TINJAUAN PUSTAKA
3. Penggabungan Tetesan (Coalescense)
Jika dua tetesan berdekatan dalam waktu yang lama, lapisan lapisan tipis yang memisahkan dua tetesan tersebut akan mulai semakin menipis secara perlahan-lahan.
Kecepatan dari penipisan lapisan tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrodinamis dari lapisan, interaksi kolidal antara dua membran, dan kandungan membran itu sendiri.
Penggabungan tetesan sangat bergantung pada sifat-sifat antar-muka dari sistem. Jika antar-muka antara minyak dan air tidak dapat dengan sempurna ditutupi selama proses homogenisasi, tetesan-tetesan dengan segera akan tergabung kembali (recoalescense) (Weiss, 2002).
2.10. Surfaktan (Emulsifier).
Surfaktan adalah suatu senyawa dengan struktur kimia secara khusus sehingga dapat bertahan di antar-muka yang disebut dengan surface active agents, atau disingkat menjadi surfaktan (Goodwin, 2004). Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus
hidrofil dan gugus liofil secara bersama-sama, sehingga dapat menggabungkan cairan yang terdiri dari minyak dan air. Aktifasi surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekul-molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka minyak (lipofilik). Biasanya bagian nonpolar merupakan suatu rantai aklil yang panjang, sedangkan bagian yang polar mengandung gugus hidroksil.
Penggunaan surfaktan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent), dan bahan pelarut (solubiliting agent). Pemakaian surfaktan berfungsi sebagai peningkat kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan antar-muka antara fase pendispersi dan fase terdispersi. Surfaktan baik digunakan sebagai untuk emulsi minyak dalam air maupun untuk air dalam minyak.
Tegangan permukaan larutan akan turun bila dalam larutan ditambahkan surfaktan. Pada konsentrasi tertentu tegangan permukaan akan konstan walaupun dilakukan penambahan konsentrasi surfaktan dan jika konsentrasi surfaktan berlebih akan membentuk misel. Titik terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC) dan tegangan permukaan akan turun jika CMC tercapai. Saat CMC tercapai, maka tegangan permukaan larutan konstan dan jika tegangan antar muka menjadi jenuh akan terbentuk misel (Rossen M.J., 1994). Penggunaan surfaktan atau emulsifier juga bertujuan untuk membentuk interaksi antara emulsifier dengan polimer yang dapat membentuk suatu ikatan yang kuat dengan adanya gaya elektrostatis yang dominan yang dapat menyebabkan terjadi peningkatan viskositas, sehingga sistem emulsi menjadi lebih kental dan lebih stabil (Goddard, 1993).
2.11. Amonium Lauril Sulfat.
Amonium lauril sulfat (CH3(CH2)10 CH2OSO3NH4) adalah termasuk surfaktan anionik dimana surfaktan ini mengalami ionisasi sehingga gugus hidrofiliknya membawa muatan negatif. Amonium lauril sulfat merupakan surfaktan detergen yang baik, karena garamnya berasal dari asam kuat dan larutannya hampir netral (Bilmeyer, 1971).
Struktur amonium lauril sulfat secara umum adalah seperti gambar berikut:
Gambar 2.17. Srtuktur molekul amonium lauril sulfat
Karakteristik amonium lauril sulfat (E. Merch, 2008).
● Rumus molekul : C12H29NO4
● Kestabilan : stabil dalam kondisi normal.
C
2.12. Sodium Lauryl Sulfat (SLS)
Sodium lauryl sulfat (SLS) adalah diterjen dan surfaktan yang sering dijumpai dalam produk perawatan diri misalnya sampo, sabun, pasta gigi dan lain sebagainya.
Sodium lauryl sulfat terkadang disebut dengan sodium lauryl ether sulfat (SLES), Sodium Dodecyl Sulfate (SDS), Lauryl Sodium Sulfat dan Sodium N-dodecyl Sulfat. Bahan ini tidak mahal dan sangat efektif dalam pembentukan buih (Kurt Kosswig, 2005). Baik SLS, SLES dan ALS juga merupakan surfaktan yang sering digunakan dalam beberapa produk kosmetik yang bersifat pembersih yang berbentuk emulsi, yang identik dengan sabun.
