• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UNGKAPAN AL-QUR`AN TENTANG KEKEKALAN

B. Penggunaan Kata Lain Yang Semakna Dengan

Ada beberapa ungkapan dalam al-Qur`an tentang neraka dan penghuninya yang semakna dengan khulūd, dan hal ini menambah kekuatan berhak menerimanya. Di antaranya penggunaan kata abqā bagi azab neraka yang terdapat dalam surat Ṭāhā[020]:127, kemudian penggunaan kata abadā setelah khulūd (Khalidīna fīhā abadā) yang bisa dilihat dalam tiga ayat dalam al-Qur`an, tepatnya dalam surat al- Nisā[004]:169, al-Aḥzāb[033]:65, dan al-Jinn[072]:23.24

Ada juga ungkapan al-Qur`an yang mendukung makna kekalnya penghuni neraka, seperti ayat yang menginformasikan bahwa mereka tidak akan keluar darinya dan tidak akan pernah

22 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taisīr al-Karīm al- Raḥmān fi Tafsīr al-Kalām al-Mannān (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H),

861.

23 Muḥammad Jamāl al

-Dīn al-Qāsimī (W: 1332 H), Maḥāsin al-Ta`wīl

(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424), 523

24 Muḥammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāḍi al- Qur`ān (Indonesia: Maktabah Dahlan, Tanpa Tahun), 2 dan 169.

84

masuk surga sehingga unta bisa masuk ke dalam lubang jarum, pernyataan ini diungkapkan oleh Allah dalam firmannya surat al- A’rāf[007]:40-41. Kemudian dalam surat al-Isrā[017]:97, Allah mengabarkan bahwa setiap kali api neraka itu mengecil maka Dia menambah lagi nyala apinya (kullamā khabat zidnāhum sa’īrā), sisi pendalilan dalam ayat ini adalah Allah menggunakan kata kullamā

yang menggandung makna istimrār. Kalimat inipun senada dengan firman Allah dalam surat al-Sajdah[032]:20, Allah menyebut Jahannam dengan adhāb al-muqīm, penyebutan ini terdapat dalamal- Taubah[009]:68, kemudian ungkapan secara tegas bahwa mereka tidak akan pernah bisa keluar darinya walaupun mereka menyesalinya. Hal ini difirmankan oleh Allah dalam surat al- Bararah[002]:167.25

Sebagai penjelasan kekekalan neraka dengan dalil lafadz yang mengesankan makna khulud, maka penulis menganalisis ayat-ayat dan lafadz-lafadz berikut:

1. Pernyataan bahwa azab akhirat bersifat baqā

Penggunaan kata abqā terdapat dalam surat Ṭāhā[020]:127, AllahSubḥānahu Wata’ālā berfirman:

                   

Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. dan Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal (Ṭāhā[020]:127)

Al-Ṭabarī menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa: Kami (Allah) akan membalas orang yang melampaui batas yang menyebabkan dia bermaksiat kepada Rabbnya, serta tidak beriman kepada Rasul dan Kitab-kitab yang diturunkan, maka Kami akan menjadikannya kehidupan yang sempit di alam barzakh, dan azab akherat lebih keras dari azab kubur yang telah kami janjikan dengan kehidupan yang sempit, azab akherat juga lebih kekal, karena akan bersifat terus-menerus tanpa ujung tanpa kesudahan.26

Orang-orang yang melampaui batas dengan melakukan hal- hal yang diharamkan dan melewati batas yang diizinkan untuknya serta tidak beriman kepada ayat-ayat Rabbnya adalah siksaan di akherat nanti, hal ini menunjukan keadilan Allah karena Dia hanya akan mengazab orang-orang yang berhak menerimanya, diantaranya adalah orang-orang yang melampaui batas dan kafir kepada ayat-ayat

25

http://www.saaid.net/monawein/taimiah/20.htm. Diakses pada hari selasa 28 February 2012.

26 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān ‘an Ta`wīli Ᾱyi al-Qur`ān (Beirūt: Dār Ibn Hazm, 1423 H), 288.

