• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009108 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009108 Full text"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

BERNIKE GRASIKA TAMEDYA 802009108

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

REGULASI EMOSI PERSONIL BATALYON ARTILERI MEDAN 12 NGAWI

Bernike Grasika Tamedya Jusuf Tjahjo Purnomo Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses regulasi emosi personil militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) yang tergabung dalam Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 12 Ngawi. Partisipan penelitian merupakan tiga orang personil Yon Armed 12 Ngawi, berjenis kelamin pria, masing-masing berusia 42 tahun, 26 tahun dan 48 tahun dan minimal satu kali sudah pernah diikutsertakan dalam penugasan pengamanan daerah rawan (pamrahwan). Pengumpulan data menggunakan metode kualitatif dengan wawancara, observasi dan telaah beberapa dokumen terkait. Pedoman wawancara dan indikator proses regulasi emosi disusun berdasarkan teori proses pembentukan emosi serta jenis regulasi emosi yang dikemukakan oleh Gross dan Thompson (2007) serta faktor stres personil militer yang dicatat oleh Harms et al. (2013) dan Kensing (2014). Ketiga partisipan mengembangkan strategi regulasi emosi seleksi situasi, modifikasi situasi, penyebaran atensi distraksi dan konsentrasi, reappraisal dan modulasi respons suppression maupun fisik disesuaikan dengan tujuan dan konteks situasi stressful yang dihadapi dalam domain penugasan pamrahwan, latihan tempur dan rutinitas harian. Mengenali emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi merupakan ketrampilan yang penting untuk dimiliki dan dapat dikembangkan sehingga personil militer dapat memberikan performa terbaik dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi situasi stressful.

(9)

ii Abstract

This research has been conducted to examine Artillery Battalion (Yon Armed) 12 Ngawi

soldiers’ emotion regulation process in varied stressful situations. Three male Indonesian Army

soldiers of that battalion have been involved to be participants. They were 42 years old, 26 years

old and 48 years old. They have been in combat deployment or securing conflict region

operation at least once. This research used qualitative method, data were collected by using

depth interview, direct observation and analysis of relevant documents or materials. The

interview guide and emotion regulation indicators were arranged according to Gross and

Thompson’s (2007) emotion formation and emotion regulation theory and explanations of

military member’s stress factors by Harms et al. (2013) and Kensing (2014). Results indicated

that all of the participants developed all of the emotion regulation strategies, those strategy were

situation selection, situation modification, attention development (distraction and consentration),

reappraisal and response modulation (suppression and physically). Participants developed

emotion regulation strategy according to their own goals in the stressful situation’s contexts

when they were deployed in conflict region, battle simulation and daily routinity at the

headquarter. The results showed that is important for military members to own skill in

understanding emotion condition and knowing how to do emotion regulation so that they can

perform excellently in completing military task and overcome various stressful situations in daily

life.

(10)

PENDAHULUAN

Kensing (2014) dalam suatu situs mengenai pekerjaan di Amerika Serikat menyajikan hasil survei profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi pada tahun 2014 yang menunjukkan bahwa profesi sebagai personil militer berada pada peringkat pertama. Menurut hasil survei tersebut, pekerjaan militer dinilai memiliki tingkat stres paling tinggi karena memenuhi beberapa faktor, di antaranya pekerjaan tersebut berada pada kondisi yang tidak menentu, para personil militer berpotensi tinggi menghadapi bahaya yang dapat terjadi dengan segera, situasi-situasi yang dihadapi para personil sangat berisiko dan adanya tuntutan untuk memiliki keberanian yang sangat tinggi.

Harms et al. (2013) yang meneliti kesehatan mental personil militer Amerika dan Inggris menambahkan bahwa tingkat stres yang tinggi dalam pekerjaan militer diindikasikan dengan faktor-faktor stres yang meliputi adanya ancaman fisik (terluka atau terbunuh), berada jauh dari tempat tinggal dan keluarga dalam kurun waktu yang relatif lama, adanya tuntutan fisik untuk selalu siap dan sigap namun juga berpotensi besar mengalami kelelahan, menjadi sorotan masyarakat luas serta bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri dan orang lain, serta bersinggungan dengan rutinitas dalam latihan dan komando yang terstruktur.

Kondisi kehidupan personil militer yang stressful tersebut juga dialami oleh personil militer di Indonesia. Situs resmi Tentara Nasional Indonesia memaparkan bahwa para personilnya bertanggungjawab dalam lingkup penugasan yang meliputi operasi militer perang maupun operasi militer selain perang untuk mengatasi ancaman keamanan dalam negeri (“Peran, Fungsi, dan Tugas”, t.t). Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, para

(11)

wawancara kepada seorang personil Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 12 Ngawi pada 30 Mei 2013 yang menunjukkan bahwa para personil kesatuan tersebut mengungkapkan perasaan cemas dan takut ketika akan menghadapi simulasi tempur dengan senjata yang disebut peluru tajam, yaitu peluru yang dapat mengakibatkan cidera ringan, serius, hingga kematian. Selain itu, selama latihan tempur berlangsung, beberapa personil kedapatan mengeluh atau mengumpat ketika harus berjalan dalam barisan dalam kondisi lelah. Halonen dan Santrock (1999) mengemukakan bahwa ungkapan kemarahan, kecemasan dan ketakutan mencirikan adanya pengalaman afek negatif yang juga mencakup perasaan bersalah dan sedih.

(12)

menyebabkan mereka mengalami kecerobohan dalam bekerja, keterbatasan dalam mengoptimalkan kemampuan mereka, masalah emosional, dan mempertimbangkan perceraian dengan pasangan. Ward et al. (2008, dalam Lane et al., 2013) mengemukakan bahwa emosi negatif, khususnya kecemasan menghambat prajurit untuk memroses informasi, kaitannya dalam pemrosesan dan pelaksanaan instruksi dalam penugasan.

