• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggalian Potensi Sosial Budaya dan Alam:

Dalam dokumen 20101104214711 Otonomi Daerah Masalah Pe (Halaman 84-89)

BAB III. OTONOMI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

E. Penggalian Potensi Sosial Budaya dan Alam:

Berbicara mengenai masyarakat negara Dunia Ketiga, kaitannya dengan Indonesia dalam memperaktekan pembangunan berbasis wilayah di era otonomi daerah ini, maka akan segera terlihat ke-nyataan yang melingkupi masyarakat di negara tersebut; kemiskinan dan keterbelakangan. Berbagai pendekatan banyak dilakukan untuk memetakan dan menganalisis asal mula hingga dampak kemiskinan bagi masa depan bangsa. Implikasi yang paling memprihatinkan adalah dampak terhadap manusianya sendiri dalam berkreasi memanfaatkan sumber daya yang ada. Betapa labil dan suramnya masa depan orang-orang yang terjerat dalam kemiskinan.

Dalam banyak kasus, masyarakat pada umumnya telah memiliki sistem pertahanan bagi kelangsungan hidup mereka. Pangan rakyat yang di masa sebelum diberlakukannya Revolusi Hijau dan penyeragaman pola tanam pertanian mengalami keberagaman. Bahan pangan pokok masyarakat tidak hanya beras, tetapi juga jagung, sagu dan umbi-umbian. Masyarakat Papua misalnya, telah mengenal ubi dan mengonsumsinya sejak jaman nenek moyang dan memahami jenis-jenis dan kegunaan umbi tersebut.

Ubi jalar merupakan komoditi yang tidak membutuhkan perawatan khusus dan sangat cocok untuk ditanam di daerah Papua. Pengetahuan masyarakat termasuk tinggi. Bagi anak-anak atau bayi biasanya diberikan jenis walelum karena teksturnya halus, tidak berserat dan mengandung betakaroten tinggi. Jenis halalekue dan

aragulek dikonsumsi oleh orang dewasa, dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercita rasa dan kulitnya tampak pecah-pecah.16 Di sini kearifan budaya lokal papua tidak begitu saja dapat digantikan oleh beras. Makanan-makanan tradisional ini memiliki legenda, adat dan budaya.

Selain ubi jalar, sagu pun menjadi pangan khas masyarakat papua. Di suku Asmat sagu dapat menjadi media perdamaian bagi kelompok-kelompok yang bertikai. Pada umumnya, pertikaian diselesaikan saat memanen sagu. Sagu memiliki keunggulan tidak hanya sebagai bahan pokok. Sagu juga berguna bagi bahan industri modern seperti pembuatan kayu lapis, sohun, kerupuk, kue kering, jeli dan lain-lain. Di Jepang, pati sagu setelah dicampur dengan bahan tertentu digunakan untuk bahan baku plastik daur ulang, lampu komputer, dan layar flat monitor TV. Sayangnya, di Indonesia tanaman pangan ini belum dioptimalkan penggunaan dan pengolahannya. Sebenarnya pernah ada perusahaan yang menginvestasikan modalnya untuk mengelola sagu papua di tahun 1988. Namun, perusahaan tersebut bangkrut karena nilai jual tidak setara dengan biaya produksi. Sementara, untuk mengekspor sagu waktu itu harus melalui izin yang berbelit-belit dan merugikan perusahaan itu sendiri. Pola makan beras yang disosialisasikan pemerintah pada kenyataannya telah merusak sejumlah ketahanan pangan nasional. Masyarakat Madura dan NTT yang mengonsumsi jagung, masyarakat Papua dan Maluku yang mengonsumsi sagu dan umbi-umbian telah beralih ke beras. Pola makan beras yang dicanangkan sebagai ketahanan pangan nasional yang disosialisasikan pemerintah telah menghilangkan pola makan makanan lokal. Hal ini terjadi karena berangkat dari pemahaman yang keliru bahwa beras adalah makanan orang modern. Mengonsumsi beras akan meningkatkan status sosial. Makanan lokal lain seperti ubi, sagu, pisang dan jagung adalah makanan orang tertinggal.

Dalam kasus Papua, pandangan seperti ini ditunjang dengan perilaku sejumlah pejabat dan orang asli Papua. Sebelum menjadi pejabat atau orang terkenal, mereka mengonsumsi umbi-umbian dan sagu, setelah menjadi pegawai negeri dan pejabat, pola hidup mereka

berubah. Mereka lebih senang makan di restoran dan di warung-warung makan dibandingkan menikmati makanan-makanan khas Papua.

Pada saat ini, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kebutuhan pokoknya pada beras. Meskipun harga beras semakin hari semakin tinggi, namun hampir tidak lagi ditemui kelompok masyarakat yang mengganti misalnya umbi, sagu atau jagung dalam makanan pokok sehari-hari. Kebiasaan ini berpengaruh terhadap kebijakan pangan yang lebih besar lagi, yaitu ke-tergantungan Indonesia pada impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Sebenarnya, masih banyak lagi kearifan-kearifan budaya yang layak digali untuk menangani kemiskinan yang membelenggu masyarakat. Keberagaman pangan hanyalah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang patut dikembangkan.

Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan sesuatu yang kompleks, tetapi untuk memahaminya dapat disederhanakan, dengan memperhatikan beberapa masalah pokoknya yaitu :

1) pendapatan yang rendah;

2) adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dengan yang miskin, di mana masyarakat miskin adalah mayoritas; 3) partisipasi masyarakat yang minim dalam usaha-usaha

pembangunan yang dilakukan pemerintah.

