• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis perbandingan pendugaan erosi menggunakan metode USLE dan unit SPAS pada model DAS Mikro studi kasus pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis perbandingan pendugaan erosi menggunakan metode USLE dan unit SPAS pada model DAS Mikro studi kasus pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum hulu"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu)

Oleh : Lia Hermiawati

E14201055

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan tanah terbesar di Indonesia. Erosi dapat mengakibatkan longsor, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi dan sebagainya. Melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan merupakan hal yang penting untuk menduga besarnya erosi yang terjadi. USLE (Universal Soil Loss Estimation) merupakan metode pendugaan erosi yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) pada lahan pertanian di Amerika Utara. Tetapi, dalam perkembangannya USLE banyak digunakan untuk menduga erosi pada lahan kehutanan, pemukiman, jalan, daerah pertambangan dan sebagainya. Pengembangan model ini yang dikembangkan di luar daerah asalnya dalam kondisi yang berbeda dapat menghasilkan nilai prakiraan yang berbeda. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keakuratan metode USLE maka perlu dilakukan perbandingan dengan melakukan pengukuran erosi secara nyata di lapangan pada unit Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang terletak pada outlet suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain menduga erosi, dengan metode ini dapat diketahui karakteristik DAS melalui analisis hidrologi DAS tersebut. DAS Citarum dimana DTA Cilebak merupakan salah satu bagiannya, merupakan salah satu dari 60 DAS prioritas di Indonesia berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan No.284/KPTS – II/1999 . Oleh karena itu pendugaan erosi pada daerah ini dapat menjadi salah satu masukan untuk meningkatkan kelestarian DAS tersebut melalui upaya konservasi yang tepat dan optimal.

Kondisi topografi didominasi oleh topografi bergelombang dengan luas 119,49 Ha (29,85%) sedangkan untuk penggunaan lahan didominasi oleh lahan ladang/tegalan seluas 151,460 Ha (39,07%). Curah hujan rata – rata tahun 2003– 2004 adalah sebesar 1403,7 mm dengan dengan rata – rata curah hujan bulanan sebesar 117 mm. Tanah didominasi oleh golongan Mollisol, Alfisol dan Inceptisol. Berdasarkan pendugaan parameter permukaan, pada bentuk curvature dan planform curvature didominasi nilai positif (44,43% dan 45,82%) sedangkan pada profil curvature didominasi nilai negatif (45,01%), hal ini mengindikasikan pada DTA Cilebak erosi yang dominan terjadi adalah erosi lembar dengan aliran yang membawa erosi tanah dapat mengalami deposisi dan mengendap pada permukaan tanah. Nilai positif pada planform curvature menunjukkan DTA Cilebak berada pada topografi berbukit.

Kehilangan tanah karena erosi menggunakan metode USLE menghasilkan laju erosi rata – rata sebesar 28,74 ton/ha/th sedangkan dengan menggunakan Unit SPAS rata – rata erosi yang dihasilkan adalah sebesar 5,78 ton/ha/tahun untuk tahun 2003-2004. Persamaan yang diperoleh dengan menggunakan kurva rating curve untuk menduga debit adalah Q = 177,828 x TMA2.64 dengan nilai koefisien

(3)
(4)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Lia Hermiawati

E14201055

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Penelitian : ANALISIS PERBANDINGAN PENDUGAAN EROSI MENGGUNAKAN METODE USLE DAN UNIT SPAS PADA MODEL DAS MIKRO

(STUDI KASUS PADA DTA CILEBAK, SUB DAS CITARUM HULU)

Nama Mahasiswa : Lia Hermiawati NRP : E14201055

Menyetujui : Dosen Pembimbing

( Ir. Nana Mulyana Arifjaya, MS ) NIP. 132008551

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan

( Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131430799

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Maret 1983 dari ayah Drs. Mohamad Sjahuri, MSi dan ibu Heti Maryati. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara .

Pendidikan Dasar ditempuh di SD Negeri Perwira II Bogor pada tahun 1989 sampai tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya Penulis menjalani pendidikan di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2001 Penulis di terima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Masuk Seleksi IPB) dan memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan di Fakultas Kehutanan IPB, Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang. Pada tahun 2003 Penulis mengikuti Praktek Pengelolaan dan Pengenalan Hutan (P3H) di Cilacap – Baturraden dan KPH Ngawi. Pada tahun 2004, Penulis mengikuti kegiatan Praktek kerja lapang di PT. Putraduta Indah Wood, Jambi. Penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya DKM Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan IPB dan ASEAN Forestry Students Association – Local Committee IPB. Penulis juga aktif menjadi asisten beberapa mata ajaran, diantaranya yaitu Klimatologi, Perancangan dan Pemantauan DAS, Ilmu Tanah Hutan, Konservasi Tanah dan Air dan Pembiakan Vegetatif Tanaman Hutan.

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Analisis Perbandingan Pendugaan Erosi Menggunakan Metode USLE dan Unit SPAS Pada Model DAS Mikro (Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub – DAS Citarum Hulu)”, untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengambil judul tersebut dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa pada banyak kasus, Daerah Aliran Sungai bagian hulu mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah Sehingga jika hal ini dibiarkan hal tersebut dapat menimbulkan bencana berkelanjutan seperti banjir, sedimentasi dan longsor. Oleh karena itu perlu dilakukan pendugaan erosi dengan cara yang tepat dan optimal.

Penulis menyadari bahwa uraian maupun pembahasannya masih sederhana serta banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk dapat memberikan saran dan koreksi demi penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Maret 2006

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur atas rahmat yang diberikan kepada Allah SWT yang telah memeberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Mama dan Papa, untuk seluruh kasih sayang, doa, kesabaran dan pengertian yang tidak pernah habis. Love you so much...

2. Ir Nana Mulyana Arifjaya MS selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing penulis selama pembuatan skripsi ini.

3. Penguji ujian komprehensif saya, Ir. Jajang Suryana MS wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Agus Priyono MS wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

4. Pak Aryo dan Staff Balai Pengelolaan DAS Ciliwung - Citarum, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan.

5. My Sister and brother, thanks for all the support!

6. Temen – temen angkatan 38, terutama BDH 38, it was a bless of being a part from this big family.

7. Temen – temen di Lab. Pengaruh Hutan, especially Nani, Silvana and Arga, everybody have their own way. Bu Atikah, terima kasih banyak!

8. Saudaraku sepanjang ”Waktu”, ada saat – saat sulit dan senang yang telah kita lewati. InsyaAllah kita termasuk orang – orang yang sabar. Keep the spirit high!

9. Keluarga besar DKM Ibaadurrahman, untuk menjadi teman dan saudara dalam perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.

10.Temen – temen di AFSA LC - IPB, keep working hard for our better forest. 11.Keluarga besar Pak Dana, terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah

diberikan.

12. Mas Iman, Pak Uus dan Erica untuk tambahan ilmu yang diberikan.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan... 2

C. Manfaat Penelitian... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

A. Tinjauan Umum DAS dan DAS Citarum... 3

B. Erosi ... 5

C. Pendugaan Laju Erosi... 6

D. Sedimen... 8

E. Hidrograf... 10

F. Bentuk Aliran Air... 11

F. Sistem Informasi Geografis dan Model Spasial Hidrologi... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN... 14

A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 14

B. Bahan dan Alat... 14

C. Metode Penelitian... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

A. Letak dan Luas... 32

B. Topografi... 33

C. Curah Hujan... 34

D. Tanah dan Geologi... 34

E. Penggunaan Lahan... 35

(10)

G. Erosi... 45

H. Hidrologi... 54

I. Perbandingan pendugaan erosi metode USLE dan Unit SPAS... 63

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 66

A. Kesimpulan... 66

B. Saran... 67

DAFTAR PUSTAKA... 68

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah di Indonesia... 9

Tabel 2. Nilai bahan organik ... 18

Tabel 3. Nilai mutu dan struktur tanah ... 18

Tabel 4. Nilai perembihan tanah ... ... 18

Tabel 5. Klasifikasi Nilai K . ... 19

Tabel 6. Klasifikasi Laju Erosi... 22

Tabel 7. Kelas tingkat bahaya erosi . ... 23

Tabel 8. Persentase kemiringan lereng ... 33

Tabel 9. Jenis Penggunaan Lahan .... ... 36

Tabel 10. Arah aliran DTA Cileubak . ... 40

Tabel 11. Jumlah sel pada Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature ... 42