Bahan ini sering digunakan dalam produk perawatan diri karena berbagai alasan, antara lain, harganya murah, dapat membuat campuran mengembang sempurna dan merupakan pengental (thickener) yang baik. Namun penggunaan bahan ini juga memiliki efek samping seperti : iritasi pada kulit dan selaput mata, tidak beracun pada pemakaian dosis rendah, tidak berinteraksi dengan DNA, tidak bersifat karsinogen dan tidak menyebabkan kemandulan pada pemakaian dosisi rendah.
Struktur Sodium lauril sulfat secara umum adalah seperti gambar berikut:
Gambar 2.18. Struktur kimia Sodium Lauryl Sulfat
Sodium Lauryl Sulfat merupakan jenis surfaktan anionik. Surfaktan ini dapat bertindak sebagai agen pembasah (wetting agent) dengan cara meningkatkan penyebaran/penjalaran air ke atas permukaan melalui penurunan tegangan permukaan larutan berair. Mempunyai rumus molekul CH3-(CH2)11-O-SO3-Na+ dengan berat molekul sekitar : 420 g/mol (288.38 + 44.05n) g mol−1 (NICNAS, 2007).
2.13. Sifat Mekanis Bahan Polimer.
Penggunaan bahan polimer baik sebagai bahan industri maupun dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada sifat mekanisnya. Sifat mekanis khas untuk setiap bahan polimer, hal ini dikarenakan adanya dua macam ikatam dalam baham polimer, yaitu ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai yang lebih lemah. Sifat mekanis dipelajari dengan mengamati kekuatan tekan/ lentur dan kekuatan tarik.
Kekuatan tekan ataupun tarik nerupakan sifat dasar bahan polimer yang penting dan sering digunakan untuk karakterisasi suatu bahan polimer. Kuat tekan/tarik didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum yang digunakan untuk memutuskan/mematahkan spesimen bahn dibagi dengan lus penampang awal.
Bila bahan polimer dikenakan beban tarik/tekan yang disebut tegangan maka bahan tersebut akan mengalami regangan. Kurva tegangan Vs regangan merupakan gambaran karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan. Ketahanan lentur kering adalah merupakan sifat mekanik suatu bahan. Sifat mekanik bahan adalah hubungan antara respons atau deformasi bahan terhadap beban yang bekerja. Sifat mekanik berkaitan dengan kekuatan, kekerasan dan kekuatan. Pengujian ketahanan lentur dimaksudkan untuk mengetahui ketahanan papan patikel terhadap pembebanan pada tiga titik lentur dan juga untuk mengetahui keelastisan bahan. Ketahanan lentur adalah tegangan terbesar yang dapat diterima bahan akibat pembebanan luar tanpa bahan tersebut mengalami deformasi yang besar. Besarnya kekuatan lentur bergantung pada bahan dan kuatnya beban. Pada pengujian lentur, bagian atas spesimen akan mengalami tekanan dan bagian bawah bahan akan mengalami tegangan tarik. Kekuatan lentur dihitung dengan persamaan menurut SNI 03-2015-2006. Untuk bahan polimer bentuk kurva tegangan regangan terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.19. Kurva Tegangan – Regangan Bahan Polimer
A B
C Tegangan
Regangan σ0
σt
2.14. Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan profil permukaan suatu bahan. Pada dasarnya kerja dari SEM adalah dengan cara menembakkan arus elektron berenergi tinggi pada permukaan bahan yang dikenai arus elektron tersebut akan memantulkan berkas tersebut kesegala arah dengan intensitas yang berbeda-beda. Detektor akan mendeteksi lokasi dan arah permukaan yang memantulkan elektron dengan intensitas yang paling tinggi dan memberi informasi mengenai profil permukaan tersebut. Permukaan bahan yang ditembak dengan berkas elektron diamati dengan scanning. Berdasarkan arah pantulan berkas elektron pada berbagai titik, maka profil permukaan dapat dibangun dengan program komputer. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada mikroskopi optik, hal ini disebabkan panjang gelombang optik lebih panjang dari pada panjang gelombang de Boglie. Agar SEM memberikan gambar yang baik maka permukaan bahan terebut harus dapat memantulkan elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder. Pada umumnya bahan yang demikian adalah logam. Untuk bahan yang bukan logam, agar profil permukaannya dapat diamati, maka bahan tersebut harus dilapisi dengan film tipis logam. Metode pelapisan yang umum adalah cara evaporasi dan sputtering.
