• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan hasil observasi di lapangan dan peta penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan menggunakan Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1999 dan dilakukan cek lapangan pada saat ini untuk mengetahui perubahan pola penggunaan lahan. Secara umum kondisi penutupan lahan pada DTA Cilebak terjadi penurunan luasan lahan berhutan,

49

di antaranya disebabkan oleh semakin meningkatnya pengkonversian kawasan penggunaan lahan hutan menjadi kawasan budidaya non kehutanan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk yang semakin membutuhkan lahan garapan dan perkembangan kegiatan pembangunan lainnya. Selain itu, juga ditambah semakin maraknya perambahan lahan dan illegal logging serta secara periodik sering terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Pada praktek penggunan lahan pada daerah penelitian ditemui adanya tumpang tindih penggunaan lahan, praktek penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat serta terjadinya perambahan hutan. Hal – hal tersebut menimbulkan peluang besar bagi terbentuknya perluasan lahan terbuka dan lahan kritis yang sangat rentan terhadap erosi.

Penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dikategorikan menjadi enam jenis penggunaan lahan, yaitu : kebun campuran, sawah, semak belukar, hutan, pemukiman dan ladang/tegalan. Penyebaran penggunaan lahan dapat di lihat pada Lampiran 8. Tabel di bawah ini menggambarkan luasan maupun persentase dari masing – masing jenis penggunaan lahan :

Tabel 9. Jenis penggunaan lahan

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Hutan Kebun Campuran Ladang, Tegalan Pemukiman Sawah Semak Belukar 54,510 2,527 151,460 38,956 22,19 132,537 14,0631 0,652 39,075 7,471 4,545 34,193 Total 400,24 100

Berdasarkan tabel di atas, semak belukar merupakan jenis penggunaan lahan dengan luasan kedua terbesar, yaitu sebesar 132,537 ha (34,193%). Semak belukar merupakan kawasan yang didominasi oleh jenis tumbuhan semak, perdu, herba maupun rumput. Pada daerah penelitian, semak belukar ini terbentuk akibat rusaknya hutan. Masyarakat sekitar membuka hutan untuk dijadikan ladang/ kebun. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan jalan melalui pembakaran hutan. Pembakaran tersebut seringkali melewati batas

50

area yang diinginkan sehingga merusak kawasan hutan lebih luas lagi. Pada kawasan yang terbuka ini tidak dilakukan penangan lebih lanjut sehingga terbengkalai dan menumbuhkan tanaman semak belukar. Semak belukar ini berada di daerah topografi yang curam sampai sangat curam sehingga memerlukan penanganan yang serius untuk mencegah terjadinya erosi dan longsor.

Gambar 13. Penggunaan lahan hutan kerapatan rendah

Hutan merupakan areal yang didominasi oleh pepohonan, semai, dan semak belukar. Hutan yang tersisa pada daerah ini terletak di topografi yang berlereng curam, bukit dan puncak gunung dengan kerapatan yang rendah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dikarenakan dilakukannya kegiatan pembakaran hutan oleh masyarakat untuk beralih fungsi menjadi ladang maupun perkebunan. Kondisi ini menjadikan kawasan hutan menjadi tidak produktif lagi dan fungsinya sebagai daerah resapan menjadi tidak signifikan.

Kawasan hutan seharusnya memiliki proporsi terbesar karena terletak di daerah hulu. Pada kasus ini, dengan semakin berkurangnya hutan, erosi pada puncak gunung dapat terlihat dengan jelas karena tidak adanya penutupan tajuk. Luasan lahan hutan primer yang cenderung semakin berkurang dan sebaliknya areal-areal semak belukar maupun alang-alang yang semakin meluas tentu dapat mengakibatkan lahan yang terbuka menjadi semakin luas atau sebaliknya luasan penutupan lahan (land covering) menjadi semakin

51

sedikit. Kondisi lahan seperti itu sangat rentan dan dapat meningkatkan laju limpasan air permukaan (surface runoff) maupun tanah tererosi.

Ladang/ tegalan merupakan jenis usaha tani lahan kering dengan jenis tanaman semusim atau tahunan. Pada umumnya tanaman yang diusahakan adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah, ketimun, cabai, yang ditanam secara kombinasi dengan menggunakan tanaman tersebut dengan banyak dua sampai tiga jenis tanaman.Petani yang mendapatkan pengairan dari sumber air, menggunakan lahannya secara rotasi antara ladang dan sawah. Pada musim kemarau lahannya digunakan sebagi ladang dan pada musim penghujan digunakan sebagai areal sawah. Petani yang tidak mendapatkan pengairan menggunakan sistem ladang secara terus menerus dengan 3 – 4 kali musim tanam dengan jenis tanaman yang berbeda – beda untuk setiap jangka waktu tersebut.

