• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solahudin Konsep Kekekalan Neraka Menurut Imam al Tabari (studi tematik tafsir jami al bayan an Tawil al quran)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Solahudin Konsep Kekekalan Neraka Menurut Imam al Tabari (studi tematik tafsir jami al bayan an Tawil al quran)"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP KEKEKALAN NERAKA MENURUT IMᾹM AL-ṬABARĪ

(Sudi Tematik dalam Tafsīr Jāmi’ al-Bayān ‘an ta`wīl al-Qur`ān)

Oleh: Solahudin NIM: 11.2.00.1.09.09.0063

Dosen Pembimbing: Dr. Muchlis Hanafi, M.A.

TAHUN AKADEMIK

(2)
(3)

SURAT PERSETUJUAN

Tesis yang berjudul KONSEP KEKEKALAN NERAKA MENURUT IMAM AL-ṬABARĪ, yang ditulis saudara Solahudin dengan NIM: 11.2.00.1.09.09.0063 telah dinyatakan lulus pada hari Kamis, 13 Juni 2013 dan telah dirivisi sesuai dengan saran tim penguji serta layak dibawa pada Ujian Promosi Tesis.

TIM PENGUJI

1. Prof. Dr. SUWITO, M.A.

(Ketua sidang/merangkap penguji) (………)

2. Prof. Dr. SALMAN HARUN, M.A.

(Penguji 1) (………)

3. Dr. ASEP SAEPUDIN JAHAR, M.A.

(Penguji 2) (………)

4. Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A.

(4)
(5)

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut: b

(6)
(7)

v

ABSTRAK

Oleh : Solahudin (solah_2005@yahoo.com) NIM : 11.2.00.1.09.09.0063

Judul : KONSEP KEKEKALAN NERAKA MENURUT IMAM

AL-ṬABARĪ

Tesis ini mendiskusikan tentang kekekalan neraka yang terdapat dalam al-Qur`an. Neraka yang sering disifati Allah dengan khulūd ternyata menjadi sumber diskusi antar mufassirīn. Sebagian mereka menyatakan bahwa neraka bersifat kekal selama-lamanya, baik untuk orang-orang kafir maupun untuk orang-orang beriman yang berdosa besar, ini adalah pendapat al-Zakakhshari dari Mu’tazilah dan mereka yang sepakat dengannya. Sebagian yang lain menyatakan semua orang yang berada di dalamnya akan dikeluarkan baik orang kafir maupun orang beriman yang berdosa besar ini adalah pendapat sedikit dari kalangan ahl al-Sunnah dan yang sependapat dengan mereka di antaranya Muḥammad Rashīd Riḍā. Sedangkan Jumhūr mufassirīn serta ulama dari kalangan ahl al-Sunnah berpendapat bahwa neraka bersifat kekal untuk orang-orang kafir dan bersifat sementara untuk orang-orang beriman.

Tesis ini ingin membuktikan bahwa lafadz khulūd jika dinisbatkan untuk orang kafir maka bermakna kekal selama-lamanya, tanpa batas waktu, dan jika dinisbatkan pada orang beriman maka maknanya adalah waktu yang lama serta tidak kekal, hal ini berdasarkan qarīnah yang menunjukan bahwa orang-orang beriman yang berdosa besar akan dikeluarkan dari neraka karena adanya keimanan di dalam hati mereka seperti dalam sebuah hadīth yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri.

Konsep al-Ṭabarī tentang kekekalan neraka berada pada posisi jumhūr, yaitu keyakinan bahwa neraka bagi orang kafir bersifat kekal abadi dan bagi seorang muslim jika memasukinya karena dosa besar bersifat sementara. Hal ini diyakini al-Ṭabarī dan Jumhur berdasarkan istiqra

mendalam pada ayat-ayat al-Qur`an dan al-Hadith sehingga menghantarkan pada istimbat tersebut.

Pendapat al-Ṭabarī ini didasarkan atas ayat-ayat khulūd dan ayat-ayat yang semakna dengan khulūd seperti adanya ayat yang menyatakan bahwa azab akhirat itu ashaddu wa abqā (lebih dahsyat dan lebih kekal) sebagaimana dalam surat Ṭāhā[020]:127, adanya tambahan abadā setelah lafadz khālidīna fīhā seperti dalam surat al-Nisā[004]:169, adanya syarat mustahil bagi penghuni neraka untuk bisa keluar darinya yaitu ḥattā yalija al-Jamalu fī sammil al-khiyāṭ (sampai seekor unta masuk ke lubang jarum) sebagimana dalam surat al-A’rāf[007]:40, kemudian adanya lafadz kullamā

(8)

vi

pernyataan secara langsung bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah dapat keluar dari neraka sebagaimana terdapat dalam surat al-Taubah[009]:68.

(9)
(10)

viii

ABSTRACT (solah_2005@yahoo.com)

This thesis discusses eternity texts about the Hell contained in al-Qur `an. The Hell is often attributed by Alloh as the eternity becomes a source of discussion among mufassirin (Islamic commentators). Some of them stated that the Hell is eternal for ever, either to unbelievers and to believers who sinned greatly, it is the opinion of al-Zamakhsharī from Mu'tazilah and those who agreed with him. The others stated all those who are in it will be issued both unbelievers and believers who sinned greatly, this is a bit of opinion among the ahl al-Sunnah and who agreed with them such as Muḥammad Rashid Rida. While jumhur mufassirin and scholars of the ahl al-Sunnah found the Hell is eternal for unbelievers and temporary for the believers.

This thesis proves that text eternity if attributed to the Gentiles so meaningful eternal forever, without a time limit, and if attributed to the faithful the meaning is a long time but is not eternal, it is based on clues that indicate that believers who great sin will be removed from the Hell because of the faith in their hearts, as in a hadith narrated by al-Bukhārī.

Al-Ṭabarī concept of eternity in the Hell is jumhur (majority) position, namely the belief that the Hell for the infidels is eternal and for a Muslim if entered as major sins is temporary. It is believed al-Ṭabarī and Jumhur based on deep excavation in the verses of al-Qur'an and al-Hadith that deliver to that conclusion.

This Al-Ṭabarī opinion based on khulūd verses and the verses are the same with khulūd like the verse which punishment of the hereafter is ashaddu wa abqā (more powerfull and more enduring) as in chapter of Ṭāhā [20]: 127, the additional abadā after lafadz (sentence) khālidīna fīhā as in chapter of al-Nisā [004]: 169, the requirement is impossible for the inhabitants of hell to get out of it is ḥattā yalija al-Jamalu fī sammil al-khiyāṭ

(until a camel to enter the eye of a needle) as like in chapter of al-A’rāf [007]: 40, The existence of kullamā lafadz (sentence) its mean istimrār as like in chapter of al-Ḥajj [022]: 22, and a direct statement that the disbelievers will never be able to get out of hell as contained in the chapter of al-Tawbah [009]: 68.

(11)

ix

ِمْسِب مي ِحَّرلا ِنَْحَّْرلا ِهَّللا

KATA PENGANTAR

ِضُم َلاَف ُهَّللا ِدْهَ ي ْنَم اَنِسُفْ نَأ ِروُرُش ْنِم ِهِب ُذوُعَ نَو ُهُرِفْغَ تْسَنَو ُهُنيِعَتْسَن ِهَّلِل َدْمَْلْا َّنِإ

ْنَمَو ُهَل َّل

َّلاِإ َهَلِإ َلا ْنَأ ُدَهْشَأَو ُهَل َىِداَه َلاَف ْلِلْضُي

ُهُلوُسَرَو ُهُدْبَع اًدَّمَُمُ َّنَأ ُدَهْشَأَو ُهَّللا

.

َنوُمِلْسُم ْمُتْ نَأَو َّلاِإ َّنُتوَُتَ َلاَو ِهِتاَقُ ت َّقَح َهَّللا اوُقَّ تا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

.

اوُقَّ تا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

َحْرَلأاَو ِهِب َنوُلَءاَسَت ىِذَّلا َهَّللا

اًبيِقَر ْمُكْيَلَع َناَك َهَّللا َّنِإ َما

.

اًديِدَس ًلاْوَ ق اوُلوُقَو َهَّللا اوُقَّ تا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

اًميِظَع اًزْوَ ف َزاَف ْدَقَ ف ُهَلوُسَرَو َهَّللا ِعِطُي ْنَمَو ْمُكَبوُنُذ ْمُكَل ْرِفْغَ يَو ْمُكَلاَمْعَأ ْمُكَل ْحِلْصُي

.

Segala puji bagi Allah Pencipta, Pengatur, Pemilik dan Raja seluruh alam semesta. Rasa syukur tak terhingga senantiasa penulis panjatkan untuk pemilik jiwa yang telah memberikan kenikmatan kepada penulis dan seluruh alam yang dicipta. Tiada Ilah yang berhak disembah di jagad raya ini kecuali Dia yang Maha Perkasa, dan Pemilik segalanya.

Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Rasul al-Musṭafā Muhammad Ṣalallāhu’alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang senantiasa menjaga sunnah-sunnahnya hingga yaumi al-Wafā. Karena atas usaha beliau sampai saat ini banyak manusia yang menikmati indahnya syariat Islam yang sangat sesuai dengan jiwa-jiwa sehingga hidup tidak hampa.