2.15. Spektroskopi Infra Merah
Untuk dapat mengidentifikasi data infra merah polimer, persyaratan yang harus dipenuhi adalah zat tersebut harus homogen secara kimia. Spektrum infra merah suatu zat polimer pada dasarnya adalah serapan-serapan monomer dan pengaruh kopling antara monomer-monomer diabaikan. Seringkali suatu polimer mempunyai spektrum yang lebih sederhana dari pada spektrum monomer-monomernya, meskipun polimer dapat mengadung 10 4 atom.
Hal ini disebabkan tidak ada perubahan tetapan gaya pada kelompok-kelompok atom sejenis. Atom-atom dalam kelompok ini akan selalu bervibrasi pada frekuensi yang sama dan tidak tergantung pada sistem molekul dimana atom-atom tersebut berada, bilamana
syarat tetapan gaya pada kelompok tidak berubah dipenuhi. Faktor ini merupakan hal yang sangat penting untuk karaktererisasi spektrum infra merah.
Bila sinar infra merah dilewatkan melalui sample, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi lain diteruskan tanpa diserap. Spektrum infra merah akan dihasilkan bila dilukiskan persen seapan dengan frekuensi. Molekul hanya menyerap sinar infra merah jika dalam molekul ada transisi energi sebesar hν. Transisi yang terjadi di dalam serapan infra merah berkaitan dengan perubahan vibrasi molekul. Frekuensi vibrasi dihitung dengan memakai hukum Hooke (Kemp, W 1979).
2.16. Differensial Thermal Analysis (DTA)
Differensial Thermal Analysis (DTA) merupakan suatu metode yang paling akhir digunakan saat ini dalam penelitian kuantitatf terhadap perubahan panas bahan polimer, karena karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat bahan dan berkaitan erat dengan struktur bahan. Bahan jika dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan perubahan kapasitas panas atau energi thermal bahan tersebut. Teknik analisa thermal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) dan perubahan kimia (dekomposisi) suatu bahan yang ditunjukkan oleh penyerapan panas (endotermis) serta pengeluaran panas (eksotermis). Proses termal meliputi antara lain perubahan fase (transisi gelas), pelunakan, pelelehan, oksidasi dan dekomposisi. Sifat termal suatu bahan menggambarkan karakteristik bahan tersebut ketika mendapat perlakuan panas (dipanaskan/didinginkan). Dengan demikian pengetahuan tentang sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan preses bahan menjadi barang jadi maupun untuk kontrol kualitasnya.
Dalam metode DTA, sampel polimer dan referensi inert dipanaskan dalam atmosfer nitrogen kemudian perubahan panas dalam sampel dideteksi dan diukur. Ukuran sampel berkisar 0,5 – 10 mg, meskipun kedua metode memberi informasi yang sama namun terdapat perbedaan dalam instrumentasinya. Dengan DTA, sampel dan referensi diberikan pemanasan masing-masing dan energi disuplai untuk menjaga suhu sampel referensi agar tetap konstan. Dalam hal ini perbedaan daya listrik antara sampel dengan referensi
(d∆Q/dt) dicatat. Data diplot sebagai (d∆Q/dt) diatas ordinat versus temperatur diatas absis, sehingga menghasilkan suatu grafik yang disebut dengan termogram (Stevens, 2001).
BAB 3