KETIKA BERTUGAS DALAM LATIHAN TEMPUR B.1. Menerima
C. KETIKA MENJALANKAN RUTINITAS HARIAN 1. Menjalankan
C.7. Relasi interpersoal
dengan anggota keluarga P1 :
Perubahan kognitif reappraisal untuk meredam
kekhawatirannya terhadap perubahan perilaku anaknya dengan memahami kondisi psikologis anaknya yang memasuki masa remaja dan mengevaluasi berbagai cara untuk mengarahkan anaknya melakukan hal-hal yang dianggap baik
Seleksi situasi dan penyebaran atensi konsentrasi dengan berada dalam lingkungan keluarga yang menimbulkan perasaan nyaman, bangga dan gembira.
P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut P3 :
Modifikasi situasi dengan mengekspresikan emosi senang, gembira dan penuh harapan melalui perilaku yang penuh kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya setiap kali memiliki kesempatan untuk berinteraksi.
tindakan agresif dan ekspresi kemarahan ketika menghadapi konflik dengan anggota keluarga.
Seleksi situasi ketika menghadapi konflik, dengan
meninggalkan rumah sejenak, merokok dan meminum kopi di tempat lain kemudian kembali ke rumah untuk membicarakan masalah dengan tenang.
Tabel 4. Deskripsi Strategi Regulasi Emosi Partisipan PEMBAHASAN
Ketiga partisipan dalam penelitian ini, Serma, Pratu dan Kopka, menghadapi situasi-situasi stressful dalam penugasan daerah rawan (pamrahwan), latihan tempur, dan rutinitas kerja harian dalam markas kesatuan. Dalam “Peran, Fungsi, dan Tugas” (t.t) dipaparkan bahwa personil militer dituntut untuk bertanggungjawab penuh dalam lingkup penugasan yang meliputi operasi militer perang maupun operasi militer selain perang untuk mengatasi ancaman keamanan dalam negeri. Didukung dengan pemaparan Harms et al. (2013) dan Kensing (2014) mengenai faktor-faktor penyebab stres personil militer, dapat disimpulkan bahwa berada dalam situasi penugasan pamrahwan merupakan domain paling stressful yang dialami oleh para partisipan.
Setiap situasi stressful memunculkan respons emosional masing-masing partisipan. Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa emosi muncul ketika individu berada dalam situasi yang dimaknai relevan dengan tujuannya. Gross dan Thompson menambahkan bahwa emosi yang terlalu intens dapat menginterupsi individu dalam pencapaian tujuan, oleh sebab itu individu melakukan serangkaian strategi regulasi emosi sehingga dapat mengatasi kondisi emosional yang muncul sebagai respons situasi stressful sehingga mereka dapat mencapai tujuan keberhasilan melaksanakan tugas.
Tabel 4 memaparkan perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh para partisipan sebagai bentuk strategi atau proses regulasi terhadap emosi yang dialami pada masing-masing situasi stressful. Dalam pemaparan tersebut juga dapat diketahui bahwa beberapa
partisipan tidak melaporkan adanya pengalaman emosi pada situasi tertentu. Ketika menerima pemberitahuan mengenai keikutsertaannya dalam pamrahwan (A.1) dan terhadap tuntutan untuk selalu siap tempur (A.2.), Serma (P1) tidak melaporkan adanya pengalaman emosi. Serma tidak memandang kedua situasi tersebut stressful karena kedudukannya pada seksi administrasi dalam situasi penugasan tersebut yang memperkecil kemungkinannya akan mengalami kontak senjata di lapangan.
Pada situasi stressful ketiga dalam domain penugasan pamrahwan (A.3.), ketika partisipan mengikuti latihan tempur pra-penugasan yang memberikan gambaran kepada para prajurit akan adanya kontak senjata antar-orang di lokasi pamrahwan, hanya Pratu (P2) yang memaparkan kecemasan yang kemudian diregulasi dengan strategi konsentrasi agar ia menjadi fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kontak senjata di lokasi penugasan. Ellsworth dan Scherer (2003) menjelaskan bahwa kecemasan dapat muncul sebagai hasil persepsi situasi yang dibayangkan. Borkovec et al. (1995, dalam Gross & Thompson, 2007) mengemukakan bahwa ketika atensi difokuskan pada kemungkinan adanya hambatan yang akan dialami individu pada masa mendatang, kecemasan dengan intensitas rendah akan meningkat, tetapi akan menurunkan intensitas respons emosional negatif. Terhadap situasi stressful ini, Serma dan Kopka (P3) tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi stressful dalam latihan pra-penugasan karena mengaku sudah tidak mengingat kondisi latihan tersebut.