Sawah merupakan areal pertanian lahan basah yang ditanami secara monokultur dengan tanaman padi. Usia tanam padi sampai dengan panen berkisar antara 5 – 6 bulan, sesudah masa panen pada umunya petani mengganti jenis penggunaan lahan dengan jenis ladang, dengan tanaman jagung, singkong, ketimun, ubi jalar dan sebagainya. Areal persawahan terletak pada daerah hilir DTA Cilebak dengan kondisi topografi yang relatif datar. Kebun campuran merupakan lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pangan

dan tanaman tahunan termasuk pohon – pohonan. Secara umum, pada kebun campuran dapat ditemui tanaman pangan dan tahunan seperti tomat, ketimun, pisang, pohon buah – buahan atau kehutanan lainnya, seperti alpukat, mangga, bambu dan sengon. Masyarakat mengkombinasikan cara penanaman ini dengan maksud selain memperoleh hasil yang lebih cepat dari tanaman pangan mereka juga memiliki investasi dari pohon buah – buahan atau kehutanan yang waktu panennya lebih lama.

Pemukiman merupakan areal yang didominasi oleh rumah dan bangunan lainnya. Jarak antar rumah relatif rapat, namun ada pula yang letaknya terpencar. Pemukiman tersebar dari daerah hilir sampai daerah hulu, mendekati ke arah kaki gunung dan gunung.

52

F. Karakteristik Daerah Aliran Sungai 1. Arah Aliran

Arah aliran merupakan dasar/ basis dari seluruh proses modeling pada Daerah Aliran Sungai. Arah aliran ditunjukkan oleh sel khusus yang mempunyai nilai grid antara 1 – 128 yang didasarkan pada arah aliran yang akan mengalir pada sebuah sel khusus. Arah aliran diperoleh dari penurunan Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan resolusi piksel berukuran 10 x 10m.

Arah aliran dibentuk dengan terlebih dahulu menghilangkan sink yang terbentuk. Sink, merupakan suatu daerah yang terdapat di lembah yang sempit dimana lebar lembah tersebut lebih kecil dari sel. Sink menimbulkan permasalahan karena mengganggu topologi drainase dan harus dihilangkan untuk menghasilkan arah aliran.

53

Berdasarkan Gambar 14, pada delapan arah aliran yang terbentuk dapat diketahui arah aliran terbesar DTA Cilebak mengalir ke arah Timur Laut dengan luasan sebesar 122,17 Ha (30,52 %), aliran terendah mengalir ke arah selatan sebesar 1,10 Ha (0,27 %). Pada aliran sungai DTA Cilebak arah aliran sungai dari hulu ke hilir mengalir dari arah selatan ke utara dengan luasan yang sebagaian besar berada di timur laut.

Tabel 10. Arah Aliran DTA Cilebak

Parameter Arah Aliran Luas (Ha) Persentase (%)

1 2 4 8 16 32 64 128 Timur Tenggara Selatan Barat Daya Barat Barat Laut Utara Timur Laut 39,41 4,28 1,10 3,63 50,27 85,50 94,88 122,17 9,85 1,07 0,27 0,91 12,56 2136 23,70 30,52 Total 400,24 100 2. Akumulasi Aliran

Apabila arah aliran telah diketahui maka maka dapat diketahui area (sel-sel) yang mempunyai aliran air berlebih dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut menggambarkan akumulasi aliran.

Akumulasi aliran terkecil terdapat pada bagian yang ditunjukkan dengan sel terkecil yaitu dengan nilai 0 – 4500. Sel terkecil pada umumnya tersebar pada topografi yang memilki kemiringan yang relatif curam, karena sel – sel tersebut menunjukkan sumber – sumber air, yang dapat berupa mata air, Akumulasi terbesar berkisar diantara 36000 - 40500 sel yang merupakan daerah dengan topografi yang rendah (bagian hilir). Sel yang mempunyai akumulasi tertinggi merupakan daerah konsentrasi aliran dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan sungai.