Sebagai bentuk birru al-wālidain tidak lupa penulis bersyukur pada kedua orang tua yang dahulu selalu mendidik, menjaga dan menafkahi penulis. Penulis masih mengenang di tahun 1987 an ketika usia penulis baru menginjak tujuh tahun keduanya sangat memotifasi penulis untuk rajin beribadah. Semoga keduanya berada di dalam rahmat Allah, diluaskan kuburnya dan diselamatkan dari azab kubur serta azab akhirat. Penulis sangat berḥusnu al-ẓann pada Allah bahwa Dia akan mengampuni dosa keduanya karena penulis sangat tahu dan sangat meyakini bahwa Rahmat Allah begitu luas untuk hamba-hambanya yang beriman. Dan penulis yakin bahwa Allah telah berfirman dalam hadīth al-QudsiAnā ‘inda ẓanni ‘abdī bī” (Aku

sesuai dengan prasangka hambaKu kepadaKu). Penulis ucapka untuk keduanya “Rabbī igfir lī wa li wālidayya wa irham huma kamā rabbayānī ṣagīrā”.

(12)

x

memasukan kalian ke dalam firdaus surga tertinggi yang diyakini oleh penulis sudah bergantung dibawah Arsy di samping sidrat al-Muntahā.

Kemudian penulis ucapkan kepada Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A. selaku dosen pembimbing, jazākallāh khaera al-Jazā atas bimbingan, arahan, masukan, rombakan outline dan kesabaran yang ditunjukan. Penulis memuji Allah bisa kenal dengan Dr. Muchlis, semoga Allah mensukseskan bapak di Akherat setelah Dia mensukseskan bapak di dunia ini.

Terima kasih juga penulis haturkan pada Kemenag RI yang telah memberikan beasiswa full kepada penulis sehingga studi di Sekolah Pasca Sarjana bisa dilaksanakan dengan baik, tepat waktu dan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Kepada seluruh petinggi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis ucapkan ribuan terima kasih, karena atas usaha dan kerja keras para petinggi ini pendidikan dan pengajaran dilingkungan kampus bisa terlaksana dengan baik. Terimakasi kepada Bapak Rektor Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Direktur Pascasarjana Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Deputi Akademik dan Kerjasama Prof. Dr. Suwito, M.A. Deputi Akademik dan Kemahasiswaan Dr. Yusuf Rahman, M.A., kepada Deputi Pengembangan Kelembagaan Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, dan Wakil Direktur Institue For Advanced Studies Dr. Fuad Jabali, M.A. semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua sehingga semakin banyak hamba-hamba Allah yang terhindar dari murkaNya dan masuk ke dalam surgaNya.

Tidak lupa kepada seluruh dosen SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelatihan, pengajaran dan pendidikan selama masa-masa kuliah. Mereka adalah Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar, M.A, Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.A, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, M.A, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A, dan dosen-dosen lainnya. Semoga ilmu yang diberikan menjadi amal jariyah yang akan terus mengalir walaupun ruh sudah meninggalkan jasad.

Kepada seluruh fungsionaris SPS UIN Syarif Hidayatullah yang senantiasa sibuk membantu, menyiapkan media pendidikan dan merapihkan berkas-berkas dosen dan mahasiswa, penulis ucapkan juga terimakahih yang sangat tinggi, atas jasa kalian kegiatan di kampus menjadi lancar dan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

(13)

xi

Kepada Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hidayah Bogor, Bapak M. Hidayat Ginanjar M.Pd.I, semoga Allah memudahkan penuntasan pendidikan doktor bapak, kemudian dosen-dosen STAI yang sangat penulis kagumi, Fachri Fakhruddin, S.H.I, M.E.I, dan dosen-dosen lainnya yang tidak mungkin disebut. Semoga antum semua mampu menjadikan kampus STAIA sebagai kampus bersyariat yang diidam-idamkan.

Kemudian terima kasih tak terhingga setalah terimakasih pada Allah, saya sampaikan pada para Murabbi penulis, pembuka dan perantara hidayah Allah yang sampai saat ini bersemayam dan terus berkobar pada diri penulis,

Ust. Abu Muhammad ‘Abd al-Karīm al-Kāthirī, Ust. Dr. Muḥammad Sarbini, Ali Maulida, S.Sos., M.Pd.I, Hudan Dimyati Ahmad, M.Pd.I, Habibullaah, Lc dan semua Anggota Majlis Pimpinan Pusat Harakah Sunniyah Untuk Masyarakat Islami, semoga Allah membalas kabaikan-kabaikan kalian dalam menyinari umat dengan pencerahan-pencerahan yang ditebar, semoga Allah merealisasikan cita-cita kita semua dalam merealisasikan Masyarakat Islami di bumi Indonesia, masyarakat yang tentram, nyaman dan aman di bawah naungan syariat.

Ucapan terimakasih saya tujukan juga untuk Mudir Program Beasiswa al-Hidayah, Ust. Rahendra Maya, S.Th.I., M.Pd.I., dan juga seluruh guru pengajar di Program Beasiswa ini, semoga pengkaderan da’i

-da’i yang antum bentuk menjadi manusia muslim yang bermanfaat untuk

semua umat terkhusus di Indonesia ini.

Kemudian untuk sahabat dan teman-teman sema’had di al-Akhawain dulu Ust. Herman Saptaji, S.Th.I. yang sekarang menjadi direktur Radio Fajri 99.3 Fm, Ust. Muslim dan Ust Ade Abdul Qahhar, dan semua kaum muslimin. Penulis ucapkan terima kasih dan selamat berjuang.

Dan terakhir kepada teman-teman di Marwah Indo Media yang sudah bersedia membantu mencetak tesis ini sehingga menjadi buku, al-Akh Deni, Idong alias Nasruddin, terutama pimpinan MIM, semoga kita semua mendapatkan kesuksesan di dunia dan di akherat. Amin.

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

Pedoman Translitasi ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar belakang Masalah ... 2

B.Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 6

E.Urgensi dan Manfaat penelitian ... 8

F. Tujuan Penelitian ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 9

H.Sistematika Penulisan ... 11

BAB II NERAKA DALAM AL-QUR`AN DAN DALAM PANDANGAN PARA SARJANA MUSLIM ... 15

A.Neraka Dalam al-Qur`an ... 15

1. Nama-Nama Neraka Dalam al-Qur`an ... 19

2. Ayat-Ayat Yang Berbicara Tentang Neraka ... 34

3. Makna Suatu Lafadz Bergantung Pada Qarīnahnya ... 30

B.Neraka Dalam Pandangan Para Sarjana Muslim . 53 1. Neraka dalam Pandangan Teolog Muslim... 53

2. Neraka dalam Pandangan Muhadithīn ... 55

3. Neraka dalam Pandangan Mufassirīn ... 58

BAB III IBN JARĪR AL-ṬABARI DAN TAFSIRNYA ... 63

A.Biografi Ibn Jarīr al-Ṭabari (Wafat: 310 H) ... 63

B. Tafsīr “Jāmi’u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`ān” ... 66

C.Kedudukan Tafsīr al-Ṭabari atas tafsīr lainnya ... 68

BAB IV UNGKAPAN AL-QUR`AN TENTANG KEKEKALAN NERAKA ... 71

A.Penggunaan Kata Khulūd ... 71

B. Penggunaan Kata Lain Yang Semakna Dengan Khulūd ... 83

(16)

xiv

BAB V KEKEKALAN NERAKA DARI SEGI PENGHUNINYA 109

A.Neraka Untuk Orang Kāfir ... 110

B. Neraka Untuk Orang Munāfik ... 125

C.Ancaman Neraka Untuk Kaum Muslimin Yang Berdosa Besar ... 133

BAB VI KESIMPULAN ... 143

Dafar Pustaka ... 145

Lampiran ... 155

Glosarium ... 199

Index ... 205

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap muslim hendaknya mempelajari al-Qur`an sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Ṣalallāhu’alaihi wasallam. Jika mereka sedang membaca sepuluh ayat al-Qur`an, mereka tidak akan melanjutkan pada ayat berikutnya sebelum mengetahui kandungan yang menyangkut keimanan, ilmu dan amal. Berikutnya mereka menghubungkannya dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, mengimani semua doktrin akidah dan informasinya, serta meneliti mana ayat perintah dan larangan lalu menerapkannya pada semua peristiwa dan problema yang ada di sekitarnya.1

Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Ta’ālā untuk menjelaskan ajaran-ajaran yang dapat mendatangkan keridaan Allah bagi mereka yang mentaati-Nya sekaligus menjelaskan gambaran kemurkaan Allah bagi mereka yang berbuat maksiat kepada-Nya.