Tabel 12. Nilai erodibilitas tanah... 46

Tabel 13. Faktor pengelolaan tanaman ... ... 48

Tabel 14. Faktor konservasi tanah ... ... 49

Tabel 15. Presentase nilai laju erosi ... ... 50

Tabel 16. Presentase nilai tingkat bahaya erosi ... 52

Tabel 17. Rata – rata debit bulanan tahun 2003 dan 2004 ... 55

Tabel 18. Hubungan curah hujan maksimum terhadap debit tahun 2004 ... 59

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hidrograf ... 10

Gambar 2. Perbedaan tampilan data raster, vektor dan keadaan sebenarnya ... 13

Gambar 3. Nomograf K... ………. 20

Gambar 4. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi ... 24

Gambar 5. Sel target pada DTM... 25

Gambar 6. Arah – arah aliran dari suatu sel khusus... 25

Gambar 7. Diagram alir penentuan parameter – parameter permukaan ... …. 27

Gambar 8. Hubungan Tinggi Muka Air dan Debit... 28

Gambar 9. Hubungan Debit dan Sedimen... 29

Gambar 10. Skema Metode Penelitian... 31

Gambar 11. Peta Lokasi DTA Cileubak ... ... 32

Gambar 12. Grafik rata – rata hujan bulanan ... 34

Gambar 13. Penggunaan Lahan hutan kerapatan rendah... 37

Gambar 14. Peta Arah Aliran DTA Cileubak ... 39

Gambar 15. Peta Akumulasi Aliran DTA Cileubak.. ... 41

Gambar 16. Peta Jaringan Sungai DTA Cileubak ... ... 42

Gambar 17. Peta Curvature DTA Cileubak .. ………. 43

Gambar 18. Peta Profil Curvature DTA Cileubak ... ………. 44

Gambar 19. Peta Planform Curvature ... 45

Gambar 20. Penggunaan guludan ... ... 48

Gambar 21. Peta tingkat bahaya erosi DTA Cileubak ... 53

Gambar 22. Grafik hubungan tinggi muka air dengan debit . ... 54

Gambar 23. Rasio Qmaks/Qmin bulanan Tahun 2003 – 2004 ... 55

Gambar 24. Hubungan Debit dan Debit Sedimen... 57

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Nilai Faktor C (Pengelolaan Tanaman)... 71

Lampiran 2. Besaran Faktor P Untuk AnekaTeknik Konservasi Tanah... 72

Lampiran 3. Peta kemiringan lereng... 73

Lampiran 4. Peta ketinggian DTA Cileubak... 74

Lampiran 5. Data curah hujan harian tahun 2003... 75

Lampiran 6. Data curah hujan harian tahun 2004... 76

Lampiran 7. Peta jenis tanah... 77

Lampiran 8. Peta Penggunaan Lahan... 78

Lampiran 9. Responden... 79

Lampiran 10. Tabel pengukuran debit dan sedimen... 82

Lampiran 11. Nilai regresi hubungan tinggi muka air dan debit... 83

Lampiran 12. Pengukuran tinggi muka air rata – rata harian tahun 2003... 84

Lampiran 13. Pengukuran tinggi muka air rata – rata harian tahun 2004 ... 85

Lampiran 14. Debit harian rata – rata tahun 2003... 86

Lampiran 15. Debit harian rata – rata tahun 2004 ... 87

Lampiran 16. Nilai Regresi Hubungan Debit Sedimen dan Debit... 88

Lampiran 17. Debit sedimen rata – rata harian tahun 2003... 89

Lampiran 18. Debit sedimen rata – rata harian tahun 2003... 91

Lampiran 19. Perhitungan Hidrograf... 93

Lampiran 20. Perhitungan erosi metode USLE... 100

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Erosi merupakan salah satu penyebab terbesar kerusakan tanah di Indonesia. Tanah tererosi dapat mengalami penurunan kesuburan tanah, longsor, sedimentasi maupun dampak negatif lainnya. Melihat besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh erosi maka sangatlah penting untuk dapat menduga besar erosi yang terjadi. Informasi mengenai daerah rawan erosi dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan dalam penentuan tata ruang/wilayah sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat dapat diiringi dengan kajian kesesuaian penggunaan lahan.

USLE (Universal Soil Loss Estimation) merupakan metode pendugaan erosi yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) pada lahan pertanian di Amerika Utara. Dalam perkembangannya model ini diaplikasikan untuk menduga erosi pada lahan kehutanan, daerah aliran sungai, pemukiman, jalan, daerah pertambangan dan sebagainya. Pengembangan model ini yang diaplikasikan di luar daerah asalnya dengan kondisi yang berbeda dapat menghasilkan nilai prakiraan yang berbeda. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keakuratan metode USLE pada skala yang lebih besar, dalam hal ini adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) maka perlu dilakukan perbandingan dengan melakukan pengukuran erosi secara nyata di lapangan. Pengukuran erosi dilakukan pada unit Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang terletak pada outlet suatu DAS. Selain menduga erosi, dengan metode ini dapat diketahui karakteristik DAS melalui analisis hidrologi DAS tersebut.

(15)

fungsi strategis sebagai penyangga kehidupan masyarakat dan keseimbangan ekosistem daerah tersebut.

Daerah Tangkapan Air (DTA) merupakan bentuk mikro DAS yang dapat mewakili proses yang terjadi pada DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu pengukuran pada mikro DAS diasumsikan dapat mewakili keadaan DAS yang sebenarnya. Dengan mengetahui karakteristik biofisik DTA berikut tingkat bahaya erosi dan sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang diperlukan berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan.

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang merupakan salah satu teknologi yang banyak digunakan pada saat ini dalam melakukan analisis terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Pemanfaatan SIG cocok digunakan untuk keperluan prediksi maupun penggunaan data untuk melakukan perencanaan maupun pengelolaan DAS. Dengan pemanfaatan SIG diharapkan akan mempermudah pengelola dalam melakukan pengelolaan DAS yang lestari.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung dan membandingkan hasil pendugaan erosi dengan menggunakan metode USLE dan Unit SPAS

2. Melakukan analisis data SPAS untuk mengetahui karakteristik DTA Cilebak

3. Melakukan analisis hidrologi DTA Cilebak

4. Melakukan aplikasi tekhnologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pendugaan erosi

C. Manfaat Penelitian

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum DAS dan DAS Citarum

Daerah Aliran Sungai merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas air topografi dan yang dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit sungai pada suatu irisan melintang tertentu (Seyhan, 1990). Dari definisi tersebut, menurut Marwah (2001), maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia bereaksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Daerah Tangkapan Air (DTA) yang dapat difungsikan sebagai mikro DAS merupakan daerah yang dibatasi oleh batas-batas topografi sehingga hujan yang jatuh di daerah tangkapan tersebut akan mengalir melalui satu saluran pembuangan (Depnakertrans, 2005)

Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lainnnya atau non-point pollution (Marwah, 2001).

(17)

perhatian secara mendalam. Sub DAS tersebut adalah Cikapundung, Ciwidey, Cirasea dan Cisangkuy.

Dinamika perubahan penggunaan lahan, terutama areal hutan yang terjadi di Citarum berkembang dengan pesat. Lahan hutan yang mencapai 33.235,02 ha pada tahun 1993 menurun menjadi 23.818,81 ha pada tahun 1998. Laju deforestasi sebesar 10.657,08 ha atau 2.131,42 ha/th. Areal hutan banyak dikonversi menjadi belukar, lahan pertanian, lahan kosong dan pemukiman yang menuju arah perbukitan. Lahan pertanian dalam hal ini sawah dan tegalan telah mengalami penurunan yang cukup berarti dalam selang waktu lima tahun, yaitu dari tahun 1993 – 1998 sebesar 9.950,296 ha atau 15.59% dari luasan awal sebesar 63.859,6 ha . Penurunan ini sejalan dengan tingginya penggunaan areal persawahan yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan perumahan, pengembangan industri dan infrastruktur lainnya (Kosasih, 2002).

Secara umum wilayah DAS Citarum termasuk tipe iklim tropis yang dipengaruhi angin muson, sehingga masih dapat dibedakan antara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan biasanya terjadi pada saat angin muson barat mulai bulan November sampai bulan April, sedangkan musim kemarau dari bulan Mei sampai bulan Oktober yakni pada saat muson timur. Curah hujan bervariasi antara 1.562 mm – 2.716 mm. Periode bulan basah dimulai bulan November – April, nilai curah hujan yang tinggi dimulai dari bulan Maret – April dan diikuti puncaknya pada bulan November – Desember, setelah itu terjadi penurunan di bulan Mei – Oktober ketika curah hujan relatif rendah. Jumlah hari hujan antar 108 – 145 hari dengan intensitas hujan 13.3 – 17.6 mm/hari.