Beberapa berita yang disajikan dalam situs harian Tempo mencatat bahwa personil militer kerap kali terlibat dalam kasus kekerasan dan setelah melalui pemeriksaan tindakan tersebut dilatarbelakangi adanya pengalaman stres atau trauma pasca penugasan militer. Salah satu berita yang ditulis oleh Joniansyah (2013) melaporkan peristiwa pemukulan yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa sebab oleh seorang anggota polisi terhadap seorang warga. Kepala Polisi Sektor setempat menjelaskan perilaku anggota polisi tersebut disebabkan oleh kondisi depresi yang dialaminya pasca penugasan terkait penanganan dampak tsunami di Aceh. Selain itu, Rofiuddin (2013) juga menuliskan berita tentang seorang perwira polisi yang dilaporkan telah melakukan tindak kekerasan yang mengakibatkan adanya luka selama beberapa kali kepada kekasihnya. Suatu situs berita Jayapura juga mempublikasikan tulisan Mambor (2010) yang mengemukakan hasil survei Pusat Jaringan Pelayanan Perempuan dan Anak (Pujaprema) Kabupaten Jayapura mengenai 3 dari kasus kekerasan dalam rumah tangga sepanjang tahun 2009 hingga Juni 2010 melibatkan aparat TNI, POLRI, dan PNS sebagai pelaku kekerasan.

(13)

Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu strategi regulasi emosi baik dalam lingkup penugasan para personil militer maupun dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Regulasi emosi merupakan serangkaian strategi untuk mengendalikan atau memengaruhi emosi yang dialami individu dan kapan terjadinya emosi tersebut (Gross, 1998, dalam Gross & John, 2003), memulai atau memunculkan, mempertahankan, memodifikasi atau menampilkan emosi, baik secara otomatis atau terkontrol, sadar (conscious) atau tidak sadar (unconscious), serta dapat menimbulkan dampak pada proses pembentukan emosi (Gross & Thompson, 2007, dalam Lane et al., 2012). Thompson (1994) melengkapi dengan pendapat bahwa regulasi emosi merupakan proses ekstrinsik maupun intrinsik yang bertanggungjawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional khususnya pada bagian intensitas emosi agar tujuan individu tercapai.

Dalam memahami proses regulasi emosi, Gross dan Thompson (2007) memberikan fokus pertama pada situasi yang dialami oleh individu karena emosi merupakan respons dari adanya keterbangkitan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari interaksi antara individu dengan situasi yang dimaknai relevan dengan tujuannya. Gross dan Thompson mengemukakan sebuah konsep terbentuknya emosi dengan skema sebagai berikut:

(14)

kemudian disebut sebagai emotion cues. Situasi menjadi suatu variabel yang memicu (Gross & John, 2003) yang kemudian mendapatkan atensi individu sehingga dipersepsikan sedemikian rupa dan melalui proses appraisal untuk mengevaluasi lingkungannya (Ellsworth & Scherer, 2003). Lane et al. (2012) mengemukakan bahwa kondisi yang menantang dan stressful berpotensi besar menimbulkan suatu emosi yang intens. Sedangkan emosi, khususnya dengan intensitas tinggi, memiliki kualitas komando (Gross & Thompson, 2007). Frijda (1986, dalam Gross & Thompson, 2007) menyebutnya dengan istilah control precedence yang mengacu pada bagaimana emosi dapat menginterupsi apa yang sedang dilakukan individu dan mendesak masuk dalam area kesadaran (awareness), oleh sebab itu Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa strategi regulasi emosi berfokus pada kondisi emosional yang terlalu intens yang dapat menghambat individu dalam mencapai tujuannya.

Berdasarkan skema pembentukan emosi (Gambar 1), Gross dan Thompson (2007) mengembangkan suatu konsep proses regulasi emosi dengan skema sebagai berikut:

(15)

beberapa tindakan dengan tujuan sampai pada situasi yang sekiranya menimbulkan emosi yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Bentuk perilaku seleksi situasi meliputi tindakan menghindari situasi yang dapat memicu munculnya emosi negatif dan menciptakan suatu situasi yang berpotensi menimbulkan emosi positif. Strategi seleksi situasi juga dapat dilakukan secara ekstrinsik oleh individu yaitu mengarahkan orang lain untuk menghindari situasi stressful atau memilih menghadiri situasi yang potensial menimbulkan emosi positif, dengan adanya penyesuaian terhadap kapasitas regulasi diri orang yang menadi sasaran strategi tersebut dalam mengelola timbulnya perubahan emosi.

Apabila individu sudah terlanjur berada dalam situasi yang stressful, Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa individu dapat melakukan modifikasi situasi dengan melakukan serangkaian tindakan untuk mengubah suatu situasi stressful menjadi suatu situasi dengan intensitas stres yang lebih kecil atau lebih besar sehingga mencapai suatu kondisi emosi yang diinginkan. Strategi modifikasi situasi berfokus untuk mengubah situasi eksternal atau lingkungan fisik. Rimé (2007, dalam Gross & Thompson, 2007) menyebutkan bahwa salah satu bentuk modifikasi situasi ekstrinsik yang cukup efektif adalah mengekspresikan emosi.

(16)

dalam situasi atau mengalihkan perhatian dari situasi tersebut ke situasi yang lain (Rothbart & Sheese, 2007; Sifter & Moyer, 1991, dalam Gross & Thompson, 2007), sedangkan konsentrasi merupakan strategi mengarahkan atau memusatkan perhatian pada aspek emosi dalam suatu situasi dengan tujuan mencapai suatu kondisi emosi tertentu (Gross & Thompson, 2007).

