka gizi buruk di kabupaten Abdya jika umumnya orangtua mengetahui bagaimana ciri gizi buruk itu yang sebenarnya, dimungkinkan di kabupaten Abdya tidak banyak anak balita menderita gizi buruk. Karena sebagian daerah pedesaan sudah memadai fasilitas

kesehatannya. Kemudian secara dini pulalah masyarakat mengupayakan agar anak balita mereka pulih dari gizi buruk.

Berdasarkan tabel 4.4. di atas bahwa umumnya responden mengetahui manfaat ASI untuk anak balita, sedangkan Sebagian kecil responden yang tidak mengetahui manfaat dari ASI. Namun hasil temuan di lapangan umumnya mereka orangtua memberikan ASI kepada anak balita hanya sampai setahun tidak sampai 2 tahun hal itu karena sebagian besar orangtua miskin dan bekerja keras sehingga ASI yang tersedia kekurangan akhirnya orangtua balita mencari jalan keluar yang murah dengan memberikan makanan pendamping ASI pisang awak dan bubur nasi. Padahal sebaiknya anak yang berumur 0 bulan hingga 6 bulan belum baik di berikan makan pendamping ASI.

Menurut Masoara (2002) yang dikutip oleh Nurasiyah (2007) bahwa ASI dan kolesterum adalah makanan yang terbaik bagi bayi, terutama untuk bayi usia 0 sampai usia 6 bulan pertama harus diberikan ASI saja, dan setelah itu di berikan makanan disamping ASI yang kuantitas dan kwalitasnya baik dan di teruskan pemberian ASI sampai umur anak berumur 2 tahun.

Berdasarkan tabel 4.4. di atas diketahui bahwa sebahagian besar responden mengetahui tentang manfaat puskesmas / posyandu dan hanya sedikit responden tidak mengetahui fungsi puskesmas / posyandu. Namun dilapangan orangtua hanya sekedar mengetahui saja tentang manfaat puskesmas, sementara ketika anak balita mereka kurus merasa malu membawanya kepuskesmas. Kedaan ini menimbulkan asumsi peneliti karena faktor gengsi sosial yang masih melekat pada masyarakat setempat, dimana malu diketahui dan dibicarakan oleh orang lain

terhadap anak balitanya yang berbadan kurus takut dikatakan tidak diberi makan serta faktor yang dianggap kurangnya berat badan anak balita itu bukan penyakit, padahal sangat berpengaruh pada tingkat kecerdasan sianak itu sendiri untuk masa sekarang dan masa mendatang.

Menurut Soekidjo (2003) pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Jadi pengetahuan responden di Kabupaten Aceh Barat Daya masih kurang sekali terutama masalah gizi buruk berada pada tingkat kategori yang rendah. Padahal pengetahuan itu penting sekali bagi orangtua yang anaknya menderita gizi buruk, sehingga anak balitanya dapat keluar dari permasalahan kesehatan gizi.

5.2.2. Sikap Responden

Berdasarkan tabel 4.6. diketahui bahwa sebagian besar orangtua berada pada kategori sikap yang rendah. Dari temuan inilah sehingga sikap orangtua terhadap anak balita itu kurang baik, alasannya terjadilah gizi buruk pada anak balita mereka dilapangan.

Umumnya orangtua di daerah penelitian mempunyai sikap yang kurang setuju memberikan makanan bergizi dan makanan tambahan kepada anak balita, akibat sikap responden seperti itu akibatnya anak-anak mereka mengalami gizi buruk. Pada hal makanan bergizi itu sangat berguna untuk kecerdasan otak anak dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan badan pada usia balita.

Begitu juga anak yang kurang nafsu makan, anak yang karena sakit-sakitan mayoritas orangtua mempunyai sikap yang rendah dimana anak tidak mau dibujuk dan dicari tau apa solusi yang tepat agar anak mau kembali makan dengan seimbang.

Sikap itu tidak pula di ikuti dengan memberikan vitamin atau jamu-jamu tradisional yang murah dan mudah di dapat untuk diberikan kepada anak, agar menambah kembali selera makan anak balita. Sehingga keadaan inilah balita – balita di daerah penelitian banyak yang mengalami gizi buruk.

Gizi anak penting untuk diperhatikan dengan cara memberikan makanan yang berprotein tinggi baik itu ikan, telur, kacang hijau dan memberikan makan tambahan yang bervariasi antara lain buah – buahan yang mudah didapatkan. Sebagian orangtua tidak setuju seperti diharapkan diatas, kenyataannya anak balita hanya diberikan makan nasi yang merupakan pangan yang menjadi andalan dalam tradisi dan keyakinan secara turun temurun di daerah penelitian. Disamping itu juga karena adanya faktor ekonomi yang melilit keluarga yang menyebabkan orangtua bersikap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Hal itu sesuai Menurut pandangan Alfort (1945) sebagaimana dikutip oleh Yani (2008) bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen yaitu kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu obyek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.

