• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Cara Penggunaan Cup Ukur Sediaan Cair Oral oleh Responden Berdasarkan

2. Penggunaan cup ukur sediaan cair oral oleh responden

Perilaku pencarian kesehatan dipengaruhi oleh 3 aspek, yaitu aspek pengetahuan, sikap dan tindakan. Untuk mengetahui cara penggunaan cup ukur dan penggunaan sediaan cair oral, dilakukan penyebaran lembar kuisioner dan wawancara. Pernyataan yang terdapat dalam kuisioner meliputi ketiga aspek pengetahuan, sikap dan tindakan dengan masing-masing aspek terkandung dalam 10 pernyataan. Cup ukur dan sediaan cair oral tidak harus yang dibeli dari apotek tempat pelaksaan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang lebih variatif dalam penelitian ini.

1. Aspek pengetahuan

Sebuah penelitian menemukan bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat, dan rasional (Dharmasari, 2003). Pernyataan-pernyataan pada bagian pertama ini berisi pengetahuan umum mengenai cara penggunaan sediaan cair oral dan cup ukur dan terdiri dari 3 pernyataan favourable dan 7 pernyataan unfavourable.

Tabel IX . Hasil Pengisian Kuisioner Aspek Pengetahuan Responden No. Pernyataan Kuisioner Persentase jawaban

Benar (%)

Persentase jawaban Salah (%)

1 Semua jenis obat harus digunakan sampai habis. *) 66,0 34,0

2 Cara penggunaan obat yang benar akan mempengaruhi kesembuhan penyakit. 84,0 16,0 3 Penyimpanan obat cair harus di suhu kamar tempat yang kering, dan terlindung cahaya. 92,0 8,0 4 Penggunaan obat cair tidak boleh menggunakan sendok makan/sendok teh di rumah. 32,0 68,0

5 Semua obat cair yang diminum berbentuk sirup. *) 28,0 72,0

6 Walaupun rasa, warna, bau dan kejernihan dari larutan obat sudah berubah, obat masih dapat digunakan

kembali. *) 100,0 0,0

7 Pengukuran volume obat cair dengan sejajar dengan mata cup ukur harus 50,0 50,0 8 Pembacaan brosurrisiko yang tidak dikehendaki pada kemasan obat akan mengurangi 92,0 8,0 9 Sebelum meminum obat cair sebaiknya dikocok terlebih dahulu. 88,0 12,0 10 Kebersihan adalah hal yang penting dalam penggunaan obat cair 100,0 0,0

Rata-rata 73,2 26,8

Keterangan : *) pernyataan unfavourable

Pada pernyataan pertama, dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner sebagian besar responden (66,0%) menjawab dengan benar. Beberapa responden bahkan mengetahui bahwa terdapat golongan antibiotik yang harus diminum sampai habis, namun penggunaan obat selain antibiotik tidak perlu sampai habis. Informasi mengenai golongan antibiotik dan non antibiotik didapatkan responden dari apoteker, dokter maupun majalah-majalah kesehatan. Penggunaan obat selain antibiotik hanya sampai gejala atau penyakit mereda saja. Responden merasa untuk penggunaan obat seperti obat batuk cukup sampai gejala mereda, hal ini responden lakukan karena responden takut menjadi ketergantungan pada obat tertentu. Salah satu responden mengatakan bahwa dalam penggunaan obat, apabila dalam 3 hari tidak terjadi kesembuhan, maka responden akan berkonsultasi kembali kepada dokter. Alasan lain adalah responden selalu mengikuti petunjuk

dokter. Apabila dokter mengatakan pemakaian sampai habis maka responden akan mematuhinya, begitu pula sebaliknya. Perlu adanya usaha untuk menambah pengetahuan responden mengenai cara pemakaian obat agar responden dapat lebih bertanggung jawab mengenai cara penggunaan obat dan bukan hanya menurut pada apa kata tenaga profesional kesehatan.