Strategi regulasi emosi berikutnya adalah cognitive change (perubahan kognitif) yang mengacu pada tindakan individu mengubah cara menilai situasi dengan tujuan mengubah tingkat pengaruh aspek emosionalnya (Gross & Thompson, 2007). Perubahan yang diupayakan meliputi perubahan pada persepsi individu terhadap lingkungan atau persepsi individu terhadap kemampuannya untuk menghadapi kondisi emosi yang berpotensi muncul. Gross dan Thompson mengemukakan 3 bentuk strategi perubahan kognitif yaitu downward social comparison yang merupakan tindakan membandingkan kondisi yang sedang dialami dengan kondisi orang lain yang kurang beruntung sehingga terjadi perubahan konsep dan berkurangnya emosi negatif (Taylor & Lobel, 1989; Wills, 1991, dalam Gross & Thompson, 2007); mempersepsikan situasi sebagai hal yang dapat meningkatkan kualitas individu daripada memaknainya sebagai hal yang melemahkan; dan cognitive reappraisal yaitu strategi perubahan kognitif yang melibatkan tindakan menguraikan atau mengevaluasi situasi yang berpotensi memicu munculnya emosi dengan suatu cara yang dapat mengubah dampak emosional (Lazarus & Alfert, 1964, dalam Gross & John, 2003). Gross dan John (2003) menekankan bahwa strategi cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi pengalaman dan perilaku emosi negatif.

(17)

hal-hal yang terjadi sebelum proses appraisal kemudian memunculkan tendensi respons emosional secara penuh (Gross & Munoz, 1995, dalam Gross & Thompson, 2007). Ketika emosi sudah terjadi, individu dapat melakukan strategi regulasi emosi response-focused (Gross & Munoz, 1995, dalam Gross & Thompson, 2007). Gross dan Thompson (2007) mengemukakan strategi emosi kelima yang berfokus pada respons emosi yaitu response modulation (modulasi respons) yaitu strategi yang mengacu pada serangkaian tindakan menyesuaikan respons fisiologis, pengalaman, serta perilaku secara langsung dan segera sesuai dengan situasi setelah munculnya tendensi emosi. Bentuk-bentuk strategi modulasi respons adalah penggunaan obat-obatan dengan tujuan memengaruhi aspek fisiologis dalam kondisi emosi, olahraga dan relaksasi untuk memengaruhi aspek fisiologis dan pengalaman ketika menghadapi suatu kondisi emosi, dan meregulasi ekspresi emosi (Gross, Richard & John, 2006, dalam Gross & Thompson, 2007). Salah satu bentuk regulasi ekspresi emosi yang mendapat perhatian secara khusus karena berpotensi menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial dan memengaruhi psychological well-being individu adalah expressive-suppression (Gross & John, 2003) yang merupakan serangkaian tindakan individu menghalangi munculnya perilaku ekspresi dari emosi yang sedang dialami (Gross, 1998, dalam Gross & John, 2003). Gross dan John (2003) menambahkan bahwa strategi expressive suppression efektif untuk mengurangi perilaku ekspresi negatif namun memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi kondisi emosi negatif.

(18)

digunakan untuk membantu performa individu, yaitu individu cenderung untuk meningkatkan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan seperti kemarahan untuk melakukan tugas yang melibatkan konfrontasi (Tamir, 2009) dan temuan bahwa kalangan atlet percaya bahwa kemarahan dapat meningkatkan energi serta kecemasan dapat membantu mereka untuk fokus pada informasi yang relevan dengan tugas yang harus mereka kerjakan (Eysenck & Calvo, 1992; Harris, Hancock & Harris, 2005; Janelle, 2002). Lane et al. (2012) juga menyebutkan bahwa regulasi emosi berhubungan dengan performa individu dalam area hidup yang beragam, meliputi bidang penerbangan, edukasi, kegiatan di bidang hukum, kedokteran bedah dan olahraga. Proses regulasi emosi juga terjadi dalam antar-domain kehidupan individu itu sendiri. Lane et al. mengusulkan supaya penelitian mengenai regulasi emosi khususnya yang dialami para personil militer tidak difokuskan pada satu domain mengenai aktivitas mereka dalam lingkup penugasan sebagai personil militer saja, tetapi juga melihat transferabilitas strategi regulasi emosi pada domain lain seperti aktivitas olahraga dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Selain itu, Harms et al. (2013) juga menyarankan adanya eksplorasi penelitian terhadap hubungan para prajurit dengan keluarga dan pernikahan, kepemimpinan, karakteristik kepribadian dan kegiatan pelatihan yang diikuti dalam kesatuan.

(19)

METODE Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu bentuk inkuiri sosial yang berfokus pada bagaimana individu memaknai atau memahami seluruh pengalaman mereka (Holloway, 1997, dalam Wahyuni, 2012), hal ini sesuai dengan tujuan peneliti mengungkap pengalaman emosi dan strategi regulasi emosi yang secara subjektif dialami oleh para partisipan.. Penelitian kualitatif melibatkan setting penelitian natural dan pengumpulan materi empiris yang mendeskripsikan peristiwa rutin dan problematis serta makna-makna dalam hidup individu (Denzin & Lincoln, 2004, dalam Wahyuni, 2012).

Partisipan

Penentuan partisipan dalam penelitian ini diawali dengan telaah dokumen data demografis prajurit Yon Armed 12 Ngawi serta dokumen deskripsi peran dan jabatan prajurit dalam kesatuan, kemudian menggunakan teknik snowball sampling dengan meminta informasi mengenai subjek yang tepat melalui Koordinator Sesi Anggota dan Organisasi Yon Armed 12 Ngawi.

Partisipan penelitian ini berjumlah 3 orang laki-laki, personil aktif Yon Armed 12 Ngawi yang minimal satu kali pernah diikutsertakan dalam penugasan pengamanan daerah rawan (pamrahwan). Berikut ini merupakan deskripsi partisipan secara umum:

PARTISIPAN 1 (P1)

PARTISIPAN 2 (P2)

PARTISIPAN 3 (P3) Pangkat

Sersan Mayor (Serma)

Prajurit Satu (Pratu)

Kopral Kepala (Kopka) Usia

42 tahun 26 tahun 48 tahun

Pendidikan terakhir

(20)

Status marital 18 tahun menikah

Lama menjadi prajurit 23 tahun 4 tahun 30 tahun

Jabatan dalam kesatuan Seksi Administrasi Markas

(21)

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan 4 metode yang diusulkan oleh Yin (2003, dalam Wahyuni, 2012) yaitu partisipasi peneliti dalam lingkungan penelitian secara langsung, observasi langsung, wawancara mendalam dan analisis dokumen atau materi yang relevan.

