• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Hasil

4.1.3 Interpretasi Penonton

4.1.3.3 Pengetahuan Seputar Konglomerasi Media

Pada bagian ini peneliti akan mendeskripsikan pengetahuan informan seputar wacana konglomerasi media yag berkaitan erat dengan film Di Balik Frekuensi. Dari hasil wawancara dengan keenam informan, tampak bahwa wacana konglomerasi media belum banyak diketahui sebelumnya. Hal ini terlihat pada pernyataan yang diutarakan beberapa informan yang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia media, baik secara teori maupun praktik.

Berdasarkan pengertiannya secara epistimologi konglomerasi media merupakan kesatuan yang terjadi dari bermacam-macam unsur. Berikutnya secara teoretis John Vivian (2008) mengartikan pula bahwa konglomerasi media merupakan kegiatan menggabungkan perusahaan-perusahaan menjadi perusahaan besar. Sejalan dengan itu, film Di Balik Frekuensi telah memberikan arahan yang tepat terhadap pengertian konglomerasi media yang lahir dari sistem oligopoli. Hal itu tergambar pada ilustrasi gurita yang memiliki banyak kaki dan hanya satu kepala. Ilustrasi ini mengartikan bahwa dari sekian banyak perusahaan media, pemiliknya hanya terdiri dari sejumlah kaum elite yang jumlahnya tidak banyak.

Dari hasil wawancara keenam informan, peneliti membagi informan kedalam dua kelompok dengan masing-masing diisi oleh tiga informan. Pada kelompok pertama diisi oleh informan yang baru mengetahui wacana konglomerasi media setelah menonton film Di Balik Frekuensi. Satu diantara tiga informan tersebut bahkan tidak dapat menyimpulkan istilah konglomerasi media berdasarkan pendapatnya. Pada kelompok kedua diisi oleh tiga informan yang sudah cukup memahami pengertian konglomerasi media dan hakikatnya yang terjadi dalam sebuah realitas sosial. Satu diantaranya sudah mengenal persis konsep konglomerasi media tidak hanya pada defenisi namun juga pada bias dan implikasinya.

Adapun kelompok pertama diisi oleh informan IV, V, dan VI. Dari ketiganya, hanya informan VI yang masih belum mengerti bagaimana menyimpulkan pengertian konglomerasi media menurut pandangannya sendiri.

Informan I : “Memperkaya diri melalui perusahaan media yang mereka miliki.” (Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014) Informan V : “Yang saya tangkap dari film itu konglomerasi media itu

satu orang memiliki banyak media.” (Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014)

Informan VI : “Apa ya.. gak tahu. Tapi kayak memiliki lebih dari satu channel media, gitu ya.” (Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014)

Berikut kelompok kedua yang diisi oleh informan I, II, dan III. Dari ketiganya, hanya informan II yang memberikan defenisi paling mendekati kepada pengertian yang sebenarnya.

Informan I : “Konglomerasi media sih kalo menurut aku (ini bener atau salah ya) mm gini ya. Ada beberapa orang yang dia punya power dan dia megang media itu. Dan dia jadi kayak semacam tokoh sentral gitu di medianya. Jadi ya itu sahamnya banyak yang punya dia. Dia punya wewenang ngapa-ngapain di media itu gitu. Jadi ya sesuka hati dialah gitu mau ngapain aja.” (Wawancara: Senin, 21 Juli 2014) Informan II : “Dia kayak sekumpulan media, himpunan media dari

macem-macem platform ya kan, cetak, broadcast terus online segala macem dan itu dikuasai satu orang dan berikut implikasinya.” (Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014) Informan III : “Kepemilikan tunggal media yang banyak. Maksudku ada

sekelompok media yang hanya dimiliki orang tertentu, gitu.” (Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014)

b) Fenomena Konglomerasi Media Massa di Indonesia

Pada tahap ini, peneliti perlu mendalami pengetahuan informan dalam melihat fenomena konglomerasi media massa di Indonesia saat ini. Tidak hanya dari segi konsentrasi kepemilikan media saja, namun juga dampak yang mungkin mereka nilai dalam sisi kehidupan masyarakat sebagai konsumen media.

