• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis

1. Dari penelitian tentang interpretasi penonton ini, diharapkan dapat mengetahui bahwa proses pemaknaan atau interpretasi terhadap pesan suatu media massa akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama, karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Hal ini dipengaruhi

oleh pengetahuan sosial dan pengalaman budaya yang berbeda-beda dalam diri setiap orang.

2. Peneliti menemukan bahwa interpretais penonton merupakan medan pertandingan makna yang menarik untuk didiskusikan. Interpretasi pembaca merupakan ruang negosiasi, penolakan, persetujuan, pendefeinisian ulang, dan rekonstruksi yang begitu luas dan sangat kaya untuk dijadikan kajian kritis berbagai bidang. Dengan demikian penelitian sejenis perlu dilakukan pada masa mendatang dengan menggunakan paradigma kritis. Tentunya dengan metode dan konteks sosial yang lebih baru di bidang keilmuan.

5.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis

Isi media massa termasuk film dokumenter merupakan representasi realitas sosial. Film dokumenter mencerminkan atau merekam realitas sebagai medium representasi yang nyata sesuai dengan ide pembuat film. Sehingga khalayak disarankan untuk lebih bijak dan aktif dalam memahami isi media agar tidak mudah terprovokasi dengan pesan yang disampaikan.

Faktanya sejauh ini wacana pemusatan kepemilikan media belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Wacana tersebut sebagai salah satu bagian dari pemahaman literasi media patut untuk diketahui banyak pihak agar mampu lebih selektif dan cerdas dalam memilih media dan penggunaannya.

BAB II

URAIAN TEORETIS

2.1Paradigma Kajian

Agus Salim (2001) menyebutkan bahwa secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Khun yang dikenal sebagai tokoh pencetus teori mengenai paradigma. Dimana paradigma diartikan sebagai perangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba: 1990).

Selanjutnya paradigma diartikan sebagai (a) A set of assumptions (seperangkat asumsi) (b) Belief concerning (asumsi yang dianggap benar). Bhaskar dan Roy (1980: 88-90) berpendapat bahwa untuk dapat sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan empirik melalui pengamatan yang tidak terbantahkan, yakni accepted to assume to be true (asumsi diterima untuk menjadi benar). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai A mental window, yang berarti tempat terdapat “frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan. Bogdan dan Biklen (1982: 30) dalam hal ini mengartikan paradigma sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dapat dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian (Moleong: 2000: 8). Dalam paradigma ilmu, sejumlah ilmuwan telah mengembangkan perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi mengenai perangkat ilmu ini telah ada secara sistematis pada abad ke-17, ketika Descrates pada tahun 1596-1950 mengembangkan cara pandang positivisme. Tradisi ini kemudian berkembang berdasarkan aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan paradigma ilmu tersebut.

Disisi lain terdapat perbedaan pemaknaan dalam memahami paradigma. Menurut Ardianto dan Q-Anees dalam buku Filsafat Ilmu Komunikasi,

menggunakan istilah teori dalam bidang komunikasi tidak memadai karena adanya perkembangan mutakhir pada manusia begitu pesat. Mereka sepakat mengartikan perspektif sebagai cara pandang atau cara kita menentukan sudut pandang ketika mengamati sesuatu. Hal ini diperkuat dengan kutipan dalam paragraf berikut:

“.... bilamana seseorang mengamati peristiwa komunikasi, orang tidak memandang apakah orang itu yakin pada teori komunikasi tertentu atau memegang teguh proposisi aksiomatis tertentu dalam benaknya. Yang terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat gerakan dan suara tertentu. Relevansi atau arti dari konsep yang dipergunakan untuk memahami peristiwa komunikatif tersebut. Konsep itu menentukan apa yang relevan dalam peristiwa tadi; dan dalam pengertian ini maka apa yang tidak dicakup oleh orang tadi, dicakup oleh konsep tadi dan dinyatakan sebagai hal yang tidak relevan” (Fisher, 1990: 89)

Becker (Mulyana, 2001: 5) mendefinisikan perspektif sebagai “seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan”; “suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang”; “standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai” (Kriyantono, 2010: 47).