Pedoman wawancara dan observasi disusun berdasarkan teori proses pembentukan emosi serta jenis regulasi emosi yang dikemukakan oleh Gross dan Thompson (2007) sehingga penelitian ini akan berfokus pada situasi-situasi yang mendapatkan atensi subjek, proses appraisal, gambaran emosi serta kualitas dan intensitas yang muncul, serta bagaimana subjek memodulasi respons emosi. Pengumpulan data akan berfokus pada situasi dalam penugasan yang meliputi faktor-faktor risiko yang berpotensi menimbulkan pengalaman emosional seperti pengalaman perang, risiko cidera perang, lamanya penugasan dan berada jauh dari rumah, adanya multi penugasan dan hubungan rekan kerja dalam tim (Mental Health Advisory Team 5, 2008; Bliese & Castro, 2003, dalam Harms et al., 2013). Fokus penelitian juga meliputi situasi-situasi yang dihadapi partisipan dalam kehidupan sehari-hari seperti hubungan dengan keluarga, kehidupan pernikahan, hubungan dengan pemimpin dan rekan kerja. Berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut, berikut pedoman wawancara yang disusun:

FAKTOR STRES GAMBARAN RESPONS YANG INGIN DIKETAHUI

Pengalaman perang

Mengenai peristiwa dan pengalaman yang dialami partisipan ketika diikutsertakan dalam penugasan operasi militer atau perang

Risiko cidera perang

Mengenai pengalaman terluka atau cidera saat menjalankan penugasan operasi militer atau perang

Lama penugasan dan berada jauh dari rumah

Mengenai lamanya partisipan menjalankan penugasan operasi militer, meliputi pengamanan daerah rawan (pamrahwan) dan latihan tempur, serta pengalaman emosional yang dialami selama berada di lokasi penugasan yang membuat mereka terpisah dari keluarga dalam kurun waktu tertentu

(22)

Hubungan dengan rekan kerja dalam tim

Mengenai hubungan dan pengalaman interspersonal partisipan dengan rekan kerja sesama prajurit, baik dalam lingkup penugasan maupun di luar kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan

Bahaya fisik Mengenai peristiwa yang menurut partisipan mengancam

keselamatan atau kesehatan fisik serta pengalaman emosioal ketika menghadapi peristiwa tersebut

Tuntutan fisik Mengenai tuntutan untuk tetap dalam keadaan prima secara fisik sehingga dapat melaksanakan tugas dengan optimal

Menjadi sorotan masyarakat

Mengenai respons masyarakat di daerah penugasan pamrahwan dan latihan tempur serta di lingkungan sosial partisipan terhadap

kehadiran partisipan sebagai personil militer

Bertanggung-jawab atas

keselamatan orang lain

Mengenai pengalaman subjek ketika dituntut untuk

bertanggungjawab menentukan kondisi atau keselamatan rekan kerja atau orang lain, terutama dalam situasi bahaya atau mendesak

Kondisi penugasan Mengenai deskripsi daerah penugasan pamrahwan atau latihan tempur, meliputi deskripsi geografis maupun demografis masyarakat yang tinggal di daerah tersebut

Tabel 2. Pedoman Wawancara

Seluruh prosedur pengumpulan data dilakukan oleh peneliti di markas kesatuan Yon Armed 12 Ngawi sejak 14 Februari 2014 hingga 22 April 2015. Prosedur pengumpulan data meliputi wawancara dan observasi partisipan, serta melakukan telaah beberapa dokumen terkait data demografis, deskripsi peran dan jabatan, serta data keikutsertaan partisipan dalam penugasan pamrahwan.

Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan prosedur yang dikemukakan Miles dan Huberman (1984, dalam Sugiyono, 2008) yaitu dengan melakukan reduksi data, pemetaan data dan melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Berikut ini merupakan tabel indikator strategi regulasi emosi berdasarkan paparan teori Gross dan Thompson (2007) untuk menganalisis strategi regulasi emosi yang dikembangkan partisipan ketika merespons situasi-situasi stressful yang dihadapi sebagai prajurit:

STRATEGI BENTUK PERILAKU

Seleksi situasi, melibatkan beberapa tindakan dengan tujuan sampai pada situasi yang sekiranya menimbulkan emosi yang kita

Menghindari situasi yang dapat memicu munculnya emosi negatif

(23)

inginkan atau yang tidak kita inginkan berpotensi menimbulkan emosi positif Menyarankan atau mengondisikan orang lain berada pada situasi dengan tingkat stres tidak intens

Modifikasi situasi, melibatkan serangkaian tindakan untuk memodifikasi atau mengubah suatu situasi stressful menjadi suatu situasi dengan intensitas stres yang lebih kecil maupun yang lebih besar sehingga mencapai suatu kondisi emosi yang diinginkan.

Mengubah suatu situasi eksternal atau lingkungan fisik yang stressful

Mengekspresikan emosi yang sedang dialami

Penyebaran atensi distraksi, memperhatikan aspek selain emosi dalam situasi atau

mengalihkan perhatian dari situasi tersebut ke situasi yang lain.

Memperhatikan aspek lain dalam situasi Mengalihkan perhatian dari situasi stressful kepada situasi yang lain yang tidak memicu emosi yang tidak

diinginkan

Memanggil memori yang tidak konsisten dengan kondisi emosi yang tidak

diinginkan Penyebaran atensi konsentrasi, mengarahkan

atau memusatkan atensi pada aspek emosi dalam suatu situasi dengan tujuan mencapai suatu kondisi emosi tertentu.