Sebanyak 84% responden menyatakan bahwa cara penggunaan obat yang benar akan mempengaruhi kesembuhan penyakit. Responden mengganggap bahwa dengan menggunakan obat secara benar, maka kesembuhan akan semakin cepat didapat. Sebanyak 16,0% responden lainnya merasa bahwa kesembuhan tidak akan dipengaruhi oleh cara penggunaan obat. Responden menganggap bahwa kesembuhan yang terjadi hanya dipengaruhi oleh sugesti responden sendiri. Selain karena sugesti, kesembuhan juga dipengaruhi oleh banyaknya istirahat dan juga semangat pasien untuk sembuh. Alasan-alasan seperti inilah yang terkadang membuat responden tidak menaati aturan pemakaian obat.

Mengenai cara penyimpanan obat, terdapat 92,0% responden yang menjawab dengan benar bahwa obat harus disimpan di suhu kamar tempat yang kering dan terlindung dari cahaya. Dalam penyimpanan obat responden memilih ruang kamar, kotak plastik, lemari/meja, ruang tamu, meja makan, meja dalam kamar, almari, rak, kotak obat, buffet dan freezer. Alasan responden memilih tempat penyimpanan adalah agar mudah terlihat dan mudah terjangkau, jauh dari jangkauan anak-anak, agar terhindar dari tikus dan agar tidak terkena cahaya yang dapat mengubah komposisi obat. Walaupun menjawab dengan benar, namun pada prakteknya, beberapa responden masih salah dalam melakukan penyimpanan obat

cair oral. Responden menganggap bahwa penyimpanan obat cair seharusnya di dalam lemari es. Responden menyimpan obat di lemari es dengan alasan agar obat awet, fresh dan dingin ketika diminum.

Dalam Farmakope Indonesia IV disebutkan bahwa suhu penyimpanan sejuk adalah suhu antara 8° dan 15° bila perlu disimpan dalam lemari pendingin. Suhu kamar adalah suhu antara 15° dan 30° (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Penyimpanan obat cair oral tidak harus selalu di lemari es, penyimpanan obat cair tergantung pada petunjuk yang terdapat pada kemasan obat cair.

Walaupun demikian terdapat perbedaan antar petunjuk-petunjuk yang terdapat pada sediaan cair. Perbedaan-perbedaan petunjuk mengenai penyimpanan tentunya akan membingungkan responden dalam penyimpanan obat cair. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan bantuan dari apoteker untuk mengatasi kesalahpahaman responden dengan menyediakan informasi yang tepat dan jelas.

Tabel X. Beberapa petunjuk penyimpanan obat cair yang tertera pada kemasan

Petunjuk dalam kemasan Aturan suhu

Sejuk Di bawah 15°C Rentang suhu 15-30°C

Tidak dicantumkan aturan suhu Suhu kamar suhu 25-30°C Tidak lebih dari 25°C

Tidak dicantumkan aturan suhu

Tidak dicantumkan aturan penyimpanan, langsung diberikan petunjuk simpan pada suhu 2-30 tidak lebih dari °C

Simpan di tempat yang terlindung cahaya matahari

Penyimpanan suspensi antibiotik merupakan salah satu masalah dalam penggunaan obat cair, hal ini karena beberapa sediaan membutuhkan lemari es untuk menjaga keefektifan khasiat obat (McMahon, dkk, 1997). Beberapa

suspensi antibiotik mempunyai kestabilan yang sangat terbatas, sehingga apabila tidak disimpan dalam lemari es dapat menyebabkan terjadinya degradasi komponen obat. Beberapa suspensi antibiotik mencantumkan bahwa penyimpannya harus di dalam lemari es dengan suhu 2-8°C. Suspensi antibiotik juga hanya dapat dipakai selama 7 hari. Hal ini menjadi masalah karena berdasarkan wawancara, tidak semua responden memiliki lemari es.

