• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UNGKAPAN AL-QUR`AN TENTANG KEKEKALAN

A. Penggunaan Kata Khulūd

Bagi pemerhati al-Qur`an kata-kata yang bertema khulūd adalah kata yang sangat populer dibaca dan didengar. Hal ini karena kata-kata tersebut sangat banyak di dalam al-Qur`an. Biasanya kata

khulūd selalu mengiringi sifat surga dan neraka atau sifat penghuni

surga di dalam surga dan sifat penghuni neraka di dalam neraka. Dalam kitab Lisān al-‘Arab lafadz khulūd disepadankan dengan lafadz dawām al-baqā (terus-menerus dan kekal). Surga/ Neraka dikatakan Dār al-Khuld dikarenakan ke-baqā-an penghuninya di dalamnya.1 Ini adalah khulūd ditinjau dari sisi bahasa.

Sedangkan secara istilah yang masyhur digunakan dalam teks- teks al-Qur`an mayoritas mufassir mengacu pada definisi bahasa, yaitu untuk menunjukan kekekalan selama-lamanya. Hal ini diungkapkan dalam banyak kitab tafsir seperti al-Ṭabarī, Ibn Kathīr, al-Sa’dī, al-Alūsī dan lainnya. Terkadang ada juga yang memaknai lafadz khulud dengan waktu yang sangat lama sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Ṭanṭāwī ketika menafsirkan surat al- Baqarah[002]:162. Walaupun dia berpendapat jika lafadz ini digunakan untuk orang kafir maka maknanya adalah kekal selama- lamanya.

Asal makna lafadz khulūd biasanya bermakna kekal selamanya sebagaimana yang terdapat dalam kamus Lisān al-‘Arab

di atas, sehingga seorang mufassir ketika memaksudkan lafadz

khulūd dengan makna waktu yang lama biasanya akan menjelaskan,

sebagaimana yang terdapat dalam tafsir al-Manār, al-Miṣbāh dan juga fī Ẓilāl al-Qur`ān.

Kata-kata khulūd seperti terdapat dalam al-Qur`an dengan beberapa ṣīgah (bentuk kata dalam bahasa arab). Ṣīgah pertama dalam bentuk fi’il muḍāri’ (Yakhlud dan yakhludūn) terdapat dalam (Al-Furqān[025]:69) dan dalam al-Syu’ārā[026]:129, Ṣīgah yang kedua adalah fi’il māḍī yang ditambah huruf hamzah di depannya (Akhlada) Ṣīgah ini terdapat dalam surat al-A’rāf[007]:176 dan al- Humazah[104]:03, Ṣīgah ketiga dalam bentuk maṣdar (al-Khuld) kata ini terulang sebanyak enam kali satu kali dalam keadaan manṣūb (al-Anbiyā`[021]:34) dan lima kali dalam keadaan majrūr (Yūnus[010]:52, Ṭāhā[020]:120, al-Furqān[025]:15, al-

1

72

Sajdah[032]:14, Fuṣṣilat[041]:2). Ṣīgah keempat dalam bentuk ismu

al-fā’il al-mufrad (khālidun dan khālidan) terdapat dalam empat ayat,

satu ayat dalam keadaan marfu’ (Muḥammad[047]:15) dan tiga ayat dalam keadaan manṣūb (al-Nisā[004]:14 dan 93, al-Taubah[009]:63).

