• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggalan Kisah Inspiratif KKN Einhil

Dalam dokumen Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi (Halaman 128-200)

BAB V PENUTUP

B. Penggalan Kisah Inspiratif KKN Einhil

BANYUWANGI RUMAH BARU KELUARGA BARU

Agesa Abduloh Muksid

Ketika Semua Bermula

Saya Agesa Abduloh Muksid atau yang biasanya dipanggil Ages adalah seorang mahasiswa semester 6 yang berkuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang terletak di wilayah Tangerang Selatan, Banten. Saya mengambil jurusan atau yang lebih populer disebut Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum dengan konsentrasi Kelembagaan Negara di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Pada waktu itu diminta untuk menghadiri acara Pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2016 UIN Syarif Hidayatullah yang diadakan oleh Pusat Pengabdian Mahasiswa untuk Masyarakat.

Sebelum diadakannya pembekalan mengenai KKN, pengetahuan dan pandangan saya mengenai KKN sangatlah minim. Hanya dari cerita kakak-kakak tingkat, itu pun lebih banyak “katanya” karena saya pun lebih sering mendengarnya dari teman-teman saya. Pandangan saya tentang KKN pada awalnya hanya sebuah tugas wajib bagi mahasiswa menjelang semester akhir. KKN pastilah merupakan sebuah tugas sekaligus petualangan, begitu yang ada di benak saya. Petualangan? Iya, karena berdasarkan cerita yang saya dengar dari peserta KKN sebelumnya, para mahasiswa di tempatkan di desa yang terpencil, jauh dari “peradaban”. Jangankan untuk hidup enak, untuk sekedar minum atau mandi pun sulit, dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan air bersih. Selain itu, karena saya terbiasa hidup dengan orang tua saya dan tidak pernah terpisah jauh dalam jangka waktu yang lama dengan orang tua, maka ini menjadi kesempatan saya untuk dapat belajar hidup mandiri. Satu do’a utama yang selalu saya panjatkan sebelum KKN adalah semoga lokasi KKN saya banyak air, karena kebutuhan paling utama saya adalah air dan saya tidak mau hidup dalam kesulitan mendapatkan air.

Dalam pembekalan tersebut dijelaskan mengenai apa itu Kuliah Kerja Nyata (KKN), bagaimana pelaksanaannya, apa tujuan

Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi | 107 diadakannya KKN, apa yang dimaksud dengan pengabdian pada masyarakat, anggaran dana untuk pelaksanaan KKN, bagaimana buku laporan KKN serta film pendek tentang KKN. Setelah pembekalan selesai saya dan seluruh mahasiswa yang pada saat itu tergabung dalam gelombang satu pembekalan KKN diminta untuk berkumpul satu dengan yang lainnya sesuai dengan nomer yang dibagikan diawal saat memasuki acara. Pada saat itu saya mendapatkan nomor 10 maka saya berkumpul dengan rekan-rekan mahasiswa yang juga mendapatkan nomor 10. Ternyata nomor urut tersebut mmenjadi nomor kelompok KKN, dalam tiap kelompok terdiri atas sebelas mahasiswa yang berasal dari berbagai jurusan dan fakultas. Saya sendiri di kelompok 10 beranggotakan Mega dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Reza dari Fakultas Dirasat Islamiyah, Dita dan Musa dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Mahatir dan Yuli dari Fakultas Adab dan Humaniora, Suci dan Hanif dari Fakultas Sains dan Teknologi, Muharomah dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, serta Somanti dari Fakultas Ushuluddin. Ketika itu secara aklamasi saya ditunjuk sebagai ketua kelompok, dan saat itu harapan saya semoga kelompok ini tidak hanya sebagai rekan kerja atau pun teman biasa, namun dapat menjadi keluarga yang solid, tidak hanya saat KKN namun hingga seluruh rangkaian KKN ini berakhir.