(18)

B. Erosi

Erosi tanah didefinisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan/ atau es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hujan (Rahim, 2003).

Menurut Arsyad (2000) erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, tanah, vegetasi dan manusia. Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah hujan. Kecuraman dan panjang lereng merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap debit dan kadar lumpur. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah : luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Faktor vegetasi yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi berlangsung melalui beberapa proses, yaitu :

1. Intersepsi hujan untuk tajuk tanaman,

2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak,

3. Pengaruh akar dan kegiatan biologis yang berhubungan dengan stabilitas struktur dan porositas tanah,

4. Transpirasi yang menyebabkan turunnya kandungan air tanah.

Menurut Morgan (1986) dalam Wudianto (2000) erosi dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk, yaitu :

1. Erosi percikan, erosi yang terbentuk akrena tanah yang terbawa oleh percikan air hujan,

2. Erosi aliran permukaan, erosi yang terjadi karena aliran air yang mampu membawa butir – butir tanah yang terdapat di permukaan,

3. Erosi aliran di bawah permukaan, erosi yang disebabkan oleh aliran air yang terpusat pada terowongan – terowongan atau saluran – asaluran air yang terdapat di bawah permukaan tanah

(19)

5. Erosi selokan, merupakan kelanjutan dari erosi alur, akibat runtunya terowongan atau saluran di bawah tanah, akibat terjadinya longsor yang arahnya memanjang

6. Erosi gerak massa tanah, erosi ini dapat berbentuk rayapan, longsoran, runtuhan batu atau aliran lumpur.

C. Pendugaan Laju Erosi

Menurut Asdak (1995), praktek bercocok tanam bersifat merubah keadaan penutupan lahan, dan oleh karenanya, dapat mengakibatkan terjadinya erosi permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Dari beberapa metode yang digunakan untuk memprakirakan besarnya erosi permukaan, metoda Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) adalah metode yang paling umum digunakan untuk memprakirakan besarnya erosi dengan bentuk rumus : A = R K L S C P ... (1) dimana A adalah besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton/ha/thn), R adalah faktor erosivitas curah hujan, K adalah faktor erodibilitas untuk tanah, L adalah faktor panjang kemiringan lereng, S adalah faktor gradien kemiringan lereng, C adalah faktor cara bercocok tanam (pengelolaan tanaman) dan P adalah faktor praktek konservasi tanah. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Faktor Erosivitas Hujan

(20)

2. Faktor Erodibilitas Tanah

Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel – partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Meskipun besarnya resistensi tersebut di atas akan tergantung pada topografi, kemiringan lereng dan besarnya gangguan oleh manusia. Besarnya erodibilitas juga ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kandungan organik dan bahan kimia tanah.

3. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)

Faktor indeks topografi L dan S, masing – masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu pada aliran air permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Pada umumnya, kemiringan lereng diperlakukan sebagai faktor yang seragam.

4. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Faktor pengeloalaan tanaman adalah rasio rata – rata kehilangan tanah dari tahun yang ditanami dengan pengelolaan tertentu terhadap rata – rata kehilangan tanah yang diolah tanpa tanaman, pada tanah, lereng dan curah hujan yang sama. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh tanaman pangan/ vegetasi semakin rendah tingkat erosi (Departemen Kehutanan, 1998).

(21)

5. Faktor Tindakan Konservasi Tanah (P)

Faktor tindakan konservasi tanah adalah rasio rata – rata kehilangan tanah dari lahan yang mendapat perlakukan konservasi tanah terhadap rata – rata kehilanagn tanah dari lahan yang diolah tanpa tanaman, pada tanah, lereng dan curah hujan yang sama. Penerapan teknik konservasi tanah di lapangan dilakukan untuk mengamankan tanah dan tanaman dari bahaya erosi, sehingga faktor konservasi tanah (P) biasanya sudah menjadi satu dengan nilai faktor pengeloalaan tanaman (C) atau menjadi (CP) (Arsyad, 2000).

D. Sedimen

Sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit di daerah genangan banjir, saluran air, sungai dan waduk. (Asdak, 1995). Selanjutnya menurut Arsyad (2000), sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampungan atau DAS. Nisbah jumlah sedimen yang betul – betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang terserosi di daerah tersebut disebut sebagai Sediment Delivery Ratio (SDR).

(22)

Kondisi suatu DAS dalam keadaan kurang baik apabila kandungan sedimen yang terdapat dalam aliran telah melampaui batas toleransi (TSL/ Tolerable Soil Loss). Menurut Arsyad (2000) gambaran umum batasan toleransi erosi di Indonesia tercantum dalam tabel di bawah:

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah di Indonesia

Sumber : Arsyad, 2002

Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/ sub – DAS dan tergantung pada transpor partikel – partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/ sub – DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah akan tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan – cekungan permukaan tanah, di kaki – kaki lereng dan bentuk – bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/ sub DAS (Asdak, 1995).

No. Sifat Tanah dan Substratum Nilai T (mm/th)

1 Tanah sangat dangkal di atas batuan 0.0 2 Tanah sangat dangkal di atas tanah sudah

melapuk (tidak terkonsolidasi)

0.4 3 Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0.8 4 Tanah dengan kedalaman sedang di atas bahan

telah melapuk

1.2 5 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah kedap

yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk

1.4

6 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermebialitas lambat di atas substrata yang telah melapuk

1.6

7 Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berpermebialitas sedang di atas substrata yang telah melapuk

2.0

8 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel di atas substrata yang telah melapuk

(23)

E. Hidrograf

Hidrograf aliran adalah suatu grafik yang menunjukkan keragaman limpasan (dapat juga tinggi muka air, kecepatan, beban sediment dan lain - lain) dengan waktu. Hidrograf periode pendek terdiri atas cabang naik, puncak (maksimum) dan cabang turun (Seyhan, 1990). Hidrograf aliran memberikan gambaran tentang kondisi suatu daerah aliran sungai. Hidrograf yang menggambarkan suatu DAS yang baik adalah hidrograf yang menggambarkan hubungan yang tidak terlalu berbeda besar debit aliran pada saat musim penghujan dan musim kemarau. Demikian pula dengan kandungan angkutan sedimen dalam aliran dapat menggambarkan kondisi suatu DAS. Debit menggambarkan volume air yang mengalir melalui suatu titik per detik atau per jam, dinyatakan dalam m3/detik atau m3/jam.

Asdak (2002) mengatakan dua faktor utama untuk menentukan bentuk hidrograf adalah karakteristik Daerah Aliran Sungai dan iklim. Unsur iklim yang perlu diketahui adalah jumlah curah hujan total, intensitas hujan, lama waktu hujan, penyebaran hujan dan suhu. Hidrograf satuan memberikan gambaran jumlah hujan lebih. Artinya, dari hidrograf satuan dapat diketahui besarnya curah hujan yang menjadi aliran permukaan. Hidrograf satuan diperoleh dari memisahkan antara aliran dasar (baseflow) dengan hujan lebih. Dengan menggunakan grafik debit sepanjang tahun maka dapat dihitung dan digambarkan besar potensi aliran tiap bulan seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Hidrograf

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Volume Air

Dalam juta m3

Waktu 0

500 1000

1500 Bentuk kurva yang baik No. 1 Bentuk kurva yang kurang baik No. 2

No. 1

(24)

Grafik hidrograf tahunan dari satu daerah aliran sungai menggambarkan kondisi hidrologis satu DAS. Apabila bentuk kurva aliran menyerupai grafik no. 2 di atas maka dipastikan bahwa kondisi DAS relatif kurang baik, karena perbedaan besar aliran air pada musim penghujan dan musim kemarau sangat besar, sebaiknya apabila kurva aliran menyerupai kurva no. 1, maka kondisi DAS disimpulkan dalam keadaan baik karena perbedaan besar aliran pada musim penghujan dan musim kemarau relatif kecil sehingga sungai pada musim penghujan tidak menyebabkan banjir sebaliknya pada musim kemarau masih dapat mensuplai debit aliran yang cukup besar (Anwar, 2001)

F. Bentuk Aliran Air

Menurut Arsyad (2000) air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk, yaitu :

1. Aliran permukaan, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, oleh karena merupakan pengangkut bagian – bagian tanah. Aliran permukaan sering pula disebut run off yang dapat berarti aliran di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai dan aliran air di dalam sungai. Untuk membedakan antara aliran di atas permukaan tanah dan di dalam saluran digunakan istilah run off atau stream flow untuk aliran di dalam saluran atau di dalam sungai dan surface run off atau overland flow untuk air di atas permukaan tanah.