Pada kenyataannya, penyimpanan antibiotik harus memperhatikan sifat fisikokimia dari zat aktif. Tidak semua suspensi antibiotik harus disimpan dalam lemari es, seperti pada antibiotik trimetoprim-sulfametoksasol. Penyimpanan antibiotik trimetoprim-sulfametoksasol dalam lemari es dapat meningkatkan kekentalan larutan sehingga kemungkinan menempel dalam dinding cup ukur meningkat, selain itu dapat pula menyebabkan kemampuan dituang semakin menurun (Dusdieker, Murph, dan Milavetz, 2000). Pemakaian antibiotika yang tidak tepat seperti dosis yang tidak tepat, pemakaian dalam jangka waktu yang lama, sudah rusak, kadaluarsa memungkinkan terjadinya resistensi ataupun superinfeksi (Jamal, Suhardi, dan Wiryodagdo, 1999).

Pada pernyataan 4, sebanyak 64,0% responden menganggap penggunaan obat cair boleh menggunakan sendok makan/sendok teh. Responden menganggap bahwa penggunaan sendok makan/sendok teh sudah benar. Hal ini karena cara penggunaan yang tertera pada kemasan, etiket, maupun brosur obat menyebutkan penggunaan takaran sendok makan dan sendok teh. Dalam pembelian di apotek, tak jarang petugas juga menganjurkan penggunaan sendok makan/sendok teh yang terdapat di rumah. Responden tidak mengetahui bahwa takaran sendok makan

yang dimaksudkan adalah sebesar 15ml dan sendok teh sebesar 5ml (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Sebanyak 36,0% responden lainya menyatakan bahwa ukuran sendok makan/sendok teh di rumah berbeda-beda sehingga pengukuran dosis menggunakan cup ukur sudah tepat karena ukuran yang didapat lebih pasti. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Bayor, dkk pada tahun 2010 yang mendapatkan bahwa 750% pasien menggunakan sendok makan/sendok teh dalam menggunakan obat cair oral.

Sebanyak 28,0% responden menyatakan bahwa semua obat cair yang beredar berbentuk sirup. Hal ini wajar terjadi karena tidak semua orang mengetahui bentuk-bentuk sediaan cair seperti emulsi, suspensi ataupun bentuk lainnya. Responden mengatakan bahwa tidak semua obat cair berbentuk sirup. Terdapat beberapa responden yang mengetahui bentuk selain sirup dan terdapat beberapa responden yang tidak mengetahuinya dan hanya menyebutkan obat cair yang kental dan rasanya tidak teralu manis. Pengetahuan mengenai jenis obat cair, tentunya akan meningkatkan pemakaian obat cair yang rasional.

Pada pernyataan nomor 6 sebanyak 100,0% responden menjawab bahwa apabila obat sudah mulai berubah sifat-sifat fisiknya seperti rasa, bau dan warna maka obat tidak dapat dipakai kembali.

Dalam menuangkan sediaan cair, cup ukur harus diletakkan di atas permukaan yang rata terlebih dahulu, lalu dilihat dengan menempatkan mata sejajar dengan cup ukur (MAT Independent Study, 2008). Pada pengukuran volume obat, sebanyak 50,0% responden menyatakan bahwa pengukuran obat

tidak harus sejajar dengan mata. Menurut responden, asalkan angka pada cup ukur sudah terlihat tidak menjadi masalah. Pada responden yang sudah mengalami penurunan penglihatan, penuangan volume obat tidak dapat dilakukan sejajar dengan mata karena agar dapat terlihat, cup ukur harus diletakkan dengan jarak yang agak jauh dari mata. Responden yang menyatakan bahwa pengukuran volume obat harus sejajar dengan mata menyatakan bahwa hal ini perlu dilakukan agar ukuran (volume) yang didapatkan lebih pas. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, responden meletakkan cup ukur di meja yang mempunyai permukaan rata terlebih dahulu. Pengukuran cup ukur sejajar dengan mata penting untuk memastikan dosis yang dituang sesuai dengan dosis pada aturan pakai.