85

Allah. Dan azab Allah di akherat lebih keras dari azab yang dikenal di dunia dengan kadar yang berlipat, juga lebih kekal karena azab di akherat tidak akan terputus, berbeda dengan azab yang ada di dunia yang terputus, sehingga sudah menjadi keharusan untuk khawatir dan takut dari azab akherat ini.27

Sulaimān al-Ashqar menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa orang yang melampaui batas di dalam ayat ini adalah orang yang tenggelam di dalam syahwat dan hal-hal yang diharamkan serta tidak beriman kepada ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah bahkan cenderung mendustakannya, mereka akan mendapat siksa yang lebih keras di akherat dari kesempitan hidup di dunia dan akan mendapat azab yang lebih kekal sebab azabnya tidak akan terputus.28

Pernyataan di atas didukung juga oleh Ibn Kathīr (W: 774 H) yang mengatakan tentang tafsir ayat ini “Beginilah kami akan membalas orang-orang yang melampaui batas yang selalu mendustakan ayat-ayat Allah baik di dunia maupun di akherat, mereka akan mendapatkan azab yang lebih keras dan lebih kekal dari azab dunia, kemudian mereka akan kekal di dalam neraka selama- lamanya”.29

Dari pernyataan beberapa mufassir di atas menghantarkan keyakinan tentang kebaqāan azab neraka, hal inipun berkonsekwensi pada kebaqāan objek manusia dan jin yang disiksa di dalamnya, sebab jika hanya azabnya yang baqā tanpa ada yang diazab maka ini akan menjadi sia-sia.

2. Penggunaan kata abadā setelah kata khālidīna fīhā untuk mensifati siksa neraka

Penggunaan kata abadā untuk mensifati neraka terdapat dalam tiga ayat yang terpencar dalam tiga surat. Ketiga ayat ini adalah surat al-Nisā[004]:167-169, al-Aḥzāb[033]:64-65, dan al- Jinn[072]:23. Yang pertama penggunaan lafadz abadā untuk penghuni neraka terdapat dalam surat al-Nisā[004]:167-169, Allah berfirman:                  

27 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’di, Taisīr al-Karīm al-Raḥmān fi Tafsīr al- Kalām al-Mannān (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 465.

28 Muḥammad Sulaimān ‘Abd Allāh al

-Ashqar, Nafhat al-‘Abīr min Zubdat al-Tafsīr (Riyād: Dār al-Salām, 1417 H), 771.

29 Ismāil Ibn ‘Umar Ibn Kathīr al-Qurashi al-Dimashqi (W: 774 H), Tafsīr al- Qur`ān al-Aẓīm(Riyād: Dār Tayyibah, 1418 H), 342.

86

Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

(al-Nisā[004]:167-169)

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kekufuran Ahlul Kitab yang mengingkari kerasulan Muḥammad Ṣalallāhu’alaihi wasallam, sehingga dia menjadi kufur karena pengingkarannya dan diapun menjadi seorang zalim karena kedudukan kekufuran mereka setelah mereka mengetahui kebenaran, dan karena kezaliman mereka pada hamba-hamba Allah yang lain, juga karena hasad mereka pada orang-orang Arab serta karena buruknya tingkah laku mereka pada Nabi Muḥammad

Ṣalallāhu’alaihi wasallam, maka Allah tidak akan mengampuni

mereka, akan tetapi mereka akan dihinakan dan akan benar-benar disiksa. Dan mereka juga tidak akan diberikan hidayah Islam, bahkan mereka akan ditunjukan pada jalan menuju Jahannam, yaitu kekufuran, sebab kekufuran inilah yang akan menghantarkan mereka pada Jahannam, dan mereka akan kekal abadi di dalamnya, dan mengekalkan mereka di dalam Jahannam sangat mudah bagi Allah.30

Lafadz abadā yang terdapat dalam ayat ini lebih menguatkan pendapat al-Ṭabarī yang meyakini keabadian neraka. Seolah-olah Allah hendak menguatkan lagi makna kekakalan neraka dengan menyatakan keabadian setelah meyatakan kekhuludannya.