2. Aliran di bawah permukaan, yaitu air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap air. Air ini mengalir di bawah permukaan tanah kemudian keluar pada suatu tempat di bagian bawah atau masuk ke sungai. Aliran ini disebut juga sebagai interflow atau subsurface flow.

(25)

4. Aliran sungai, yaitu air yang mengalir di dalam saluran – saluran yang jelas, seperti sungai. Aliran sungai dapat tetap atau tersendat. Air sungai dapat pekat atau jernih tergantung dari sumber airnya.

G. Sistem Informasi Geografis dan Model Spasial Hidrologi

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi – informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek – obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penying atau kritis untuk dianalisa. Dengan demikian SIG merupakan sistem komputer yang memilki empat kemampuan berikut adalam menangani data yang bereferensi geografi : a) masukan, b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan data), c) analisa dan manipulasi data, d) keluaran (Prahasta, 2001).

(26)

menggunakan set data raster. Secara lebih jelas, perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut (Anonim, 2004) :

Raster

Vektor

Keadaan sebenarmya

Gambar 2. Perbedaan tampilan data raster, vektor dan keadaan sebenarnya Fungsi pemodelan hidrologi dalam Spatial Analyst menyediakan metode

(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DTA Cilebak yang merupakan bagian dari Sub DAS Citarum Hulu. Pengukuran curah hujan, kecepatan aliran dan curah hujan dilakukan di Stasiun Pengamat Aliran Sungai Cilebak, Bandung. Analisis Sedimen serta intepretasi data dilakukan di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Manajemen Hutan, IPB. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Sifat Fisik Tanah, Departemen Tanah, IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2005.

B. Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : Peta penggunaan lahan DTA Cilebak, Peta Digital Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 lembar 1208 - 632 dan 1208 - 634, peta jenis tanah semi detail DAS Citarum Hulu skala 1:100.000, data curah hujan harian, tinggi muka air harian, debit harian dan debit sedimen harian tahun 2003 - 2004

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software Arc View 3.2 dengan Spatial Analys, DEMAT dan Hydrollogy Modellingt Extension, Microsoft Office (MS Word dan MS Excel), Minitab, Global Positioning System (GPS), Logger tipe Turbidity Meter, Plastik, milimeter blok dan alat penunjang lainnya.

C. Metode Penelitian

1. Pengumpulan data

(28)

a. Data Curah Hujan

Data Curah Hujan didapat dengan melakukan pengamatan hujan menggunakan Automatic Rainfall Recorder (ARR) yang terdapat pada Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS). Melalui data yang tercantum pada kertas pias dapat dianalisis besarnya curah hujan maupun intensitas pada setiap kejadian hujan.

b. Data Tinggi Muka Air dan Debit Sungai

Data Tinggi Muka Air (TMA) diperoleh melalui pengamatan dengan menggunakan alat Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang mampu merekam TMA setiap jamnya. Disamping itu dengan data AWLR dapat diketahui hidrograf untuk setiap kejadian hujan dan aliran langsung yang ditimbulkannya.

Pengukuran debit aliran sungai dilakukan di Stasiun Pengamat Aliran Sungai yang merupakan titik outlet DTA Cilebak. Pendugaan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dengan debit. Pembuatan model tersebut dibuat dengan menggunakan data tinggi muka air, luas penampang sungai dan kecepatan aliran. Kecepatan aliran diukur pada kedalaman 0.6 x Tinggi Muka Air. Dari ketiga data tersebut dapat dihitung debit aliran sungai menggunakan persamaan sebagai berikut : Q = V x A ……….………..(2)

Keterangan :

Q : Debit limpasan air sungai (m3/detik) V : Kecepatan aliran sungai (m/detik) A : Luas penampang sungai (m2)

c. Data Sedimen

(29)

dengan cara menggunakan alat Logger tipe Turbidity Meter yang secara otomatis menghitung besarnya konsentrasi sedimen dalam mg/liter atau ppm.

Dengan mengetahui besarnya konsentrasi sedimen melayang maka dapat diketahui besarnya debit sedimen melalui persamaan berikut :

Qs = Q x Cs ...(3) Keterangan :

Qs : Debit sedimen melayang (gr/detik) Q : Debit limpasan air sungai (m3/detik) Cs : Konsentrasi Sedimen Melayang (mg/liter)

2. Analisis Data

a. Analisis faktor penduga erosi metode USLE

Data yang dibutuhkan pada pemetaan tingkat bahaya erosi adalah : peta lereng, peta penggunaan lahan, data curah hujan, peta jenis tanah dan peta kedalaman tanah. Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan cara memperkirakan (memprediksi) laju erosi tanah pada satuan – satuan lahan. Pendekatan persamaan “Universal Soil Loss Equation (USLE)” dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978) dengan menggunakan persamaan A = R K L S C P, dimana A adalah besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan (ton/ha/thn), R adalah faktor erosivitas curah hujan, K adalah faktor erodibilitas untuk tanah, L adalah faktor panjang kemiringan lereng, S adalah faktor gradien kemiringan lereng, C adalah faktor cara bercocok tanam (pengelolaan tanaman) dan P adalah faktor praktek konservasi tanah.

(30)

sehingga msing – masing luasan sebesar 25 m2. Prakiraan laju erosi tanah dilakukan pada setiap satuan lahan tersebut untuk memperoleh gambaran umum dihitung nilai rataannya. Faktor – faktor tersebut adalah :

i. Faktor Erosivitas (R)

Faktor R dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Bols (1978) dalam Asdak (1995) berupa data curah hujan bulanan sebagai berikut : EI30 = 6.12 R1.21 x D -0.47 x M0.53 ... (4) Keterangan :

EI30 : Indeks erosivitas hujan R : Jumlah hujan bulanan (cm) D : Jumlah hari hujan bulanan

M : Hujan maksimum selama 24 jam pada bulan tersebut ii. Faktor erodibilitas Tanah (K)

Untuk mengetahui nilai erodibilitas tanah diperlukan informasi pendukung sebagai ketentuan dalam penggunaan nomograf. Data tersebut berupa analisis tekstur tanah, yaitu persentase kandungan pasir (2,0 – 0,10 mm), persentase pasir sangat halus (0,10 – 0,05 mm), persen debu (0,05 – 0,002 mm), persentase liat (< 0,002 mm), persentase bahan organik tanah, struktur tanah dan permeabilitas tanah. Analisis faktor erodibilitas tanah dilakukan di laboratorium dengan cara sebagai berikut :

• Pengukuran persen unsur organik dilakukan dengan menggunakan metode Walkley dan Black, dengan mengasumsikan 58% kandungan C-total tanah adalah bahan organik. Nilai bahan organik diketahui melalui rumus :

(31)

Tabel 2. Nilai bahan organik untuk setiap kisaran kandungan bahan organik Pisahan Organik (%) Kelas Nilai C-Organik Bahan Organik

<1

• Pengukuran tipe dan kelas struktur tanah dilakukan dengan menggunakan cara mekanik dengan memisahkan sesuai dengan jarah – jarah yang membentuk tanah tersebut dan memerikannya sesuai dengan masing – masing tipe dan kelas pembentuk tanah dominan. Untuk penentuan nilai tipe dan kelas dapat diketahui melalui tabel di bawah ini :

Tabel 3. Nilai mutu dan struktur tanah Tipe dan Mutu Struktur Nilai

Butiran Sangat Halus Butiran Halus Butiran sedang dan kasar Gumpal, lempeng atau pejal

1 2 3 4 Sumber : Purwowidodo, 2002

• Permeabilitas tanah diukur dengan mengadaptasi metode Bouyoucos dengan menggunakan prinsip bahwa laju pemasukan air dan pelolosan air melalui pori – pori tubuh tanah dikendalikan oleh faktor – faktor yang mengendalikan jumlah dan kemantapan pori berukuran besar.

Tabel 4. Nilai Peresapan Tanah

S

Sumber : Purwowidodo, 2002 Besar Permeabilitas Tanah

(cm/jam)

Kelas Peresapan Nilai

(32)

• Data ukuran dan pengagihan jarah pasir, debu dan lempung suatu tanah diperoleh melalui analisis mekanis. Landasan analisis mekanis tanah ini adalah hukum Stokes yang memerikan hubungan ukuran jarah dengan kecepatan jatuhnya dalam air/ larutan. Metode yang digunakan adalah metode pipet. Tekstur tanah diukur dengan menggunakan metode pipet. Dari metode ini dapat diketahui % masing- masing tekstur tanah, yang terdiri dari pasir sangat halus, debu dan liat.