Informan I menilai bahwa fenomena konglomerasi media di Indonesia sedang menjadi peristiwa yang sedang mencuat di dunia media saat ini. Ia beranggapan bahwa pemilik modal lebih mudah mengelola industri medianya dalam hal bisnis. Namun disisi lain, yang terlihat saat ini adalah pemilik media rata-rata sudah memiliki kepentingan politik di baliknya. Seperti yang dijelaskannya dalam hasil wawancara bahwa kondisi ini akan semakin meresahkan jika masyarakat Indonesia belum sepenuhnya sadar dan melek media. Bahkan menurutnya sampai pada tingkat sarjana banyak pihak yang mudah untuk

disetir. Contoh yang paling terkini yang diberikan oleh informan I adalah kondisi pemilu 2014 yang banyak diwarnai oleh kepentingan politik para pemilik media.

“Meresahkan. Karena masyarakat Indonesia yang paham literasi media itu bener-bener minim, gitu. Gak banyak yang aware, bahkan untuk tingkat sarjana pun yang kita anggap sudha berpendidikan tinggi masih banyak yang gak aware sama konten media, masih gampang disetir. Karena warga Indonesia belum cerdas jadi meresahkan gitu apalagi kaya kondisi pemilu kemarin. Gak nyaman sekali nonton televisi, gitu.” (Wawancara: Rabu, 13 Agustus 2014)

Infroman III dan VI melihat adanya kecenderungan yang sama mengenai konglomerasi media di Indonesia saat ini, yakni tidak hanya mngejar keuntungan dari berbisnis saja namun sudah menyasar kepada kepentingan yang lebih luas seperti kekuasaan. Lebih spesifik informan VI menyatakan bahwa fenomena konglomerasi media massa di Indonesia akan sangat mengkhawatirkan jika pemiliki modal industri media massa haya menyuarakan kepentingan golongan-golongan tertentu saja. Hal tersebut juga hampir sama dengan pandangan informan IV dan V mengenai fenomena konglomerasi media, yakni bahwa berita yang ada di televisi saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh uang sebagai bentuk dampak dari konglomerasi media yang mengutamakan kepentingan pemilik media.

Berbeda dengan tanggapan yang diberikan oleh informan II. Menurutnya fenomena konglomerasi media adalah suatu hal yang bisa disebut dengan istilah niscaya, hampir pasti dan tidak ada masalah. Ia menilai tidak ada masalah karena tidak ada regulasi yang melarang orang untuk memiliki usaha media lebih dari satu. Tambahnya lagi konglomerasi merupakan salah satu kegiatan yang digdaya untuk meperebutkan iklan.

“Menurut aku sih konglomerasi media itu kayak keniscayaan. Tau gak? Memang.. keniscayaan itu kayak gini emang hampir pasti gitu dan gak ada masalah sebenernya. Tapi orang.. gak ada masalah karena gini, tidak ada dasar hukum yang melarang itu. Ya namanya orangnya juga berbisnis. Apalagi sekarang, kalau kita mau sukses di bidang media kita harus kuat. Kalau main sendiri-sendiri aja mati kita....

....Dan itu juga misalnya konglomerasi ini sangat digdaya untuk persaingan memperebutkan iklan, gitu dia. Karena pengiklan sekarang kan lebih suka misalnya dia memasang iklan satu paket. Misalnya “aku mau pasang iklan di lima kota besar, kasih dong diskon”.” (Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014)

c) Konglomerasi Media dalam Film Di Balik Frekuensi

Dari hasil wawancara, peneliti menemukan bahwa penggambaran konglomerasi media menurut keenam informan sudah bagus dan apa adanya. Baik dari tokoh yang ditampilkan maupun kasus yang mampu mempresentasikan wajah media saat ini. Seperti yang diutarakan oleh informan I, IV, V, VI bahwa penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi sudah cukup jelas dan memberikan informasi baru terkait siapa-siapa saja pemilik media di Indonesia.

