BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Pengetahuan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Conner dan Prahalad (1996) dan Grnt dalam Griffith et al. (1999)
menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan sumber daya yang penting
bagi suatu organisasi. Pengetahuan memegang peranan penting agar suatu
organisasi dapat berjalan secara maksimal. Bagi inspektorat, auditor yang
mereka miliki harus mempunyai pengetahuan tentang pengelolaan
keuangan daerah yang baik agar dalam melaksanakan fungsinya sebagai
pengawas internal dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dapat
berjalan secara maksimal.
Berdasarkan Pasal 1 PP 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan anggaran, penyusunan anggaran, pelaksanaan dan penatausahaan anggaran, pelaporan anggaran, pertanggungjawaban dan pengawasan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggung jawab. Uraian ini menunjukkan bahwa keuangan daerah
harus dikelola dengan baik agar semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 pasal (4) dan (5), yakni Pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan.
Edward (1992 : 3) menyatakan manajemen keuangan daerah dapat dilakukan dengan baik jika pemerintah daerah dapat mendefinisikan secara jelas tujuan dari manajemen keuangan. Hal ini menandakan bahwa bila pemerintah daerah secara jelas dapat mendefinisikan atau merumuskan tujuan pengelolaan keuangan daerah, maka kebijakan tentang alokasi sumber daya daerah untuk kepentingan publik dapat tercapai. APBD memiliki potensi penyimpangan atau penyalahgunaan yang cukup tinggi, karena berkaitan dengan pengelolaan aset daerah dalam bentuk keuangan daerah. Dikatakan memiliki potensi penyimpangan tinggi karena struktur dan bentuk APBD saat ini jauh berbeda dengan struktur dan bentuk APBD sebelum implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Disamping itu, anggota dewan memiliki kewenangan yang cukup luas dalam penyusunan dan penetapan APBD, sebagaimana dinyatakan dalam kedua undang-undang tersebut, yaitu penyusunan maupun revisi APBD harus mendapat persetujuan dari DPRD. Konsekuensi dari aturan ini
menunjukkan adanya kehati-hatian pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dan menghendaki adanya bentuk pertanggungjawaban dalam penggunaan setiap rupiah selama satu periode tahun anggaran.
Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara daerah dan masyarakat.
Berdasarkan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta memperhatikan UU no, 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dokumen Perencanaan Pembangunan yang harus dibuat adalah sebagai berikut:
a. Rencana pembangunan jangka panjang b. Rencana pembangunan jangka menengah c. Rencana pembangunan tahunan
d. Rencana Strategis SKPD e. Rencana Kerja SKPD
Dokumen a sampai dengan c adalah dokumen yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, sedangkan dokumen d dan e adalah dokumen yang dibuat oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Masing-masing dokumen perencanaan di atas terkait satu dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional.
Berikut ini adalah skema penyusunan perencanaan pembangunan daerah: Gambar 2.1
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah
Setelah Peraturan kepala daerah tentang APBD ditetapkan, maka pejabat pengelola keuangan daerah membuat surat pemberitahuan kepada kepala satuan kerja perangkat daerah untuk menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah (DPA-SKPD) dan anggaran kas. Setelah disetujui DPA, maka langkah selanjutnya dalam pengelolaan keuangan daerah adalah pelaksanaan anggaran dan penatausahaan dari anggaran tersebut. Pentausahaan anggaran belanja dimulai dengan penyusunan dokumen surat perintah pembayaran sampai keluar SP2D serta pertanggungjawaban dari belanja tersebut. Berdasarkan
Propinsi/Kab/Kota SAKTER RPJPD (20 tahun) PERATURAN DAERAH PERATURAN KEPALA DAERAH RPJMD (5 tahun) RKPD (1 Tahun) KUA dan PPAS RENJA SKPD RENSTRA SKPD KEPUTUSAN KEPALA DAERAH
dokumen penatausahaan tersebut, maka dilakukan pencatatan dalam BKU dan dalam jurnal sampai selesai laporan keuangan.
Semua proses pengelolaan keuangan daerah tersebut harus dipahami oleh auditor inspektorat. Hal ini berguna untuk memastikan apakah pelaksanaan anggaran telah sesuai dengan anggaran dan juga tidak menyimpang dari peraturan yang ada.
3. Peran Auditor Inspektorat dalam Pengawasan Keuangan Daerah Dari sisi hubungan organisasi auditan dengan auditor, dikenal 2
(dua) kelompok auditor, yaitu auditor eksternal dan auditor internal.