Ṣīgah kelima bentuk ismu al-fail al-muthanna (khālidaini) terdapat

satu kali dalam keadaan manṣūb (al-Ḥashr[059]:17), Ṣīgah keenam

ismu al-fā’il al-jam’ (khālidūn dan khālidīn) terdapat enam puluh lima ayat, dua puluh lima kali dalam keadaan marfū’ (al- Baqarah[002]: 25, 39, 81, 82, 217, 257, 275, Ᾱli Imrān[003]:107, 116, al-Māidah[005]:80, al-A’rāf[007]:36 dan 42, al-Taubah[009]:17, Yūnus[010]:26 dan 27, Hūd[011]:23, al-Ra`d[013]:23, al- Anbiyā`[021]:34, 99, dan 102, al-Mu`minūn[023]:11 dan 103, al- Zukhruf[043]:71 dan 74 dan al-Mujādilah[058]:17) dan empat puluh empat kali dalam keadaan manṣūb (al-Baqarah[002]:162, Ᾱli Imrān[003]:15, 88, 136 dan 198, al-Nisā[004]:13, 57, 122, dan 169, al-Māidah[005]:85 dan 119, al-An’ām[006]:128, al-A’rāf[007]:20, al- Taubah[009]:22, 68, 72, 89 dan 100, Hūd[011]:107 dan 108, Ibrāhīm[014]:23, al-Naḥl[016]:29, al-Kahfi[018]:108, Tāhā[020]:76 dan 101, al-Anbiyā[021]:8, al-Furqān[025]:16 dan 76, al- Ankabūt[029]:58, Luqmān[031]:9, al-Aḥzāb[033]:65, al- Zumar[039]:72 dan 73, Gāfir[040]:76, al-Ahqāf[046]:14, al- Fatḥ[048]:05, al-Ḥadīd[057]:12, al-Mujādilah[058]:22, al- Tagābun[064]:09 dan 10, al-Ṭalāq[065]:11, al-Jinn[072]:23, al- Bayyinah[098]:06 dan 08, Ṣīgah ketujuh kata khulūd yang terdapat dalam satu ayat yaitu surat Qāf[050]:34, dan terakhir yang kedelapan

Ṣīgah ism al-maf’ūl (Mukhalladūn) yang terdapat dalam al-

waqi’ah[056]:17 dan al-Insān[076]:19 . Jadi jumlah kata yang bertema khulud di dalam al-Qur`an terdapat 83 ayat.2

Untuk lebih mudah membaca data ayat-ayat yang bertema

khulūd di atas maka penulis menyusun bagan yang terdiri dari no,

ṣīgah, jumlah ayat dan letak dalam al-Qur`an sebagai berikut:

No Ṣīgah (Bentuk

Kata)

Jumlah Ayat

Letak Dalam al-Qur`an Muṣhaf

Uthmāni 1 Fi’il Muḍāri’ (yakhlud/ yakhludūn) 2

Al-Furqān[025]:69 dan al-

Syu’ārā[026]:129

2

fi’il māḍī yang

ditambah huruf

hamzah (Akhlada)

2 al-A’rāf[007]:176 dan al-

Humazah[104]:03

3 maṣdar (al-Khuld) 6 al-Anbiyā`[021]:34, Yūnus[010]:52,

2 Ḥusain Muḥammad Fahmi al-Syāfi’i,

al-Dalīl al-Mufahras Li Alfāẓ al- Qur`ān al-Karīm, (al-Qāhirah: Dār al-Salām, 1428 H), lihat halaman 400 untuk

73

Ṭāhā[020]:120, al-Furqān[025]:15, al-Sajdah[032]:14, Fuṣṣilat[041]:28 4 ismu al-fā’il al-

mufrad (khālidun

dan khālidan)

4 Muḥammad[047]:15, al-Nisā[004]:14 dan 93, al-Taubah[009]:63

5 ismu al-fail al- muthanna

(khālidaini)

1 al-Ḥashr[059]:17

6 ismu al-fā’il al-

jam’ (khālidūn

dan khālidīn)

65 al-Baqarah[002]: 25, 39, 81, 82, 217,

257, 275, Ᾱli Imrān[003]:107, 116,

al-Māidah[005]:80, al-A’rāf[007]:36 dan 42, al-Taubah[009]:17,

Yūnus[010]:26 dan 27, Hūd[011]:23,

al-Ra`d[013]:05, al-Anbiyā`[021]:34, 99, dan 102, al-Mu`minūn[023]:11 dan 103, al-Zukhruf[43]:71 dan 74 dan al-Mujādilah[058]:17, al-