Kekekalan neraka dalam ayat ini juga didukung kembali oleh Ibn Abī Ḥātim al-Rāzī (W: 327 H) dengan meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa siapa saja yang kafir dan menghalang-halangi jalan kebenaran serta berbuat amalan keji, maka mereka tidak akan mendapatkan petunjuk kecuali jalan menuju Jahannam dengan mendaki gunung yang gersang dan panas, mereka di dalamnya kekal tidak akan pernah mati dan tidak akan pernah berkesudahan, dan balasan semacam itu adalah sangat mudah bagi Allah Ta’ala.31

Siapa saja yang kafir terhadap semua ajaran yang harus diimani dan menghalang-halangi jalan Allah dengan mengingkari kenabian Muḥammad Salallāhu’alaihi wasallam, maka pada hakekatnya dia telah jauh dari kebenaran, karena mereka telah menggabungkan dua keburukan dalam dirinya yaitu keburukan kekufuran dan menghalangi orang lain dari kebenaran, dan juga orang-orang kafir serta zalim mereka tidak akan diampuni jika terus menerus dalam kakafirannya.

30 Muḥammad Ibn Jarīr al

-Ṭabarī, Jāmi’u al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur`ān,

(Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009 M), 370.

31 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Abī Ḥātim al-Rāzī (W: 327 H), al-Tafsīr bi al- Ma`thūr, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1427 H), 190

87

Mereka tidak akan ditunjukan satu jalan kecuali jalan menuju neraka karena buruknya perbuatan dan pilihan mereka yang telah melakukan perbuatan diluar batas, menolak yang jelas benar dan keras kepala terhadap penjelasan, mereka akan masuk ke dalam neraka dengan kekal, dan lafadz abadā setelah ayat ini ditambahkan oleh Allah agar tidak ada lagi kemungkinan memaknaikhālidīna fīhā hanya dengan waktu yang lama, sehingga maknanya jelas bahwa orang-orang kafir akan diam di dalam neraka selama-lamanya dan tidak akan pernah keluar sebagaimana pendapat al-Shaukānī dalam tafsirnya.32

Al-Ṭabarī, al-Rāzī dan al-Shaukānī seolah-olah telah sepakat dengan fungsi tambahan abadā setalah khālidīna fīhā, yaitu menguatkan makna kekekalan untuk semua orang kafir yang menghuni neraka.

Kemudian yang kedua penggunaan lafadz abadā untuk penduduk neraka terdapat dalam firman Allah surat al- Aḥzāb[033]:64-65, Allah berfirman:

                

Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya… (al-Aḥzāb[033]:64-65)

Dalam menafsirkan aya ini Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menjauhkan orang-orang kafir dari seluruh kebaikan dan Diapun telah menyediakan api neraka yang akan membakar mereka, dan mereka akan tinggal di dalam nyala api secara abadi tanpa batas waktu, dalam keadaan seperti ini mereka juga tidak mempunyai seorang penolongpun, yang akan menolong mereka dari api neraka.33

Ketika seluruh kebaikan telah dijauhkan maka yang ada adalah semuanya keburukan, kabaikan syafaat telah hilang, harapan ampunan dan harapan diringankan dari neraka semuanya telah hilang bahkan harapan kematianpun ditiadakan ketika mereka sangat mengharapkan diberikan kematian itu karena siksa yang begiku keras.

Siapa saja yang telah menjadikan kekufuran sebagai jalan hidup mereka, sehingga mereka ingkar kepada Allah dan RasulNya dan juga kufur terhadap semua yang datang dariNya, maka Allah

32 Muḥammad Ibn ‘Ali Ibn Muḥammad al

-Shaukānī (W: 1250 H), Fath al- Qadīr, (al-Iskandariyah: Dar al-Wafā, 1418 H), 850.

33 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān fī Ta’wīl al- Qur`ān, (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009 M), 335.