Akumulasi aliran dapat menggambarkan sel – sel yang memiliki jumlah air berlebih, informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pemanfaatan air tersebut, misalnya untuk kepentingan pengairan, irigasi, dan sebagainya.

54

Gambar 15. Peta Akumulasi Aliran DTA Cilebak 3. Jaringan Sungai

Jaringan sungai diturunkan dari akumulasi aliran dengan minimum jumlah sel sebesar 100. Jumlah minimum sel tersebut menghasilkan jaringan sungai yang lebih spesifik dibandingkan sungai hasil digitasi Peta Rupabumi Indonesia. Terlihat bentuk sungai hasil digitasi dan model menunjukkan bentuk yang mirip, hal ini menunjukkan hasil model mempunyai tingkat kekakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui paramater DAS lainnya melalui informasi jaringan sungai.

Pola aliran (drainage pattern) saluran sungai Sub DAS Cirasea secara umum menyerupai bentuk cabang-ranting-pohon (dendritic patern). Jaringan di daerah hulu sungai lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat pada bagian hilir. Pola tersebut bila dikaitkan dengan sistem aliran sungai (drainage system) dapat mempercepat gerakan limpasan air dan mempermudah terjadinya erosi tanah.

55

Gambar 16. Peta Jaringan Sungai DTA Cilebak 4. Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Dengan menggunakan map calculator dapat diketahui jumlah sel yang mendominasi permukaan dengan nilai tertentu. Nilai positif menunjukkan cembung sedangkan nilai negatif menunjukkan cekung. Jumlah masing – masing sel ditampilkan pada tabel berikut :

Tabel 11. Jumlah sel pada Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Curvature merupakan bentuk dari permukaan untuk memahami erosi dan proses drainase, curvature terbagi menjadi dua bagian, yaitu : convex (cembung) dan concave (cekung). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa DTA Cilebak didominasi oleh lereng yang bernilai positif (+), hal ini

Curvature Profile curvature Planform curvature

Nilai

<0 0 >0 <0 0 >0 <0 0 >0

56

mengindikasikan bahwa lereng permukaan tanah didominasi oleh bentuk cembung (convex). Menurut Arsyad (2000) erosi lembar lebih kuat terjadi pada pada permukaan cembung daripada permukaan cekung. Sedangkan pada permukaan cekung cenderung terbentuk erosi alur atau parit. Erosi alur merupakan penyebab utama terjadinya pengendapan.

Gambar 17. Peta Curvature DTA Cilebak

Profile curvature menggambarkan arah dari kemiringan, terbagi menjadi dua, yaitu cekung (aliran lambat dan mengalami deposisi) dan cembung (peningkatan kemiringan dan erosi). Berdasarkan peta profil curvature, dapat diketahui aliran permukaan lebih banyak mengalir pada bentuk cekung. Aliran permukaan yang mengalir pada permukaan yang cekung akan mengalir dalam jangka waktu yang lebih lambat dibandingkan pada permukaan cembung Aliran yang mengalir membawa erosi tanah dapat mengalami deposisi dan mengendap pada permukaan tanah sehingga tidak sampai ke saluran air yang akan mengalir ke anak sungai maupun sungai. Berbeda dengan permukaan

57

cembung dengan peningkatan kemiringan akan mempercepat terjadinya erosi yang didukung oleh limpasan yang mengalir lebih cepat.

Gambar 18. Peta Profil Curvature DTA Cilebak

Planform Curvature menggambarkan kurvatur suatu permukaan tegak lurus terhadap arah kemiringan dimana: cembung, aliran divergen mengindikasikan bukit dan cekung, aliran konvergen mengindikasikan adanya lembah. Berdasarkan data yang terdapat dari hasil intepretasi Planform Curvature menunjukkan bahwa daerah penelitian berada pada topografi berbukit.

58

Gambar 19. Peta Planform Curvature G. Erosi

1. Faktor penduga erosi a. Erosivitas Hujan

Erosivitas hujan merupakan ukuran keagresifan curah hujan untuk menimbulkan erosi tanah melalui kekuatan merusak butir – butir air hujan dan air limpasan yang terbentuk. Erosivitas ini akan mempengaruhi terjadinya erosi dengan energi dari curah hujan tersebut.Dengan menggunakan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan dan hujan maksimum selama 24 jam pada bulan tersebut dapat diketahui nilai erosivitas hujan tahun 2003 – 2004 pada DTA Cilebak adalah sebesar 1968,79.