Untuk mendapatkan penjelasan al-Qur`an secara utuh dan benar, maka setiap kaum muslimin secara umum harus berusaha memahami pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur`an dengan mempelajari makna-maknanya. Adapun kalangan ulama maka mereka dituntut untuk menafsirkan ayat-ayat yang samar dan memberikan penjelasan kepada keumuman kaum muslimin sehingga sempurna pendataburan mereka terhadap Kitab Suci tersebut.2

Tadabbur al-Qur`an yang dilakukan dengan cara mengamati makna-maknanya, menganalisa serta mempelajari kaidah-kaidahnya adalah perintah Allah pada semua orang yang beriman. Tadabur seperti ini akan mendatangkan ilmu pengetahuan, membuka seluruh pintu kebaikan, dan akar iman dalam hatipun akan semakin menghujam ke dalam.3

Jika al-Qur`an tidak ditadaburi, maka hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya akan hilang, tidak akan tersisa darinya kecuali hanya lafadz yang tidak mempunyai pengaruh apapun bagi kehidupan manusia. Untuk itu Allah Ta’ālā memerintahkan kaum muslimin untuk terus mentadaburi al-Qur`an dan mencela

1

Abd al-Raḥmān Nāsir al-Sa’dī (W: 1376 H), 70 Kaidah Penafsiran al-Qur`ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001 M), 3-4.

2

Aḥmad Muḥammad Shākir, ‘Umdah al-Tafsīr (al-Iskandariyyah: Dār al -Wafā, 1425), 40.

3

Abd al-Raḥmān Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taysīr al-Karīm al-Raḥmān fī

(18)

2

orang yang tidak mentadaburinya dengan menutup hatinya dari kebenaran.4

Nabi Muḥammad Ṣalallāhu’alaihi Wasallam (W: 11 H) sebagai seorang Rasul adalah orang pertama kali yang mengajarkan al-Qur`an, selain karena al-Qur`an diturunkan kepadanya beliaupun mempunyai tugas (tilāwah) untuk membacakan al-Qur`an itu dan menjelaskan kandungan-kandungannya kepada umatnya, juga mengikuti makna-makna kandungan al-Qur`an serta mengikutinya dengan pengikutan yang benar.5

Materi tentang Neraka dan penghuninya yang terdapat dalam al-Qur`an menjadi sangat penting diungkap di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan keimanan yang benar terhadap eksistensi neraka termasuk ke dalam rukun iman yang terkandung dalam iman pada hari akhir.6Ḥāfidz Ibn Aḥmad al-Ḥakamī (W: 1377 H) memaknai keimanan terhadap neraka ini dengan keyakinan yang mantap tanpa dilandasi keraguan sedikitpun tentang eksistensi neraka pada saat ini serta bersifat kekal karena dikekalkan oleh Allah.7

Kedahsyatan siksa neraka menjadi gambaran yang sangat mengerikan dalam al-Qur`an. Gambaran seperti ini dimaksudkan agar manusia terpanggil kesadarannya untuk lekas kembali pada ajaran Allah serta beristiqāmah di dalamnya. Sebagai contoh akan kedahsyatan neraka, bahwa apinya digambarkan 70 kali lipat lebih panas dari api yang kita kenal di dunia ini.8 Gambaran neraka seperti ini bukanlah gambaran yang bersifat khayal bagi manusia yang

4 Muḥammad Ṣālih al

-Uthaimīn (W: 1421 H), Uṣūl Fī al-Tafsīr (Dammām:

Dār Ibn Qayyim, 1408 H), 25.

5

M. Sarbini, Studi Standar Mutu Ulama dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Umat, (Jurnal Ilmiah al-Hidayah) (Bogor: STAI al-Hidayah, 2009 M), 18-19.

6Ḥāfidz Ibn Aḥ

mad al-Ḥakamī (W: 1377 H), ‘Alām al-Sunnah al-Manshūrah

li ‘itikādi al-Tāifah al-Nājiyah al-Manṣūrah (Riāḍ: Maktabah Rushd, 1418), 110. 7Ḥāfidz Ibn Aḥmad al

-Ḥakamī, ‘Alām al-Sunnah al-Manṣūrah li ‘itikādi al

-Tāifah al-Nājiyah al-Manṣūrah (Riyāḍ: Maktabah Rushd, 1418), 135. 8Maktabah Shāmilah

(Ṣahīh al-Bukhāri)

يبَِأ ْنَع ْزُج َينيعْبَس ْنيم ٌءْزُج ْمُكُراَن َلاَق َمَّلَسَو يهْيَلَع ُللها ىَّلَص يللها َلوُسَر َّنَأ ُهْنَع ُللها َييضَر َةَرْ يَرُه َمَّنَهَج يراَن ْنيم اًء

اًءْزُج َينِّتيسَو ٍةَعْسيتيب َّنيهْيَلَع ْتَلِّضُف َلاَق ًةَييفاَكَل ْتَناَك ْنيإ يللها َلوُسَر اَي َلييق

اَهِّرَح ُلْثيم َّنُهُّلُك

Dari Abu Hurairah raḍiallāhu’anhu, bahwa Rasulullāh ṣallallāhu’alaihi wa sallam

(19)

3

beriman9, karena hal itu dikabarkan langsung oleh Allah dalam banyak ayat dan oleh Rasulullah dalam banyak ḥadīth nya.

Tentang ancaman neraka di atas, jika dilihat dari sisi kekal dan tidaknya terdapat perbedaan pendapat yang cukup signifikan, perbedaan pendapat ini telah diringkas oleh Abū al ‘Izz al-Dimashqī (W: 792 H) dalam kitabnya Sharḥ ‘Aqīdah Ṭaḥāwiyah. Di antara pendapat itu adalah Allah akan mengeluarkan dari neraka siapa saja yang dikehendaki-Nya sebagaimana yang terdapat dalam al-Sunnah, kemudian menetapkan sebagiannya berdasarkan kehendak-Nya lalu melenyapkannya, dan ada juga yang menyatakan bahwa Allah akan mengeluarkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dari neraka sebagaimana yang terdapat dalam al-Sunnah, dan mengekalkan orang-orang kafir tanpa batas.10

Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H) menginterpretasikan ayat-ayat neraka untuk kalangan non muslim sebagai ancaman kekekalan selama-lamanya, bahkan orang-orang kafir sama sekali tidak akan mendapatkan keringanan sedikitpun ketika mendapatkan azab dari Allah. Ibn Jarīr (W: 310 H) mencoba menguatkan pendapatnya dengan mengutip Surat al-Fātir[035]:3611 dan Surat al-Nisā[004]:5612 yang memberi penegasan bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah mati dalam siksaan neraka itu, dan setiap kali kulit orang kafir hangus

9

Abd al-Karīm Zaidān, Uṣūl al-Da’wah (Bairūt: Muassasah al-Risālah Nashirūn, 2006), 325.

10‘Ali ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abī

al-Izz al-Dimashqī (W: 792 H), Sharḥ

Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas Setiap orang yang sangat kafir.

12

(20)

4

karena terbakar api maka akan digantikan lagi oleh Allah dengan kulit yang baru agar mereka merasakan azab.13

Pendapat al-Ṭabarī (W: 310 H) ini ternyata banyak didukung dan dikuatkan oleh para ulama tafsir di antaranya Abd al-Raḥmān pernyataan-pernyataan yang senada dengan ini bisa didapatkan dalam banyak ayat terutama ketika beliau menafsirkan ayat-ayat tentang azab bagi non muslim.

Sepertinya pandangan ini juga ditopang oleh sosok mufasir kontemporer al-Zuḥailī yang mengatakan dalam tafsirnya “al-Tafsīr al-Munīr fī al-Sharīah wa al-Aqīdah wa al-Manhaj” bahwa orang kafir akan kekal dalam neraka Jahannam, mereka kekal dalam la’nat

dan hal itu akan tetap melekat pada mereka, mereka terusir dari rahmat Allah, dan sesungguhnya azab mereka akan berlangsung terus-menerus tanpa henti dan tanpa keringanan, mereka tidak diberi tangguh sedikitpun dalam merasakan azab”15

Makna Khālidīna Fīhā adalah kekal selamanya dan terkadang bermakna waktu yang sangat lama, akan tetapi jika disandarkan pada orang-orang kafir maka maknanya adalah kekal selamanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī ketika menafsirkan Surat al-Baqarah[002]:162,16 beliau mengatakan Khulūd

artinya kekal tanpa batas, dan terkadang mempunyai arti waktu yang sangat lama, dan apabila kata “khulūd” dijadikan sifat untuk azab

13Abu Ja’far Muḥammad Ibn Jarīr al

(21)

5

seorang kafir maka maksudnya adalah makna yang pertama yaitu kekal selamanya. Sedangkan ḍamīr (kata ganti) dalam kata “Fihā” secara dzahir kembali pada “laknat” karena ini yang tersebut dalam kalimat itu, dan ada juga yang berpendapat bahwa ḍamīr di atas kembali pada “neraka” karena laknat artinya jauh dari rahmat dan menyebabkan azab, sedangkan azab terjadi di neraka.17

Pendapat ini juga kembali mendapat dukungan dari seorang penasehat di Masjid al-Nabawi Abū Bakr Jābir al-Jazāirī, dia mengomentari al-Qur`an surat al-Baqarah[002]:162 dengan perkataannya: “Allah Ta’āla mengabarkan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir terhadap Nabi dan agamanya baik dari kalangan

Alh al-Kitāb ataupun selainnya, kemudian mereka mati dalam keadaan belum bertaubat maka mereka akan mendapat laknat dari Allāh, para malaikat dan seluruh manusia, karena itu mereka terusir dan jauh dari rahmat Allah yaitu surga-Nya, mereka kekal di dalam

Jahannam dengan siksaan yang tidak pernah diringankan dan juga tidak diberi tangguh walau sedetik”18. Dalam perkataannya ini terdapat indikasi bahwa rahmat Allah yang begitu besar sedikitpun tidak akan diberikan kepada orang-orang yang mati dalam kekufuran sehingga mereka tidak akan pernah keluar dari neraka dan akan kekal selamanya.