Beberapa hari kemudian baru lah PPM mengumumkan lokasi KKN tiap kelompok di mana kelompok saya mendapatkan wilayah tugas di desa bernama Banyuwangi yang terletak di Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Awalnya begitu saya cek via Google Map saya sempat terkejut dikarenakan berdasarkan pencitraan satelit Banyuwangi hanya wilayah hutan di pegunungan dan tidak terdapat pemukiman penduduk bahkan jalan akses pun tidak ada. Namun berdasarkan survei beberapa hari kemudian setelah pengumuman tersebut diketahui bahwa pointing yang dilakukan oleh Google ternyata tidak tepat. Dalam survei tersebut pula saya beranggapan bahwa KKN ini akan menjadi tugas sekaligus liburan yang penuh petualangan, bagaimana tidak? Dari mulai jalan memasuki wilayah Kecamatan Cigudeg menuju Desa Banyuwangi saja pemandangan alamnya sangatlah indah yang nanti akan saya jelaskan pada bagian lain kisah ini, jadi tetaplah membaca cerita ini hingga selesai. Oiya perlu diketahui

108 | Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi

bahwa dalam satu desa di mana saya ditugaskan juga terdapat satu kelompok lagi, yaitu kelompok 11 yang diketuai oleh teman satu jurusan saya Aziz.

Banyak hal yang saya anggap akan menjadi kendala dalam saya melaksanakan KKN ini. Namun tentunya kegelisahan utama saya adalah apakah saya mampu memimpin seluruh anggota KKN saya ini dengan baik? Apakah saya bisa menjadi ketua kelompok yang baik? Mengingat KKN bagi saya bukanlah tugas yang main-main, selain pengabdian terhadap masyarakat yang merupakan tugas mahasiswa, juga dikarenakan membawa nama baik UIN Syarif Hidayatullah, serta masa tugas yang cukup lama. Selain selama satu bulan tugas utama di desa, tentunya ada waktu pra-tugas dan juga pasca-tugas. Sebelum KKN dimulai tentunya saya harus berusaha mengakrabkan diri antara saya dengan teman-teman sekelompok begitu juga saya harus dapat menyatukan 11 orang dalam satu keluarga yang kompak dan memiliki komitmen bersama. Pada saat KKN nanti apakah saya mampu memimpin ke-10 anggota saya dengan baik serta menjalin hubungan dengan atasan di kampus (PPM dan Dosen) dan juga para aparatur kecamatan dan juga aparatur desa? Sekembalinya nanti apakah saya mampu bertanggungjawab atas laporan KKN kelompok saya? Itulah kendala yang selalu saya bayangkan.

Keluarga Baruku

Semenjak hari kami dipertemukan setelah pembekalan KKN itu, saya dan teman-teman kelompok saya berusaha saling mengakrabkan diri satu sama lain. Saya membuat grup di WhatsApp untuk mempermudah komuniksasi serta kordinasi dan juga sebagai sarana mengobrol bersama, selain memang saya dan teman-teman kelompok saya selalu berkumpul untuk rapat mengenai KKN ataupun sekedar mengobrol serta bersenda-gurau. Saya dan teman-teman kelompok saya sepakat untuk memberi nama Einhil sebagai nama kelompok 10 yang berasal dari kata An-Nahl yang merupakan nama sebuah surat dalam mushaf al-Qur‟an yang berarti lebah, yang diharapkan semoga kami semua dapat bermanfaat sebagaimana layaknya lebah yang penuh manfaat dalam hidupnya. Seiring berjalannya waktu, kami semakin

Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi | 109 dekat tanpa jarak dan rasa canggung layaknya sahabat yang telah lama bersama.

Kedekatan antara kami bukanlah tanpa masalah atau pun konflik, semenjak masa pra-KKN pun masalah sudah ada, dari mulai seringnya ada anggota kelompok yang tidak hadir dalam pertemuan baik rapat mau pun kumpul santai, hingga saling tumpang tindihnya tugas yang di kerjakan. Dalam masalah ini saya sadar bahwa sikap saya sebagai ketua yang cenderung menginginkan segala sesuatunya cepat dan sifat panik saya adalah penyebabnya, akhirnya dalam sebuah rapat berdasarkan musyawarah ada beberapa posisi jabatan yang harus mengalami reshuffle. Dalam hal “tatap-muka” ternyata permasalahannya diakibatkan anggota yang jarang hadir dikarenakan faktor kesehatan dan ada juga yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal itu pun dapat saya dan teman-teman lainnya maklumi, sehingga masalah satu-persatu dapat diselesaikan.