Baqarah[002]:162, Ᾱli

Imrān[003]:15, 88, 136 dan 198, al-

Nisā[004]:13, 57, 122, dan 169, al- Māidah[005]:85 dan 119, al- An’ām[006]:128, al-A’rāf[007]:20, al-Taubah[009]:22, 68, 72, 89 dan 100, Hūd[011]:107 dan 108, Ibrāhīm[014]:23, al-Naḥl[016]:29, al- Kahfi[018]:108, Ṭāhā[020]:76 dan 101, al-Anbiyā[021]:08, al- Furqān[025]:16 dan 76, al- Ankabūt[029]:58, Luqmān[031]:09,

al-Aḥzāb[033]:65, al-Zumar[039]:72

dan 73, Gāfir[040]:76, al-

Aḥqāf[046]:14, al-Fatḥ[048]:05, al-

Ḥadīd[057]:12, al-

Mujādilah[058]:22, al-

Tagābun[064]:09 dan 10, al- Talaq[065]:11, al-Jinn[72]:23, al- Bayyinah[098]:06 dan 08 7 Ṣīgahmaṣdar

(khulūd)3

1 Qāf[050]:34

8 Ṣīgah ism al-

maf’ūl (Mukhalladūn) 2 Waqi’ah[056]:17 dan al- Insān[076]:19 3

Khuld dan Khulūd keduanya adalah maṣdar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muḥammad Rashīd Riḍā (W: 1935 M) dalam Tafsīr al-Manār,

74

Tema lafaẓ khulūd di atas tidak hanya untuk mensifati neraka atau penghuni neraka, akan tetapi terkadang untuk mensifati surga dan penghuni surga, serta yang lainnya. Peneliti kali ini hanya akan menfokuskan tema khulūd yang berkenaan dengan neraka dan penghuni neraka. Jika dipisahkan maka tema khulūd khusus untuk neraka dan penghuninya hanya akan di dapat sebanyak 34 kali. Yaitu ayat-ayat di bawah ini:

No Ṣīgah (Bentuk

Kata)

Jumlah Ayat

Letak Dalam al-Qur`an Muṣhaf

Uthmāni

1

Al-Fi’lu al-

Mudari’

(yakhlud)

1

Al-Furqān[025]:69

2 Al-Maṣdar (al-

Khuld)

2 Yūnus[010]:52, dan al- Sajdah[032]:14. 3 Ismu al-fā’il al-

mufrad (khālidun

dan khālidan)

4 Muḥammad[047]:15, al-Nisā[004]:14 dan 93, al-Taubah[009]:63

4 Ismu al-fail al- muthanna

(khālidaini)

1 al-Ḥashr[059]:17

5 ismu al-fā’il al-

jam’ (khālidūn

dan khālidīn)

26 al-Baqarah[002]: 39, 81, 217, 257,

275, Ᾱli Imrān[003]: 116, al-

A’rāf[007]:36, al-Taubah[009]:17,

Yūnus[010]: 27, al-Ra`d[013]:05, al-

Mu`minūn[023]:103, al-Zukhruf[043]: 74, al-Mujādilah[058]:17, al-

Baqarah[002]:162, Ᾱli Imrān[003]:88,

al-An’ām[006]:128, al-Taubah[009]:

68, Hūd[011]:107, al-Naḥl[016]:29,

Ṭāhā[020]:101, al-Aḥzāb[033]:65, al-

Zumar[039]:72, Gāfir[040]:76, al- Tagābun[064]:10, al-Jinn[072]:23, al- Bayyinah[098]:06

Ayat-ayat di atas adalah klasifikasi ayat-ayat yang bertema

khulūd di dalam al-Qur`an. Untuk lebih mendalami makna khulūd

yang terdapat di dalam al-Qur`an maka di bawah ini akan dihimpun interpretasi yang disusun dari literature-literatur kitab tafsir yang mu’tabar dan dikenal baik di dalam dunia akademik. Tidak semua ayat-ayat yang bertema khulūd dibahas dalam tesis ini, akan tetapi penulis akan mengambil beberapa ayat yang mewakili setiap ṣīgah di atas.