Semua kaum muslimin meyakini adanya neraka dan kepedihan siksaan di dalamnya. Sehingga hal ini menjadikan orang-orang yang meyakininya harus berhati-hati di dalam kehidupan dunia, karena dunia ini adalah tempat singgah sementara dan ada kehidupan yang abadi setelah kematian. Kehidupan dunia adalah jalan untuk menentukan arah hidup selanjutnya, oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam bersikap dan mengambil suatu keputusan hidup yang berdampak pada kehidupan selanjutnya.19

Pembahasan neraka dan siksa yang ada di dalamnya hendaknya menjadi pemicu semangat setiap orang yang meyakininya untuk menjauhi segala sebab yang akan mendekatkan pada neraka tersebut. Tumbuhnya sifat khawatir akan ancaman neraka ini akan membimbing mereka yang percaya pada kehidupan yang hati-hati dalam tindak-tanduk di dunia ini, sehingga dia akan menjadi individu yang berusaha senantiasa bersih dari dosa-dosa.

17 Muḥammad Sayyid Ṭanṭawi, al-Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur`ān al-Karīm

(Kāhira: Dār al-Nahḍah, 1997), 327. 18 Abū Bakr Jā

bir al-Jazāirī, Aisar al-Tafāsir li Kalām al-‘Aliy al-Kabīr (Jaddah: Maktabah Adwā al-Manār, 1419), 68.

19

(22)

6

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas diketahui beberapa permasalahan yang penting diungkap, sehingga diketahui oleh kaum muslimin secara umum terutama para akademisi pendidikan, yang pernyataan dan pendapat-pendapatnya sering dijadikan rujukan oleh masyarakat luas dan juga sebagai wahana untuk mengembangkan tafsir tematik yang berkenaan dengan eskatologi islami.

Permasalahan inti terfokus pada pernyataan dan pembelaan al-Ṭabarī pada pandangan kekekalan neraka untuk orang-orang kafir. Al-Ṭabarī (W: 310 H) menguatkan pandangannya dengan dzahir ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīth yang mayoritasnya selalu menggunakan kata khulūd untuk menggambarkan kekekalan neraka penghuninya dari kalangan non muslim.

Dari beberapa pandangan ini maka peneliti membuat identifikasi permasalahan yang tertuang dalam pertanyaan berikut:

1. Apa sebenarnya makna “Khulūd” yang terdapat dalam al-Qur`ān?

2. Bagaimana perspektif al- Ṭabarī (W: 310 H) tentang makna khulūd di dalam neraka?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam tesis ini, pembahasan tema akan difokuskan pada penafsiran ayat-ayat khulūd (kekekalan) yang terdapat dalam al-Qur`an dengan metode tafsīr mauḍūi’ perspektif mufassir Ibn Jarīr al-Ṭabarī dalam tafsirnya “Jāmi’u al-Bayān Fī Ta`wīlīl al-Qur`ān”.

Maksud tafsīr mauḍū’i adalah metode mempelajari al-Qur`an, dengan langkah garis besarnya sebagai berikut: Merumuskan tema masalah yang akan dibahas, menghimpun-menyusun-menelaah ayat-ayat al-Qur`an dan melengkapinya dengan ḥadīth yang relevan, dan menyusun kesimpulan sebagai jawaban al-Qur`an atas masalah yang dibahas.20

Berdasarkan batasan masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah berikut: “Apa makna khulūd yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an perspektif al- Ṭabarī (W: 310 H)?”

D. Kajian Pustaka

Karya-karya ilmiyah yang mengkaji tentang neraka banyak dijumpai dalam bentuk artikel atau buku-buku. Akan tetapi sepengatahuan penulis pembahasan mereka adalah pembahasan tentang neraka secara global tidak fokus membahas “Kekekalan

20

(23)

7

penghuni neraka”. Apalagi yang menggunakan metode “tafsīr

mauḍū’i”dengan menfokuskan pada tafsīr Ṭabarī (W: 310 H) dalam pembahasannya, menurut pengetahuan penulis belum ada.

Māhir Aḥmad, dalam kitabnya Al-Nāru Ahwāluhā wa ‘Adhābuhā,21 membahas tentang kedahsyatan neraka secara umum yang mencakup: kondisi orang-orang munafik dan para pelaku maksiat, sifat-sifat neraka, penderitaan penduduk neraka, macam-macam siksaan dalam neraka, kondisi penduduk neraka, siksaan bagi

Ahl al-Tauḥīd yang bermaksiat dan melakukan dosa besar, dan renungan tentang alam neraka. Dalam kitab inipun dibahas tentang kekekalan neraka akan tetapi terlalu singkat dan langsung menuju pada inti pembahasan sehingga terlihat pembahasannya tentang kekekalan neraka tidak komprehensif.

Ibn Rajab al-Ḥambalī (W:795 H) dalam kitabnya al-Takhwīf min al-Nār wa al-T’arīf bi Ḥāl Dār al-Bawār22 membicarkan tentang kedahsyatan neraka, di antaranya mencakup: ancaman neraka, penyebab terjerumusnya seseorang ke dalam neraka, sifat siksaan neraka, sifat penduduk neraka, ragam siksaan neraka, penjaga neraka, dan tentang Ahl al-Tauḥīd yang dikeluarkan dari neraka. Di dalam kitab ini Ibn Rajab al-Ḥambalī juga tidak membahas kekekalan neraka secara khusus, karena memang tujuan penyusunan bukunya adalah pembahasan neraka secara global, walaupun bisa diketahui dari pembahasannya itu bahwa beliau termasuk ulama yang mendukung pandangan kekalnya neraka.

‘Ali ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abī al-Izz al-Dimashqī(W: 792 H)23, dalam kitabnya Sharḥ al-Aqīdah al- Ṭaḥāwiyah juga membahas masalah neraka dan penghuninya secara global tidak fokus pada pembahasan tersebut. Hal ini dikarenakan beliau hanya menjelaskan kitab yang dikenal dengan kitab al-Aqīdah al- Ṭaḥāwiyah karya Al-Imām Abū Ja’far Aḥmad ibn Muḥammad al-Ṭahāwiy (W: 322 H)24. Sehingga beliau secara sengaja tidak membahas khusus tentang neraka.

21

Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh saudara Wafi Marzuqi Amar dengan judul “Misteri Kedahsyatan Neraka” dan diterbitkan setebal 580 halaman oleh Sukses Publishing, tahun 2009.

22

Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Widyan Wahyudi dengan judul “Dahsyatnya Neraka” dan diterbitkan setebal 361 halaman oleh Pustaka al-Tazkiya, tahun 2008.

23 ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Abī al

-Izz al-Dimashqī (W: 792 H), Sharḥ al-Aqīdah al- Ṭaḥāwiyah (Riyāḍ: Dār ‘Alam al-Kutb, 1418 H) Tahun wafat beliau terdapat di depan kafer depan.

24‘Ali ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abdi al

(24)

8

E. Urgensi dan Manfaat Penelitian

Penelitian kekekalan penghuni neraka dalam al-Qur`an akan sangat merangsang sifat khauf25 bagi siapa saja yang mentadabburi dan mengimaninya, akan tetapi tidak semua orang bisa menela’ah dan memahami langsung dalil-dalil tentang kekekalan neraka tersebut dalam al-Qur`an, apalagi bagi orang-orang a’jam (non Arab). Selain informasi tentang kekekalan neraka berpencar tidak di satu ayat atau surat saja, juga bahasa arab terkadang tidak difahami oleh mayoritas mereka. Sehingga untuk mempermudah pentadaburan perlu dibuat karya ilmiyah yang memberikan informasi secara rinci dan konprehensif tentang kekal atau fananya neraka berdasarkan pemahaman para sarjana muslim yang mu’tabar (dipercaya) sehingga bisa dijadikan rujukan untuk umat.

Urgensi dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian tentang tafsir tematik seperti kekekalan Neraka ini

termasuk wahana tadabbur al-Qur‛an yang yang diperintahkan oleh Allah Ta’ālā.

2. Melanjutkan estafet dakwah Rasulallah

allallāhu’alaihi

Wasallam yang mana salah satunya mengunakan metode “indhār” (ancaman).

3. Penelitian ini diharapkan akan menumbuhkan sifat khawf

(takut) pada Allah yang dipuji oleh agama, sehingga pembacanya akan menghindari sejauh-jauhnya dari ucapan dan amalan yang akan mendekatkan dirinya pada neraka. 4. Mengembangkan kajian Tafsīr al-Qur`ān bi al-Sunnah. 5. Makna satu ayat bergantung pada qarīnahnya.

F. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang kekekalan neraka ini diadakan untuk tujuan-tujuan berikut:

1. Mendeteksi ayat-ayat al-Qurān yang menunjukan kekekalan Neraka menurut al-Ṭabarī dalam kitab tafsirnya.

2. Mendeteksi ḥadith-ḥadith ṣaḥīḥ yang menunjukan kekekalan Neraka sehingga bisa dijadikan penguat dalam pendalilan.

3. Mengungkap penafsiran al- Ṭabarī (W: 310 H) tentang ayat-ayat yang menunjukan kekekalan neraka dalam kitab tafsirnya.

25

(25)

9

G. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Metode Kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang cocok digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiyah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) tehnik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif yang mana hasilnya lebih menekankan makna dari pada generalisasi.26

Penelitian ini juga menggunakan metode pustaka (Library resech) yaitu mencari dan mengumpulkan data-data ilmiyah yang relevan dengan tema yang dibahas terutama yang terdapat dalam kitab-kitab tafsīr, kitab-kitab ḥadīth dan kitab-kitab akidah karena penelitian ini sangat erat kaitannya dengan pembahasan ketiga jenis kitab tersebut.

Adapun sumber primer yang digunakan penulis adalah kitab tafsīr Jāmi’u al-Bayān fīTa’wīli al-Qur`ān karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī (W: 310 H) yang menjadi titik sentral pembahasan dalam penelitian ini.

Dalam penulisan penelitian ini digunakan dua model pendekatan yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan semantik. Pendekatan tekstual yaitu pendekatan yang mengacu pada teks-teks yang terdapat dalam al-Qur`an dan al-Ḥadīth dengan tujuan melahirkan akurasi konsep yang akan menjauhkan peneliti dari kesalahan interpretasi sebagai akibat dari pergeseran makna yang terjadi dalam proses perkembangan bahasa. Sedangkan pendekatan semantik, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan berusaha menggali makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan bahasa al-Qur`an dan al-Ḥadīth.27

Adapun sumber-sumber sekunder yang akan dijadikan rujukan oleh penulis dalam penelitian dan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Kitab-kitab tafsir selain al- Ṭabarī (W: 310 H) yang biasanya mencakup pembahasan tentang neraka dan makna

khulūd di dalamnya.28

26

Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009 M), 9.

27

http://www.referensimakalah.com/2011/08/tipologi-pendekatan-penelitian-tafsir_4764.html, diakses pada 06-09-2012.

28

Di antara kitab tafsir yang dijadikan rujukan adalah: al-Tafsīr bi al

-Ma`thūr karya Abd al-Raḥmān Ibn Abī Ḥātim al-Rāzī (W: 327), Baḥr al-‘Ulūm

karya Abū Laith Naṣr Ibn Muḥammad al-Samarqandī (W: 373 H), al-Kashhāf ‘an

Haqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqawīl fī Wujūh al-Ta`wīl Jār Allāh

(26)

10

2. Kitab Mu’jam (Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfā al-Qur‛ān al-Karīm) karya Muḥammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, kitab ini digunakan penulis untuk mempermudah pelacakan kata-kata dan ayat-ayat dalam al-Qur`an yang hendak dikutip atau dijadikan sebagai pendalilan.

3. Buku-Buku Ilmu al-Qur`an.29

4. Buku-buku aqidah yang berbicara tentang neraka, di antaranya:.30

karya Muḥammad Ibn ‘Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī (W: 606 H), Tafsīr al-Qur`ān al-Aẓīmkarya Ismā’īl Ibn ‘Umar Ibn Kathīr al-Quraishi al-Dimashqī (W: 774 H), ‘Umdah al-Tafsīr karya Aḥmad Muḥammad Shākir, al-Lubāb fī ‘Ulūm al-Kitāb karya Umar Ibn ‘Ali al-Ḥambalī (w: 880 H), al-Durr al-Manthūr fī Tafsīr al

-Ma`thūr karya ‘Abd al-Raḥmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī (w: 911 H),Fath al-Qādīr

Muḥammad Ibn ‘Ali al-Shaukānī (W:1250 H), Rūh al-Ma’ānī Maḥmūd al-Alūsī al-Bagdādī (W: 1270 H), Taysīr al-Karīm al-Raḥmān fī tafsīr al-kalām al-Mannān karya Abd al-Raḥmān Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), al-Tafsīr al-Munīr fī al-Sharīah wa al-Aqīdah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Wasīṭ li

al-Qur`ān al-Karīmkarya Muḥammad Sayyid Ṭanṭawī,, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm

karya Muḥammad Ṣāliḥ al-Uthaimīn (W: 1421 H), Tafsīr al-Qur`ān al-Karīm, Juz

‘Amma karya Muḥammad Ṣālih al-Uthaimīn (W: 1421 H), Aisar al-Tafāsir Li

Kalām al-‘Aliy al-Kabīrkarya Abū Bakar Jābir al-Jazāirī, Aḍwā al-Bayān fī Iḍāhi al-Qur`ān bi al-Qur`ān Muḥammad Amīn al-Shinqiṭī,Ṣafwah al-Bayān Li Ma’āni al-Qur`ānkarya Khālid Ibn ‘Abd al-Raḥmān al-‘Ak, Nafḥah al-‘Abīr Min Zubdah al-Tafsīr karya Muḥammad Sulaimān al-Ashqar, Tafsir al-Azhar karya Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah) (W: 1981 M), Tafsīr al-Tahrīr wa al

-Tanwīr karyaMuḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Ᾱshūr (W: 1972 M), Jāmi’ al-Tafāsīr Min Kutub al-Aḥādīth karya Khālid Ibn ‘Abd al-Qādir Ᾱli ‘Aqdah, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab,Tafsīr al-Qāsimī al-Musammā Maḥāsin al-Ta`wīl karya Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī (W: 1332 H), al-Tafsīr al-Wasīṭ lī al-Qur`ān al-Karīm karya Muḥammad Sayyid Ṭanṭāwī, , al-Asās fī Tafsīr karya Sa’īd

Ḥawwā, , Fī Ẓilāl al-Qur`ān karya Sayyid Quṭb, Tafsīr al-Qur`ān al-Ḥakīm al

-Mashhūr bi Tafsīr al-Manār karya Muḥammad Rashīd Riḍā (W: 1354 H), dan lai-lain.

29

Selain buku di atas, buku-buku tentang ilmu-ilmu al-Qur`an yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut: Mabāhith fī Ulūm al-Qur‛ān karya Mannā’ al-Qaṭān, Manāhīj al-Mufasirūnkarya Muḥammad Abū Zaid, Uṣūl fī al

-Tafsīr karya Muḥammād Ṣālih al-Uthaimīn (W: 1421 H), Al- Ṭibyān fī Ᾱdābi

Ḥamlati al-Qur‛ān karya al-Nawāwi, Ilmu-Ilmu al-Qur`an karya Muhammad Ḥasbi al-Ṣidqi, Ibn Jarīr al-Ṭabarī Manhajuhu fī al-Tafsīr karyaMuḥammad Bakr Ismā’il, Ta’rīf al-Darisīn bi Manāhij al-Mufassirīn karya Ṣalāḥ Abd al-Fattāḥ al -Khālidī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya Muḥammad Ḥusein al-Ḍahabī, Sejarah

dan Ulūm al-Qur`ān karya M. Quraish Shihab dkk, Manāhij fī al-Tafsīr karya Musṭafā al-Ṣāwi al-Juwainī, Ilmu Tafsīr karya Rosihon Anwar, Manāhij al

(27)

11

5. Buku-buku induk ḥadīth yang relevan.

6. Kamus-kamus berbahasa arab yang digunakan untuk mengecek kebenaran dalam bahasa Arab.31

7. Buku-buku/ Jurnal lainnya yang berkaitan dengan tema tesis yang diteliti.

8. Maktabah Shāmilah, biasanya media ini digunakan oleh penulis untuk melacak satu ayat atau ḥadīth untuk kemudian dirujuk ke kitab aslinya. Jika dirasa kesulitan dalam merujuk pada kitab asli, maka penulis menjadikan maktabah shamilah sebagai rujukan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses penulisan dan untuk keakuratan serta penulisan yang sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan. Dalam pendahuluan ini penulis menuangkan Sembilan pembahasan turunan, pendahuluan disusun untuk menjelaskan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Urgensi dan Manfaat penelitian, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Dalam latar belakang masalah terdapat alasan-alasan mengapa penulis memilih tema dalam penelitian ini, kemudian identifikasi

30

Kitab-Kitab Aqīdah yang digunakan peneliti selain yang disebut di atas adalah:Irsyād Dhawi al-Baṣāir ilā Ma’rifat al-Kabāirkarya Abū Ubaidah Usāmah

ibn Muḥammad al-Jammāl, Fitnat al-Khawārij karya Muḥammad ‘Abd Allāh ‘Ali al-Ḥakamī, Aqīdah al-Mu’minkarya Abū Bakr Jābir al-Jazāiri, Ta’lik Mukhtaṣor ‘Alā Kitāb Lum’ah al-Itikād al-Hādi Ilā Sabīl al-Rashād karya Muḥammad ṣālih al-Uthaimīn (W: 1421 H), Aḍwā ‘alā Rukn min al-Tauhīd karya ‘Abd al-Azīz ibn Ḥāmid, Nawāqid al-Imān al-Qauliyah wa al-‘Amaliyah karya ‘Abd Azīz ibn

