• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN

D. Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi

2. Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Bagi

Tiga Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang masing-masing bernomor: M.H.H-24.PK.01.05.04 TAHUN 2011 tanggal 16 November 2011 untuk terpidana Ahmad Hafiz Zawawi dan Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, Nomor: M.H.H-17.PK.01.05.04 TAHUN 2011 Tanggal 16 November 2011, untuk terpidana Mulyono Subroto, Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Wijayanto Legowo, serta Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.H.H-23.PK.01.05.04 TAHUN 2011 Tanggal 16 November 2011, untuk terpidana H. Ibrahim dan Hengky Baramuli telah resmi dinyatakan dibatalkan dan ditunda pelaksanaannya oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta pada tanggal 6 Maret 2012 dengan Nomor:

217/G/2011/PTUN-JKT. Sehingga hakim memerintahkan agar 7 (tujuh) terpidana korupsi dibebaskan secara bersyarat. Putusan tersebut dinilai tidak membatalkan kebijakan pengetatan remisi, yang dinilai melanggar prosedur oleh hakim adalah Surat Keputusan Menteri yang dijadikan Objek Sengketa.

Ada beberapa poin yang dapat ditemukan dalam pemberlakuan moratorium remisi oleh Menteri Hukum dan HAM. Pertama, pengakuan

Menteri Hukum dan HAM bahwa Surat Dirjen Pemasyarakatan Nomor:

PAS-HM.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011 tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme dibuat tanpa melalui Keputusan Menteri sebagai dasar hukum. Kebijakan tersebut justru membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tertanggal 23 Oktober 2011 yang berisi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap 102 narapidana. Baru kemudian kebijakan moratorium diberlakukan melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM pada 16 November 2011.

Kedua, poin ketiga surat edaran memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak melanjutkan usulan atau memberikan remisi khusus Natal tahun 2011 bagi narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme. Kebijakan ini bukan saja terkesan diskriminatif terhadap salah satu agama, tapi juga melanggar ketentuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Standard minimum Rules for the Treatment for the Prisioners tanggal 30 Agustus 1955194 dan Basic Principles for the Treatment of Prisioners tanggal 14 Desember 1990195.

Ketiga, Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-HM.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011 tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme tidak sesuai dengan

194Dalam Standard Minimum Rules for the Treatment for the Prisioners tanggal 30 Agustus 1955 disebutkan bahwa: Aturan ini harus diterapkan tanpa memihak. Tidak akan ada diskriminasi atas dasar ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran dan status lainnya.

195Dijelaskan dalam Basic Principles for the Treatment of Prisioners tanggal 14 Desember 1990 bahwa semua narapidana harus diperlakukan dengan rasa penghormatan yang tinggi karena martabat yang melekat dan nilainya sebagai manusia.

dasar filosofi sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa: “Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab”.196

Dengan demikian, secara logika adanya surat tersebut dapat diartikan bahwa seorang narapidana kasus korupsi tidaklah perlu berkelakuan baik, karena apapun yang dilakukannya dalam lembaga pemasyarakatan tidak akan menyebabkan dirinya mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat. Jelas hal ini tidak sesuai dengan roh dari sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, yaitu memberikan bekal bagi narapidana untuk menyonsong kehidupan setelah bebas untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Seharusnya untuk memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, ada baiknya pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Setidaknya, ada payung hukum yang jelas untuk melaksanakan kebijakan, bukan sekedar perintah lisan tanpa dasar hukum

196Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

yang jelas yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak warga negara.

Selain melakukan revisi, sebenarnya dalam peraturan tersebut pemerintah dimungkinkan untuk melakukan pengetatan karena peraturan hanya memberikan batasan secara umum melalui frasa “Pertimbangan wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan „bermain‟ dalam norma kabur tersebut, pemerintah tak perlu mencabut surat keputusan pembebasan bersyarat yang telah dikeluarkan maupun menunda pemberian remisi, tapi cukup dengan mengetatkan pemberian hak-hak narapidana melalui pertimbangan Direktur jenderal Pemasyarakatan yang lebih detail.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) dan pembebasan bersyarat.197 Bagi terpidana korupsi sebenarnya telah diberlakukan ketentuan khusus yang lebih ketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 mengatur bahwa remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana dan berkelakuan baik.198 Sedangkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, seorang narapidana kasus korupsi harus menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3

197Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

198Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

(dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.199 Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus teroris, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisir lainnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 telah merinci secara ketat persyaratan yang diperlukan. Dalam hal ini, pemerintah tetap memiliki kewenangan apakah akan memberikan remisi dan pembebasan bersyarat atau tidak. Pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan hak-hak narapidana dapat menjadi pintu masuk yang lebih elegan dalam menerapkan kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat, bukan dengan mencabut surat keputusan yang telah dikeluarkan.

Dalam menyikapi permasalahan ini, pemerintah berpendapat bahwa kebijakan ini sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Setidaknya ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor, antara lain:

Pertama, sebuah diskresi muncul karena tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah yang dihadapi, adanya delegasi perundang-undangan, maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM menggunakan „celah‟ diberikannya kebebasan sepenuhnya oleh

199Pasal 43 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

peraturan perundang-undangan. Dalam setiap pasal yang mengatur pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, pemerintah bebas untuk menafsirkan „wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat‟. Frasa itulah yang dianggap sebagai norma kabur yang bisa dijadikan celah untuk mengeluarkan kebijakan. Walaupun rasa keadilan masyarakat tidak memiliki ukuran yang pasti karena setiap masyarakat mempunyai kriteria sendiri tentang rasa keadilan. Dari sisi inilah kemudian Kementerian Hukum dan HAM memberlakukan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Kebijakan yang diambil bertujuan untuk menampakkan keluar sebuah peraturan perundang-undangan agar lebih dapat dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukannya.

Kedua, pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor perlu dilakukan agar dapat memberikan efek jera (detterent effect) bagi pelakunya. Pengetatan yang dilakukan bukan berarti diskriminatif, justru tidak adil apabila kejahatan umum dan khusus diperlakukan sama.

Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga perlu cara dan penanganan yang luar biasa pula. Sehingga tidak bisa dicampuradukkan dengan politik, karena kebijakan ini berlaku untuk semua narapidana kasus korupsi, bukan untuk orang per orang. Justice collaborator dan whistle blower juga mendapat perhatian khusus dengan dipermudah mendapat

Dokumen terkait