75

Yang pertama Ṣīgatu al-Fi’li al-Muḍāri’ firman Allah dalam surat Al-Furqān[025]:69, di dalam ayat ini Dia berfirman:

          

(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina (Al-

Furqān[025]:69)

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan bahwa ayat ini adalah ancaman bagi orang yang menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa hak, dan orang yang berzina. Mereka diancam oleh Allah dengan kekekalan di dalam neraka tanpa batas waktu dan mereka di sana dalam keadaan sangat hina. Ayat ini adalah ancaman bagi siapa saja yang melakukan larangan Allah ini, kecuali mereka yang bertaubat kembali menuju keridaan Allah, dan beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muḥammad, serta mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarangNya.4

Dalam penafsiran al-Ṭabarī ini diketahui bahwa dia berpendapat kekalnya pelaku shirik di dalam neraka selama-lamanya. Hal ini akan dikenakan bagi mereka yang mati dalam keshirikan, adapun ketika dia berbuat shirik dan bertaubat sebelum kematian maka dia akan diampuni.

Adapun al-Zamakhsharī (W: 538 H) mengatakan bahwa makna yakhlud (kekal) disini adalah al-ikhlād wa takhlīd

(dikekalkan) karena pada hakekatnya manusia tidak bisa kekal dengan sendirinya akan tetapi dikekalkan oleh Allah yang Maha Kekal. Dan mereka akan mendapatkan azab yang berlipat karena seseorang yang melakukan keshirikan dan perbuatan maksiat yang lain, maka dia akan disiksa karena keshirikan itu dan juga karena dosa lain yang dilakukannya.5

Penafsiran al-Zamakhsharī di atas memberikan informasi bahwa kekalnya penduduk neraka bersifat dikekalkan oleh Allah bukan kekal dengan sendirinya. Sehingga dengan pernyataan ini terhujamlah aqidah bagi mereka yang meyakininya bahwa kekekalan adalah sifat untuk Allah dan sifat untuk makhlukNya yang dikehendaki kekal olehNya. Di antara makhluk yang dikehendaki

4 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān Fī Ta`wīl al-Qur`ān (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009 M), 418.

5 Jār Allāh Maḥmaūd Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad al-Zamakhshari (W:538

H), al-Kashhāf ‘anHaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl Fī Wujūh al- Ta`wīl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), 286.

76

kekal oleh Allah berdasarkan nāṣ al-Qur`ān dan al-Sunnah adalah surga dan meraka serta penghuni keduanya.

Tentang ayat di atas Ṭanṭāwī menyatakan siapa saja yang melakukan larangan Allah berupa shirik, membunuh tanpa hak dan zina maka dia akan mendapatkan azab yang sangat keras yang tidak bisa dibayangkan, bahkan di akherat nanti akan dilipat gandakan azab untuk mereka sehingga mereka akan merasakan azab yang kekal, yang diiringi dengan kerendahan, kehinaan dan kekerdilan.6

Biasanya pembunuhan tanpa hak dan perbuatan zina dilakukan oleh orang-orang mushrik, sehingga sifat ini di sandarkan oleh Allah untuk mereka. Adapun orang-orang beriman tidak melakukan tiga kehinaan besar ini. dan siapa saja yang melakukan ini maka dia akan mendapatkan balasan dosa yang dilakukannya berupa pelipat gandaan azab dan kehinaan di dalam neraka. Akan tetapi siapa saja yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya dan menggantikan keburukan-keburukannya dengan kebaikan.7

Quraish Shihab mengatakan bahwa hamba-hamba al-Raḥmān, selain memiliki sifat-sifat baik maka merekapun selalu menghindari sifat-sifat tercela. Mereka adalah orang-orang yang memurnikan tauhid, tidak menyembah tuhan lain bersama Allah, dan merekapun tidak membunuh jiwa manusia yang diharamkan Allah membuhunnya kecuali dengan hak yaitu dengan sebab yang dibenarkan oleh Allah, dan juga tidak berzina. Barang siapa yang melakukan dosa-dosa yang sangat jauh keburukannya itu, niscaya dia menemukan balasan dosa-dosanya. Balasannya berupa dilipatgandakan untuknya siksa pada hari kiamat, dan dia akan kekal di dalamnya yaitu di dalam siksaan itu dalam keadaan terhina.8

Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab tidak menjelaskan makna “yakhlud” dengan waktu yang sangat lama, tapi hanya dimaknai kekal. Bisa jadi yang dimaksud kekal disini adalah waktu yang lama sebagaimana ketika dia menafsirkan surat al- Baqarah[002]:162, atau bisa jadi karena beliau tidak konsisten dengan pandangannya.