Muḥammad ibn ‘Ali al-Abd al-Latīf, Tamasya ke Negeri Akherat (terjemahan dari

kitab Riḥlahilā al-Dār al-Akhirah)karya Maḥmūd al-Miṣri, Hal-hal yang Wajib Diketahui Oleh Setiap Muslim karya ‘Abd Allāh ibn Ibrāhim al-Qar’āwī, Aqīdah Muslim Dalam Tinjauan al-Qur`ān dan al-Sunnah karya Muḥammad Ṣālih al -Uthaimīn (W: 1421 H), Kitāb Tauhīd karya Ṣāliḥ ibn Fauzān ibn ‘Abd Allāh al -Fauzān, Kehidupan Sesudah Mati karya Al-Gazālī, 1001 Wajah Manusia di Padang Mahsharkarya Abd Raḥmān Al-Wasiṭīdan Abū fātiah Al-Adnānī, , Dosa-dosa Besar karya al-Dhahabī, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil karya M. Quraish Shihab, Sharḥ al-Aqīdah al-Wasiṭiyah

karya Ṣāliḥ ibn Fauzān ibn Abdullāh al-Fauzān, Sharḥ al-Aqīdah al- Ṭaḥāwiyah karya al-Qāḍi Ali ibn Ali ibn Muḥammad ibn ‘Abd al-Izz al-Dimashqī, dan yang lainnya.

31

Di antara kamus yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Mukhtār al-

Ṣhhāh karya Muḥammad ibn Abū Bakr al-Qādir dan Munjid fi Lughah wa

(28)

12

masalah, yaitu menelaah permasalahan yang akan dibahas dan dibuat secara sistematis oleh penulis dengan bentuk pertanyaan. Kemudian dalam pembatasan dan perumusan masalah dilakukan pemokusan permasalahan yang akan diteliti sehingga pembahasan tidak melebar ke pembicaraan lain yang tidak berkaitan secara signifikan dengan tema yang ada. Kemudian dalam kajian pustaka, penulis mencoba mencari reverensi dan menjelaskan sisi perbedaan dan persamaan antara penelitian yang sudah ada dengan tesis yang akan disusun. Adapun dalam pembahasan urgensi dan manfaat penelitian penulis mencoba menuangkan kegunaan dan buah yang diharapkan dari penelitian yang akan dilakukan. Kemudian dalam pembahasan tujuan penelitian, penulis mengungkapkan tiga tujuan penting yang akan dihasilkan setelah penulisan bisa diselesaikan dengan baik. Kemudian dalam metodologi penelitian, penulis mencantumkan buku-buku dari para ilmuan yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian baik yang bersifat primer maupun skunder. Kemudian langkah-langkah penelitian, yaitu cara yang akan ditempuh penulis dalam menyelesaikan tesis dengan baik dan terakhir sistematika penulisan yaitu penjelasan tentang bab-bab yang ada dalam tesis ini.

Dalam bab ke dua penulis akan membahas siksaan neraka dalam al-Qur`ān dan dalam pandangan para sarjana muslim. Pembahasan siksaan neraka dalam al-Qur`ān meliputi nama-nama neraka, dan ayat-ayat yang berbicara tentang neraka. Sedangkan pembahasan siksa neraka dalam pandangan para sarjana muslim meliputi neraka dalam pandangan para mutakallimīn, neraka dalam pandangan muḥadithīn dan neraka dalam pandangan mufassirīn.

Dalam bab ke tiga penulis akan mengurai secara ringkas tentang Imam al-Ṭabarī (W: 310 H) dan kitab tafsirnya yang mana tafsirnya tersebut dijadikan objek sentral dalam penelitian ini. Uraian dalam bab ini meliputi: Biografi Imam al-Ṭabarī (W: 310 H) yang mencakup tempat tanggal lahir, manhaj akidah, akhlak dan prilaku, guru dan murid-muridnya, statmen-statmen penting yang pernah diungkapkan olehnya, serta karya ilmiyah yang dibuat olehnya. Lalu penulis juga akan berbicara tentang tafsir Jāmi’u al-Bayān fī Ta’wīli al-Qur‛ān yang mencakup metode penafsiran serta corak tafsir yang digunakan di dalamnya. Dan yang terakhir penulis juga akan menjelaskan kedudukan tafsir al-Ṭabarī di hadapan tafsir-tafsir yang lainnya menurut.

(29)

13

mengenai konsep neraka sebagai tempat, tingkatan dan kualitas penderitaan.

Lalu dalam bab ke lima penulis mengemukakan argument al-Ṭabarī tentang kekekalan Neraka ditinjau dari penghuninya. Hal ini akan diungkapan penulis dalam pembahasan neraka untuk orang kafir, neraka untuk orang munafik dan ancaman neraka untuk orang muslim yang melakukan dosa besar.

(30)
(31)

15

BAB II

NERAKA DALAM AL-QUR`AN DAN DALAM PANDANGAN PARA SARJANA MUSLIM

A. Neraka Dalam al-Qur`an

Al-Qur`an adalah wahyu dari Allah Subhānahu Wata’ālā yang diturunkan melalui malaikat Jibril untuk Rasulullah Salallāhu’alaihi

Wasallam (W: 11 H), dan membaca al-Qur`an dinilai sebagai satu ibadah besar di sisi Allah Ta’alā, dan pengamalannya menjadi satu kewajiban untuk setiap kaum muslimin.1

Mengamalkan al-Qur`an bisa berarti meyakini semua kabar yang ada di dalamnya, melaksanakan segala amalan yang diperintahkan di dalamnya, dan menjauhi segala larangan-larangannya. Neraka dan segala bentuk siksaan yang ada di dalamnya termasuk ke dalam kabar yang harus diyakini oleh setiap orang yang menjadikan al-Qur`an sebagai kitab suci dan pedoman hidupnya, sehingga pengumpulan data dan analisis mendalam tentang siksa neraka ini harus dilakukan oleh individu-individu yang percaya untuk kemudian diinformasikan kembali kepada kaum muslimin yang lain.

Al-Qur`an dengan sempurna telah menginformasikan kepada manusia tentang siksaan neraka yang telah disediakan untuk mereka yang tidak beriman.2 Informasi dari al-Qur`an menjadi sangat penting untuk orang yang meyakininya karena tidak ada sesuatupun yang mampu menggambarkan neraka dengan tepat kecuali wahyu dari Allah al-‘Alīm al

-Ḥakīm.3

Untuk menumbuhkan sifat khauf (takut) pada manusia, maka Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberikan peringatan kapada mereka dari siksaan Neraka secara komprehensif, sebagaimana ia juga memberikan kabar gembira dengan surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya untuk

3Mahir Aḥmad, Misteri Kedahsyatan Neraka

(Jakarta: Sukses Publishing, 2008 M), 57.

4Mahir Aḥmad, Misteri Kedahsyatan Neraka

(Jakarta: Sukses Publishing, 2008 M),

63. Tentang hal ini Mahir Aḥmad mengutip beberapa ayat al-Qur`an yang menerangkan

bahwa setiap Rasul telah mengingatkan kaumnya dari neraka. Di antaranya Allah berfirman

kepada Nabi Muḥammad Ṣalallāhu’alaihi wasallam:

(32)

16

Menurut akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, saat ini neraka dan segala siksanya sudah ada dan sudah disediakan oleh Allah untuk mereka yang bermaksiat kepadaNya, sebagaimana telah disediakan juga surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya untuk meraka yang taat kepadaNya.5

Dalam menguatkan pendapat ini Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah

melandaskan keyakinnya di atas al-nuṣūṣ al-ṣaḥīḥah baik yang terdapat dalam al-Qur`an maupun dalam al-Ḥadīth. Dalam ayat-ayat al-Qur`an didapati kabar bahwa neraka sudah disediakan untuk orang-orang kafir.6 Di antaranya Allah berfirman di dalam surat Ᾱli ‘Imrān[003]:131, setelah

Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.

Ayat ini memberikan informasi yang begitu jelas bahwa neraka itu ada, dan neraka itu harus dijauhi karena dia adalah tempat yang paling mengerikan yang Allah ciptakan. Eksistensi neraka sudah ada, karena Allah mengatakan bahwa neraka sudah disediakan untuk orang-orang yang ingkar terhadapNya. Sesuatu yang telah tersedia berarti telah ada, sebagaimana jika seorang ibu mengatakan bahwa nasi sudah disediakan untuk anak-anak di atas meja, berarti eksistensi nasi itu telah ada dan disediakan untuk makan anak-anak.

Al-Ṭabarī (W: 310 H) mengomentari ayat ini dengan mengatakan:

Allah berfirman mengingatkan orang-orang yang beriman: “Wahai orang beriman cegahlah diri kalian dari api neraka, janganlah kalian terjerembab ke dalam neraka karena kalian memakan riba setelah Aku melarang kalian, neraka itu telah Aku sediakan untuk orang-orang yang kafir kepadaKu,

Kemudian dalam surat al-An‘ām[006]:48-49, Allah berfirman:



Dan tidaklah Kami mengutus Para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan Mengadakan perbaikan, Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (an-An’am[006]:48-49).