Auditor eksternal sering juga disebut sebagai auditor independen karena
tidak memiliki hubungan organisasi dengan pihak yang diaudit. Dalam
lingkup pemerintah daerah dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan auditor eksternal. Dalam
pelaksanaannya dan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya BPK
dapat menugaskan pihak lain seperti Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk
melakukan audit atas laporan keuangan pemerintah daerah. Kewenangan
BPK melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah
daerah didasarkan pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara dan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Dalam hal pemerintah daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, auditor
internal pemerintah daerah adalah unsur pengawas penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat. Hingga
sekarang ini belum seluruh pemerintah daerah menamai organisasi auditor
internalnya sebagai inspektorat. Beberapa pemerintah daerah masih
menamakan organisasi auditor internalnya sebagai Badan Pengawas
Daerah (Bawasda). Oleh karena itu, inspektorat dan Bawasda memiliki arti
dan makna yang sama sebagai auditor internal pemerintah daerah.
Selanjutnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23
Tahun 2007 Tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan Atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa orang yang
karena jabatannya melaksanakan tugas pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk dan atas nama Menteri Dalam Negeri atau
Kepala Daerah disebut Pejabat Pengawas Pemerintah (PPP).
Dalam hal auditor internal, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan
Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah hasil kegiatan inspektorat
(bawasda) antara lain disampaikan kepada:
a) Laporan hasil pemeriksaan Inspektorat Provinsi disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan BPK Perwakilan.
b) Laporan hasil pemeriksaan Inspektorat Kabupaten/Kota disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan BPK Perwakilan.
Bagi kepala daerah, hasil pemeriksaan inspektorat merupakan
informasi atas pelaksanaan APBD yang menjadi tanggungjawab organisasi
perangkat daerahnya (SKPD dan SKPKD). Selanjutnya, kepala daerah
akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan inspektorat sebagai upaya untuk
menyesuaikan, memperbaiki, dan menyempurnakan pengelolaan APBD
pada organisasi perangkat daerahnya.
Dari tinjauan manajemen, inspektorat menjalankan fungsi
pengawasan kepala daerah. Dengan demikian baik atau buruknya hasil
pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat sesungguhnya mencerminkan
kualitas kepala daerah menjalankan fungsi pengawasan yang menjadi
tanggungjawabnya.
Dalam mekanisme pengelolaan APBD, sesungguhnya inspektorat
merupakan komponen penting dari sistem peringatan dini (early warning
system) yang dimiliki kepala daerah. Kepala daerah seyogyanya
mengetahui dengan baik bagaimana masing-masing organisasi perangkat
daerah melaksanakan tanggungjawab pengelolaan APBD-nya. Idealnya,
inspektorat melakukan pemeriksaan dan penilaian tersebut sebelum BPK
Bagi auditan - SKPD dan SKPKD, penilaian yang dilakukan
inspektorat seyogyanya menjadi masukan yang berharga untuk
memperbaiki dan menyempurnakan kualitas pengelolaan APBDnya.
Inspektorat sesungguhnya merupakan konsultan dan mitra auditan yang
penting dalam meningkatkan tatakelola pemerintahan yang baik (good
corporate governance).
Bagi Menteri Dalam Negeri, Gubernur, dan BPK Perwakilan,
laporan inspektorat yang ditembuskan padanya mencerminkan berjalan
tidaknya fungsi pengawasan yang menjadi tanggungjawab kepala daerah.
Inspektorat dapat saja menyembunyikan fakta yang tidak benar dalam
laporan yang disampaikan. Tetapi bila kemudian BPK menemukan fakta
yang tidak benar tersebut dan mengungkapkan hal dimaksud dalam
laporan hasil auditnya, kepala daerah sebagai penanggungjawab
pemerintahan daerah tentu akan dihadapkan pada posisi yang sulit. Kepala
daerah yang bersangkutan dapat saja dianggap tidak akuntabel dalam
penyelenggaraan pemerintahannya.
Fungsi pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen
yang memberi masukan kepada manajemen tentang hal yang
sesungguhnya terjadi dalam fungsi pelaksanaan. Hasil pengawasan akan
menjadi bahan manajemen untuk memperbaiki dan menyempurnakan
kualitas perencanaan dan pelaksanaan. Jika fungsi pengawasan tidak
berjalan sebagaimana mestinya, maka sudah dapat dipastikan kualitas