Yang kedua ṣīgatu al-maṣdar firman Allah dalam surat Yūnus[010]:52, di dalam ayat ini Dia berfirman:

6 Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī, al-Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur`ān al-Karīm

(al-Qāhirah: Dār Nahḍah, 1998 M), 219-229.

7Shauqi Ḍaif,

al-Wajīz Fī Tafsīr al-Qur`ān al-Karīm (al-Qāhirah: Dār al- Ma’ārif, 1415 H), 613.

8

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur`an (Jakarta: Lentera Hati, 2002 M), 534-535.

77                     

Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu: "Rasakanlah oleh kalian siksaan yang kekal; kalian tidak diberi Balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan."

(Yūnus[010]:52)

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan maksud zalim di sini adalah kufur kepada Allah, karena orang yang kufur di dunia ini pada hakekanya dia telah menzalimi dirinya sendiri. Mereka akan disiksa dengan siksaan kekal abadi, yang tidak akan hilang dan binasa, dan merekapun diingatkan bahwa sesungguhnya azab yang kekal ini adalah balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan mereka pada Allah sewaktu di dunia.9

Kezaliman dalam ayat ini ditafsirkan oleh al-Ṭabarī dengan kekufuran karena hanya kekufuran yang diyakini olah al-Ṭabarī yang menyebabkan kekekalan pelakunya di dalam neraka, adapun kezaliman yang berada dibawah kekufuran maka tidak akan menyebabkan kekekalan neraka.

Orang-orang zalim yang ada di dalam ayat ini, selain ditafsirkan sebagai orang-orang kafir, ada juga yang menafsirkan dengan orang-orang mushrik sebagaimana yang terdapat dalam Tafsīr

Ibn ‘Abbās. Dan inipun tepat karena keshirikan adalah kezaliman

yang paling besar, sebab orang-orang mushrik secara langsung atau tidak mereka telah menyamakan antara khāliq dengan makhlūk, menyamakan al-Gāni dan al-Fakīr. Dan mereka akan mendapatkan azab karena perkataan dan perbuatan buruk mereka di dunia.10

Sepakat dengan al-Ṭabarī, al-Nasafī (W:710 H) mengatakan bahwa orang-orang yang zalim akan mendapatkan adhāb al-khuldi, yang bermakna adhāb al-dawām. Ini artinya azab yang ditimpakan kepada mereka adalah azab yang bersifat kontinyu, terus-menerus tanpa batas waktu. Hal ini dikarenakan dosa shirik yang mereka lakukan dan juga pendustaan terhadap ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah.11

Adapun Rashīd Riḍā (W: 1935 M) mempunyai pandangan lain tentang ayat ini, Beliau mengatakan bahwa al-Khuld atau al-

Khulūd adalah maṣdar dari Khalada al-Shai, hal ini diungkapkan

9 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān Fī Ta`wīl al-Qur`ān (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009 M), 566.

10 Abū Ṭāhir Ibn Ya’qūb al

-Fairūz Abādī, Tanwīr al-Miqbās Min Tafsīr Ibn ‘Abbās (Beirūt: Dār al-Fikr, 1410 H), 214.

11 ‘Abd Allāh Ibn Aḥmad Ibn Maḥmūd al-Nasafī (W: 710 ), Madārik al- Tanzīl Wa Haqāiq al-Ta`wīl (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421), 543.

78

untuk mensifati sesuatu yang terus-menerus dan tidak berubah. Seseorang dikatakan khuld jika berada di suatu tempat dalam tempo yang sangat lama dan tidak berpindah-pindah dari tempatnya. Secara dzahir penyandaran azab kepada khuld berarti kekekalan penyiksaan yang terus-menerus, dan kemungkinan ini sesuai dengan mayoritas ayat yang menyatakan secara mutlak tentang khulūd, dan diterangkan secara muqayyad dalam surat al-An’ām[006]:128.12

Sebagai salah seorang mufassir Rashīd Riḍā menyatakan pendapatnya bahwa khulūd bukan selama-lamanya, sehingga dia meyakini bahwa orang-orang yang masuk ke dalam neraka baik orang-orang mu`min yang melakukan dosa besar ataupun orang- orang kafir, mereka semua akan dikeluarkan dari neraka. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhūr mufassirīn yang mengatakan bahwa neraka untuk orang kafir bersifat kekal abadi.