59

b. Erodibilitas Tanah

Nilai erodibilitas tanah pada daerah penelitian diperoleh melalui pengambilan lima sampel titik tanah yang tersebar di daerah penelitian pada kedalaman 5 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui nilai erodibilitas tersebar antara 0,10 sampai 0,18.

Tabel 12. Nilai erodibilitas tanah

Profil Kedalaman Tekstur Kode Struktur Bahan Organik (%) Perembihan (cm/jam) K Pasir Kasar (%) Pasir Sangat Halus (%) Debu (%) Liat (%) I 0 – 5 cm 5.94 0.59 9.6 83.90 3 1,988 7,86 0.14 II 0 – 5 cm 4.29 0.98 21.66 73.07 2 2,127 6,87 0.10 III 0 – 5 cm 25.6 2.12 25.26 47.02 3 2,265 3,19 0.18 IV 0 – 5 cm 14.94 2.64 18.07 64.35 3 2,645 5,84 0.15 V 0 – 5 cm 16.41 1.92 31.04 50.63 3 3,458 4,47 0.15

Erodibilitas tanah dengan nilai sebesar 0,18 menunjukkan bahwa tanah tersebut lebih rentan terhadap erosi dibandingkan jenis tanah lainnya. Nilai erodibilitas tanah pada daerah penelitian digolongkan ke dalam kelas sangat rendah sampai sedang. Dari kelima titik sampel dilakukan interpolasi sehingga untuk setiap grid pada daerah penelitian dapat diketahui nilai erodibilitasnya.

Tekstur tanah didominasi oleh fraksi liat. Tekstur tanah yang didominasi oleh liat mempunyai kemampuan dalam menentukan tata air dalam tanah, berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi serta kemampuan pengikatan air dalam tanah. Struktur tanah didominasi oleh butiran dengan mutu halus sampai sedang. Tanah dengan struktur butiran memuliki pori – pori tanah halus (kecil) lebih banyak dibandingkan dengan pori – pori tanah besar. Dengan struktur tanah lekat lengket pada musim kemarau dapat menimbulkan retak yang cukup besar. Pori - pori tersebut mempengaruhi nilai perembihan tanah, berdasarkan kriteria Dangler et.al

60

(1976) dalam Purwowidodo (1999), kelas perembihan pada daerah penelitian termasuk ke dalam kelas lambat sampai sedang.

c. Faktor Topografi

Faktor topografi yang sangat berperan dalam hal ini adalah faktor panjang lereng dan kemiringan lereng. Pada daerah penelitian pada grid dengan ukuran 5 m x 5 m, berkisar antara panjang lereng berkisar antara 5 m pada topografi datar sampai sepanjang 15,146 m pada topografi dengan lereng sangat curam. Panjang lereng ini menunjukkan rentang jarak antara titik awal limpasan sampai titik air limpasan memasuki suatu outlet yang dapat berupa selokan, anak sungai, sungai maupun titik yang menunjukkan terjadinya pengurangan drastis kecepatan limpasan sehingga berkurang bahkan menjadi tidak erosif lagi. Lahan – lahan berlereng panjang merangsang terjadinya pelonggokan air limpasan, meningkatkan kecepatan, daya rusak dan daya angkutnya, terutama ketika sampai di kaki bukit. Akibatnya laju erosi pada bagian ini lebih besar dibandingkan pada bagian puncaknya.

Hasil perhitungan faktor kemiringan dan panjang lereng yang diintegrasikan sebagai LS di daerah penelitian berkisar antara 0 sampai dengan 17,907. Nilai LS sebesar 0 berada pada daerah dengan topografi datar yang mempunyai kemiringan sebesar 0%. Sedangkan nilai LS sebesar 17,907 dimiliki oleh lereng dengan kemiringan lereng terbesar yaitu 86,6302%. Secara garis besar faktor LS ini sangat dipengaruhi oleh kecuraman lereng di daerah penelitian.

d. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Teknik Konservasi Tanah

Pengelolaan tanaman yang terdapat di daerah penelitian bervariasi tergantung pada penggunaan lahan yang dilakukan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan (Lampiran 9) dan menggunakan data sekunder berdasarkan penelitian sebelumnya (Lampiran 1 dan 2) dapat diketahui faktor pengelolaan tanaman dan teknik konservasi pada daerah tersebut.