Untuk menambah informasi, tak jarang responden membaca brosur yang terdapat pada kemasan obat. Hal ini responden lakukan untuk mengetahui indikasi, kontraindikasi dan menambah pengetahuan terkait masalah obat. Hal ini juga akan membuat responden lebih berhati-hati dalam pemakaian obat. Sebanyak 92,0% responden menyatakan bahwa dengan membaca brosur obat, maka resiko pemakaian obat akan berkurang.

Sediaan cair merupakan sistem yang terdiri dari 2 fase, yaitu solut dan solvent untuk larutan, fase minyak dan fase air untuk emulsi serta padatan dan fase pembawa pada suspensi. Dalam penggunaannya, homogenitas sediaan cair sangat penting untuk menjamin dosis yang didapatkan selalu seragam. Hal ini dapat dicapai dengan mengocok sediaan cair sebelum menggunakannya.

Salah satu kelemahan pada penggunaan suspensi adalah ketidakstabilan secara fisik. Suspensi dapat membentuk endapan dan menyebabkan dosis menjadi

tidak seragam (Griebmann, Breitkreutz, Schubert-Zsilavecz, dan Abdel-Tawab, 2007). Kelemahan ini dapat diatasi dengan mengocok suspensi dahulu untuk meredispersikannya kembali. Suspensi yang tidak dikocok terlebih dahulu akan menyebabkan vikositas sediaan menjadi berubah. Suspensi yang viskositasnya menjadi rendah akan membentuk sedimen dalam beberapa jam dan menyebabkan konsentrasi sediaan tidak mencapai 8% dari konsentrasi yang tertera pada label obat. Suspensi yang viskositasnya menjadi lebih tinggi dapat menyebabkan terjadinya segregasi tak kasat mata yang menyebabkan konsentrasi hanya menjadi 5,7% setelah 24 jam (Griebmann, dkk, 2007).

Sebanyak 88,0% responden menyatakan akan mengocok sediaan cair sebelum meminumnya. Responden menganggap dengan mengocok botol obat cair terlebih dahulu, maka tidak akan terdapat endapan. Sebanyak 12,0% lainnya menyatakan akan mendengarkan aturan cara pakai yang diberikan oleh apoteker/dokter, selain itu responden juga melihat aturan pada kemasan terlebih dahulu.

Pada kenyataannya, tidak semua kemasan obat mencantumkan petunjuk agar obat dikocok sebelum digunakan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseragaman dosis yang didapatkan apabila menggunakan obat cair dan akan sangat berbahaya apabila menggunakan antibiotik dan obat dengan jendela terapi yang sempit. Dosis yang terlalu rendah dalam penggunaan antibiotik dapat menyebabkan kegagalan outcome terapi. Kekeliruan dosis dapat memicu terjadinya kegagalan terapi antibiotik sehingga terapi yang diberikan tidak dapat menghilangkan gejala ataupun infeksi dapat kambuh kembali setelah terapi

dihentikan (Wattimena, Sugiarso, Widianto, Sukandar, Soemardji, dan Setiadi, 1991). Untuk dapat mencegah hal ini, apoteker dapat mencantumkan tulisan ‘kocok dahulu’ dalam etiket obat dan mengingatkan pasien pada saat penyerahan obat.

Dalam menggunakan obat cair sebanyak 100,0% responden menyatakan bahwa kebersihan adalah hal yang penting.

Berdasarkan data kuisioner didapatkan hasil rata-rata responden menjawab benar sebanyak 73,2%. Pada pernyataan nomor 6 dan nomor 10 responden menjawab 100,0% benar. Adanya pernyataan nonfavourable dan pernyataan favourable tidak mempengaruhi persentase tingkat pengetahuan responden. Tingkat pengetahuan responden tergolong sedang (cukup baik). 2. Aspek sikap

Sikap berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat dan rasional. Pernyataan-pernyataan pada bagian kedua ini berisi sikap mengenai cara penggunaan sediaan cair oral dan cup ukur. Terdapat 3 pernyataan favourable dan 7 pernyataan unfavourable.