Mengarahkan perhatian pada aspek emosi dalam suatu situasi

Melakukan penarikan atensi secara fisik Mengikuti pengalihan yang dilakukan orang lain

Perubahan kognitif, tindakan individu mengubah cara menilai situasi dengan tujuan mengubah tingkat pengaruh aspek

Mempersepsikan situasi sebagai hal yang dapat meningkatkan kualitas individu Modulasi respons, serangkaian tindakan

menyesuaikan respons fisiologis, pengalaman, serta perilaku seefektif dan seefisien mungkin sesuai dengan situasi setelah munculnya tendensi emosi Tabel 3. Indikator Strategi Regulasi Emosi HASIL PENELITIAN

(24)

atau perilaku regulasi emosi yang dikembangkan para partisipan ketika menghadapi situasi

A. KETIKA BERTUGAS DALAM PAMRAHWAN

A.1. Menerima

P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P2 & P3 : Penyebaran atensi konsentrasi terhadap perasaan bersemangat (excited) dan perasaan ingin tahu (curiosity) dengan membangun pemikiran bahwa dengan diikutsertakan dalam pamrahwan membuat pengalamannya sebagai tentara menjadi lengkap

A.2. Dituntut untuk selalu siap tempur dalam keadaan apapun

P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P2 & P3 :

 Modulasi respons suppression dan penyebaran atensi distraksi terhadap emosi jengkel dan cemas dengan menghambat atau menahan ekspresi emosi tersebut.  Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman

submission (kepatuhan terhadap pihak otoritas) A.3. Latihan tempur

pra penugasan pamrahwan

P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P2 : Penyebaran atensi konsentrasi terhadap kecemasan dengan memikirkan kemungkinan terjadinya kontak senjata selama pamrahwan berlangsung.

P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P1 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kecemasan dan kejenuhan, tindakan regulasinya berupa bepergian dan mengenal daerah penugasan.

P2 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kondisi fisik yang tidak nyaman dan kejenuhan karena perjalanan berhari-hari

dengan kapal laut, tindakan regulasinya berupa tidur dan bergurau bersama rekan-rekan sesama prajurit.

P3 :

Modifikasi situasi terhadap emosi cemas dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam perjalanan, tindakan regulasinya berupa melakukan serangkaian pengaturan pada situasi pekerjaan untuk mengurangi potensi terjadinya kecelakaan.

(25)

A.5. Masa awal berada di lokasi penugasan pamrahwan

P1 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kecemasan, tindakan regulasinya berupa bepergian dan mengenal daerah penugasan.

P2 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kejenuhan, tindakan regulasinya berupa bepergian dan mengenal daerah penugasan.

P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

Modifikasi situasi dengan mengupayakan hal-hal yang dapat diakses seperti komunikasi acak dengan penduduk sekitar menggunakan radio HT.

Regulasi emosi ekstrinsik dengan mengarahkan rekan-rekan satu kelompok pasukan untuk melakukan hal-hal

menyenangkan.

P2 : Cognitive reappraisal dengan mempertimbangkan banyak hal positif yang ia dapatkan selama berada di lokasi penugasan.

P3 :

 Penyebaran atensi distraksi dengan mengalihkan atensi dari kejenuhan kepada kegiatan lain yang berpotensi meredakan intensitas kejenuhan dengan beraktivitas bersama penduduk sekitar.

Seleksi situasi dengan membantu penduduk sekitar menyeberangkan kapal ikan ke pulau lain di luar lokasi penugasan.

Seleksi situasi terhadap emosi antisipasi dan kecemasan dengan tindakan tetap tinggal di pos komando yang letaknya jauh dari titik terjadinya kerusuhan.

Modifikasi situasi dengan membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar untuk meregulasi kekecewaan yang disebabkan penolakan dari penduduk sekitar terhadap kehadiran personil militer.

P2 :

Cognitive reappraisal dengan membangun pemikiran bahwa ia mampu menemukan solusi untuk mengatasi situasi

konflik yang mengancam keselamatannya sebagai regulasi terhadap perasaan bingung, terkejut, panik dan cemas. Mengembangkan strategi problem-focused coping. P3 :

Modulasi respons suppression untuk menahan munculnya ekspresi emosi marah sehinggga tidak muncul dalam perilaku agresif.

(26)

A.8. Mengalami kecelakaan dalam perjalanan dinas

P1 & P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P3 :

Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman emosi panik dan cemas terhadap konsep keyakinan religius yang dimiliki, mencirikan adanya strategi emotion-focused coping.

Modifikasi situasi dengan segera melakukan perbaikan kendaraan yang mengalami kecelakaan, mencirikan problem-focused coping.

Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi emosi sedih dan menahan dorongan untuk berkomunikasi via telepon.

Penyebaran atensi distraksi dengan bepergian dan beraktivitas bersama masyarakat sekitar lokasi.

Reappraisal terhadap emosi cemas dengan berpikir bahwa ada banyak pihak yang merawat keluarganya selama ia bertugas.

Modifikasi situasi untuk mempertahankan emosi positif yang muncul karena adanya kesempatan berkomunikasi dengan keluarga melalui tindakan beberapa kali surat-menyurat dan berkirim foto.

P2 :

Penyebaran atensi distraksi dengan beraktivitas bersama masyarakat sekitar lokasi penugasan.

Reappraisal dengan mempertimbangkan kondisi di lokasi penugasan yang lebih senggang dibandingkan dengan rutinitas di markas kesatuan, status maritalnya yang belum menikah, dan respons keluarga yang tidak terlalu

mencemaskan kepergiannya bertugas di daerah rawan, serta interaksi dengan masyarakat di lokasi penugasan yang semakin membaik.

P3 :

Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman emosi sedih, takut dan cemas kepada emosi submission.

Penyebaran atensi distraksi dengan berdansa dan minum minuman beralkohol di diskotik yang tersedia di lokasi penugasan, kemudian tidur.

Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kecemasan dan ketakutan melalui percakapan via telepon kepada istrinya. Penyebaran atensi konsentrasi terhadap tendensi emosi

(27)

A.10. Jadwal

Penyebaran atensi distraksi terhadap perasaan kecewa, frustrasi dan jenuh, dengan bepergian dan beraktivitas bersama rekan-rekan sesama prajurit dan penduduk sekitar. Regulasi emosi ekstrinsik dengan mengondisikan

rekan-rekannya terlibat dalam kegiatan yang berpotensi

menimbulkan emosi positif karena subjek menyadari bahwa rekan-rekannya juga mengalami emosi negatif yang

cenderung sama dengannya.