88

akan menjauhkan mereka dari rahmatNya di dunia dan di akherat, dan cukuplah ini sebagai siksaan bagi mereka. Dan untuk mereka telah disediakan juga api yang menyala-nyala yang akan membakar seluruh tubuh mereka dan azab pembakaran inipun akan sampai pada ulu hati mereka, dan dalam keadaan seperti ini merekapun akan merasakan azab yang kekal, tidak akan pernah keluar dan tidak akan diringankan walaupun sebentar.34

Sepertinya orang-orang kafir akan kekal di dalam neraka karena rahmat Allah sebagai syarat masuk surga telah ditiadakan untuk mereka sebagaimana perkataan Al-Qāsimī (W: 1332 H) bahwa orang-orang yang dilaknat oleh Allah dari kalangan orang-orang kafir berarti mereka telah dijauhkan dari rahmatNya dan untuk mereka telah disediakan api yang menyala-nyala di akherat, mereka kekal abadi serta tidak mempunyai seorang penolongpun yang bisa membebaskan mereka.35

Allah melaknat orang kafir dengan laknat akherat karena diiringi dengan azab api yang menyala-nyala. Kemudian yang dimaksud dengan orang kafir dalam ayat ini bisa jadi mereka adalah orang-orang yang memusuhi Nabi Muḥammad (W: 11 H) dan menyakitinya sewaktu di Madinah, yaitu orang-orang Munafik, dan orang-orang Mushrik yang ikut serta dalam perang Aḥzāb serta Yahudi Madinah yang menolong mereka, atau bisa jadi ayat ini berbicara untuk keumuman orang kafir. Untuk mereka semua telah disediakan api yang kobarannya sangat besar, dan mereka tidak mempunyai seorang penolongpun untuk selama-lamanya, sehingga azab mereka tidak akan diringankan dan tidak akan ditolong.36

Orang-orang kafir yang terkena laknat Allah tentu tidak akan diberikan rahmat, sebab tidak akan pernah bersatu antara laknat dan rahmat. Rahmat Allah yang begitu luas tidak akan diberikan kepada orang-orang yang kufur kepadanya, sehingga mereka tidak akan dikeluarkan dari siksaan. Mereka akan kekal abadi di dalam kesengsaraan.

Selanjutnya penggunaan lafadz abadā untuk penduduk neraka terdapat dalam sutat al-Jinn[072]:23, Allah berfirman:

              

34 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taisīr al-Karīm al- Raḥmān fi Tafsīr al-Kalām al-Mannān (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1422 H), 789.

35 Muḥammad Jamāl al

-Dīn al-Qāsimī (W: 1332 H), Maḥāsin al-Ta`wīl

(Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424), 116.

36 Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Ᾱshūr (W: 1972 H), Tafsīr al-Taḥrīr wa al- Tanwīr (Tunisia: Dār al-Sahnūn, 1997 M), 114.

89

Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (al-Jinn[072]:23)

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengatakan siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dengan melalaikan perintah-perintahNya, melaksanakan larangan-laranganNya, mendustakan kabar-kabarNya dan RasulNya, juga mendustakan kerasulannya, maka dia akan masuk ke dalam neraka secara abadi tanpa batas waktu.37

Siksaan senantiasa disebabkan oleh kemaksiatan, semakin besar satu kemaksiatan maka akan semakin besar siksaan dari Allah. Ketika kemaksiatan itu berupa pelalaian perintah Allah, melaksanakan larangan, dan mendustakan kabar dari Allah sehingga menjadikan pelakunya kufur maka siksaannyapun akan abadi.

Mufassir Yaman Shaukānī (W: 1250 H) ikut mendukung pernyataan al- Ṭabarī (W: 310 H) di atas dengan menafsirkan firman Allah ini dengan mengatakan bahwa siapa saja yang bermaksiat pada Allah dalam perkara Tauhid, maka balasan untuk orang tersebut adalah api Jahannam, atau hukuman untuk orang yang tidak bertauhid adalah api Jahannam dan mereka akan kekal di dalamnya (khālidīna

fīhā), kemudian penambahan kata abadā adalah penguat makna

khulūd, sehingga artinya dia akan kekal di dalam Jahannam tanpa ada

kesudahan.38

Pernyataan ini di dukung pula oleh Ibn Kathīr (W: 774 H) yang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan siapa saja yang bermaksiat pada apa yang didatangkan oleh Allah, maka balasan mereka adalah Neraka Jahannam secara kekal abadi, mereka tidak akan keluar dari dalam neraka itu.39

