• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN UMUM

2.3 Obat

2.3.1 Penggolongan

Untuk menjaga keamanan pengunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian :

2.3.1.1 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada kemasan ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan berwarna hijau. Isi dalam kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan isizat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara penyimpanannya. Contoh: Paracetamol, Mylanta, Oralit, Curcuma plus, dan lain-lain.

Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas

2.3.1.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Definisi Obat bebas terbatas termasuk obat keras di mana pada setiap takaran yang digunakan diberi batas dan pada kemasan ditandai dengan lingkaran hitam mengelilingi bulatan berwarna biru. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5 November 1975 ada tanda peringatan P. No. 1 sampai P. No. 6 dan harus ditandai dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan, nomor

batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan alamat produsen, petunjuk

penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan serta kontra indikasi. Contoh : Promag, Dulcolax, Methicol dan lain-lain.

Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.3. Penandaan Peringatan Obat

2.3.1.3 Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter, dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh garis tepi.

Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras digunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-obat yang ditetapkan sebagai obat keras melalui Kepmenkes RI. Contoh : amoksisilin, Captopril, Erithromycin dan lain-lain.

Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras

2.3.1.4 Obat Narkotika dan Psikotropika

Definisi menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

a. Narkotika dibagi 3 golongan yaitu : 1. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh: ganja, papaver somniverum, cocain (Erythroxylon coca), opium mentah, opium masak, heroin, etorfin, dan lain-lain.

2. Narkotika golongan II

Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan digunakan dalam pilihan terakhir dan akan digunakan dalam terapi atau buat pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh: fentanil, morfin, petidin, tebaina, tebakon, ekgonina, dan lain-lain. 3. Narkotika golongan III

Narkotika yang digunakan dalam terapi/pengobatan dan untuk pengembangan pengetahuan serta menimbulkan potensi ringan serta mengakibatkan ketergantungan. Contoh: etil morfin, codein, propiran, nikokodina, polkodina, norkodeina, dan lain-lain.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

b. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan : 2.3.2.1 Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: lisergida dan meskalina.

2. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin dan metamfetamin.

3. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentobarbital dan pentazonia.

4. Psikotropika golingan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: barbital, alprazolam dan diazepam.

Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras, sehingga dalam kemasannya memiliki tanda yang sama dengan obat keras. Sedangkan obat narkotika memiliki tanda berupa lambang medali berwarna merah.

Gambar 2.6. Penandaan Obat Psikotropika

2.3.2.1 Obat Wajib Apotek (OWA)

Menurut Kepmenkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien di apotek.

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria : a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Contoh: Omeprazole, Piroxicam, Prednisolone, Scopolamin, Ibuprofen dan sebagainya.

2.3.2.1 Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan Internasional Non Proprietary Name (INN) WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik dapat juga merupakan obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalty. Ada dua jenis obat generik yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya. Berdasarkan PerMenkes RI No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010 pasal 7 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah disebutkan bahwa apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

Gambar 2.7. Penandaan Obat Generik

2.3.2 Pengelolaan 2.3.2.1 Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, narkotika dapat didefinisikan sebagai suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika sangatlah bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan, namun dapat menimbulkan ketergantungan yang dapat merugikan pemakai apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Narkotika untuk kepetingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembagan ilmu pengetahuandan teknologi, maka diadakan pengawasan terhadap penggunaan narkotika yang meliputi pembelian, penyimpanan, penjualan, administrasi serta penyampaian laporannya.

Dalam rangka mempermudah pengawasan penggunaan Narkotika di wilayah Indonesia maka Pemerintah menetapkan PT. Kimia Farma sebagai satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi, mengimpor dan mendistribusikan narkotika di Indonesia. Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:

a. Pemesanan

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, dimana tiap jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat pesanan yang dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek.

b. Penyimpanan

Narkotika yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (1). Adapun tata cara penyimpanan narkotika diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 28/Menkes/per/1978 pasal 5 yaitu apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.

3. Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

4. Apabila tempat tersebut berukuran 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.

Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan RI No.28/Menkes/Per/I/1978 dinyatakan bahwa:

1. Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/Menkes/Per/1978 dan harus dikunci dengan baik.

2. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

3. Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang diberi kuasa.

4. Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh terlihat oleh umum.

c. Pelayanan resep

Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter dengan ketentuan berdasarkan surat edaran BPOM No.336/EE/SE/1977 antara lain dinyatakan:

1. Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) undang-undang no. 9 tahun 1976 tentang narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.

2. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya. 3. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

d. Pelaporan

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus ditandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Republik Indonesia Propinsi setempat dengan tembusan kepada (Depkes RI, 2009):

1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. 2. Balai POM setempat.

3. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma Tbk. 4. Arsip apotek.

Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi: 1. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika. 2. Laporan penggunaan bahan baku narkotika. 3. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.

Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.

e. Pemusnahan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/Menkes/Per/I/1978 Pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:

1. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.

2. Kadaluarsa.

3. Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Berkaitan dengan tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau badan usaha yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan dengan disaksikan oleh pejabat yang

ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi persyaratan pada apotek adalah sebagai berikut:

1. Bagi apotek di tingkat propinsi, pelaksanaan pemusnahan disaksikan oleh petugas dari Balai POM setempat.

2. Bagi apotek di tingkat Kabupaten/Kota pemusnahan disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II.

Pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

2. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.

3. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut.

4. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. 5. Cara pemusnahan.

6. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan, yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin.

2.3.2.2 Psikotropika

Ruang lingkup pengaturan psikotropik dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 adalah segala yang berhubungan dengan psikotropika yangmempunyai potensi yang mengakibatkan ketergantungan.Tujuan dari pengaturan psikotropika ini sama dengan narkotika, yaitu: menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan; mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika; dan memberantas peredaran gelap psikotropika.

a. Pemesanan

Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan obat lainnya yakni dengan surat pemesanan yang sudah ditandatangani oleh APA yang dikirim ke pedagang besar farmasi (PBF). Pemesanan psikotropika tidak memerlukan surat pemesanan khusus dan dapat dipesan apotek dari PBF atau pabrik obat. Penyaluran psikotropika tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 pasal 12 ayat (2) dinyatakan bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pelayanan resep. Satu lembar surat pesanan psikotropika dapat terdiri dari berbagai jenis obat psikotropika.

b. Penyimpanan

Sampai ini penyimpanan untuk obat-obatan golongan psikotropika belum diatur dengan suatu perundang-undangan. Namun karena obat-obatan psikotropika ini cenderung untuk disalahgunakan, maka disarankan agar menyimpan obat-obatan psikotropika tersebut dalam suatu rak atau lemari khusus yang terpisah dengan obat-obat lain, tidak harus dikunci dan membuat kartu stok psikotropika.

c. Penyerahan

Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pasien berdasarkan resep dokter.

d. Pelaporan

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, pabrik obat, PBF, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri Kesehatan secara berkala. Pelaporan psikotropika dilakukan sebulan sekali dengan ditandatangani oleh APA dilakukan secara berkala yaitu setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Propinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan setempat dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

e. Pemusnahan

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika, pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses psikotropika, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat kepastian. Berita acara pemusnahan tersebut memuat:

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

2. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.

3. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut.

4. Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan. 5. Cara pemusnahan.

6. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

2.3.3 Resep, Obat Rusak Dan Kadaluarsa

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MenKes/Per/X/1993 pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan sediaan farmasi dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau apoteker pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang

ditunjuk Kepala POM setempat. Pada pemusnahan tersebut wajib dibuat berita acara pemusnahan dengan menggunakan formulir model APT-8, sedangkan pemusnahan obat-obatan golongan narkotik dan psikotropika wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Depkes RI, 1993)

2.3.3.1 Pemusnahan

Menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 280 tahun 1981 tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan apotek pada pasal 7 ayat 3 dan 4 menyebutkan bahwa resep yang telah disimpan lebih dari 3 tahun tersebut dapat dimusnahkan dengan cara di bakar atau dengan cara lain yang lebih memadai. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau apoteker pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan dan harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam empat rangkap serta ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek dan petugas apotek yang melakukan pemusnahan resep tersebut.

Dokumen terkait