Paradigma dalam penelitian kualitatif digunakan untuk melihat cara pandang peneliti berdasar kualitas-kualitas objek penelitian seperti nilai, makna, emosi manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, simbol-simbol atau artefak tertentu. Kualitas tersebut selanjutnya diteliti melalui pendekatan yang lebih banyak memberikan data yang rinci guna menghindari metode matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu mengandung meaning (makna).

Dalam penelitian kualitatif, hal ini ditandai dari cara pandang seseorang dalam menjawab tiga pertanyaan dasar yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu:

1. Dimensi Ontologi

What is the nature of reality? Artinya dalam dimensi ini seseorang harus mampu menjawab apakah sebenarnya hakikat dari suatu kenyataan? Bagi peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif jawaban dari pertanyaan tersebut diatas adalah satu-satunya kenyataan adalah kenyataan yang dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian.

2. Dimensi Epistimologi

Apakah sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (known or knowable)? Pendekatan kualitatif menjawab ketika peneliti berinteraksi dengan objek yang diteliti, interaksi biasanya dilakukan dengan jarak dekat. Artinya peneliti terjun langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang berkualitas dan mendalam.

3. Dimensi Aksiologi

Bagaimana peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian? Kondisi penelitian kualitatif menjawab sejalan dengan perkembangan jaman yang dapat dilihat dari kebutuhannya. Seperti penggunaan bahasa dalam penelitian yang cenderung menggunakan sudut pandang penulis dan lebih bersifat personal.

Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini. Paradigma ilmu ini adalah: Positivisme, Pospositivisme (yang sekarang dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conventional Paradigm), Konstruktivisme atau Interpretatif, dan Critical Theory (Realism).

Dalam hal ini, peneliti mengambil pendekatan kontrusktivisme atau interpretatif yang merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam kontruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Realitas yang diamatipun tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang karena hubungan antara

pengamat dan objek bersifat satu kesatuan dan saling mempengaruhi, subjektif, dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya.

Menurut Agus Salim (2001: 42-43) secara metodologis, aliran ini menerapkan dua metode dasar dalam penelitian, yakni: Pertama, melakukan identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang per orang. Kedua, mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Interpretivisme pertama kali dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi hermeneutika intelektual Jerman. Tradisi ini dikenal dengan istilah Verstehen dalam bahasa Jerman yang berarti proses aktif memaknai sesuatu yang kita amati seperti teks, perilaku, dan situasi. Teori ini dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang mengkritik empirisme logis. Dalam paradigma interpretivisme, suatu tindakan dapat memiliki banyak arti sehingga makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Untuk itu disimpulkan bahwa interpretasi merupakan suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna (Sendjaya, 2007).

Denzin & Lincoln (2009: 148) menyebutkan bahwa kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi (internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti. Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna. Dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna

dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Ulfa, 2012: 13)

Littlejohn dan Foss dalam Encyclopedia Of Communication Theory (2009: 557-559) mendefenisikan bahwa teori interpretif secara ontologis dan epistemologis merupakan alat yang digunakan dalam penelitian yang peduli untuk memahami bagaimana individu dan kelompok menciptakan makna dalam praktik, komunikasi, dan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Teori interpretivisme juga sangat terkait dan dipengaruhi oleh tradisi filosofis benua lain, yang disebut hermeneutika. Hermeneutika adalah filosofi dari interpretasi dan pemahaman. Hermeneutika merupakan salah satu paradigma yang ingin melihat bagaimana pengalaman, bahasa, dan dialog berkontribusi pada proses interpretasi. Sejarah hermeneutika pertama kali dikenal dari studi yang menafsirkan naskah keagamaan kuno tapi akhirnya dimasukkan (melalui pemikiran Friedrich Schleiermacher dan Hans Georg Gadamer) agenda akademik lainnya yakni, tradisi hermeneutika mulai melihat interpretasi tidak hanya sebagai proses mengungkap makna teks, tetapi juga sebagai proses untuk memahami pengalaman sehari-hari dan rata-rata temuan dari dunia sosial.