Yang ketiga ṣīgatu ismi al-fā’il al-mufrad firman Allah dalam surat al-Nisā[004]:14, di dalam ayat ini Allah berfirman:

             

Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan (al-Nisā[004]:14).

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan hukum waris, siapa saja yang menyelisihi pembagian waris dari apa yang telah Allah tetapkan dan juga meninggalkan ketaatan

12

Muḥammad Rashīd Riḍā (W: 1935 M) Tafsīr al-Manār, (Beirūt: Dār al- Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H), 334. Ketika menafsirkan surat al-An’ām[006]:128, Rashīd Riḍā menjelaskan tentang khilāf dikalangan kaum muslimin tentang kekal atau tidaknya neraka. Terutama dikalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Menurutnya para ulama Sunni telah berselihih terhadap hal ini sejak zaman sahabat, sebagian mereka memandang bahwa neraka akan berakhir sesuai dengan kehendak Allah dan juga karena Rahmat Allah begitu besar, dan sebagian besar ulama Sunni (jumhūr ulama) memandang bahwa neraka akan kekal abadi selamanya dengan alasan dzahir ayat dan hadits yang menerangkan wahwa neraka bersifat khulūd dan setiap kali penghuninya hendak keluar darinya, maka dia akan dikembalikan lagi ke dalamnya. Khilāf ini terjadi setalah mereka sepakat akan keabadian surga. Dan Rashīd Riḍā setelah menjelaskan panjang lebar tentang khilāf ini, beliau cenderung membela pendapat ulama yang menyatakan bahwa neraka tidak akan kekal, sebab menurutnya kekekalan neraka terikat dengan mashīah Allah sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Hūd[011]:107. Dan beliaupun menyatakan tidak mengapa mereka yang mengikuti pendapat jumhur dikarenakan ijtihad atau ittiba pada pendapat mayoritas.

79

padaNya dengan tidak melaksanakan hukum waris yang telah Allah turunkan maka mereka akan masuk ke dalam neraka dalam keadaan kekal dan mereka tidak mati dalam siksaan dan mereka tidak akan keluar dari neraka itu selama-lamanya.13

Bisa jadi yang dimaksud al-Tabari dengan orang yang tidak taat pada Allah dengan tidak membagikan waris dengan hukum Allah ini adalah orang-orang yang mengingkari hukum waris sehingga mereka kufur pada Allah, karena kekufurannya ini dia akan menghuni neraka dengan kekal abadi, sebab jika tidak mengingkari tentu mereka tidak kufur dan tidak kekal di dalam neraka.

Siapa saja yang menyelisihi perintah-perintah Allah dan RasulNya, dan bersikap melampaui batas terhadap hukum-hukum shariat maka dia akan dimasukan ke dalam neraka, dia akan tinggal di dalamnya selama-lamanya, dan diapun akan mendapatkan azab disertai penghinaan dan perendahan martabat.14

Mencoba menguatkan pandangan Jumhur mufassīr, Al- Qurṭubī (W: 671 H) dalam tafsirnya al-jāmi’ li Ahkām al-Qur`ān atau lebih dikenal dengan Tafsīr al-Qurṭubī membedakan makna khulūd yang adal di dalam ayat ini, jika kemaksiatan yang disebut dalam surat al-Nisā[004]:14 ini maksudnya kafir, seperti tidak mengakui hukum waris dalam islam maka makna khulūd adalah kekal selama- lamanya, akan tetapi jika kemaksiatannya tidak sampai pada derajat kufur, seperti dia tidak mau mengikuti hukum waris karena tertipu dengan harta maka makna khulūd adalah waktu yang lama.15

Hal senada disampaikan oleh Ibn Abi Ḥātim al-Rāzī (W: 372 H) dalam al-Tafsīr bi al-Ma`thūr meriwayatkan bahwa siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya dengan cara mengkufuri hukum waris dalam Islam sebagaimana orang-orang munafik yang tidak menyertakan wanita dan anak-anak kecil sebagai penerima waris, atau siapa saja yang tidak meridai pembagian Allah dalam hukum waris sehingga dia menyelisihi pembagian waris maka dia akan kekal di dalam neraka karena kekufurannya dengan pembagian waris yang ada di dalam al-Qur`an dan dia akan mendapatkan azab yang hina.16

13 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al

-Bayān Fī Ta`wīl al-Qur`ān, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009 M), 633.