4) keadaan yang demikian memiliki sebab yang kompleks, namun jika disederhanakan akan tampak sebab-sebab pokok yaitu

5) kurangnya pengembangan sumberdaya alam; 6) kurangnya pengembangan sumberdaya manusia; 7) kurangnya lapangan kerja;

8) adanya struktur masyarakat yang menghambat.

Sekarang permasalahannya, bagaimana upaya mengangkat taraf kehidupan masyarakat dan merealisasikan potensi yang ada. Perlu dipertimbangkan bagaimana strateginya, pendekatannya dan terutama bagaimana pendidikan yang dapat memberikan sumbangan positif terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.

Pemahaman mengenai proses motivasi dan dinamika hidup yang memungkinkan kaum miskin mempertahankan hidupnya merupakan hal penting untuk membangun masyarakat. Masyarakat sangat tergantung pada fluktuasi pendapatan dan harga-harga bahan pokok. Kemampuan bertahan inilah yang merupakan modal masyarakat untuk dapat dikembangkan dengan menggali potensi-potensi yang ada.

Tiap-tiap masyarakat hidup dalam lingkungan sosial budaya dan alam yang berbeda. Masing-masing memiliki karakteristik yang dibangun berdasarkan social setting di mana masyarakat tersebut berada. Masyarakat pertanian tentu berbeda dengan masyarakat pesisir, demikian juga masyarakat perkotaan tentu tidak dapat disamakan dengan masyarakat perdesaan. Membangun masyarakat tentu tidak dapat dilepaskan dari social setting tersebut, artinya pola pembangunan yang diterapkan terhadap masyarakat kota tidak dapat disamakan dengan pembangunan yang diaplikasikan di desa. Kebutuhan dan sosiokultural kedua kelompok masyarakat tersebut sudah sangat berbeda. Satu hal yang pasti, tiap-tiap masyarakat memiliki ‘basic needs’. Kebutuhan mendasar dari masyarakat inilah yang harus digali untuk dapat memberdayakan potensi-potensi yang ada.

Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan-pelayanan dasar hanya dapat dimanfaatkan kalau hal itu terintegrasi dengan apa yang disebut sebagai “Self Organization” dan “Self Man-agement” dari masyarakat yang bersangkutan. Makna dari kedua konsep tersebut adalah pengembangan potensi kepercayaan dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisasi diri serta membangun sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki.17 Usaha pengembangan tersebut harus berbasis pada pengembangan kemampuan manajemen diri dan kelompok atau yang dikenal dengan Community Base Management. Pemberdayaan ini memiliki arti bahwa pembangunan dilakukan dari dalam (development from within) sebagai suatu proses yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan menguasai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan tersebut.

Penekanan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa hal, pertama, adanya kemampuan menyeluruh dari masyarakat dalam mempengaruhi lingkungan mereka, dan hal ini dapat dicapai jika proses pengembangan masyarakat merupakan proses pengembangan kemandirian mereka. Kedua, peningkatan pendapatan sebagai akibat peningkatan kemampuan menguasai lingkungan tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja atau kelompok masyarakat yang kuat, melainkan harus merata di tiap penduduk. Kedua faktor tersebut mengarah pada upaya menghindarkan penduduk perdesaan dari hambatan-hambatan dari luar yang mengurangi potensi mereka serta membatasi keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan setempat. Upaya pemberdayaan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara individual dan keluarga. Dalam rangka ini pendekatan yang paling efektif melalui kelompok, bukan secara in-dividual. Hal ini untuk menghindarkan individu yang berpotensi besaruntuk berkembang akan maju sendiri dan meninggalkan anggota masyarakat lain.

Pemberdayaan masyarakat karenanya terkait secara erat dengan tiga hal pokok, yaitu kearifan lokal (local wisdom), institusi dan individu. Ketiga komponen ini harus saling mendukung dan melengkapi. Apabila satu dari ketiganya timpang, maka pemberdayaan sulit berhasil. Tujuan dari pemberdayaan masyarakat yaitu membangun individu yang mandiri dan kelompok yang solid, serasi dengan pendekatan dan penguatan kelompok, dan tidak terlepas dari social setting masyarakat yang akan diberdayakan. Untuk itulah nilai-nilai lokal menjadi pedoman dalam mengembangkan kemampuan dan memaksimalkan potensi masyarakat. Berdasarkan hubungan ketiga komponen tersebut, maka skema pemberdayaan masyarakat dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan negara sebagai sistem yang lebih luas yang berfungsi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, struktur masyarakat Indonesia yang paternalistik menempatkan tokoh masyarakat dalam posisi yang penting. Untuk itu, keterlibatan tokoh masyarakat menjadi faktor yang cukup menentukan dalam proses pemberdayaan.

Paradigma pemberdayaan masyarakat hingga saat ini masih didominasi persepsi bahwa upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dilakukan dengan cara memberikan sejumlah dana sebagai modal. Padahal, pendekatan tersebut tidak selalu tepat, karena masyarakat belum tentu membutuhkan dana. Ada yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Ada pula masyarakat yang memiliki kemampuan mengolah sumber daya alam yang mereka miliki, tetapi tidak dapat mengakses pasar, jadi permasalahan memberdayakan masyarakat tidak dapat disamakan, harus dilihat kasus per kasus dan wilayah per wilayah.

Dalam dokumen 20101104214711 Otonomi Daerah Masalah Pe (Halaman 84-89)