Informan I : “Ya jelaslah. Kadangkan orang yang tadinya gak ngerti setelah nonton itu jadi tau gitu kalo misalnya sebenarnya itu cuma dipegang oleh beberapa gitu. Dan sahamnya itu disitu-situ aja muternya yang sampe ke korannya, onlinenya , radionya. Jadi ya memang cukup jelas sih.” (Wawancara: Senin, 21 Juli 2014)

Informan IV : “Kalau di film ini, itu menjadi satu informasi yang mungkin masyarakat Ind sendiri banyak yang tidak tahu hal tersebut. Mungkin hanya beberapa saja yang mereka tahu, seperti Pak HT pemilik MNC Group, SP pemilik Metro Tv, Media Indonesia. Dan saya sendiri baru tahu kalo pemilik surat kabar yang terkenal disini (red: Kota Pematangsiantar) Metro Siantar itu milik Pak Dahlan Iskan.” (Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014)

Ditambah dengan visualisasi yang menarik, informan III menambahkan bahwa warna konglomerasi media digambarkan dalam dua hal yakni kepentingan bisnis dan kepentingan kekuasaan. Seperti yang dipaparkannya berikut ini:

“Menurutku disitu sangat komplit karena mulai dari isi yang ditampilkan disitu karena ditampilkan beberapa cuplikan beritanya terus ketika produksi bahkan ketika mereka sedang rapat meskipun sedikit candid mereka ngambil gambarnya. Dan menurutku itu sangat menggambarkan sekali, komplit sekali. Mulai dari kalo ditarik dari atas ketika mereka rapat diambil secara candid terus hasil rapat itu dijadikan diproduksi di medianya. Atau si wartawannya ketika ke lapangan abis itu baru ditampilkan ke transisinya, istilahnya.” (Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014) Tapi sedikit berbeda dengan tanggapan yang diberikan oleh informan II saat ditanya mengenai pemusatan kepemilikan media massa. Ia berpendapat bahwa penggambarannya sudah bagus dan memberikan informasi tentang media yang saling berafiliasi ke media lain. Seperti pada paparanya berikut ini:

“Memang betul. Ya, itu kan fakta sih. Malah aku justeru tahu disitu, gitu. Siapa bos-bosnya ini. Apa nama resmi grupnya, aku baru tahu disitu. Dan media ini afiliasinya apa kesini ke sini dan apa ya gak tau lah, aku rasa sih itu betul gitu.” (Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014)

Namun dilain pertanyaan yang masih berhubungan ia menyatakan keraguannya terhadap penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi yang bersifat simplistis. Berikut pernyataannya:

“Menurutku penggambarannya terlalu simplistis. Ya untuk masyarakat awam mungkin ya masih baru atau sebenernya gak baru-baru amat lah ya. Orang udah gampang sekali sekarang “Ah Metro TV itu kan punya Surya Paloh” gampangnya aja orang ngomong kaya gitu. “Kan Tv One itu, janganlah kita nonton tentang Lapindo ini. Ini kan punya Abu Rizal Bakrie, kan gitu” Orang udah tahu sebenernya. Aku pikir kalo penggambaran seperti itu tidak terlalu.. ah ya simplistis yang seperti aku bilang itu ya bisa jadi.” (Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014)

d) Pengalaman Seputar Konglomerasi Media

Dari keseluruhan informan yang diteliti informan V dan VI tidak memiliki pengalaman terhadap konglomerasi media. Hal ini dapat menggambarkan bahwa wacana konglomerasi media belum sepenuhnya banyak dipahami oleh publik.

Meskipun secara sadar ataupun tidak sebenarnya konglomerasi media sudah banyak dirasakan dampaknya oleh konsumen media, baik secara positif maupun negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Informan I memaparkan pengalaman yang ia rasakan dari sisi pihak ketiga. Meskipun secara tidak langsung, ia merasa cukup simpati terhadap pengalaman yang dirasakan oleh teman sekaligus seniornya yang bekerja sebagai wartawan pada salah satu surat kabar harian di Kota Medan. Ia mengutarakan bahwa temannya tersebut sering mengulas berita yang panjang, mendalam, dan biasanya mengkritisi perusahaan tertentu. Namun ketika berita tersebut sampai di meja redaksi biasanya gagal naik cetak atau diterbitkan. Alasan yang paling mencolok adalah karena berita tersebut berpotensi merusak hubungan relasi dengan perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan media bersangkutan. Baik dari segi iklan maupun politik. Informan I menilai hal tersebut justru mengekang idealisme wartawan yang ingin mencoba bersikap independen.