Kopka juga tidak melaporkan pengalaman emosi ketika masa awal berada di lokasi penugasan (A.5.) sehingga tidak muncul pula strategi regulasi emosi pada situasi ini. Kopka tidak menilai situasi tersebut stressful karena tidak lagi mengingat pengalaman tersebut dan mengaku merasa sudah terbiasa karena frekuensi penugasan pamrahwan yang diikutinya lebih sering serta masa tugas sebagai prajurit yang lebih lama yang membuat
Kopka lebih sering menghadapi situasi penugasan yang baru. Berdasarkan respons partisipan ketiga dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa lamanya prajurit bertugas dengan beragam kegiatan pelatihan dan frekuensi berada di situasi penugasan akan membuat prajurit menjadi terbiasa ketika berada di lingkungan yang baru.
Pengalaman Kopka dalam penelitian ini menjadi menarik karena meskipun ia mengaku terbiasa dan menjadi lebih mudah serta tenang ketika beradaptasi dengan lingkungan penugasan pamrahwan, namun ia justru lebih banyak melaporkan pengalaman afek negatif seperti kemarahan yang intens dan perilaku agresif sebagai strategi regulasi emosi, baik dalam domain penugasan pamrahwan dan latihan tempur, maupun dalam domain rutinitas harian (A.7., B.2., C.4. dan C.7.). Diener et al., (2006, dalam Harms et al., 2013) mengemukakan bahwa stressor akan terus-menerus muncul serta mengalami perubahan dan individu tidak akan pernah menjadi sepenuhnya terbiasa terhadap stressor tersebut. Harms et al. juga menambahkan bahwa semakin lama personil militer berada dalam penugasan, akan semakin besar potensi mereka mengalami masalah emosi atau perilaku. Berdasarkan temuan dan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa frekuensi diikutsertakan dalam berbagai macam penugasan militer dapat membantu kemampuan prajurit beradaptasi dalam situasi penugasan tetapi lamanya mereka berada di lokasi tersebut dengan paparan kondisi stressful yang dialami, justru berpotensi menyebabkan terjadinya masalah emosi atau perilaku prajurit.
Harms et al. (2013) mengemukakan konsep Mental Health Advisory Team 5 (2005) dan Bliese dan Castro (2003) yang menjelaskan bahwa faktor stres yang dapat memicu munculnya permasalahan emosi dan perilaku pada personil militer bukan hanya frekuensi dan lamanya periode penugasan, tetapi juga pengalaman perang atau konflik bersenjata di lokasi penugasan, semakin intens pengalaman emosional yang dialami maka semakin besar
potensi terjadinya problem emosi dan perilaku di kemudian hari. Kembali pada pendapat Gross dan Thompson (2007) mengenai terjadinya pengalaman emosi, intensitas emosi yang dialami individu, dalam hal ini para prajurit, ditentukan oleh pemaknaan mereka ketika menghadapi konflik bersenjata atau pertempuran di lokasi penugasan. Pendapat-pendapat tersebut kemudian dapat menjelaskan bahwa intensitas pengalaman emosional dan strategi regulasi emosi yang dikembangkan ketiga subjek ketika menghadapi kerusuhan, kekacauan, atau konflik bersenjata (A.7.) yang merupakan situasi paling khas dalam penugasan pamrahwan, berdampak pada muncul tidaknya permasalahan emosi dan perilaku.