Menurut Dangler dan El - Swaify (1976) dalam Arsyad (2000) dapat dikelompokkan kepekaan tanah terhadap erosi ke dalam beberapa kelas seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Nilai K

Kelas Nilai K Harkat

1 0,00 – 0,10 Sangat Rendah

2 0,10 – 0,20 Rendah

3 0,21 – 0,32 Sedang

4 0,33 – 0,40 Agak Tinggi

5 0,41 – 0,55 Tinggi

6 0,55 – 0,64 Sangat Tinggi

Sumber : Arsyad, 2000

(33)
(34)

iii. Faktor Panjang Lereng (P) dan Kemiringan Lereng (S)

Penilaian faktor panjang lereng setiap satuan lahan pengamatan diawali dengan proses tumpang tindih peta, antara peta lereng dengan peta arah aliran. Dari data hasil tumpang tindih tersebut dapat diketahui nilai panjang lereng pada setiap satuan piksel. Penilaian faktor “LS” merupakan perkalian antara faktor L dan S.

Penilaian faktor panjang lereng pada setiap satuan lahan pengamatan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Eyles, 1968 dalam Departemen Kehutanan, 1998) :

L = (Lo/22)0.5 ………....……… (6) Keterangan :

L : Faktor panjang lereng Lo : Panjang lereng (m)

Penilaian faktor kemiringan lereng setiap satuan lahan menggunakan persamaan (Epink, 1979 dalam Departemen Kehutanan, 1998)

S = (s/9)1.4 ………. (7) Keterangan :

S : Faktor kemiringan lereng s : Kemiringan lereng (%)

iv. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

(35)

v. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah (P)

Penilaian faktor pengelolaan dan konservasi tanah setiap satuan lahan pengamatan diperoleh dari hasil pengamatan di lapang. Jika suatu lahan mempunyai beberapa macam tindakan konservasi tanah maka penetapan besaran P-nya dilakukan secara rampatan. Nilai “P” pada berbagai teknik konservasi tanah disajikan pada Lampiran 2. b. Laju Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi

Laju erosi diperoleh dengan cara mengalikan faktor – faktor erosi (RKLSCP) dari persamaan USLE. Untuk mengetahui klasifikasi laju erosi dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Laju Erosi

Sumber : Departemen Kehutanan, 1998

Perkiraan erosi tahunan rata – rata dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi untuk setiap satuan lahan pengamatan. Hal ini dikarenakan dengan laju erosi yang sama, apabila terjadi pada lahan dengan kedalaman solum yang berbeda maka tingkat bahaya erosinya akan berbeda. Untuk penentuan Kelas Tingkat Bahaya dilakukan kombinasi antara klasifikasi laju erosi dan klasifikasi kedalaman solum. Kombinasi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

(36)

Tabel 7. Kelas Tingkat Bahaya Erosi

Sumber : Departemen Kehutanan (1998)

Teknik overlay merupakan fungsi yang dapat menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya. Teknik pelaksanaan pemetaan TBE dilakukan dengan cara menumpangtindihkan (overlay) peta tingkat erosi (USLE) dan peta kedalaman ataupun langsung mencantumkan TBE pada setiap satuan lahan dengan menggunakan matriks di atas. Analisis laju erosi digunakan dengan membagi lahan pengamatan pada satuan picture element (piksel) dengan ukuran 5 m x 5 m, sehingga masing – masing luasan piksel adalah sebesar 25 m2. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dapat dilihat pada Gambar 4.

(37)

37

Gambar 4. Proses pembuatan peta tingkat bahaya erosi

Data Stasiun

Lereng klasifikasi

(38)

38

c. Penentuan Parameter Permukaan Daerah Aliran Sungai

Dalam penentuan karakteristik biofisik Daerah Aliran Sungai dapat digunakan Digital Terrain Model (DTM) yang didasarkan pada algoritma eight direction pour point, yang dimana perhitungan sebuah sel dilakukan dengan menggunakan nilai dari delapan tetangganya yang terdekat. DTM merupakan representasi digital dari elevasi pada permukaan lahan.

Sel Target

Gambar 5. Sel target pada DTM Parameter tersebut adalah :

i. Flow direction (Arah aliran), keluaran dari arah aliran adalah grid yang mempunyai nilai antara 1 sampai 128 yang didasarkan pada arah aliran yang akan mengalir kepada sebuah sel khusus seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut :

Sel Khuhus

Gambar 6. Arah – arah aliran dari suatu sel khusus

ii. Flow accumulation (Akumulasi aliran), dengan mengikuti grid arah aliran ke belakang, maka dapat diketahui banyaknya sel yang mengalir menuju semua sel – sel pada daerah kajian. Untuk mengetahui akumulasi pada permukaaan, nilai dari setiap sel merepresentasikan total nilai dari sel yang mengalir ke dalam sel individu. Sel yang mempunyai akumulasi tinggi adalah area konsentrasi aliran dan dapat digunakan untuk mengidentifikasikan jaringan sungai.

iii. Stream Network (Jaringan Sungai), berdasarkan akumulasi aliran dapat diperkirakan sistem jaringan sungai. Sel – sel yang menjadi bagian

12 13

13

11 10

10

8 10

9

32 64 128

16

1

(39)

39

jaringan sungai ditentukan dengan menetapkan jumlah sel yang mengalir ke sel – sel tersebut.

iv. Curvature, Profil Curvature dan Planform curvature. Curvature merupakan bentuk dari permukaan untuk memahami erosi dan proses drainase, curvature terbagi menjadi dua bagian, yaitu : convex (bulging) dan concave (bowing). Profile curvature menggambarkan arah dari kemiringan , terbagi menjadi dua, yaitu cekung (aliran lambat dan mengalami deposisi) dan cembung (peningkatan kemiringan dan erosi). Planform Curvature menggambarkan kurvatur suatu permukaan tegak lurus terhadap arah kemiringan dimana: cembung, aliran divergen mengindikasikan bukit dan cekung, aliran konvergen mengindikasikan adanya lembah.

(40)

40

Proses diatas lebih jelas dapat dilihat pada diagram berikut :

Gambar 7. Diagram alir penentuan parameter – parameter permukaan

d. Analisis Hubungan Curah Hujan, Debit Sungai dan Sedimen Melayang

Data curah hujan yang digunakan untuk masukan model adalah data intensitas hujan (mm/jam) dengan interval waktu tertentu pada satu kejadian hujan. Intensitas hujan dihitung dengan cara membaca kertas pias pencatat hujan dari Automatic Rainfall Recorder (ARR) yang terdapat di wilayah yang dapat mewakili DAS. Kertas pias curah hujan dari ARR dan hidrograf pasangannya diperoleh dari Automatic Water Level recorder (AWLR). Dari curah hujan yang terukur dapat diketahui pengaruhnya terhadap debit maupun sedimen.

Dengan melakukan pengukuran debit yang dilakukan berulang kali dapat diperoleh suatu persamaan hubungan antara ketinggian muka air dan debit. Persamaan tersebut disebut dengan discharge rating curve, yang dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :

DTM

Ada Tidak

Jaringan Sungai Daerah Aliran Sungai Arah Aliran

Sink

Hilangkan

Akumulasi Aliran

(41)

41

Q = a H b ……… (8) Keterangan :

Q = debit limpasan air sungai (m3/detik) a, b = konstanta

H = tinggi muka air (cm)

Hasil dari pengukuran tersebut dapat digambarkan dengan menggunakan rating curve seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Rating Curve

Gambar 8. Hubungan Tinggi Muka Air dan Debit

Dengan menggunakan “rating curve” tersebut maka dapat dihitung besar debit sungai pada penampang tertentu pada setiap saat. Dengan mengetahui debit sungai, rasio antara debit maksimum dan debit minimum bulanan dapat diketahui fluktuasinya. Hal ini dapat digunakan untuk mengetahui kondisi Daerah Tangkapan Air.