Yang namanya manusia, satu dan lainnya pasti berbeda memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun itulah yang menjadikan kami saling melengkapi, seperti saya yang terbiasa memerintah secara lurus dan terkesan lurus, dapat diimbangi oleh Somantri yang dapat menerjemahkan perintah saya dengan lebih “luwes” dengan social approach yang lebih baik sehingga efektif bagi anggota maupun masyarakat. Suci walaupun sifatnya “gede adat” tapi justu mampu mengoreksi sikap dan tindakan saya yang tidak ia sukai langsung di depan saya, hal itu walau pahit namun lebih baik dari orang yang suka menggunjingkan dibelakang saja. Muharomah atau saya dan kawan-kawan biasa memanggilnya Muray, karakteristiknya sangat “ceplas ceplos” dan juga nyaris gak ada batasan dalam bertingkah laku tapi dia mampu mengkomunikasikan suatu masalah sebagai pihak ke-3 antara dua orang yang sedang bermasalah dengan cara yang baik sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan baik. Mahattir awalnya dia minta dipanggil Roy, namun lama-kelamaan kita biasa memanggilnya Ndut, walaupun orangnya super berantakan dalam meletakkan barang terutama pakaiannya namun sikap, sifat, dan perawakannya yang lucu dapat menghibur saya dan yang lainnya setiap saat. Musa, rajin dan ringan tangan dalam mengerjakan apapun tanpa pernah mengeluh.

110 | Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi

Hanif, memang dasarnya ia orang yang kaku namun keinginannya untuk beradaptasi menjadikannya anggota yang paling unik. Dita, cewek yang baik, “supel”, paling perhatian sama semua anggota. Yuli, anak Pramuka yang “super” sibuk, izin pulang pun dipakai untuk urusan Pramuka yang membuat saya salut adalah kerajinannya. Reza, teman berkeluh kesah tentang apapun yang saya rasakan selama KKN. Serta yang terakhir Mega, walau dia sempat sakit berat namun keinginannya untuk tetap melaksanakan KKN sangatlah kuat, saya sangat salut akan keteguhannya. Intinya saya menyayangi mereka layaknya adik-adik saya sendiri.

Banyak pengalaman yang saya alami selama KKN, baik yang saya alami sendiri maupun bersama dengan teman-teman lainnya baik suka, maupun duka kami lalui bersama. Diantaranya adalah ketika suatu pagi saya ingin sekali melihat matahari terbit di atas bukit, malam harinya sebelum tidur saya dan teman-teman sudah sepakat untuk mendaki bukit setelah shalat subuh. Namun pagi harinya ternyata tidak ada yang mau dan malah kembali tidur setelah shalat subuh. Akhirnya saya memutuskan untuk naik ke bukit sendirian, pada pukul 05.00 pagi walau sudah mengenakan jaket tebal, celana panjang dan juga sepatu boots, tetap saja suhu dibawah 20oC tetap terasa dingin. Walau cukup takut dikarenakan gelap gulita dikelilingi hutan semak yang cukup tinggi, akhirnya saya sampai ke puncak bukit dan dapat melihat matahari terbit yang begitu indah. Setelah matahari semakin meninggi saya putuskan turun ke desa untuk kembali ke homestay saya, namun di tengah perjalanan terlihat semak-semak bergerak dan benar saja ternyata keluarlah seekor babi hutan yang cukup besar seukuran dengan seekor kerbau muda, entah apa sebabnya tiba-tiba saja babi itu mengejar saya. Dengan panik saya lari sekuat tenaga kearah desa, di tepi jalan saya melihat sebatang kayu yang lumayan besar dari genggaman saya dengan panjang sekitar 1 m dengan spontan saya ambil dan pukulkan ke babi hutan itu dan mengenai kepalanya. Mungkin babi itu merasa pusing dan terdiam sejenak, kesempatan itu tidak saya sia-siakan untuk berlari memasuki kampung dan selamatlah saya dari serangan babi hutan itu. Entah bagaimana nasib saya apabila terkena serangan babi hutan itu dengan ukuran yang besar dengan taring di

Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi | 111 mulutnya yang terlihat besar dan tajam mungkin saya dapat mengalami luka yang serius akibatnya. Itulah pengalaman sekali seumur hidup saya yang belum pernah dan semoga tidak terjadi lagi dalam hidup saya dan tidak akan pernah saya lupakan.

Keindahan Itu Bernama Banyuwangi

Indah, satu kata yang terucap saat pertama kali mengunjugi Desa Banyuwangi, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor yang merupakan lokasi kami melaksanakan Kuliah Kerja Nyata ini. Terletak di ketinggian 700 mdpl menjadikan udara di desa ini begitu sejuk. Perjalanan dari kecamatan menuju desa diawali dengan melewati hutan sawit, terus menanjak melewati sawah yang di lahan “tarasering”, di sisi lain jalan adalah hutan “heterogen” khas hutan hujan tropis begitu lebat dan juga tebing dan jurang yang curam akan menemani perjalanan sejauh 10 km menanjak dan berkelok tajam untuk mencapai Desa Banyuwangi. Begitu memasuki wilayah Banyuwangi, maka akan disajikan pemandangan perkebunan teh yang cukup luas yang dimiliki oleh perusahaan asal Taiwan, yang konon katanya harga per kilo daun teh yang telah dikeringkan dengan kualitas terbaik mencapai satu juta rupiah dan di ekspor ke berbagai negara di dunia. Perjalanan menuju pusat desa akan melewati padang rumput ilalang yang cukup luas milik PT.BULOG hingga sampai di pusat desa yang terdapat lapangan bola, Madrasah Diniyah Awaliyah, SDN Banyu Resmi 02, dan tentunya Balai Desa Banyuwangi. Pusat desa ini terletak di dusun Susukan dimana Desa Banyuwangi memiliki lima dusun, dan di dusun inilah kami tinggal dan bertugas.

Selama KKN kami tinggal di rumah Sekretaris Desa, Bapak TB. Mahpudin atau yang akrab disapa “Pak Mpud”. Pak Mpud memiliki seorang istri yang biasa kami sapa Ibu Mar, dua orang anak yaitu Aa’ Evan (22) yang tinggal di desa Banyu Resmi dan Indra (13) serta ke-3 keponakan Bu Mar yaitu Muhib, Zahra, dan Zalfa. Pak Mpud memiliki orangtua yang biasa kami panggil Mbah Aki dan Mbah Nini yang tinggal di sebelah kanan rumah Pak Mpud. Mbah Aki dan Mbah Nini memiliki empat orang anak yaitu Ibu Tatu yang bersuamikan Pak Dimong dan memiliki anak Aa’ Ghani (24), Neng Gina (19), Gilang (12)

112 | Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi

yang tinggal di depan rumah Pak Mpud, Pak Mpud sebagai anak ke-2, Pak Rifai yang akrab disapa Pak Ii‟ beristrikan Bibi Ucu dan putrinya Ica yang tinggal di Desa Cigudeg, dan yang paling bungsu bernama Mang Ucup yang masih betah melajang dan bekerja di Kalimantan.