Ketika menghadapi situasi yang kacau dan mengancam di lokasi pamrahwan (A.7.), intensitas emosi negatif seperti kecemasan, kelelahan dan kekecewaan Serma menurun setelah mengembangkan strategi regulasi emosi seleksi situasi dan modifikasi situasi yang melibatkan berbagai pertimbangan dan evaluasi situasi. Demikian pula dengan Pratu yang mengalami kecemasan kemudian mereduksi intensitas emosi tersebut dengan strategi reappraisal berupa mengembangkan pemikiran bahwa ia sudah memiliki kesiapan dan kemampuan menghadapi kemungkinan apapun. Pratu juga mengembangkan strategi problem-focused coping dengan mengupayakan berbagai tindakan untuk mengatasi kondisi kacau. Menurut Pourmohamadreza-Tajrishi et al. (2015) dalam penelitiannya terhadap sekelompok ibu yang mengasuh anak dengan Down syndrome, pengembangan strategi problem-focused coping secara signifikan dapat menurunkan gejala fobia, depresi, pemikiran-pemikiran paranoid, psikosis, keluhan somatik, sensitivitas interpersonal, obsesi-kompulsi, kecemasan dan agresi pada individu yang mengalami pengalaman stressful dalam periode yang lama dengan tingkat stres yang tinggi dan relatif konstan.
Dalam menghadapi situasi stressful yang menuntut adanya respons dengan segera dan berani seperti pecahnya konflik bersenjata yang dihadapi Pratu, prajurit perlu mengembangkan self-efficacy yang dijelaskan Bandura (1986, dalam Halonen & Santrock, 1999) sebagai keyakinan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengatasi suatu situasi dan berhasil positif. Cervon dan Scott (1995, dalam Watson & Tharp, 2007) mengemukakan bahwa self-efficacy mendorong individu untuk meyakini kemampuannya bahkan secara irasional, hal ini penting dimiliki individu karena dalam kondisi emosi yang normal, individu dapat menjadi sangat percaya diri akan kemampuannya, tetapi dalam kondisi stressful muncul keraguan (self-doubt) yang lebih kuat dan menghambat individu menunjukkan kinerja terbaiknya. Self-efficacy juga dikembangkan partisipan pertama, Serma (P1), ketika menjalankan tugas hariannya sebagai staf administrasi (B.1.), ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik meskipun seringkali mengalami kejenuhan karena meyakini bahwa ia memiliki keterampilan melakukan pekerjaan kantor serta karakter penyabar yang sangat sesuai dan menunjang pekerjaannya tersebut. Berdasarkan pengalaman kedua partisipan tersebut, dapat diketahui bahwa self-efficacy merupakan salah satu kualitas personal yang dapat berfungsi sebagai protektor yang dapat meredakan dampak situasi stressful yang dihadapi oleh para prajurit. Salah satu penentu self-efficacy dan kemampuan mengembangkan strategi problem-focused coping prajurit adalah efektivitas pelatihan kesiapan prajurit untuk menghadapi faktor-faktor stres yang ditemui dalam penugasan (Harms et al., 2013).
Berbeda dengan pengalaman regulasi emosi Serma dan Pratu, terdapat suatu kontinuum pada pengalaman regulasi emosi Kopka selama menghadapi konflik dalam penugasan pamrahwan, antara menekan ekspresi emosi marah dan mengekspresikan kemarahan tersebut dengan cara yang terkesan seperti sebuah ledakan. Situasi yang penuh dengan
provokasi berpotensi sangat tinggi untuk memicu adanya ledakan emosi dalam bentuk perilaku agresi. Baron dan Byrne (2005) mencatat bahwa provokasi, yaitu tindakan yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima yang dipersepsi berasal dari maksud jahat, akan menghasilkan adanya agresi secara langsung, karena terhadap provokasi langsung, individu jarang mengalah. Penjelasan lebih lanjut, terhadap provokasi, individu cenderung akan membalas dengan memberikan agresi sebanyak yang diterima atau mungkin sedikit lebih banyak (Chermack, et al., 1997; Ohbuchi & Kambara, 1985; dalam Baron dan Byrne, 2005). Namun, karena mempertimbangkan statusnya sebagai prajurit yang berkewajiban untuk menciptakan situasi aman dan tidak diperbolehkan memihak, Kopka melakukan strategi regulasi emosi supresi, yaitu menghambat ekspresi kemarahannya. Hal ini membuat Kopka membatalkan perilaku agresif terhadap pihak yang memicu kemarahan. Tetapi, strategi regulasi emosi supresi tidak mmbantu mengurangi pengalaman emosi negatif, sehingga kemarahan yang dialami individu tidak terselesaikan dan justru terakumulasi hingga pada tahap intensitas yang cukup tinggi (Gross & John, 2003). Di samping itu, Frijda (1986, dalam Gross & Thompson, 2007) mengemukakan bahwa emosi memiliki kualitas imperatif yang dapat mengambil alih kesadaran akan norma-norma sosial sehingga bisa memicu individu melakukan suatu perilaku abnormal. Pendapat-pendapat tersebut kemudian menjelaskan bagaimana proses regulasi emosi Kopka berujung pada keputusan untuk melakukan pemukulan dan penculikan pelaku pembakaran gereja. Gross dan John (2007) menjelaskan perilaku tersebut dengan pendekatan “throwing everything you’ve got at it”, yang melihat bahwa pada suatu tahap intensitas emosi tertentu, individu akan mengekspresikan emosi tersebut sebanyak atau sebesar mungkin.