Dari data pengukuran tinggi muka air dan konsentrasi sedimen dapat dibentuk model prediksi besar debit dan debit sedimen. Dari data tersebut dapat dibentuk sediment discharge rating curve yang dibentuk untuk mengetahui hubungan antara debit dan debit sedimen melayang. Persamaan tersebut adalah :

Qs = a Q b ………. (9) Keterangan :

a, b = konstanta

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Debit M3

/det

Tinggi muka air 0

50 100 150

(42)

42

Pengukuran angkutan sedimen dan pengukuran debit di atas dilakukan bekali-kali pada ketinggian permukaan air sungai yang berbeda-beda sehinga akan diperoleh hubungan antara debit aliran dengan angkutan sedimen seperti grafik di bawah ini :

Gambar 9. Hubungan Debit dan Sedimen

Berdasarkan grafik hubungan antara debit aliran dengan debit angkutan sedimen maka dapat dihutung besar angkutan sedimen setiap saat dalam setahun. Demikian pula besar angkutan sedimen per hektar, per tahun dapat dihitung dengan membagi total angkutan sedimen dengan luas DAS yang diteliti.

e. Analisis hidrograf

Analisis hidrograf dilakukan dengan menggunakan data curah hujan, debit aliran, tinggi muka air dan waktu pengukuran. Pengolahan data dilakukan dengan mengikuti tata cara berikut :

1. Gambar grafik hubungan antara debit – waktu dan curah hujan - waktu.

2. Tentukan titik naik dan titik belok

3. Gambarkan garis lurus yang mneghubungkan titik naik dan titik belok.

4. Hitung besarnya aliran dasar (base flow), dengan cara menghitung debit yang terbentuk pada sepanjang garis lurus yang

10 20 30 40 50 60 70 80 90 Debit air

M3 /det

Debit Angkutan Sedimen m3

/det 0

(43)

43

menghubungkan titik naik dan titik belok. Hasil pengukuran menunjukkan besarnya aliran dasar.

5. Hitung besarnya aliran permukaan (Run off) dengan menggunakan rumus :

Run off = Debit (m3/s) – Aliran Dasar (m3/s) ... (10) 6. Jumlahkan besarnya aliran permukaan

7. Hitung volume run off dengan menggunakan rumus :

Volume run off = Σ run off (m3/s) x∆ T (jam) ... (11) 8. Hitung tebal run off :

Tebal run off = Volume run off (m3)/ Luas DAS (m2) ... (12) 9. Hitung koefisien run off

(44)

44

Parameter Permukaan : Slope, Arah aliran, Akumulasi aliran, Jaringan Sungai dan batas DAS

Peta Erosivitas Peta

erodibilitas

Peta Besar Erosi (ton/ha/th) Peta Kedalaman Tanah

Gambar 10. Skema Metode Penelitian

(45)

45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Letak dan Luas

Menurut pembagian wilayah administrasi pemerintahan, DTA Cilebak termasuk ke dalam wilayah administratif Desa Nagrak, Desa Cikawao dan Desa Mandalahaji, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Secara geografis terletak pada 107º43’12” - 107º43’48” BT dan 7º6’0” - 7º9’0” LS. DTA Cilebak merupakan bagian dari Sub DAS Citarum Hulu dengan luas sebesar 400,24 Ha.

(46)

46

B. Topografi

Topografi DTA Cilebak dapat digambarkan dengan menggunakan analisis Digital Elevation Model (DEM). Dengan menggunakan DEM dapat diketahui kemiringan lereng yang terdapat pada daerah penelitian. Kemiringan lereng diturunkan dengan menggunakan metode Horn yang menduga kemiringan lereng pada topografi yang beragam. Luasan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 8 dengan sebarannya pada Lampiran 3.

Tabel 8. Persentase kemiringan lereng

Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa pada daerah penelitian mempunyai kelerengan yang bervariasi dari datar sampai sangat curam. Daerah yang datar sampai bergelombang pada umumnya terdapat pada dataran dan kaki bukit. Sedangkan lahan yang curam sampai sangat curam pada umunya terdapat di lereng bawah, tengah dan atas daerah perbukitan dan gunung.

Secara garis besar kawasan ini merupakan daerah perbukitan dan gunung yang didominasi oleh kelas lereng bergelombang sebesar 119,49 Ha (29,85%). Pada tempat kedua, luasan kemiringan lereng tertinggi merupakan kemiringan lereng dengan kriteria curam yaitu sebesar 102,19 Ha (25,53%). Kemiringan lereng menentukan volume, kecepatan daya rusak maupun angkutan pada suatu lahan. Kemiringan yang semakin curam akan memperbesar peluang terjadinya erosi. Daerah ini memiliki potensi terjadinya erosi yang cukup tinggi apabila dalam pemanfaatannya tidak memperhatikan aspek – aspek konservasi tanah dan air, sehingga perlu dilakukan suatu tinjauan dalam menentukan pola penggunaan lahan yang sesuai agar dapat meminimumkan erosi tanah yang terjadi.

(47)

47

Secara fisiografis daerah penelitian memiliki tingkat penyebaran ketinggian yang beragam. Variasi ketinggian berkisar antara 837,5 mdpl sampai dengan 1937,5 mdpl yang tersusun oleh unit-unit dataran, perbukitan dan pegunungan rendah (Lampiran 4).

C. Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan dari hasil pengukuran pada Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) selama 2 tahun (2003 – 2004) dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan rata – rata adalah sebesar 1403,7 mm, dengan rata – rata curah hujan bulanan sebesar 117.

Sebaran curah hujan pada daerah penelitian terlihat perbedaan musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan pada umumnya dimulai pada bulan November – April, sedangkan bulan kering dimulai pada bulan Mei – Oktober. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12, yang memperlihatkan curah hujan rata – rata bulanan. Perhitungan curah hujan harian tahun 2003 dan tahun 2004 dapat diketahui pada Lampiran 5 dan 6.

Gambar 12. Grafik rata – rata hujan bulanan

D. Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta Tanah Semi Detail DAS Citarum Hulu pada daerah penelitian terdapat tanah dengan golongan Asosiasi Inceptisol, Alfisol, Mollisol, golongan Mollisol dan golongan Mollisol, Inceptisol. Asosiasi

0

Jan Mar Mei Juli Sept Nov

Bulan

(48)

48

Inceptisol dan Mollisol didominasi oleh jenis tanah Aquic eutropepts, Typic paleudalfs, Aquic hapludoll, Typic argiudoll, Oxic argiudoll, Typic hapludoll dan Typic eutropepts. Sedangkan untuk golongan Mollisol didominasi jenis tanah Oxic argiudoll dan Typic hapludoll.

Tanah Mollisol berkembang dari batu endapan kapuran, napal dan andesit – basalt, koral dan volkan intermediate, pada fisiografi dataran, karst, perbukitan, pegunungan dengan bentuk wilayah berombak sampai bergunung. Inceptisol berkembang pada aneka penampilan fisografi, bahan induk dan iklim. Tanah Alfisol berkembang dari aneka bahan induk, yang mencakup : batu beku (batu beku dalam/ batu plutonik/ ultramafik, basalt, breksi – andesit), batu endapan (batu kapur/ batu gamping, batu lempung batu pasir, napal), batu malihan dan bahan volkanik. Tanah ini menempati loka pada ketinggian beberapa meter sampai 3.000 mdpl dengan muka air tanah yang tinggi sampai berpengatusan baik, pada fisiografi volkan, pegunungan, perbukitan, karst, angkatan, lipatan atau dataran, dengan bentuk wilayah datar sampai bergunung. Peta penyebaran golongan tanah dapat dilihat pada Lampiran 7.

Berdasarkan peta land system padanan bentuk lahan pada DTA Cilebak terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama berupa daratan yang terbentuk akibat pengaruh aliran lava basa/ sedang yang agak tertoreh. Litologi (Jenis batuan atau mineral murni) berupa batuan beku basa dengan jenis basal, andesit, breksi, tefra berbutir halus. Bentuk lahan tipe kedua merupakan pegunungan yang berbentuk basaltic stratovolcanoes/young intermediate. Litologi berupa batuan beku dasar berupa andesit, basalt, tefra berbutir halus dan kuarsa berbutir halus.

E. Penggunaan Lahan

(49)

49

di antaranya disebabkan oleh semakin meningkatnya pengkonversian kawasan penggunaan lahan hutan menjadi kawasan budidaya non kehutanan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk yang semakin membutuhkan lahan garapan dan perkembangan kegiatan pembangunan lainnya. Selain itu, juga ditambah semakin maraknya perambahan lahan dan illegal logging serta secara periodik sering terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Pada praktek penggunan lahan pada daerah penelitian ditemui adanya tumpang tindih penggunaan lahan, praktek penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat serta terjadinya perambahan hutan. Hal – hal tersebut menimbulkan peluang besar bagi terbentuknya perluasan lahan terbuka dan lahan kritis yang sangat rentan terhadap erosi.

Penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dikategorikan menjadi enam jenis penggunaan lahan, yaitu : kebun campuran, sawah, semak belukar, hutan, pemukiman dan ladang/tegalan. Penyebaran penggunaan lahan dapat di lihat pada Lampiran 8. Tabel di bawah ini menggambarkan luasan maupun persentase dari masing – masing jenis penggunaan lahan :

Tabel 9. Jenis penggunaan lahan

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Hutan

(50)

50

area yang diinginkan sehingga merusak kawasan hutan lebih luas lagi. Pada kawasan yang terbuka ini tidak dilakukan penangan lebih lanjut sehingga terbengkalai dan menumbuhkan tanaman semak belukar. Semak belukar ini berada di daerah topografi yang curam sampai sangat curam sehingga memerlukan penanganan yang serius untuk mencegah terjadinya erosi dan longsor.

Gambar 13. Penggunaan lahan hutan kerapatan rendah

Hutan merupakan areal yang didominasi oleh pepohonan, semai, dan semak belukar. Hutan yang tersisa pada daerah ini terletak di topografi yang berlereng curam, bukit dan puncak gunung dengan kerapatan yang rendah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dikarenakan dilakukannya kegiatan pembakaran hutan oleh masyarakat untuk beralih fungsi menjadi ladang maupun perkebunan. Kondisi ini menjadikan kawasan hutan menjadi tidak produktif lagi dan fungsinya sebagai daerah resapan menjadi tidak signifikan.

(51)

51

sedikit. Kondisi lahan seperti itu sangat rentan dan dapat meningkatkan laju limpasan air permukaan (surface runoff) maupun tanah tererosi.

Ladang/ tegalan merupakan jenis usaha tani lahan kering dengan jenis tanaman semusim atau tahunan. Pada umumnya tanaman yang diusahakan adalah jagung, ubi jalar, kacang tanah, ketimun, cabai, yang ditanam secara kombinasi dengan menggunakan tanaman tersebut dengan banyak dua sampai tiga jenis tanaman.Petani yang mendapatkan pengairan dari sumber air, menggunakan lahannya secara rotasi antara ladang dan sawah. Pada musim kemarau lahannya digunakan sebagi ladang dan pada musim penghujan digunakan sebagai areal sawah. Petani yang tidak mendapatkan pengairan menggunakan sistem ladang secara terus menerus dengan 3 – 4 kali musim tanam dengan jenis tanaman yang berbeda – beda untuk setiap jangka waktu tersebut.

Sawah merupakan areal pertanian lahan basah yang ditanami secara monokultur dengan tanaman padi. Usia tanam padi sampai dengan panen berkisar antara 5 – 6 bulan, sesudah masa panen pada umunya petani mengganti jenis penggunaan lahan dengan jenis ladang, dengan tanaman jagung, singkong, ketimun, ubi jalar dan sebagainya. Areal persawahan terletak pada daerah hilir DTA Cilebak dengan kondisi topografi yang relatif datar. Kebun campuran merupakan lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pangan

dan tanaman tahunan termasuk pohon – pohonan. Secara umum, pada kebun campuran dapat ditemui tanaman pangan dan tahunan seperti tomat, ketimun, pisang, pohon buah – buahan atau kehutanan lainnya, seperti alpukat, mangga, bambu dan sengon. Masyarakat mengkombinasikan cara penanaman ini dengan maksud selain memperoleh hasil yang lebih cepat dari tanaman pangan mereka juga memiliki investasi dari pohon buah – buahan atau kehutanan yang waktu panennya lebih lama.

(52)

52

F. Karakteristik Daerah Aliran Sungai

1. Arah Aliran

Arah aliran merupakan dasar/ basis dari seluruh proses modeling pada Daerah Aliran Sungai. Arah aliran ditunjukkan oleh sel khusus yang mempunyai nilai grid antara 1 – 128 yang didasarkan pada arah aliran yang akan mengalir pada sebuah sel khusus. Arah aliran diperoleh dari penurunan Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan resolusi piksel berukuran 10 x 10m.

Arah aliran dibentuk dengan terlebih dahulu menghilangkan sink yang terbentuk. Sink, merupakan suatu daerah yang terdapat di lembah yang sempit dimana lebar lembah tersebut lebih kecil dari sel. Sink menimbulkan permasalahan karena mengganggu topologi drainase dan harus dihilangkan untuk menghasilkan arah aliran.

(53)

53

Berdasarkan Gambar 14, pada delapan arah aliran yang terbentuk dapat diketahui arah aliran terbesar DTA Cilebak mengalir ke arah Timur Laut dengan luasan sebesar 122,17 Ha (30,52 %), aliran terendah mengalir ke arah selatan sebesar 1,10 Ha (0,27 %). Pada aliran sungai DTA Cilebak arah aliran sungai dari hulu ke hilir mengalir dari arah selatan ke utara dengan luasan yang sebagaian besar berada di timur laut.

Tabel 10. Arah Aliran DTA Cilebak

Parameter Arah Aliran Luas (Ha) Persentase (%)

1

Apabila arah aliran telah diketahui maka maka dapat diketahui area (sel-sel) yang mempunyai aliran air berlebih dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut menggambarkan akumulasi aliran.

Akumulasi aliran terkecil terdapat pada bagian yang ditunjukkan dengan sel terkecil yaitu dengan nilai 0 – 4500. Sel terkecil pada umumnya tersebar pada topografi yang memilki kemiringan yang relatif curam, karena sel – sel tersebut menunjukkan sumber – sumber air, yang dapat berupa mata air, Akumulasi terbesar berkisar diantara 36000 - 40500 sel yang merupakan daerah dengan topografi yang rendah (bagian hilir). Sel yang mempunyai akumulasi tertinggi merupakan daerah konsentrasi aliran dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan sungai.

(54)

54

Gambar 15. Peta Akumulasi Aliran DTA Cilebak

3. Jaringan Sungai

Jaringan sungai diturunkan dari akumulasi aliran dengan minimum jumlah sel sebesar 100. Jumlah minimum sel tersebut menghasilkan jaringan sungai yang lebih spesifik dibandingkan sungai hasil digitasi Peta Rupabumi Indonesia. Terlihat bentuk sungai hasil digitasi dan model menunjukkan bentuk yang mirip, hal ini menunjukkan hasil model mempunyai tingkat kekakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui paramater DAS lainnya melalui informasi jaringan sungai.

(55)

55

Gambar 16. Peta Jaringan Sungai DTA Cilebak

4. Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Dengan menggunakan map calculator dapat diketahui jumlah sel yang mendominasi permukaan dengan nilai tertentu. Nilai positif menunjukkan cembung sedangkan nilai negatif menunjukkan cekung. Jumlah masing – masing sel ditampilkan pada tabel berikut :

Tabel 11. Jumlah sel pada Curvature, Profile Curvature, Planform Curvature

Curvature merupakan bentuk dari permukaan untuk memahami erosi dan proses drainase, curvature terbagi menjadi dua bagian, yaitu : convex (cembung) dan concave (cekung). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa DTA Cilebak didominasi oleh lereng yang bernilai positif (+), hal ini

Curvature Profile curvature Planform curvature

Nilai

<0 0 >0 <0 0 >0 <0 0 >0

(56)

56

mengindikasikan bahwa lereng permukaan tanah didominasi oleh bentuk cembung (convex). Menurut Arsyad (2000) erosi lembar lebih kuat terjadi pada pada permukaan cembung daripada permukaan cekung. Sedangkan pada permukaan cekung cenderung terbentuk erosi alur atau parit. Erosi alur merupakan penyebab utama terjadinya pengendapan.

Gambar 17. Peta Curvature DTA Cilebak

(57)

57

cembung dengan peningkatan kemiringan akan mempercepat terjadinya erosi yang didukung oleh limpasan yang mengalir lebih cepat.

Gambar 18. Peta Profil Curvature DTA Cilebak

(58)

58

Gambar 19. Peta Planform Curvature

G. Erosi

1. Faktor penduga erosi

a. Erosivitas Hujan

(59)

59

b. Erodibilitas Tanah

Nilai erodibilitas tanah pada daerah penelitian diperoleh melalui pengambilan lima sampel titik tanah yang tersebar di daerah penelitian pada kedalaman 5 cm dari permukaan tanah. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui nilai erodibilitas tersebar antara 0,10 sampai 0,18.