Selama satu bulan menjalani KKN dan tinggal bersama mereka saya merasa memiliki orang tua di Banyuwangi, Bu Mar dan Bu tatu sudah saya anggap sebagai ibu saya sendiri. Pak Mpud dan Pak Dimong sudah saya anggap ayah saya sendiri. Pak Ii‟ dan Bi Ucu sudah saya anggap sebagai paman dan bibi saya sendiri. Aa’ Ghani, Aa’ Evan, Gina, Indra, Gilang sudah saya anggap seperti kakak dan adik saya sendiri, sedangkan Muhib, Zahra, Ica, dan Zalfa sudah seperti keponakan saya sendiri. Bahkan saya yang sudah tidak memiliki kakek dan nenek dari kedua orangtua saya pun, di desa ini saya sangat senang karena dapat merasakan memiliki kakek dan nenek yaitu Mbah Aki dan Mbah Nini. Saya dapat merasakan keluarga baru saya ini sangat menyayangi saya begitu pun saya yang sangat menyayagi mereka layaknya keluarga saya sendiri. Banyak hal yang mereka berikan dan tak mampu saya ceritakan satu persatu dan pasti tidak akan bisa untuk saya balaskan. Namun saya berharap semoga tali silaturahmi di antara kami tidak akan terputus dan dapat menjaga komukasi untuk selamanya.

Desaku Bukan Milikku

“Desaku bukan milikku”, mungkin begitu ungkapan masyarakat Desa Banyuwangi di balik keindahan alamnya dan keramahan penduduknya. Desa Banyuwangi memiliki wilayah geografis yang cukup luas, memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Dahulu kala warga banyak yang menjadi petani dan peladang, namun dikarenakan tergiur mendapatkan uang secara instan tanpa memikirkan masa depan, banyak yang menjual tanahnya kepada pihak BUMN, swasta, maupun perorangan hingga akhirnya tanah garapan mereka menyempit. Beberapa lahan yang tadinya merupakan sawah atau ladang warga, setelah dibeli oleh pihak pihak tersebut ada yang menjadi perkebunan teh milik perusahaan asing dan warga hanya menjadi buruhnya saja. Ada yang menjadi pertambangan emas yang bahkan tenaga kerjanya saja bukan dari warga sekitar melainkan mendatangkan Tenaga Kerja Asing asal Tiongkok. Bahkan banyak lahan yang telah dibeli oleh pihak

Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi | 113 lainnya kini hanya menjadi lahan tidur yang anehnya tidak diperbolehkan untuk digarap dengan tanaman pangan jangka pendek ataupun sekedar memasuki lahan tersebut saja tidak diperbolehkan. Hal ini diperburuk dengan perambahan hutan oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan terganggunya ekosistem hutan yang menjadi tempat tinggal berbagai fauna liar, sehingga tidak jarang lahan warga yang tersisa menjadi imbasnya, sering kali babi hutan keluar dari hutan dan merusak lahan warga karena kekurangan pangan akibat semakin minimnya wilayah hutan. Sehingga berladang dan bertani semakin tidak diminati oleh warga dan memicu arus urbanisasi ke kota.

Tidak hanya itu, sudah secara turun temurun banyak warga yang menggantungkan hidupnya dengan bertaruh nyawa untuk menjadi “gurandil”, yaitu penambang emas tradisional. Dengan peralatan seadanya, tanpa standar keamanan dan keselamatan mereka membuat goa-goa kecil yang hanya muat untuk satu orang menggali masuk kedalam tanah. Resiko yang mengintai mereka sangatlah besar, selain harus masuk ke tengah hutan yang mungkin saja di serang binatang buas seperti babi hutan, anjing hutan, ular dan lain-lain, resiko runtuhnya goa yang mereka gali yang setiap saat dapat menimbun mereka hidup-hidup pun selalu membayangi. Belum lagi dari sisi legalitas, jelas apa yang mereka lakukan adalah pelanggaran hukum yang mana bertentangan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa tindakan mereka dalah melakukan penambangan illegal. Namun mau bagaimana lagi apabila mereka ingin ikut menjadi pekerja tambang emas yang resmi namun kenyataannya tambang resmi yang berada di sana malah menggunakan TKA bukan dari warga sekitar. Maka bagi mereka tidak ada pilihan lain selain bermain “petak umpet” dengan petugas yang berwajib untuk tetap menyambung hidup dan memastikan asap dapur tetap membumbung ke langit.