Secara luas interpretivist diartikan sebagai berikut:

a. Peneliti yang tertarik terhadap cara, budaya, atau individu menciptakan makna dari tindakan, ritual, interaksi, dan pengalaman mereka sendiri. b. Peneliti yang ingin menafsirkan makna lokal dengan menempatkan

mereka ke dalam sejarah, geografis, lingkungan politik, linguistik, ideologi, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.

c. Peneliti yang melihat makna dari teks dan kode-kode dan aturan di mana mereka bergantung untuk menyampaikan makna

d. Sarjana filsafat yang berorientasi dalam mengeksplorasi ide-ide makna dan interpretasi dari diri mereka sendiri.

Bryman (2008: 16) menjelaskan bahwa pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang

diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Ulfa, 2012: 15).

Dengan kata lain paradigma interpretif melihat kebenaran sebagai suatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisan. Dalam hal ini peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salahsatu partisipan. Pada pendekatan ini setidaknya terdapat lebih sedikit penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang sangat mutalk tidaklah mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti. Seperti yang dikatan oleh Martin Hammersley (1992: 53) mendukung berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka. West & Turner (2009: 76) mengartikan bahwa pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevann dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan harus menyatakan secara jelas kepada pembacanya, karena nilai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Dijelaskan lagi bahwa peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti.

Interpretif memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual.

2. Makna merupakan konsep kunci, dimana pengalaman dipandang sebagai meaning centered (dasar pemahaman makna). Dalam hal ini bahasa menjadi konsep sentral karena dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia (Bungin, 2009: 115).

2.2Analisis Resepsi

2.2.1 Sejarah Perkembangan

Dalam perkembangan media, pembahasan khalayak dan wacana isi media merupakan salah satu hal yang paling umum dan populer diteliti oleh para akademisi. Terutama pada akademisi yang berbasis ilmu komunikasi. Selain karena ranah dan fokusnya, hal yang dilihat adalah bagaimana media mampu menstimuli wacana perbincangan dalam kehidupan masyarakat dalam konteks budaya. Hal ini berikutnya secara khusus menjadi bahan kajian para ilmuwan pada tahun 1980-an di Eropa. Studi diskursus media dan khalayak ini dikenal dengan reception analysis (analisis resepsi). Penelitian ini mempertimbangkan settingcontext historis dan kultural yang mempengaruhi pemaknaan. Sebagai respon dari studi tekstual, penelitian resepsi berpendapat bahwa khalayak media massa harus diteliti sebagai suatu kondisi sosial yang spesifik untuk dianalisis.

Dalam tradisi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa varian diantaranya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary critism, cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen, 1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception analyisis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif. Seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik (Adi, 2008).

Kemunculan reception analysis bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens, melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media. Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah, dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception analysis, makna yang ditemukan

merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.

Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan kemampuannya dalam memaknai teks media. Mereka memilih cara pandang bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah pemaknaan teks media oleh audiens dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti (Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).

Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humanistik, reception analysis menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana praktik kultural audiensnya (Jensen, 1999:137)

Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif khalayak (Fiske, 1987).

Pendekatan ini juga berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif

dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang berbeda pada masing-masing individu secara langsung turut membangun kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000: 268).

Pendekatan ini juga mencoba untuk membuka dan menguraikan pemahaman individu secara nyata, apa yang telah mereka alami dan rasakan. Analisis Resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks. Khalayak belum tentu melakukan pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat didalam teks secara aktif dan dikonstruksikan secara subjektif pula. (Narottama, 2008:5). Biasanya khalayak memproduksi makna pesan berdasarkan pengalaman dan pandangannya selama berinteraksi dengan media

Adalah Morley pada tahun 1980 mempublikasikan Study of

Nationawide Audience kemudian dikenal sebagai pakar yang

mempraktikkan analisis resepsi secara mendalam. Pertanyaan pokok studi Morley tersebut adalah mengetahui bagaimana individu menginterpretasikan suatu muatan program acara televisi dilihat dalam kaitannya dengan latarbelakang sosio kultural pemirsanya. Kajian resepsi sebagaimana dilakukan oleh Morley tersebut melandaskan diri pada pemikiran Stuart Hall, sekarang adalah profesor Sosiologi di Universitas Terbuka, dan merupakan tokoh utama dalam sejarah kebangkitan politik kiri di Inggris di tahun 1960-an dan 1970-an. Hall sendiri mengikuti gagasan Althusser dan berpendapat bahwa media muncul sebagai refleksi atas realitas dimana media itu terlebih dahulu mengkonstruksikannya (Adi, 2008).