Komentar yang sama dilontarkan pula oleh Al-Sa’dī (W: 1376 H) yang mengatakan bahwa ayat ini mengingatkan bahwa kemaksiatan yang ada dalam ayat ini adalah kemaksiatan yang berarti kekufuran bukan kemaksiatan biasa, sebab kemaksiatan biasa yang berada di bawah level kekufuran tidak menjadikan pelakunya kekal abadi di dalam neraka sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak ayat dan hadith dari Nabi Muḥammad Ṣalallāhu’alaihi wasallam.40

37 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al

-Bayān fī Ta’wīl al- Qur`ān (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009 M), 275.

38 Muḥammad Ibn ‘Ali Ibn Muḥammad al-Shaukānī (W: 1250 H), Fath al- Qadīr (al-Iskandariyah: Dar al-Wafā, 1418 H), 850.

39Ismāil Ibn ‘Umar Ibn Kathīr

al-Qurashi al-Dimashqi (W: 774 H), Tafsīr al- Qur`ān al-Aẓīm (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1418 H), 245.

40 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taisīr al-Karīm al- Raḥmān fi Tafsīr al-Kalām al-Mannān (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1422 H), 1052.

90

Jika diperhatikan keabadian penghuni neraka semuanya disebabkan karena kekafiran baik yang ada pada surat al-Nisā, al- Aḥzāb atau al-Jinn di atas. Dan memang jika dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah dosa biasa maka tidak akan ada kekekalan siksaan untuk mereka.

3. Adanya syarat mustahil agar bisa keluar dari neraka, yaitu sampai unta bisa masuk ke lubang jarum

Kemudian mereka tidak akan keluar dari neraka dan tidak akan pernah masuk surga sehingga unta bisa masuk ke dalam lubang jarum, ini adalah syarat mustahil yang Allah syaratkan pada orang- orang kafir ketika mereka hendak keluar dari neraka. pernyataan ini diungkapkan oleh Allah dalam firmannya surat al-A’rāf[007]:40-41. Allah berfirman:                                                    

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang zalim (al-A’rāf[007]:40-41)

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengataan siapa saja yang mendustakan ayat-ayat Allah dan sombong atasnya, mereka tidak akan pernah masuk ke dalam surga sebagaimana seekor unta tidak akan pernah masuk ke dalam lubang jarum, dan begitulah Allah membalas orang-orang yang berbuat dosa di dunia ini dengan hak mereka untuk mendapatkan azab yang pedih di akherat. Dan untuk mereka yang telah mendustakan ayat-ayat Allah serta berlaku sombong darinya mereka akan mendapatkan Jahannam dan mereka akan diberikan tempat tidur dari api, dan begitulah Allah membalas orang-orang yang telah berbuat zalim pada dirinya sendiri dan mereka akan mendapatkan kasur serta selimut dari api (al- A’rāf[007]:40-41)41

41 Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān fī Ta’wīl al- Qur`ān (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 1423 H), 227.

91

Unta dan jarum, jika dibayangkan maka akan didapatkan bahwa keduanya adalah benda yang sangat jauh berbeda, unta adalah binatang yang besar sedangkan jarum adalah benda yang kecil, apalagi yang disebut dalam ayat ini adalah lubang jarum, tentu lebih kecil dari jarum itu sendiri, ketika unta tidak mungkin masuk ke dalam lubang jarum, maka orang-orang kafirpun tidak akan pernah dapat keluar dari neraka.