Sejauh ini yang saya telah lakukan hanya mewawancarai warga dan menyampaikan pada aparatur desa tentang apa yang terjadi. Namun masalah-masalah tersebut adalah hal yang dilematis, ibarat memakan buah simalakama apabila dimakan, ibu mati tidak dimakan bapak yang mati. Semoga setelah lulus pendidikan sarjana hukum nanti saya dapat melakukan lebih untuk Desa Banyuwangi yang indah ini, hingga

114 | Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi

nantinya tak ada lagi kalimat “desaku bukan milikku” dan menjadi “Banyuwangiku Indah, Banyuwangiku Makmur”.

Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi | 115

PENGABDIANKU DI DESA BANYUWANGI

Amalia Suci Annisa

What The Meaning of KKN?

KKN? Kuliah Kerja Nyata, adalah salah satu kegiatan yang harus saya jalani demi meraih gelar Strata Satu (S-1) di Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelum dilaksakannya kegiatan KKN, beberapa bulan sebelumnya diadakan pembekalan sekaligus pembentukan kelompok KKN. Setelah disatukan dalam kelompok, saya dan teman–teman mulai beberapa kali berkumpul. Diawali dengan berkumpul untuk saling mengenal satu sama lain dan menyamakan persepsi mengenai KKN. Awalnya saya belum begitu paham makna dari kegiatan KKN itu sendiri. Yang saya tahu, KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah di mana kita tinggal bersama masyarakat dan mengabdi di pedesaan selama sebulan. Selain itu, awalnya saya hanya menganggap KKN sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan untuk pengajuan tugas penelitian akhir atau skripsi. Saya mendaftar menjadi peserta KKN secara online pun saat dua hari sebelum pendaftaran ditutup.

Terlalu banyak cerita dari para senior yang membuat saya semakin malas mengikuti KKN. Salah satu cerita yang benar–benar saya ingat dan membuat saya semakin tidak tertarik dengan KKN adalah salah satu senior saya saat KKN harus rela menumpang mandi di stasiun dan pom bensin karena desa di mana ia ditempatkan sedang mengalami kekeringan akibat kemarau berkepanjangan pada saat itu. Selain itu beberapa orang senior saya, yang awalnya berkulit putih bersih, setelah pulang KKN menjadi lebih kusam dan menghitam karena cuaca yang panas dan banyak debu di desa tempat mereka melaksanakan KKN. Saya memang tipikal orang yang cukup memperhatikan penampilan, oleh karena itu, kekhawatiran terbesar saya adalah apabila saya ditempatkan di desa yang bercuaca panas dan sedang mengalami kekeringan.

Kurang lebih setelah seminggu atau dua minggu sosialisasi dan pembagian kelompok KKN, diumumkanlah pembagian desa tempat pelaksanaan KKN beserta dosen pembimbing kelompok KKN. Satu desa akan diisi oleh dua sampai tiga kelompok dan masing-masing

116 | Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi

kelompok akan dibina atau dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing. Kelompok saya, kelompok 10 ditempatkan bersama satu kelompok lainnya yaitu kelompok 11 di Desa Banyuwangi, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor Barat.

Setelah mengetahui desa dan dosen pembimbing, saya dan rekan– rekan sekelompok mulai mencoba memikirkan program kerja dan kegiatan apa saja yang cocok dilakukan untuk masyarakat di sana. Karena masih belum dapat menyamakan schedule untuk survei ke Desa Banyuwangi secara langsung, maka saya dan rekan–rekan kelompok 10 mencoba mencari informasi melalui internet. Dari beberapa sumber yang cukup terpercaya di internet, saya dan rekan–rekan sekelompok mengetahui bahwa Desa Banyuwangi adalah desa yang luas dan terletak di daerah dataran tinggi atau pegunungan yang kurang lebih membutuhkan waktu 30–40 menit perjalanan menggunakan motor dari

Dalam dokumen Tebaran Bakti di Desa Banyuwangi (Halaman 128-200)

Dokumen terkait