Sebuah penelitian di Ghana menyatakan bahwa untuk mengukur volume obat cair 5-20 ml alat bantu ukur yang dianjurkan adalah cup ukur (Bayor,dkk., 2010). Pada penelitian ini diketahui bahwa hanya 72,0% responden yang merasa harus menggunakan cup ukur yang terdapat pada kemasan obat cair. Responden merasa bahwa penggunaan cup ukur tidak praktis. Cup ukur umumnya terbuat dari plastik sehingga membuatnya menjadi tidak sehat dan kotor. Hal inilah yang membuat responden menggunakan sendok makan/sendok teh yang terdapat di

rumah. Terdapat salah satu responden yang mengatakan bahwa responden selalu meminum obat cair langsung dari botolnya tanpa menggunakan alat bantu ukur apapun. Responden juga terkadang menggunakan tutup segel berwarna putih yang seharusnya hanya digunakan untuk menjaga agar obat tertutup rapat. Untuk mendapatkan dosis 1 sendok makan/sendok teh seperti tertera pada kemasan, responden hanya kira-kira saja. Perilaku penggunaan obat cair yang seenaknya dapat memicu tingginya angka kesalahan pemakaian obat, oleh karena itu diperlukan usaha dari segenap tenaga profesional kesehatan untuk mengusahakan penyebaran informasi yang jelas untuk meningkatkan penggunaan obat cair yang rasional.

Tabel XI. Hasil Pengisian Kuisioner Apek Sikap Responden No Pernyataan Persentase jawaban

Benar

Persentase jawaban

Salah 1 Saya merasa harus menggunakan dalam kemasan obat. cup ukur yang tersedia di 72,0 28,0 2 Saya merasa perlu bertanya pada petugas apotek tentang informasi yang kurang jelas mengenai cara penggunaan

obat. 84,0 16,0

3 Saya memilih petugas apotek sebagai sumber informasi cara penggunaan obat. 56,0 44,0 4 Saya yakin obat cair setelah dibuka masih dapat digunakan kembali asal belum lewat tanggal kadaluarsa.*) 36,0 64,0 5 Saya yakin setelah segel obat dibuka maka pemakaian obat harus memperhatikan rasa,warna, bau, kejernihan dari obat

meskipun belum kadaluwarsa. 78,0 22,0

6 Saya merasa pengukuran volume obat dengan menggunakan sendok makan/sendok teh di rumah sudah tepat. *) 56,0 44,0 7 Saya merasa perlu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menggunakan obat cair. 74,0 26,0 8 Saya merasa penggunaan obat cair dengan benar akan mengurangi resiko yang tidak dikehendaki. cup ukur dengan 78,0 22,0 9 Saya merasa informasi penggunaan mempengaruhi kesembuhan saya. cup ukur akan 72,0 28,0 10 Saya merasa ukuran sendok makan/sendok teh di rumah sama dengan cup ukur di kemasan obat. *) 64,0 36,0

Rata-rata 67,0 33,0

Sebanyak 84,0% responden merasa harus bertanya kepada petugas apotek tentang informasi yang kurang jelas mengenai cara penggunaan obat cair. Hal ini dilakukan oleh responden agar tidak terjadi kesalahan dalam pemakaian obat. Walaupun demikian, 16,0% responden merasa tidak perlu menanyakan kembali karena merasa telah cukup mendapat informasi dari dokter dan dapat mencari informasi sendiri dari brosur obat maupun dari majalah kesehatan.

Sebanyak 56,0% responden memilih petugas apotek sebagai sumber informasi obat. Alasan responden adalah pembelian obat dilakukan di apotek, sehingga petugas apotek lebih dekat dan praktis untuk ditanyai mengenai informasi obat. Apoteker bertugas untuk membaca resep sehingga apoteker dapat memberikan informasi yang mendetail juga dapat menerangkan dengan jelas kepada responden.