5 Aḥmad Muṣṭafā Mutawalli, Surga dan Neraka

(Bogor: Darul Ilmi, 2012 M), 226.

Lihat juga, ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abī al-‘Izz al-Dimasyhqī, Sharḥ al-‘Aqīdah

al-Taḥāwiyah, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1415 H), 614.

6Aḥmad Muṣṭafā Mutawallī, Surga dan Neraka

(33)

17

kalianpun akan menempati posisi mereka jika kalian menyelisihi perintahKu,

dan meninggalkan ketaatan kepadaKu”.7

Māhir Aḥmad mencoba menguatkan pandangan bahwa neraka sudah

ada dan sudah disediakan oleh Allah Ta’ālā dengan mengutip firmanNya dalam surat al-Baqarah[002]:24, dan surat al-Aḥzāb[033]:64 selain juga mengutip ayat 131 seperti yang tertera dalam suratᾹli Imrān di atas.8

Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), (al-Aḥzāb[033]:64)

Komentar al-Ṭabarī dan Māhir Aḥmad di atas adalah bagian dari komentar ribuan ulama yang meyakini eksistensi neraka, keyakinan mereka biasanya dilandaskan pada dzahir teks yang terdapat dalam Qur`an dan al-Sunnah. Hal ini menjadi keyakinan bagi ulama Ahlu al-Sunnah seperti al-

Ṭabarī, Ibn Taimiyah, al-Sa’dī, al-Jazāirī dan lainnya.

Dalam Sharḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyah, Abu al-‘Izz al-Dimashqī(W: 792 H) menguatkan pendapat telah adanya neraka saat ini dengan mengutip satu ḥadīth yang diriwayatkan oleh Imam Mālik dalam al-Muwatta, Bukhārī, Muslim, Aḥmad, al-Nasāi serta al-Tirmidhī bahwa Rasulullah bersabda:

ُهُدَعْقَم ِهْيَلَع َضِرُع َتاَم اَذِإ ْمُكَدَحَأ َّنِإ

ِلْهَأ ْنِمَف ِةَّنَجْلا ِلْهَأ ْنِم َناَك ْنِإ ِّيِشَعْلاَو ِةاَدَغْلاِب

ْنِإَو ِةَّنَجْلا

ِةَماَيِقْلا َمْوَي ُالله َكَثَعْبَي ىَّتَح َكُدَعْقَم اَذَه ُلاَقُيَف ِراَّنلا ِلْهأ ْنِمَف ِراَّنلا ِلْهَأ ْنِم َناَك

Sesungguhnya seseorang di antara kalian jika meninggal dunia ditampakkan padanya tempatnya setiap pagi dan sore hari, jika ia termasuk ke dalam golongan calong penghuni surga maka ditampakkan surga dan jika termasuk ke dalam golongan calon penghuni neraka maka ditampakan neraka.9

Māhir Aḥmad dalam bukunya Misteri Kedahsyatan Neraka mengutip

perkataan Muḥammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī yang mengatakan bahwa

Neraka adalah realitas yang berhubungan erat dengan ruh dan jasad secara

7 Muḥammad Ibn Jarīr al

-Ṭabarī (W: 310 H), Jāmi al-Bayān fī Ta`wīl al-Qur`ān

(Libanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), jilid 3, 435.

8Māhir Aḥmad

, Misteri Kedahsyatan Neraka (Jakarta: Sukses Publishing, 2008), 70.

9 ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abī al

-‘Izz al-Dimasyhqī (W: 792 H), Sharḥ

(34)

18

bersamaan bukan sekedar hayalan yang hanya berkisar pada ruh atau jiwa saja. Jika perkaranya tidak demikian maka hari kebangkitan tidak ada gunanya bagi jasad. Bukti yang paling jelas mengenai hakekat ini adalah cara al-Qur`an dalam menggambarkan keadaan neraka secara rinci. Hal ini memberikan faidah bahwa siksa neraka adalah siksaan yang nyata, kongkrit, dan bisa dirasakan oleh seluruh panca indra, tubuh dan perasaan orang-orang kafir.10

Ramaḍān al-Būṭī memberikan contoh rincian siksaan dalam neraka

yang terdapat dalam beberapa ayat Qur`an tepatnya dalam surat

al-Gāshiyah[088]:2-7, al-Wāqi’ah[056]:51-56, Qamar[054]:47-48 dan

al-Nisā[004]:56. Allah Ta’ala berfirman: yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. (al-Gāshiyah[088]:2-7)

Kemudian Sesungguhnya kalian Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum, dan akan memenuhi perutmu dengannya. sesudah itu kalian akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan" (al-Wāqi’ah[056]:51 -56).

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka

10Māhir Aḥmad

(35)

19

atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah sentuhan api neraka!" (al-Qamar[054]:47-48)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

(al-Nisā[004]:56.)

Jika diperhatikan ayat-ayat di atas bisa diperoleh informasi tentang beberapa bentuk siksa neraka yang dirinci oleh Allah, yaitu wajah orang kafir akan tuntuk dalam penyesalan, api yang panas, minuman berupa air mendidih, makanan berduri, buah zaqqūm, diseret di atas wajah, sentuhan api, dan hangusnya kulit orang-orang yang memasukinya. Inilah ḥujjah yang disampaikan oleh al-Būṭi yang mencoba mempertahankan keyakinannya bahwa siksa neraka bersifat konkrit yang menimpa ruh dan jasad seseorang. Keyakinan ini disimpulkan karena adanya informasi rinci tentang siksaan neraka, sebab jika tidak demikian perincian siksaan ini tidak akan berfaidah.

Untuk lebih membantu hati agar tumbuh sifat khauf kepada al-Jabbār

maka dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang neraka yang meliputi nama-nama neraka yang terdapat dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang berbicara tentang neraka dan siapa saja para penghuni neraka itu.

1. Nama-Nama Neraka Dalam al-Qur`an

Nama satu tempat biasanya menunjukan keadaan tempat tersebut. Nama suatu tempat menjadi sangat penting untuk terjalinnya komunikasi dan informasi tentang tempat itu, bahkan pengetahuan tentang nama adalah ilmu pertama kali yang Allah berikan kepada manusia pertama Adam Alaihissalām. Bagi orang yang meyakininya, neraka adalah satu tempat yang sangat mengerikan dan memang neraka mempunyai nama-nama yang dapat membuat gemetar mereka yang mengetahuinya dan mempercayainya.

Al-Qur`an telah menerangkan kepada manusia tentang nama-nama neraka yang mengandung makna yang sangat mengerikan dan menggetarkan hati orang yang meyakininya. Ada tujuh nama neraka yang sering

(36)

20

Dalam al-Qur`an Penyebutan “Jahannam” berulang sebanyak 77 kali

yang terdapat dalam 77 ayat, yang tercantum dalam 39 surat. Yaitu dalam surat al-Baqarah[002]:206, Ᾱli Imrān[003]:12, 162, 197, al-Nisā[004]:55, 93, 97, 115, 121, 140, 169, al-A’rāf[007]:18, 41, 179, al-Anfāl[008]:16, 36, 37,

al-Taubah[009]:35, 49, 63, 68, 73, 81, 95, 109, Hūd[011]:119, al

-Ra’d[013]:18, Ibrāhīm[014]:16, 29, al-Ḥijr[015]:43, al-Naḥl[016]:29, al

-Isrā[017]:8, 18, 39, 63, 97, al-Kahfi[018]:100, 102, 106, Maryam[019]:68,

86, Ṭāhā[020]:74, al-Anbiyā[021]:29, 98, al-Mu`min[023]:103,

al-Furqān[025]:34, 65, al-‘Ankabūt[029]:54, 68, al-Sajdah[032]:13,

Fāṭir[035]:36, Yāsīn[036]:63, Ṣād[038]:56, 85, al-Zumar[039]:32, 60, 71, 72,

Gāfir[040]:49, 60, 76, al-Zukhruf[043]:74, al-Jāthiah[045]:10, al

-Fatḥ[048]:6, Qāf [050]:24, 30, al-Ṭūr[052]:13, al-Raḥmān[055]:43, al

-Mujādilah[058]:8, al-Taḥrīm[066]:9, al-Mulk[067]:6, al-Jīn [072]:15, 23, al

-Nabā[078]:21, al-Burūj[085]:10, al-Fajr[089]:23, dan al-Bayyinah[098]:6.12

Sedangkan penyebutan neraka dengan “Ḥuṭamah” berulang dalam al-Qur`an sebanyak dua kali yang terdapat dalam surat al-Humazah[104]:4

dan 5, penyebutan neraka dengan “Saqar” berulang sebanyak empat kali

yang terdapat dalam surat al-Qamar[054]:48 dan surat al-Muddaththir[074]:26, 27 dan 42, penyebutan neraka dengan “al-Jaḥīm

berulang sebanyak 26 kali yang terdapat dalam surat al-Baqarah[002]:119,

al-Māidah[005]:10 dan 86, al-Taubah[009]:113, al-Ḥajj[022]:51,

al-Shu’ārā[026]:91, al-Ṣāfāt[037]:23, 55, 64, 68, 97, dan 163, Ghāfir[040]:7, al

-Dukhān[044]:47dan 56, al-Ṭūr[052]:18, al-Wāqi’ah[065]:94, al

-Ḥadīd[057]:19, al-Hāqah[069]:31, al-Nāzi’āt[079]:36 dan 39, al

-Takwīr[081]:12, al-Infiṭār[082]:14, al-Muṭafifīn[083]:16, al-Takāthur[102]:6

dan al-Muzammil[073]:12. Penyebutan neraka dengan ”Laẓā” hanya sekali yang terdapat dalam surat al-Ma’ārij[070]:15, sedangkan penyebutan neraka

dengan “al-Sa’īr” berulang 16 kali yang terdapat dalam surat al-Ḥajj[022]:4,

Luqmān[031]:21, Saba`[034]:12, Fāṭir[035]:6, al-Shūrā[042]:7, al

-Mulk[067]:5, 10 dan 11, al-Nisā[004]:10 dan 55, al-Isrā[017]:97, al

-Furqān[025]:11, al-Aḥzāb[033]:64, al-Fatḥ[048]:13, al-Insān[076]:4, al

-Inshiqāq[084]:12. Dan yang terakhir, penyebutan neraka dengan “Hāwiyah

hanya satu kali terdapat dalam surat al-Qāri’ah[101]:9.