P2 & P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P1 : Reappraisal terhadap tendensi emosi sedih dan perasaan berat hati dengan mengubah makna perjalanan pulang yang tadinya dipersepsi sebagai perpisahan menjadi situasi yang dimaknai sebagai pertemuan yang lebih cepat dengan keluarga yang sudah ditinggalkan.

P2 : Modifikasi situasi dengan mengungkapkan secara verbal kesedihan yang dirasakan kepada rekan-rekan sesama prajurit yang juga menceritakan perasaan serupa selama perjalanan pulang ke markas kesatuan.

P3 :

Penyebaran atensi konsentrasi terhadap emosi lega dan antusias yang muncul karena akan segera bertemu dengan keluarga.

Modulasi respons terhadap emosi lega dan antusias dengan berulang kali membicarakan tentang kepulangannya baik kepada keluarga yang akan ditemuinya maupun terhadap keluarga di lokasi penugasan yang sudah akrab dengannya selama penugasan berlangsung.

A.12 Berada kembali di dalam markas kesatuan

P1 :

Modulasi respons pada aspek fisik dengan mengistirahatkan tubuh sehingga intensitas emosi positif tetap dipertahankan dan menjadi lebih tinggi.

Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman emosi positif yang dialami selama penugasan pamrahwan untuk meregulasi perasaan asing dan kebingungan ketika beradaptasi kembali dengan suasana markas kesatuan. P2 : Seleksi situasi untuk meningkatkan intensitas emosi lega dan

senang yang dirasakan dengan bertemu dengan orang tua dan menceritakan pengalaman yang menyenangkan selama ikut serta dalam penugasan.

P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

KETIKA BERTUGAS DALAM LATIHAN TEMPUR B.1. Menerima

pemberitahuan bahwa subjek akan diikutsertakan

P1, P2 & P3:

(28)

dalam latihan tempur

Seleksi situasi dengan mempersiapkan segala perlengkapan latihan tempur dengan sebaik mungkin B.2. Menempuh

P1 & P2 : Penyebaran atensi distraksi dengan tidur, bercanda dengan rekan-rekan sesama prajurit dan memperhatikan pemandangan selama perjalanan untuk mengurangi intensitas kejenuhan.

P3 :

Modulasi respons suppression untuk menahan munculnya ekspresi kemarahan terhadap rekan kerja yang dinilainya kurang bertanggungjawab sehingga tidak bisa menangani masalah pada kendaraan dinas.

Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahan melalui tindakan memukul maupun memaki rekan kerja yang dinilainya kurang bertanggungjawab, ketika subjek tidak mampu menahan emosi yang sangat intens.

B.3. Mengikuti latihan

P1 : Perubahan kognitif reappraisal terhadap kecemasan akan kegagalan yang dialami dalam membidik dengan

membangun pemikiran bahwa kecemasan yang ia alami dapat menurunkan ketelitiannya dan mempertimbangkan bahwa ia mampu menyelesaikan tugasnya dan terdapat rekan-rekannya yang dapat dengan baik mendukung penyelesaian tugasnya.

P2 :

Modulasi respons suppression dengan menunda munculnya ekspresi emosi delight yang muncul dari keterkejutan dan kesenangan ketika berhasil

menyelesaikan tugas.

Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman delight terhadap penyelesaian tugas yang diharapkan. P3 :

Modulasi respons suppression dengan menahan ekspresi cemas

Penyebaran atensi distraksi pengalaman cemas terhadap kesadaran mengenai nilai-nilai kesiapan dan kesiagaan seorang prajurit.

Penyebaran atensi konsentrasi dengan tujuan memperbesar intensitas pengalaman emosi bangga akan kemampuannya dan excited terhadap jalannya prosesi menembak .

B.4. Kelelahan fisik selama

menjalankan tugas dan tuntutan untuk selalu waspada

P1 & P2 : Penyebaran atensi distraksi dari tendensi kemarahan yang sangat intens terhadap situasi penugasan yang baru dan jarang mereka peroleh dan terhadap kesempatan untuk bergurau dengan rekan-rekan yang mengaku mengalami emosi yang sama.

(29)

C. KETIKA MENJALANKAN RUTINITAS HARIAN

Penyebaran atensi distraksi terhadap pengalaman jenuh yang disebabkan oleh pekerjaan dengan sejenak berjalan-jalan di sekitar kantor atau berinteraksi dengan rekan-rekan sesama prajurit yang bekerja di seksi lain.

Seleksi situasi terhadap kecemasan yang disebabkan oleh peran subjek untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan kesejahteraan para personil kesatuan.

P2 :

Modulasi respons suppression terhadap pengalaman jenuh dan burnout dengan menghambat munculnya ekspresi emosi tersebut.

Modifikasi situasi dengan mempersiapkan kondisi tubuh agar selalu siap menghadapi rutinitas harian.

P3 :

Modulasi respons suppression terhadap emosi negatif yang disebabkan oleh beban kerja yang berlebih dari yang seharusnya.

Penyebaran atensi distraksi terhadap emosi negatif karena pengalaman overload sehingga memungkinkan subjek lebih berfokus pada tugas yang harus ia selesaikan.

Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahannya melalui tindakan memaki atau membentak terhadap rekan atau atasan yang dianggapnya menghambat atau mencela hasil kerja kerasnya.

Perubahan kognitif reappraisal terhadap pengalaman cemas ketika melaksanakan tugas dengan kondisi kendaraan cacat dengan membangun pemikiran bahwa ia tidak perlu

mencemaskan persoalan hidup dan mati karena semua sudah diatur oleh Tuhan.

P1, P2 & P3: Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman emosi senang, excited dan tertantang dengan terus menerus melakukan pengulangan aktivitas tersebut dan memusatkan perhatian terhadap pengalaman emosi yang diperoleh.