Dalam penelitian ini, partisipan ketiga, Kopka, menunjukkan lebih banyak kecenderungan permasalahan emosi dan perilaku terutama perilaku agresif (A.7., B.2.,
C.4., C.7.) dan mengonsumsi minuman beralkohol (A.9.) sebagai bentuk strategi regulasi emosi. Selain intensitas pengalaman emosional para prajurit di dalam penugasan, penugasan berganda juga berdampak signifikan meningkatkan potensi terjadinya permasalahan emosi dan perilaku prajurit (Mental Health Advisory Team 5, 2008; Bliese & Castro, 2003, dalam Harms et al., 2013). Semakin banyak tugas dan tuntutan yang harus dilakukan oleh prajurit maka semakin banyak pula stressor yang dihadapi dan semakin besar pula potensi prajurit mengalami permasalahan emosi dan perilaku. Dalam Tabel 4 dapat diketahui bahwa Kopka mengalami lebih banyak situasi stressful dibandingkan dengan kedua partisipan lain. Situasi stressful pertama yang dihadapi hanya oleh Kopka adalah pengalaman kecelakaan dalam perjalanan di medan yang terjal dan curam dengan risiko terjadi kerusuhan di tengah perjalanan dalam lingkup penugasan pamrahwan (A.8.). Situasi stressful kedua, Kopka lebih sering melaporkan pengalaman kelelahan karena selain harus melaksanakan tugas pengamanan, operasi militer, dan pengoperasian senjata dalam latihan tempur, Kopka juga bertanggungjawab untuk mengemudi dan memastikan kondisi kendaraan dinas selalu siap dan baik untuk digunakan (A.4., B.2.). Situasi-situasi stressful tersebut menimbulkan kondisi emosi yang lebih intens dan mengakibatkan munculnya perilaku agresif sebagai suatu bentuk modifikasi situasi. Kopka melaporkan bahwa jika ia terus menerus menahan kemarahannya, maka ia akan merasakan rasa tegang pada leher sakit kepala yang akan meningkatkan intensitas emosi negatifnya sehingga ia merasa perlu untuk mengekspresikan kemarahannya. Halgin dan Whitbourne (2010) mencatat bahwa kesakitan fisik juga merupakan distres yang jika intensitasnya menjadi sangat tinggi dapat mengakibatkan individu sulit berfungsi.
Selain penugasan berganda, terdapat situasi lain yang menimbulkan stressor lebih banyak bagi Kopka yaitu menurunnya kemampuan fisik (C.3.). Bagi seorang tentara,
kemampuan fisik merupakan hal yang sangat vital dalam melaksanakan tugas-tugas keprajuritan. Kopka menyadari kemampuan fisiknya semakin menurun mulai sepuluh tahun terakhir dan kondisi tersebut membuatnya merasa sedih, kecewa serta frustrasi karena mengakibatkan adanya hambatan untuk mencapai hasil terbaik dalam kegiatan fisik seperti lari. Kedua partisipan lain tidak melaporkan pengalaman emosi dalam situasi ini, karena Serma kurang dituntut untuk melakukan kegiatan-kegiatan fisik dan lebih banyak mengerjakan pekerjaan administratif yang lebih mengandalkan keterampilan tulis-menulis, sedangkan Pratu yang masih berusia 26 tahun memiliki kemampuan fisik yang sangat prima. Harms et al. (2013) mencatat bahwa berkurangnya kemampuan fisik juga dapat timbul sebagai akibat dari pengalaman stressful yang dialami prajurit selama penugasan, akibat ini juga bisa menjadi suatu situasi stressful baru yang harus dihadapi prajurit seperti pengalaman Kopka menghadapi kemampuan fisiknya yang menurun karena disebabkan faktor usia.