Sebanyak 44,0% responden lainnya merasa bahwa informasi obat sebaiknya ditanyakan kepada dokter yang lebih mengerti mengenai penyakit, tak jarang responden mempunyai keluarga yang berprofesi sebagai dokter. Seorang responden bahkan memilih teman yang tidak mempunyai kompetensi sebagai sumber informasi tentang obat. Sebanyak 21 responden mengaku dalam wawancara bahwa untuk menanyakan mengenai informasi obat, dokter menjadi pilihan utama respoden. Responden merasa bahwa dokter adalah orang yang mengetahui segala sesuatu mengenai penyakit dan obat. Sebanyak 14 responden merasa bahwa apoteker tidak melayani dalam apotek. Responden merasa bahwa apoteker selalu berada di dalam apotek di balik rak-rak obat, sedangkan yang melayani pembelian obat adalah asisten apoteker ataupun karyawan biasa bagian

administrasi. Terdapat satu orang responden yang bahkan sama sekali tidak mengetahui apa dan siapa itu apoteker. Hal ini tentunya menjadi perhatian untuk semakin memacu peran nyata apoteker dalam masyarakat sehingga pada masa mendatang, apoteker dapat menjadi figur penting dalam membantu memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, khususnya dalam pemenuhan informasi terkait obat.

Tabel XII. Tugas Apoteker di Apotek Menurut Responden Berdasarkan Hasil Wawancara

No. Jawaban responden % responden

1. Mengatur obat-obatan 6,3

2. Meracik obat sesuai resep dokter 43,8

3. Menyediakan obat bagi pasien 18,8

4. Menyerahkan obat dan memberitahu informasi obat 12,5

5. Melayani kebutuhan obat 6,3

6. Memantau kerja anak buah 6,3

7. Memantau apakah obat yang diberi dokter sudah cocok dengan

kondisi pasien atau belum. 6,3

n (jumlah responden yang menjawab) = 16

Sebanyak 3,6% responden mengaku tidak pernah diberi informasi apapun ketika membeli obat di apotek. Sebanyak 27 responden menyatakan mendapatkan informasi ketika membeli obat di apotek. Informasi yang sering diberikan oleh apoteker pada saat pemberian obat cair kepada responden adalah cara pakai, indikasi, dosis, dan jangka waktu pemakaian obat. Sebagian besar responden tidak pernah diberitahu mengenai cara penggunaan cup ukur. Responden mengetahui cara pemakaian dengan membaca brosur obat.

Berdasarkan data kuisioner 36,0% responden merasa obat cair yang telah dibuka masih dapat digunakan kembali asal belum lewat tanggal kadaluarsa. 64,0% responden lainnya merasa bahwa hal itu tergantung dari penyimpanan obat.

Apabila obat disimpan dengan rapat, tidak menjadi masalah namun apabila obat disimpan dengan tidak rapat maka obat tidak boleh digunakan kembali.

Tabel XIII. Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah Mendapat Informasi dari Apoteker