Tabel 12. Nilai erodibilitas tanah

Erodibilitas tanah dengan nilai sebesar 0,18 menunjukkan bahwa tanah tersebut lebih rentan terhadap erosi dibandingkan jenis tanah lainnya. Nilai erodibilitas tanah pada daerah penelitian digolongkan ke dalam kelas sangat rendah sampai sedang. Dari kelima titik sampel dilakukan interpolasi sehingga untuk setiap grid pada daerah penelitian dapat diketahui nilai erodibilitasnya.

(60)

60

(1976) dalam Purwowidodo (1999), kelas perembihan pada daerah penelitian termasuk ke dalam kelas lambat sampai sedang.

c. Faktor Topografi

Faktor topografi yang sangat berperan dalam hal ini adalah faktor panjang lereng dan kemiringan lereng. Pada daerah penelitian pada grid dengan ukuran 5 m x 5 m, berkisar antara panjang lereng berkisar antara 5 m pada topografi datar sampai sepanjang 15,146 m pada topografi dengan lereng sangat curam. Panjang lereng ini menunjukkan rentang jarak antara titik awal limpasan sampai titik air limpasan memasuki suatu outlet yang dapat berupa selokan, anak sungai, sungai maupun titik yang menunjukkan terjadinya pengurangan drastis kecepatan limpasan sehingga berkurang bahkan menjadi tidak erosif lagi. Lahan – lahan berlereng panjang merangsang terjadinya pelonggokan air limpasan, meningkatkan kecepatan, daya rusak dan daya angkutnya, terutama ketika sampai di kaki bukit. Akibatnya laju erosi pada bagian ini lebih besar dibandingkan pada bagian puncaknya.

Hasil perhitungan faktor kemiringan dan panjang lereng yang diintegrasikan sebagai LS di daerah penelitian berkisar antara 0 sampai dengan 17,907. Nilai LS sebesar 0 berada pada daerah dengan topografi datar yang mempunyai kemiringan sebesar 0%. Sedangkan nilai LS sebesar 17,907 dimiliki oleh lereng dengan kemiringan lereng terbesar yaitu 86,6302%. Secara garis besar faktor LS ini sangat dipengaruhi oleh kecuraman lereng di daerah penelitian.

d. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Teknik Konservasi Tanah

(61)

61

Faktor penegelolaan tanaman di daerah penelitian dijabarkan sebagai berikut pada Tabel 13 :

Tabel 13. Faktor pengelolaan tanaman

Petani ladang pada umumnya menggunakan sistem penanaman tumpang sari, secara bersamaan atau bergilir. Selain mendapatkan hasil ganda, penanaman tumpang sari dilakukan sebagai salah satu cara dalam meningkatkan daya guna tanah dan mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman.

Pada umumnya petani mengetahui pentingnya aspek konservasi untuk mencegah terjadinya erosi maupun longsor. Karena keterbatasan pengetahuan dan modal, para petani pada umumnya menggunakan teknik konservasi berupa guludan dan pembuatan teras bangku tradisional.

Gambar 20. Penggunaan guludan

No. Macam Penggunaan Faktor C 1.

Kebun Campuran Kerapatan Sedang Kebun Campuran Kerapatan Tinggi Hutan alam serasah kurang

Semak Belukar

Ubi Kayu + Kacang Tanah

(62)

62

Untuk mencegah air menggenangi lahan mereka, para petani menggunakan saluran yang pada akhirnya akan bermuara di saluran air ataupun anak sungai. Tujuan pembuatan saluran pembuangan air ini adalah untuk mengumpulkan air aliran permukaan sehingga tidak mengalir ke lahan pertanian. Teknik konservasi tanah yang dilakukan adalah :

Tabel 14. Faktor konservasi tanah

Kurangnya faktor konservasi tanah bahkan tidak dilakukannya usaha tersebut telah menimbulkan akibat yang merugikan, baik di bagian hulu yangmenyebabkan erosi di bagian hulu dan menurunnya kesuburan dan produktivitas tanah maupun di bagian hilir dalam bentuk banjir maupun pengendapan lumpur di waduk dan saluran irigasi.

2. Laju Erosi

Pendugaan laju erosi dihitung dengan menggunakan persamaan matematis Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan nama USLE. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan resolusi piksel sebesar 5 m x 5 meter sehingga masing – masing luas piksel sebesar 25 m2. Dengan mengklasifikasikan laju erosi maka dapat diketahui masing – masing luasannya yang dapat dilihat pada tabel berikut :

No. Teknik Konservasi Tanah Faktor P 1.

(63)

63

Tabel 15. Presentase nilai laju erosi No. Klasifikasi Laju

Erosi

Kriteria (ton/ha/thn)

Luas (Ha) Persentase (%)

Secara umum dapat diketahui erosi yang terjadi di daerah penelitian didominasi oleh laju erosi dengan kriteria sangat ringan dengan luasan mencapai 296,36 Ha (74,04%) dan luas terkecil dengan kriteria sangat berat sebesar 1,15 Ha (0,29%). Tetapi perlu diperhatikan laju erosi dengan kriteria sedang sampai berat mempunyai proporsi luasan yang cukup besar, yaitu mencapai 22,85% dari luas total DTA Cilebak. Hal ini perlu dilakukan penangan lebih lanjut agar tidak semakin membesar nilainya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata – rata laju erosi yang terdapat di DTA Cilebak dengan menggunakan metode USLE adalah sebesar 28,74 ton/ha/tahun dengan erosi tahunan sebesar 11.502,89 ton/tahun.

(64)

64

memperkecil terjadinya erosi karena terdapatnya tajuk sebagai pelindung dan air lebih mudah terinfiltrasi ke dalam tanah.

Erosi yang rendah terjadi pada lahan yang memiliki kemiringan <15%, dengan penggunaan lahan yang memiliki kerapatan yang relatif rapat, yaitu penggunaan ladang/ tegalan, kebun campuran dan hutan. Pengunaan sistem tumpang sari mempengaruhi terhadap laju erosi. Tajuk yang rapat membantu tanah untuk mengurangi tumbukan air hujan.

Curah hujan sebesar 1403,7 mm/tahun dengan erosivitas sebesar 1968,79 memiliki kemampuan uantuk menyebabkan erosi yang cukup tinggi terutama apabila pada intensitas hujan yang tinggi dengan curah hujan yang relatif besar. Menurut Asdak (1995) kemampuan air hujan sebagai penyebab erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan . Sedangkan di sisi lain erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetik atau momentum, yaitu parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume hujan. Dengan demikian curah hujan yang tinggi akan memperbesar nilai erosivitas.

Faktor erodibilitas yang tinggi akan memperbesar kemungkinan tanah untuk tererosi, tetapai hal ini akan dipengaruhi kondisi pengelolaan tanaman dan konservasi. Sebagai contoh pada erodibilitas tanah yang tinggi apabila digunakan ebagai penggunaan lahan hutan dengan kerapatan tinggi akan mengurangi resiko terjadinya erosi tanah, begitu pula apabila erodibilitas tanah yang tinggi digunakan sebagai tanah kosong akan meningkatkan laju erosi.

3. Tingkat bahaya Erosi

Gambar

Tabel 1. Pedoman penetapan nilai T untuk tanah di Indonesia
gambar berikut :
Tabel 5. Klasifikasi Nilai K
Gambar 3. Nomograf K
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Each State Party undertakes to cooperate in international exchange of seismological data to assist in the verification of compliance with the Comprehensive Nuclear-Test-Ban

Terkait dengan hal tersebut, komitmen pemerintah dalam Penanggulangan Bencana adalah mengalokasikan dana siap pakai yang dapat digunakan pada tahap tanggap darurat (UU Nomor 24

Pedoman Pemberian dan Besaran Bantuan Santunan Duka Cita dimaksudkan sebagai lampiran Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengatur pelaksanaan

Penilaian akhir untuk kelompok mata pelajaran estetika yang mencakup Mata Pelajaran Seni Budaya dan Bahasa Indonesia (aspek sastra) dilakukan dengan mempertimbangkan

Mengacu pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 Tentang Barang Jasa Pemerintah (beserta seluruh perubahannya), apabila tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran

pengukuran dasar secara teliti dengan menggunakan alat ukur yang sesuai dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. satuan baku dan tak baku secara baik

Wawancara mendalam dilakukan untuk mengumpulkan informasi kinerja instansi anggota BNN dalam mengimplementasikan kebijakan Strategi Nasional P4GN dan telah dilakukan terhadap