Mental Health Advisory Team 5 (2008, dalam Harms et al., 2013) mengemukakan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga yang suportif berfungsi sebagai protektor yang dapat meredakan dampak situasi stressful yang dihadapi oleh para prajurit. Erbes et al. (2011, dalam Harms et al., 2013) menjelaskan lingkungan pernikahan dan keluarga disebut suportif apabila anggota-anggota keluarga secara aktif melibatkan para prajurit dalam aktivitas dan interaksi keluarga yang positif. Penjelasan selanjutnya mengemukakan bahwa lingkungan keluarga yang suportif akan sangat membantu para prajurit terhindar dari perilaku maladaptif dan potensi pengalaman post traumatic stress disorder. Kurang suportifnya kehidupan pernikahan dan keluarga dapat memicu tingkat stres yang lebih tinggi pada prajurit. Situasi ini terjadi pada Kopka yang hidup berjauhan dengan keluarganya bukan hanya ketika diikutsertakan dalam penugasan yang lokasinya jauh dari
markas kesatuan, melainkan juga dalam rutinitas hariannya karena Kopka menjalani long distance marriage (C.6.). Kehidupan pernikahan dan keluarga Kopka terbilang kurang suportif karena partisipan ketiga ini kurang terlibat aktif dengan aktivitas keluarganya. Kurang berfungsinya kehidupan keluarga sebagai faktor protektif menyebabkan situasi stressful yang dialami Kopka menjadi lebih intens sehingga lebih berpotensi melakukan perilaku atau tindakan maladaptif seperti bertindak agresif (A.7., B.2., C.4., C.7.) dan mengonsumsi minuman beralkohol (A.9.). Serma (P1) berada dalam lingkungan keluarga yang suportif sedangkan Pratu (P2) terbilang lebih lekat dan mengalami pengalaman positif dengan rekan-rekan sesama prajurit (C.4.) sehingga berada jauh dari kedua orang tuanya tidak menimbulkan pengalaman emosi negatif yang stressful. Dari pengalaman Pratu juga dapat dilihat bahwa lingkungan yang suportif dapat diperoleh prajurit dari interaksi dengan rekan-rekan kerja, dengan terlibat secara aktif dalam aktivitas dan interaksi yang positif.
Thompson dan Calkins (1996, dalam Gross & Thompson, 2007) mengemukakan bahwa tidak ada indikator untuk menyebut suatu bentuk regulasi emosi termasuk positif atau negatif. Gross dan Thompson dengan orientasi fungsionalisme berpendapat bahwa yang dinilai dari suatu strategi regulasi emosi adalah efektivitasnya mengarahkan individu mencapai tujuan sesuai dengan konteks situasi yang dihadapi, meskipun ekspresi strategi tersebut cenderung berupa perilaku maladaptif. Dalam penelitian ini, partisipan merupakan personil militer yang berkewajiban menciptakan atau menjaga keamanan situasi sosial, sehingga diharapkan masing-masing individu menunjukkan ekspresi perilaku strategi regulasi emosi yang positif. Ketika menghadapi situasi konflik dalam pamrahwan (A.7.), ketiga partisipan melakukan serangkaian strategi regulasi emosi dan mencapai tujuan mereka masing-masing, namun Kopka (P3) melakukan perilaku agresif yang kemudian
menciptakan suatu kondisi yang tidak aman, perilakunya kemudian dinilai maladaptif karena tidak sesuai dengan tanggung jawabnya sebagai personil militer. Sebagai personil militer, ketika melakukan strategi regulasi emosi, individu tidak hanya perlu memperhatikan tercapainya kondisi emosi yang diinginkan, tetapi juga selektif dalam memilih ekspresi perilaku. Dalam situasi ini, Serma (P1) mengembangkan seleksi dan modifikasi situasi, sedangkan Pratu (P2) melakukan cognitive reappraisal dan problem-focused coping. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih strategi regulasi emosi, akan lebih efektif dan berdampak positif apabila para prajurit mengembangkan strategi kognitif dan melakukan banyak pertimbangan (appraisal dan evaluasi situasi). Kemampuan intelektual dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dengan segera sangat berpengaruh dalam hal ini, para personil dapat mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan efektif.