1) Jahamman

Untuk lebih memperjelas ayat-ayat yang menyatakan neraka dengan sebutan Jahannam di atas, maka bisa dilihat dalam contoh pemaparan beberapa ayat-ayat berikut ini:

12 Muḥammad Fuād ‘Abd al

-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān,

(Indonesia: Maktabah Dahlan, tanpa tahun), Penyebutan Jahannam terdapat dalam halaman

234-235, penyebutan Ḥuṭamah halaman 263, penyebutan Saqar halaman 447, Penyebutan

(37)

21

Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) Jahannam. dan sungguh Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (al-Baqarah[002]:206)

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam Jahannam. dan Itulah tempat yang seburuk-buruknya". (Ᾱli Imrān[003]:12)

Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (Ᾱli menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya. dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala apinya. (al-Nisā[004]:55)



Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (al-Nisā [004]:93)

(38)

22

Jahannam adalah tempat tinggal yang paling buruk berupa kobaran api untuk membakar orang-orang kafir, sebagaimana pendapat al-Samarqandī ketika menafsirkan firman Allah surat Ᾱli Imrān[003]:12 dan 162 serta surat al-Nisā[004]:55 dan 97 dalam tafsirnyaBaḥr al-‘Ulūm.13

Jahannam adalah satu nama dari nama-nama neraka, ada yang mengatakan bahwa Jahannam adalah kalimat asing yang diserap kedalam bahasa arab sehingga kata ini tidak termasuk ke dalam bahasa arab fuṣḥā, dan ada juga yang mengatakan bahwa Jahannam adalah bahasa arab fuṣḥā

yang diambil dari kata al-Jahmah yang bermakna al-ẓulmah (gelap) akan tetapi ditambah dengan huruf nūn menjadi Jahannam yang menunjukan makna mubālagah (hiperbola) sehingga bermakna tempat yang sangat gelap. Terlepas dari ini semua yang pasti Jahannam adalah tempat siksaan yang telah Allah sediakan untuk orang-orang kafir, dan tempat ini dinamai

Jahannam karena dasarnya sangat dalam sekali.14

Tentang kedalaman neraka al-Imām Muslim meriwayatkan satu

hadīthdari jalur Abū Hurairah Raḍiallāhu’an sebagai berikut:

ِ َّالله ِلوُسَر َعَم اَّنُك َلاَق َةَرْيَرُه ىِبَأ ْنَع

Dari Abu Hurairah Raḍiallāhu’an berkata: Satu hari kami sedang bersama Rasulullah Ṣallallāhu’alaihi wasallam, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh, maka Nabi Ṣallallāhu’alaihi wasallam berkata: “Tahukah kalian suara apa ini?” maka kamipun menjawab: “Allah dan Rasulnya lebih

mengetahui”, beliau bersabda: “Ini adalah batu yang dilemparkan ke dalam

neraka sejak 70 tahun yang lalu, batu itu terus meluncur ke dalam neraka selama itu, sekarang baru sampai pada dasarnya”.15

Kengerian siksa Jahannam digambarkan oleh Al-Sa’dī (W: 1376 H) dengan mengatakan bahwa Jahannam adalah tempat tinggal orang-orang yang bermaksiat dan bersikap sombong, di dalamnya mereka akan merasakan azab secara terus-menerus, kesengsaraan tiada batas serta putus asa yang tidak berujung. Azabnya tidak akan berkurang dan mereka telah kehilangan harapan untuk semua kebaikan, sebagai balasan atas kesombongan mereka sehingga menolak kebenaran yang datang dari Allah.16

13Abū Laith Naṣr Ibn Muḥammad al

-Samarqandī, Baḥr al-‘Ulūm (Bairūt: Dār ‘Ulūm

al-‘Ilmiyyah 1413), 249, 312, 361 dan 381.

14Muḥammad Ṣāliḥ al

-Uthaimīn (W: 1421 H), Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Riyāḍ: Dār

Ibn Jauzī, 1423 H), 447-448.

15

Al-Nawāwī, al-Minhāj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim Ibn Ḥajjāj (Bairūt: Dār al-Ma’rifah,

1422 H), 177. (Lihat dalam Bāb: Fī Shiddati Ḥarri Jahannamwa Bu’di Qa’rihā)

16‘Abd al

-Raḥman Ibn Nāṣir al-Sa’dī (W: 1376 H), Taysīr Karīm al-Raḥmān fī Tafsīr

(39)

23

Jahannam juga dinamai bi`sa al-mihād artinya bi`sa al-qarār yang bermakna tempat tinggal yang paling buruk. Bi`sa mungkin diambil dari kata

al-ba`su yang artinya al-shiddatu yang bermakna keras lagi kasar atau diambil dari kata al-ba`sā yang artinya al-sharr yang bermakna buruk. Dari sini dapat diketahui bahwa neraka Jahannam adalah tempat yang paling keras, kasar dan sangat buruk sekali.17 Keburukan neraka ini dikarenakan ia adalah tempat yang dipenuhi oleh al-sa’īr atau api yang sangat panas dan terus berkobar.18 Mujahid mengatakan bahwa Jahannam adalah tempat yang paling buruk yang disiapkan untuk orang-orang yang sombong terhadap kebenaran.19

Al-Shaukānī (W: 1250 H) menyatakan bahwa al-mihād adalah

tempat yang disediakan untuk tidur seperti perkataan mahd al-ṣabi yang berarti tempat tidur bayi, dan Jahannam dikatakan al-mihād karena dia akan menjadi tempat tinggal untuk orang-orang kafir.20 Sedangkan dalam kitab Rūh al-Ma’ānī Maḥmūd al-Alūsī (W: 1270 H) menafsirkan kata Jahannam

sebagai sebuah nama untuk tempat penyiksaan berupa jurang yang dasarnya sangat dalam.21

Keburukan tempat dalam Jahannam ditambah lagi dengan keburukan makanan dan minuman. Ibn Kathīr (W: 774 H) ketika menafsirkan surat

Ibrāhim:16 mengatakan bahwa Jahannam telah disediakan oleh Allah untuk

menyambut semua orang bengis lagi keras kepala, yang akan menjadi tempat tinggal mereka yang kekal. Dan di dalam neraka ini mereka tidak mendapatkan minuman kecuali berupa al-ḥamīm dan al-gassāq, al-ḥamīm

adalah minuman yang sangat panas sedangkan al-gassāq adalah minuman yang sangat dingin lagi berbau busuk.22

Dari sini bisa diketahui bahwa Jahannam adalah api neraka yang Allah sediakan untuk orang-orang yang mengingkari agama Islam setelah kematian mereka.23 Jadi Jahannam adanya di alam akherat nanti bukan di

17 Abū al

-Ḥasan ‘Ali Ibn Muḥammad al-Māwardi, al-Nukat wa al-‘Uyūn Tafsīr al

-Māwardī (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun terbit), 374.

18Abū Bakar Jābir al

-Jazāirī, Aisar al-Tafāsir Li Kalām al-‘Aliy al-Kabīr (Jaddah: Dār

al-Linā, 1423), 235.

19Perkataan Mujāhid ini diungkapkan oleh Ibn Abī Ḥātim (W: 327 H). Lihat Tafsīr Ibn

Abī Ḥātim, al-Tafsīr bī al-Ma`thūr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006),324.

20Muḥammad Ibn ‘Ali al

-Shaukānī, Fath al-Qādīr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1424 H), 171.

21Maḥmūd al

-Alūsī al-Bagdādī (W: 1270 H), Rūh al-Ma’ānī (Bairūt: Dār al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, 2009 M), 491.

22 Aḥmad Muḥammad Shākir, Mukhtaṣar Tafsīr al-Qur`ān al-Aẓīm al-Musammā

‘Umdatu al-Tafsīr (al-Iskandariyyah: Dār al-Wafā, Jilid 2, 1425), 299. 23

Referensi

Dokumen terkait