Informan II secara langsung merasakan pengalaman karena memang merupakan bagian dari pekerja yang ada di bawah naungan konglomerasi media. Informan II sudah tujuh tahun bekerja sebagai wartawan di harian Tribun Medan yang merupakan anak cabang dari perusahaan Kompas Media Group. Menurutnya ia merasa lebih nyaman bekerja di perusahaan media tempat dia bekerja saat ini, karena dengan bekerja di bawah naungan konglomerasi media jaminan hidup sudah diakomodir. Berbeda dengan pengalamannya sewaktu bekerja di perusahaan media yang lebih kecil, dimana tidak ada jaminan hak-hak standar seperti, kesehatan.

“Jadi kan gini.. aku masih percaya bahwa jurnalisme yang bagus itu mahal. Jadi, itu membutuhkan sumber daya manusia yang kuat dan punya jaringan yang luas. Aku percaya itu sih. Karena aku pernah kerja di beberapa.. gajinya kecil, baru tumbuh. Aku udah pernah nyoba sih. Masing-masing punya hambatan-hambatan. Jadi media kecil ini misalnya, dia gak bisa memberikan kenyamanan kerja. Mulai dari jaminan kesehatan. Jadi ya apa hak-hak standar itu gak dipikirkan. Jadi kayak ada kesepakatan misalnya “yaudah kalau kau gak mau masih banyak yang mau” kan gitu.. kalau di konglomerasi media itu biasanya udah

diakomodir. Dan kita juga punya kebangaan tertentu. Terutama mungkin ya kaena kompas gramedia. Gramedia itu menurutku termasuk perusahaan bonafit.” (Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014)

Sebagai pendiri radio komunitas, informan III juga memiliki pengalaman unik terkait konglomerasi media. Hal itu ia utarakan pada wawancara kepada peneliti pada hari Kamis, 27 Juli 2014 bahwa ia memiliki jaringan radio komunitasi di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Namun sebelum menonton film Di Balik Frekuensi ia belum memahami arti penting konglomerasi media yang tidak hanya berlandaskan modal saja, tapi juga atas dasar kepentingan. Kemudian film Di Balik Frekuensi seolah memberikan pencerahan kepadanya bahwa selanjutnya ia tidak bisa menangani semua jaringan radio komunitasnya sendirian. Upayanya untuk menghindari pola kepentingan yang secara tidak sengaja akan masuk ke dalam konten radio, ia mulai dengan memotivasi dan mengajak rekannya untuk membangun radio komunitas yang sama. Dalam arti, ia tidak lagi melatih ataupun ikut campur tangan dalam mengurus konten siaran radio.

Berbeda pula dengan pengalaman informan IV dari sisi konsumen media. Ia menyatakan kegusarannya melihat fenomena media yang telah mengarah pada kepentingan pemilik media pada masa Pemilihan Umum Presiden, Juli lalu. Ia melihat ketimpangan media dalam memberikan informasi terkait calon presiden yang maju pada tahun ini. Berdasarkan hasil referensi yang ia kumpulkan ia menemukan bahwa banyak media yang memayungi calon presiden yang bukan pilihannya. Hal ini membuatnya bingung apakah kepentingan di balik itu adalah urusan persahabatan atau malah urusan material. Ia juga menganggap peristiwa ini negatif, karena pada akhirnya calon presiden pilihannya juga melakukan cara yang sama dalam meningkatkan elektabilitas politiknya. Menurutnya ini adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan sebagai konsumen media yang seharusnya dicerdaskan sekaligus dibebaskan dalam memilih.

4.2 Pembahasan

Dokumen terkait