61

Faktor penegelolaan tanaman di daerah penelitian dijabarkan sebagai berikut pada Tabel 13 :

Tabel 13. Faktor pengelolaan tanaman

Petani ladang pada umumnya menggunakan sistem penanaman tumpang sari, secara bersamaan atau bergilir. Selain mendapatkan hasil ganda, penanaman tumpang sari dilakukan sebagai salah satu cara dalam meningkatkan daya guna tanah dan mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman.

Pada umumnya petani mengetahui pentingnya aspek konservasi untuk mencegah terjadinya erosi maupun longsor. Karena keterbatasan pengetahuan dan modal, para petani pada umumnya menggunakan teknik konservasi berupa guludan dan pembuatan teras bangku tradisional.

Gambar 20. Penggunaan guludan

No. Macam Penggunaan Faktor C 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Padi Jagung

Kebun Campuran Kerapatan Sedang Kebun Campuran Kerapatan Tinggi Hutan alam serasah kurang

Semak Belukar

Ubi Kayu + Kacang Tanah

Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami Tanah terbuka

Sawah tadah hujan

0.561 0.7 0.2 0.1 0.005 0.03 0.195 0.079 1 0.01

62

Untuk mencegah air menggenangi lahan mereka, para petani menggunakan saluran yang pada akhirnya akan bermuara di saluran air ataupun anak sungai. Tujuan pembuatan saluran pembuangan air ini adalah untuk mengumpulkan air aliran permukaan sehingga tidak mengalir ke lahan pertanian. Teknik konservasi tanah yang dilakukan adalah :

Tabel 14. Faktor konservasi tanah

Kurangnya faktor konservasi tanah bahkan tidak dilakukannya usaha tersebut telah menimbulkan akibat yang merugikan, baik di bagian hulu yangmenyebabkan erosi di bagian hulu dan menurunnya kesuburan dan produktivitas tanah maupun di bagian hilir dalam bentuk banjir maupun pengendapan lumpur di waduk dan saluran irigasi.

2. Laju Erosi

Pendugaan laju erosi dihitung dengan menggunakan persamaan matematis Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan nama USLE. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan resolusi piksel sebesar 5 m x 5 meter sehingga masing – masing luas piksel sebesar 25 m2. Dengan mengklasifikasikan laju erosi maka dapat diketahui masing – masing luasannya yang dapat dilihat pada tabel berikut :

No. Teknik Konservasi Tanah Faktor P 1. 2. 3. 4. 5. Teras tradisional

Mulsa Jerami (1 ton/ha/tahun) Tanpa tindakan konservasi Pertanaman garis tinggi (kemiringan >21%) Guludan 0.40 0.80 1 0.90 0.14

63

Tabel 15. Presentase nilai laju erosi No. Klasifikasi Laju

Erosi

Kriteria (ton/ha/thn)

Luas (Ha) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat <15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 >480 296,36 11,48 67,97 23,49 1,15 74,04 2,87 16,98 5,87 0,29

Secara umum dapat diketahui erosi yang terjadi di daerah penelitian didominasi oleh laju erosi dengan kriteria sangat ringan dengan luasan mencapai 296,36 Ha (74,04%) dan luas terkecil dengan kriteria sangat berat sebesar 1,15 Ha (0,29%). Tetapi perlu diperhatikan laju erosi dengan kriteria sedang sampai berat mempunyai proporsi luasan yang cukup besar, yaitu mencapai 22,85% dari luas total DTA Cilebak. Hal ini perlu dilakukan penangan lebih lanjut agar tidak semakin membesar nilainya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata – rata laju erosi yang terdapat di DTA Cilebak dengan menggunakan metode USLE adalah sebesar 28,74 ton/ha/tahun dengan erosi tahunan sebesar 11.502,89 ton/tahun.

Faktor penduga erosi saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Perubahan salah satu faktor erosi dapat merubah laju erosi yang terjadi meskipun faktor lainnya berada dalam kondisi yang tetap. Laju erosi yang tinggi sebagian besar terjadi pada piksel yang memiliki kemiringan lereng curam sampai sangat curam dengan kemiringan >25%. Hal tersebut menurut Arsyad (2000) kemiringan lereng selain memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar energi angkut air. Selain dari pada itu, dengan semakin miringnya lereng, maka jumlah butir – butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Hal tersebut didukung oleh pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah yang tidak mendukung. Pada kemiringan curam sampai sangat curam pengelolaan tanaman didominasi oleh semak belukar dan hutan. Kerapatan hutan dan terbukanya lahan dapat memperbesar terjadinya erosi. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan melakukan teknik konservasi tanah yang sesuai. Dengan kemiringan yang tinggi apabila kerapatan hutan tinggi akan

64

memperkecil terjadinya erosi karena terdapatnya tajuk sebagai pelindung dan air lebih mudah terinfiltrasi ke dalam tanah.