Soekidjo (2003) mengemukakan bahwa sikap seseorang itu di pengaruhi oleh kadar pengetahuannya dimana pengetahuan yang ada pada individu mempengaruhinya untuk bersikap dan bertindak . Menurut asumsi peneliti pengetahuan orangtua rendah di daerah penelitian sehingga bersikap rendah juga pada tatanan memberikan makanan bergizi terhadap anak, sehingga yang menyebabkan gizi buruk tidak dapat dipungkiri di daerah ini. Ternyata sikap responden di daerah

penelitian tidak sesuai dengan harapan dalam tiori Green di dalam predisposing factor.

5.2.3. Tradisi Responden

Berdasarkan Tabel 4.8. di atas diketahui sebagian besar responden mengakui tidak ada tradisi yang melarang untuk makan-makanan tertentu sedangkan hanya sebagian responden yang mengakui ada tradisi di tempat responden yang melarang makan-makanan tertentu. Bahwa dari hasil temuan dilapangan kendatipun tradisi setempat sebagian kecil yang mengakui ada larangan makan ikan tertentu, namun ternyata tradisi setempat masih mempengaruhi sebagian orangtua sehingga adanya pengaruh tradisi tersebut terhadap balita yang menderita gizi buruk.

Depkes RI (2003), mengemukakan ada tradisi dalam keluarga yang lebih memungkinkan seseorang berperilaku tidak sehat dalam hal memberikan air susu ibu pada bayi dan makan tambahan, selain air susu ibu secara dini karena menganggap bahwa bayi akan merasa lapar dan cengeng bila hanya diberikan air susu ibu saja. Menurut asumsi peneliti bahwa adanya tradisi larangan makan ikan berlebihan sebagian besar responden mengakui ada tradisi larangan memakan ikan berlebihan yang akibatnya diyakini oleh mereka bisa mengakibatkan cacingan dan perut buncit. Mereka mengakui adanya faktor lain seperti keterdesakan ekonomi sehingga terpaksa merujuk pada anjuran nenek moyang mereka agar membatasi mengkonsumsi ikan berlebihan kendatipun pekerjaan mereka umumnya nelayan dan petani.

5.3 Faktor Enabling 5.3.1. Ketersediaan Pangan

Berdasarkan tabel 4.10. di atas diketahui bahwa ketersediaan pangan responden di daerah penelitian ditemukan mayoritas mengakui adanya ketersediaan pangan dan hanya sebagian kecil yang mengakui tidak ada ketersediaan aneka ragam pangan. Pangan yang di maksud oleh responden tersebut umumnya mengakui nasi. Mereka meyakini walau banyak makanan lainnya namun tetap mereka menganggap belum makan dan tidak kenyang, sehingga harus makan nasi dulu baru dianggap sudah makan. Jadi jika ketersediaan pangan hanya nasi saja ini tentu nilai gizi dan proteinnya masih kurang asupannya dalam tubuh balita akibatnya anak menderita gizi buruk.

Memberikan makanan tambahan seperti roti, susu dan kacang hijau di akui orangtua ada diberikan untuk anak balita mereka, akan tetapi tidak di berikan secara rutinitas harian. Memberikan susu dan makanan tambahan lain pada anak mereka dilakukan bersifat bulanan, artinya jika ada bantuan pemerintah setempat maka baru diberikan aneka ragam makanan pada anak balita mereka, sedangkan jika tidak ada bantuan tidak diberikan apa-apa selain nasi dan pisang awak.

Menurut Sunita (2004) konsep penganeka ragaman pangan adalah ada upaya untuk menganekaragamkan pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi, pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk. Menurut asumsi peneliti pola konsumsi masyarakat terhadap aneka ragam pangan belum ditemukan pada daerah penelitian, sebab umumnya pengetahuan dan penghasilan responden yang masih minim, sebagaimana tergambar di atas.

Pada umumnya responden di kabupaten Abdya ada mengkonsumsi daging namun tidak bersifat rutinitas pula akan tetapi bersifat insidental, pada saat ”Meugang” menghadapi bulan Ramadhan dan hari raya Qurban. Selain hari meugang tersebut anak-anak balita tidak pernah mengkonsumsi daging, itupun karena sudah merupakan waktu yang sakral dan mereka sudah mengumpulkan uangnya untuk membeli daging sejak setahun sebelum datangnya hari yang skral tersebut. Disamping itu orangtua hanya memberikan makan yang enak-enak pada anak balita mereka dengan pada saat anak balita mereka sudah jatuh sakit bukan pada saat gizi buruk. tradisi seperti inilah sehingga sebagian anak balita menderita gizi buruk dengan hanya mengandalkan nasi sebagai pangan tradisinya. Tradisi responden memang sesuai dengan teori Green namun karena keterbatasan latarbelakang pendidikan, pengetahuan dan kekurangan ekonomi keluarga sehingga dalam pelaksanaannya dilapangan tidak sesuai dengan teori Green, dimana responden sudah mentradisi hanya memakan nasi dan lauk seadanya.

Dokumen terkait