Hukuman orang yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, padahal ayat-ayatNya begitu jelas, akan tetapi mereka malah angkuh dan tidak tunduk pada hukum-hukumNya, maka mereka akan berputus asa dari seluruh kebaikan, pintu langit tidak akan dibukakan untuk arwah mereka, ketika mereka mati dan hendak naik ke langit menuju Allah dan meminta izin, maka mereka tidak diizinkan untuk naik sebagaimana ketika di dunia mereka tidak pernah naik pada keimanan kepada Allah, tidak mengenalNya dan tidak mencintaiNya, karena balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Berbeda dengan orang yang beriman maka dia akan naik ke atas langit sampai batas ketinggian yang Allah kehendaki. Dan mereka akan menjadi penghuni neraka dan tidak akan pernah masuk surga sehingga seekor unta yang merupakan hewan berbadan besar bisa masuk ke dalam lubang jarum jahit yang berlubang kecil, dan ini merupakan syarat mustahil. Mereka tidak akan pernah masuk ke dalam surga sebagaimana unta tidak akan pernah masuk ke dalam lubang jarum.42

Seseorang bisa membayangkan, jika di hadapannya ada seekor unta dan sebatang jarum, tentu masuknya unta ke dalam jarum ini sangat mustahil, sehingga seorang kafir mustahil masuk ke dalam surga sebagaimana mustahilnya unta yang besar masuk ke dalam lubang jarum yang kecil, bahkan orang-orang kafir akan berada di dalam neraka dan mereka saling melaknat satu sama lain dan mereka saling mengharapkan keburukan yang lebih besar untuk yang lainnya, sehingga mereka semuanya mendapat keburukan besar sebagimana permintaan teman-teman buruk mereka.43

Ini adalah syarat yang disyaratkan oleh Allah untuk setiap orang kafir yang mengharapkan keluar dari neraka. Sungguh syarat yang menyusahkan bahkan mustahil dilakukan, dengan syarat ini sepertinya musnah sudah segala harapan bagi orang-orang kafir untuk dapat keluar dari neraka.

4. Adanya lafadz kullamā yang bermakna istimrār

42 ‘Abd al-Raḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taisīr al

-Karīm al- Raḥmān fi Tafsīr al-Kalām al-Mannān (Riyāḍ: Dār al-Salām, 1422 H), 324.

43Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur`ān

92

Allah mengabarkan bahwa setiap kali api neraka itu mengecil maka Dia menambah lagi nyala apinya (kullamā khabat zidnāhum

sa’īrā), sisi pendalilan dalam ayat ini adalah Allah menggunakan kata

kullamā yang menggandung makna istimrār (terus menerus).

Pernyataan ini difirmankan oleh Allah dalam surat al-Isrā[017]:97 berikut:     

Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya (al-Isrā[017]:97)

Api neraka terkadang mengecil dan terkadang membesar kembali, api ini tidak akan pernah mati, akan tetapi setiap kali apinya meredup maka Allah akan menambah lagi nyalanya.44 Allah menambah nyala api neraka sebagai tambahan azab untuk orang- orang kafir, penyulutan dan penambahan nyala api Jahannam ini dengan menambah kembali bahan bakarnya, seraya dikatakan kepada mereka “Maka rasakanlah dan Kami tidak akan menambah untuk kalian kecuali azab”, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Naba[078]:30.45

Ayat ini menegaskan bahwa setiap kali api Jahannam hendak padam maka ditambah lagi kobarannya oleh Allah sehingga azabnya tidak melemah dan merekapun tidak dimatikan dan sama sekali tidak diringankan azab untuk mereka. Dengan hal ini, Allah sama sekali tidak zalim kepada hambaNya, akan tetapi hal ini terjadi karena kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah, dan juga karena mereka mengingkari hari kebangkitan yang telah dikabarkan oleh para Nabi dan dijelaskan oleh al-Kitab, dan karena mereka juga telah memandang Allah itu lemah dan mengingkari kesempurnaan kemampuanNya untuk membangkitkan mereka.46

Setiap kali meredup dikobarkan lagi api neraka itu, dan kejadian ini akan terus menerus terjadi tanpa ada batas waktu dari Allah. Sehingga kekekalan neraka menjadi keyakinan yang pasti bagi jumhur Ahlu al-Sunnah. Hal ini seperti perkataan seseorang setiap kali manusia lapar maka dia akan makan, dan ini akan terus terjadi selama-lamanya.

44Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi’u al-Bayān fī Ta’wīl al- Qur`ān (Beirūt: Dār Ibn Ḥazm, 1423 H), 205.

45Ismāil Ibn ‘Umar Ibn Kathīr

Dokumen terkait