Erosi yang rendah terjadi pada lahan yang memiliki kemiringan <15%, dengan penggunaan lahan yang memiliki kerapatan yang relatif rapat, yaitu penggunaan ladang/ tegalan, kebun campuran dan hutan. Pengunaan sistem tumpang sari mempengaruhi terhadap laju erosi. Tajuk yang rapat membantu tanah untuk mengurangi tumbukan air hujan.

Curah hujan sebesar 1403,7 mm/tahun dengan erosivitas sebesar 1968,79 memiliki kemampuan uantuk menyebabkan erosi yang cukup tinggi terutama apabila pada intensitas hujan yang tinggi dengan curah hujan yang relatif besar. Menurut Asdak (1995) kemampuan air hujan sebagai penyebab erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan . Sedangkan di sisi lain erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetik atau momentum, yaitu parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume hujan. Dengan demikian curah hujan yang tinggi akan memperbesar nilai erosivitas.

Faktor erodibilitas yang tinggi akan memperbesar kemungkinan tanah untuk tererosi, tetapai hal ini akan dipengaruhi kondisi pengelolaan tanaman dan konservasi. Sebagai contoh pada erodibilitas tanah yang tinggi apabila digunakan ebagai penggunaan lahan hutan dengan kerapatan tinggi akan mengurangi resiko terjadinya erosi tanah, begitu pula apabila erodibilitas tanah yang tinggi digunakan sebagai tanah kosong akan meningkatkan laju erosi.

3. Tingkat bahaya Erosi

Tinggi rendahnya laju erosi yang terjadi pada suatu wilayah belum dapat memberikan informasi bahaya erosi yang terjadi. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari kedalaman tanah, laju erosi yang sama apabila terjadi pada jenis tanah dengan kedalaman yang berbeda maka akan menghasilkan tingkat bahaya erosi yang berbeda pula. Prakiraan erosi tahunan rata – rata dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk menentukan tingkat bahaya erosi.

65

Menurut Soil Survey Staff (1998), tanah – tanah yang terdapat di daerah penelitian, yaitu Inceptisol, Mollisol dan Alfisol merupakan tanah bersolum dalam dengan kedalaman tanah >90 cm. Karena penentuan tingkat bahaya erosi hanya menggunakan satu kriteria kedalaman tanah, maka hasil yang didapat tidak berbeda tingkat bahaya erosinya apabila dibandingkan dengan laju erosi yang sebelumnya diketahui. Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat bahaya erosi di daerah penelitian berkisar dari kriteria sangat ringan sampai sangat berat yang dapat diketahui pada Tabel 16.

Tabel 16. Presentase nilai tingkat bahaya erosi No. Klasifikasi Laju

Erosi

Luas (Ha) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat 296,36 11,48 67,97 23,49 1,15 74,04 2,87 16,98 5,87 0,29

Lahan yang memiliki laju erosi sangat berat dengan kedalaman yang sama dengan laju erosi sangat ringan akan mempunyai tingkat bahaya erosi yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pandapat Hendriani (2000) yang mengatakan pada lahan yang memiliki solum dalam, erosi yang terjadi tergolong sangat berat, karena laju kehilangan tanahnya masih lebih besar dibandingkan laju pembentukan tanahnya. Sedangkan apabila laju erosinya rendah, tingkat bahaya erosinya akan ringan, karena laju kehilangan tanah masih lebih kecil dibandingkan laju pembentukan tanahnya. Untuk mengetahui penyebaran tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Gambar 21.

66

67

H. Hidrologi

1. Hubungan Tinggi Muka Air dan Debit

Dicharge Rating Curve diperoleh dari data pengukuran Tinggi Muka Air (TMA) dan pengukuran debit yang dilakukan secara berulang seperti yang tercantum pada Lampiran 10. Lengkung aliran ini perlu untuk diketahui karena dapat digunakan untuk menduga besarnya debit aliran dengan menggunakan data TMA. Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi menggunakan data TMA dan debit pada, diperoleh persamaan sebagai berikut: Q = 177,828 x TMA2.64 ... (13) Keterangan :

Q = Debit (m3/detik) TMA = Tinggi Muka Air (m)

Dokumen terkait