14 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Wasīṭ (Beirūt: Dar al-Fikr al-Muasir,

2000 M), 296.

15

Muḥammad Ibn Aḥmad al-Anṣārī al-Qurṭubī (W: 671 H), al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān (Beirut: Dar al-Kitab al-A’rābī, 1422), 79.

16 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Abī Ḥātim al-Rāzī (W: 327 H), al-Tafsīr bi al- Ma`thūr(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427 H), 367-368.

80

Penafsiran al-Qurṭubī dan al-Rāzī di atas benar-benar jelas dan gamblang dalam kesepakatan keduanya dengan pendapat mayoritas mufassirin. Dan menurut penulis lafadz khulūd tidak perlu

dita’wil pada makna selain kekekalan, sebab jikapun lafadz khulūd

disandarkan pada orang-orang beriman yang melakukan dosa besar maka orang beriman ini tidak akan kekal di neraka karena adanya naṣ

lain yang menerangkan bahwa semua orang beriman akan dikeluarkan dari neraka.

Yang keempat ṣīgatu Ismi al-Fā’il al-Muthannā firman Allah dalam surat al-Ḥashr[059]:17, di dalam ayat ini Allah berfirman:

              

Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa Sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah Balasan orang-orang yang zalim (al-Ḥashr[059]:17).

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan bahwa kesudahan Syaitan dan manusia yang menta’atinya sehingga kufur kepada Allah, mereka akan dimasukan ke dalam neraka dengan kekal, dan begitu juga balasan untuk orang Yahudi dan kaum Munafikin yang dijanjikan akan dibantu oleh mereka. Merekapun akan dimasukan ke dalam neraka dengan kekal. Dan setiap orang kafir kepada Allah adalah orang yang zalim kepada dirinya sendiri karena telah kafir kepada Allah dan mereka akan kekal di dalam neraka selamanya.17

Ayat ini menyampaikan informasi bahwa penyeru kekufuran dan orang-orang yang mengikutinya akan mendapatkan azab yang sama berupa kekekalan di dalam neraka. Syaitan dan manusia yang setia kepadanya akan menjadi umpan neraka dengan kekal. Dan di tegaskan oleh al-Ṭabarī bahwa setiap orang kafir adalah orang zalim.

Senada dengan tafsir al-Ṭabarī di atas, al-Qāsimī juga menjelaskan tentang ayat ini, bahwa ketika Syaitan merayu manusia untuk kufur dan berjanji untuk mengikutinya dan menolongnya ketika dia membutuhkan, maka syaitan itu berlepas diri darinya ketika dia kufur dan pada hakekatnya syaitan tidak akan pernah menolong orang yang mengikutinya baik di dunia maupun di akherat karena mereka sendiri sebenarnya takut pada Allah sebagai Rabb semesta alam. Dan kelak mereka semua akan dimasukan ke dalam neraka dengan kekal, karena telah berbuat zalim yaitu telah kufur

17 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān ‘An Ta’wīl Ᾱyi al-Qur`ān(Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 1423 H), 64.

81

kepada Allah, karena setiap kekufuran pada hakekatnya adalah kezaliman pada diri sendiri.18

Ayat ini menunjukan pula bahwa syaitan telah ditetapkan oleh Allah sebagai makhluk yang akan menghuni neraka dengan kekal, begitu juga pengikutnya. Dan di antara keadilan Allah tentu Dia tidak akan mengumpulkan syaitan sebagai makhluk yang buruk dengan kalangan para nabi dan orang-orang beriman sebagai makhluk yang mulia selamanya. Hal ini menjadikan keyakinan bahwa syaitan dan orang-orang kafir tidak akan pernah dimasukan ke dalam surga, karena surga hanya untuk orang-orang mulia, akan tetapi mereka akan berada di dalam neraka selamanya.

Kesudahan orang-orang yang memerintahkan pada kekufuran

Dokumen terkait