No. Jawaban responden % responden

1. Lebih mengetahui cara penggunaan obat 32,1

2. Lebih berhati-hati sehingga dapat mengambil dosis yang tepat 21,4

3. Dapat membantu kesembuhan responden 14,3

4. Responden merasa lebih mantap dalam pemakaian obat 17,9

5. Responden merasa harus lebih teratur menggunakan obat 3,6

6. Responden puas karena merasa diperhatikan dan dilayani oleh

apoteker 3,6

7. Mengingatkan cara penggunaan obat 3,6

8. Tidak ada manfaat yanng dirasakan 3,6

n (jumlah responden yang menjawab) = 28

Responden menyimpan obat cair dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Sebanyak 7,9% responden langsung membuang obat cair begitu mengalami kesembuhan. Terdapat seorang responden yang langsung membuang obat cair setelah lewat 3 hari penggunaan. Sebanyak 2,6% responden menyimpan selama 3 minggu lalu langsung membuangnya. Responden beranggapan bahwa setelah obat dibuka, maka akan terkontaminasi oleh udara dan angin sehingga obat berubah menjadi racun. Sebanyak 13,2% responden menyimpan obat cair sampai jangka waktu 2-3 bulan dan 2,6% responden menyimpan sampai 1 tahun. Sebagian besar responden menyimpan obat cair dengan berpatokan pada tanggal kadaluarsa. Responden merasa tanggal kadaluarsa dapat dipakai karena sudah merupakan petunjuk dari pabrik pembuat obat. Terdapat kesalahpaman masyarakat terkait masalah penyimpanan obat. Penyimpanan obat cair yang tidak benar akan menyebabkan obat terdegradasi, dimasuki serangga ataupun ditumbuhi jamur dan dapat menyebabkan keefektifan obat berkurang ataupun hilang.

Pada pernyataan nomor 5, sebanyak 78,0% responden merasa bahwa setelah segel obat dibuka maka pemakaian obat cair harus memperhatikan rasa, warna, bau dan kejernihan dari obat meskipun belum kadaluarsa. Hal ini dilakukan responden untuk menjamin obat yang diminum masih dalam keadaan baik. 12,0% responden mengaku tidak pernah melihat tanda-tanda fisik obat dan menganggap tanggal kadaluarasa sebagai patokan apakah obat masih dapat digunakan atau tidak. Tanggal kadaluarasa adalah patokan untuk melihat apakah obat masih baik ketika obat masih dalam keadaan tersegel dan belum dibuka. Setelah obat dibuka, penyimpanan menjadi faktor yang sangat penting, sehingga pemeriksaan organoleptis terhadap tanda-tanda fisik sebelum obat digunakan kembali dapat dijadikan patokan untuk melihat apakah obat masih dapat digunakan atau tidak.

Pada pernyataan tentang pencucian tangan sebelum menggunakan obat cair, sebanyak 74,0% merasa bahwa hal tersebut perlu dilakukan. Walaupun telah menjawab demikian responden menyatakan bahwa hal tersebut terkadang tidak dilakukan karena lupa ataupun malas. Sebanyak 36,0% responden merasa cup yang digunakan sudah bersih dan responden hanya memegang botolnya saja tidak langsung menyentuh seperti pada saat penggunaan kapsul ataupun tablet. Hal inilah yang mendasari responden untuk tidak mencuci tangan sebelum menggunakan obat cair. Besarnya jumlah responden yang menyatakan bahwa pencucian tangan perlu dilakukan menandakan bahwa responden telah menyadari pentingnya kebersihan dalam penggunaan sediaan cair.

Sebanyak 56,0% responden merasa bahwa pengukuran volume obat dengan menggunakan sendok makan/sendok teh di rumah belum tepat. Suatu penelitian menemukan bahwa range volume sendok makan yang terdapat di Ghana adalah 2,5–7,8ml (Bayor,dkk., 2010). Akibat dari penggunaan sendok teh/sendok makan dalam mengukur volume sediaan cair, dosis yang didapatkan hanya 65% dari dosis yang direkomendasikan (Bica dan Farinha, 2005). Responden menyatakan bahwa walaupun merasa kurang tepat namun responden masih sering menggunakan sendok makan/sendok teh.

Gambar 17. Bermacam-macam Ukuran Sendok yang Terdapat di Indonesia Berdasarkan hasil pengisian kuisioner, sebanyak 64% responden merasa bahwa ukuran sendok makan berbeda dengan ukuran cup ukur. Terdapat beberapa responden yang merasa bahwa ukuran sendok makan lebih besar daripada ukuran cup ukur, dan sebaliknya. Beberapa responden merasa bahwa hanya terdapat

Dokumen terkait