Hall memformulasi sebuah cadangan ke bentuk transmisi linear (pengirim – pesan – penerima) dan membuktikkannya dengan melihat

komunikasi sebagai sebuah proses dari produksi makna termasuk konsep semiotik sebagai kode dan tanda yang memberikan lebih banyak manfaat (Nightingale 1996; Gurevich and Scannel 2003). Istilah ‘encoder’ dan ‘decoder’ telah digunakan lebih dulu di beberapa versi dari bentuk transmisi, contoh oleh Schramm pada tahun 1954. Namun dengan asumsi yang berbeda Hall menggambarkan kerangka semiotik, dimana konsep kode adalah pusatnya. Satu perbedaannya adalah Hall lebih kuat dalam menekankan maksud, satu sebagai encoding, memproduksi ‘struktur makna 1’ dan kemudian sebagai decoding, ketika si penerima memproduksi ‘struktur makna 2’ menggambar pada kerangka pengetahuan. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1 Sumber : users.aber.ac.uk

Dan proses-proses encoding dan decoding terlihat sebagai ‘momen’ yang sangat jelas bersifat independen yang berhubungan satu sama lain. Satu sisi bisa membuktikan bahwa bentuk transmisi tradisional tidak menganggap dirinya sendiri sebagai pengirim dan penerima yang dilihat dengan cara yang sama, tapi fokus pada pengertian dan tulisan tanpa keraguan yang lebih kuat pada bentuknya Hall. Perbedaan penting lainnya adalah pada bentuk dalam konteks diproses secara ideologi

daripada informasi distribusi umum. Ini dibuat khusus dengan formulasi atas apa yang disebut dengan tipe, tiga hipotesa mendecode beberapa posisi; dominan-pokok, yang dinegoisasi, dan yang berlawanan. Tipe seperti itu dianggap sebagai sebuah bagian penting pada bentuk encoding/decoding. Laughey (2007:62) telah memasukkan tipe ini ke dalam versi yang telah dimodifikasi pada bentuk grafiknya Hall, dan Sturken (2009:72f) secara langsung ke tipe bahkan tanpa menyebutkan bentuk yang tepat.

Menurut Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan media melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu hegemoni dominan, negosiasi, dan oposisi (Morissan dkk, 2010: 171-172):

1. Hegemoni Dominan (Dominant-Hegemonic Position)

Hall menjelaskan hegemoni dominan sebagai situasi dimana, media menyampaikan pesan, khalayak menerimanya. Apa yang disampaikan media secara kebetulan juga disukai oleh khalayak. Ini adalah situasi dimana media menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak, sama-sama menggunakan budaya dominan yang berlaku. Media harus memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat. Jika, misalnya, khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui cara-cara yang dikehendaki media, maka media, pesan (iklan), dan khalayak sama-sama menggunakan ideologi dominan (Morissan dkk, 2010: 171).

2. Negosiasi (Negotiated Position).

Posisi negosiasi adalah dimana khalayak secara umum menerima ideologi dominan, namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, khalayak bersedia menerima ideologi dominan yang bersifat umum, namun mereka akan melakukan beberapa pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan aturan budaya setempat (Morissan dkk, 2010: 171).

3. Oposisi (Oppositional Position).

Oposisi terjadi ketika khalayak yang kritis mengganti atau mengubah pesan atau kode yang disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audien menolak makna pesan yang dimaksud atau disukai media dan menggantikannya dengan cara berfikir mereka sendiri terhadap topik yang disampaikan media (Morissan dkk, 2010: 172).

2.2.2 Kritik terhadap Analisis Resepsi

Meskipun dalam berbagai studi model teoritik ini sering digunakan oleh peneliti dalam melakukan studi resepsi terhadap khalayak. Namun, ada beberapa kritik yang coba dikemukakan oleh beberapa ahli dalam rangka membangun dan memberikan solusi terhadap pola yang dianggap masih ambigu.

Satu karakter penting yang sebelumnya tidak bisa diasumsi bahwa yang terencode dan yang terdecode seharusnya berhubungan. Tergantung

Dokumen terkait