C.3. Kemampuan fisik mulai menurun

P1 & P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut

P3 : Penyebaran atensi distraksi dari emosi sedih, kecewa dan frustrasi terhadap menurunnya kemampuan fisiknya, mengalihkannya kepada pengalaman bangga dan excited terhadap kemampuannya menembak yang dinilainya masih sangat baik dibanding dengan rekan-rekan seusianya. C.4. Relasi

interpersonal dengan

rekan-P1 :

(30)

rekan kerja pekerjaan yang harus diselesaikan selama berada di markas. Modifikasi situasi dengan mengarahkan rekan-rekan yang

dipimpinnya agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik mungkin.

P2 :

Modulasi respons suppression dengan menunda munculnya ekspresi emosi jengkel ketika bekerja bersama rekan satu tim dalam kondisi yang tegang dan penuh tekanan.

Penyebaran atensi konsentrasi dengan memusatkan perhatian sebesar-besarnya terhadap pengalaman emosi nyaman dan gembira yang diperoleh dari interaksi dengan rekan-rekan. P3 :

Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahan jika rekan-rekannya tidak bekerja dengan baik dan mengarahkan mereka agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik mungkin.

Perubahan kognitif reappraisal untuk meregulasi perasaan lelah baik fisik maupun emosional ketika ia banyak dimintai bantuan oleh rekan-rekan sesama prajurit dengan

mengembangkan pemikiran bahwa ia memang

bertanggungjawab untuk menolong rekannya dan mampu melakukan hal itu.

C.5. Penghasilan yang diterima sebagai prajurit

P1 :

Modulasi respons suppression dengan mengembangkan sikap legowo, menerima dengan ikhlas tanpa mengajukan protes ketika mengalami emosi kecewa terhadap penghasilan yang belum cukup mengapresiasi beban kerja yang dilaksanakan selama ini.

Perubahan kognitif reappraisal dengan bentuk downward social comparison yang muncul dalam tindakan menilai kondisi keuangan keluarga yang sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi yang serba

berkekurangan pada masa awal pernikahan.

Seleksi situasi dengan pengelolaan keuangan sebaik-baiknya dan mengupayakan sejumlah usaha untuk menambah

penghasilan.

P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut P3 :

Perubahan kognitif reappraisal dengan bentuk downward social comparison yang muncul dalam tindakan menilai kondisi keuangan keluarga yang sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi yang serba

berkekurangan pada masa awal pernikahan.

Seleksi situasi dengan pengelolaan keuangan sebaik-baiknya dan mengupayakan sejumlah usaha untuk menambah

(31)

perjalanan karir sebagai tentara

Modulasi respons terhadap tuntutan, beban pekerjaan dan tanggung jawab yang dirasanya semakin lama semakin berat dengan terus-menerus mengasah dan meningkatkan

kemampuan sesuai dengan tuntutan pekerjaan tersebut. Mempertahankan intensitas emosi bangga terhadap

profesinya sebagai tentara yang juga mendapat penilaian positif dan apresiasi dari lingkungan sosialnya.

P2 :

Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi kejengkelan, kekecewaan, dan kejenuhan yang muncul bersamaan dengan pengalaman submission yang disebabkan oleh kewajibannya untuk selalu berada di bawah aturan yang bersifat sangat mengikat dan kekuasaan pihak senior.

Penyebaran atensi distraksi dengan mengalihkan perhatian dari emosi jengkel, kecewa dan jenuh kepada penyelesaian tugas yang harus dicapai.

P3 :

Penyebaran atensi konsentrasi dengan memfokuskan

perhatian kepada emosi bangga, senang, excited, termotivasi pada keberhasilan dan bangga terhadap profesinya sebagai tentara kemudian mengarahkan emosi tersebut sebagai dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan tugas.

Seleksi situasi dengan tidak mengikuti ujian kenaikan pangkat karena pangkat sebagai Kopral dinilainya dapat memberikan kekuasaan yang lebih besar.

Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi kesedihan yang sangat intens yang timbul ketika subjek menyadari bahwa selama ia menjalani profesinya sebagai prajurit, sangat sedikit kesempatan yang ia miliki untuk bersama keluarga.

Perubahan kognitif reappraisal untuk meredam

kekhawatirannya terhadap perubahan perilaku anaknya dengan memahami kondisi psikologis anaknya yang memasuki masa remaja dan mengevaluasi berbagai cara untuk mengarahkan anaknya melakukan hal-hal yang dianggap baik

Seleksi situasi dan penyebaran atensi konsentrasi dengan berada dalam lingkungan keluarga yang menimbulkan perasaan nyaman, bangga dan gembira.

P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut P3 :

Modifikasi situasi dengan mengekspresikan emosi senang, gembira dan penuh harapan melalui perilaku yang penuh kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya setiap kali memiliki kesempatan untuk berinteraksi.

(32)

tindakan agresif dan ekspresi kemarahan ketika menghadapi konflik dengan anggota keluarga.

Seleksi situasi ketika menghadapi konflik, dengan

meninggalkan rumah sejenak, merokok dan meminum kopi di tempat lain kemudian kembali ke rumah untuk membicarakan masalah dengan tenang.

Tabel 4. Deskripsi Strategi Regulasi Emosi Partisipan PEMBAHASAN

Ketiga partisipan dalam penelitian ini, Serma, Pratu dan Kopka, menghadapi situasi-situasi stressful dalam penugasan daerah rawan (pamrahwan), latihan tempur, dan rutinitas kerja harian dalam markas kesatuan. Dalam “Peran, Fungsi, dan Tugas” (t.t) dipaparkan bahwa personil militer dituntut untuk bertanggungjawab penuh dalam lingkup penugasan yang meliputi operasi militer perang maupun operasi militer selain perang untuk mengatasi ancaman keamanan dalam negeri. Didukung dengan pemaparan Harms et al. (2013) dan Kensing (2014) mengenai faktor-faktor penyebab stres personil militer, dapat disimpulkan bahwa berada dalam situasi penugasan pamrahwan merupakan domain paling stressful yang dialami oleh para partisipan.

Setiap situasi stressful memunculkan respons emosional masing-masing partisipan. Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa emosi muncul ketika individu berada dalam situasi yang dimaknai relevan dengan tujuannya. Gross dan Thompson menambahkan bahwa emosi yang terlalu intens dapat menginterupsi individu dalam pencapaian tujuan, oleh sebab itu individu melakukan serangkaian strategi regulasi emosi sehingga dapat mengatasi kondisi emosional yang muncul sebagai respons situasi stressful sehingga mereka dapat mencapai tujuan keberhasilan melaksanakan tugas.

(33)

partisipan tidak melaporkan adanya pengalaman emosi pada situasi tertentu. Ketika menerima pemberitahuan mengenai keikutsertaannya dalam pamrahwan (A.1) dan terhadap tuntutan untuk selalu siap tempur (A.2.), Serma (P1) tidak melaporkan adanya pengalaman emosi. Serma tidak memandang kedua situasi tersebut stressful karena kedudukannya pada seksi administrasi dalam situasi penugasan tersebut yang memperkecil kemungkinannya akan mengalami kontak senjata di lapangan.

Pada situasi stressful ketiga dalam domain penugasan pamrahwan (A.3.), ketika partisipan mengikuti latihan tempur pra-penugasan yang memberikan gambaran kepada para prajurit akan adanya kontak senjata antar-orang di lokasi pamrahwan, hanya Pratu (P2) yang memaparkan kecemasan yang kemudian diregulasi dengan strategi konsentrasi agar ia menjadi fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kontak senjata di lokasi penugasan. Ellsworth dan Scherer (2003) menjelaskan bahwa kecemasan dapat muncul sebagai hasil persepsi situasi yang dibayangkan. Borkovec et al. (1995, dalam Gross & Thompson, 2007) mengemukakan bahwa ketika atensi difokuskan pada kemungkinan adanya hambatan yang akan dialami individu pada masa mendatang, kecemasan dengan intensitas rendah akan meningkat, tetapi akan menurunkan intensitas respons emosional negatif. Terhadap situasi stressful ini, Serma dan Kopka (P3) tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi stressful dalam latihan pra-penugasan karena mengaku sudah tidak mengingat kondisi latihan tersebut.

(34)

Kopka lebih sering menghadapi situasi penugasan yang baru. Berdasarkan respons partisipan ketiga dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa lamanya prajurit bertugas dengan beragam kegiatan pelatihan dan frekuensi berada di situasi penugasan akan membuat prajurit menjadi terbiasa ketika berada di lingkungan yang baru.

Pengalaman Kopka dalam penelitian ini menjadi menarik karena meskipun ia mengaku terbiasa dan menjadi lebih mudah serta tenang ketika beradaptasi dengan lingkungan penugasan pamrahwan, namun ia justru lebih banyak melaporkan pengalaman afek negatif seperti kemarahan yang intens dan perilaku agresif sebagai strategi regulasi emosi, baik dalam domain penugasan pamrahwan dan latihan tempur, maupun dalam domain rutinitas harian (A.7., B.2., C.4. dan C.7.). Diener et al., (2006, dalam Harms et al., 2013) mengemukakan bahwa stressor akan terus-menerus muncul serta mengalami perubahan dan individu tidak akan pernah menjadi sepenuhnya terbiasa terhadap stressor tersebut. Harms et al. juga menambahkan bahwa semakin lama personil militer berada dalam penugasan, akan semakin besar potensi mereka mengalami masalah emosi atau perilaku. Berdasarkan temuan dan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa frekuensi diikutsertakan dalam berbagai macam penugasan militer dapat membantu kemampuan prajurit beradaptasi dalam situasi penugasan tetapi lamanya mereka berada di lokasi tersebut dengan paparan kondisi stressful yang dialami, justru berpotensi menyebabkan terjadinya masalah emosi atau perilaku prajurit.

(35)

potensi terjadinya problem emosi dan perilaku di kemudian hari. Kembali pada pendapat Gross dan Thompson (2007) mengenai terjadinya pengalaman emosi, intensitas emosi yang dialami individu, dalam hal ini para prajurit, ditentukan oleh pemaknaan mereka ketika menghadapi konflik bersenjata atau pertempuran di lokasi penugasan. Pendapat-pendapat tersebut kemudian dapat menjelaskan bahwa intensitas pengalaman emosional dan strategi regulasi emosi yang dikembangkan ketiga subjek ketika menghadapi kerusuhan, kekacauan, atau konflik bersenjata (A.7.) yang merupakan situasi paling khas dalam penugasan pamrahwan, berdampak pada muncul tidaknya permasalahan emosi dan perilaku.

(36)

Dalam menghadapi situasi stressful yang menuntut adanya respons dengan segera dan berani seperti pecahnya konflik bersenjata yang dihadapi Pratu, prajurit perlu mengembangkan self-efficacy yang dijelaskan Bandura (1986, dalam Halonen & Santrock, 1999) sebagai keyakinan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengatasi suatu situasi dan berhasil positif. Cervon dan Scott (1995, dalam Watson & Tharp, 2007) mengemukakan bahwa self-efficacy mendorong individu untuk meyakini kemampuannya bahkan secara irasional, hal ini penting dimiliki individu karena dalam kondisi emosi yang normal, individu dapat menjadi sangat percaya diri akan kemampuannya, tetapi dalam kondisi stressful muncul keraguan (self-doubt) yang lebih kuat dan menghambat individu menunjukkan kinerja terbaiknya. Self-efficacy juga dikembangkan partisipan pertama, Serma (P1), ketika menjalankan tugas hariannya sebagai staf administrasi (B.1.), ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik meskipun seringkali mengalami kejenuhan karena meyakini bahwa ia memiliki keterampilan melakukan pekerjaan kantor serta karakter penyabar yang sangat sesuai dan menunjang pekerjaannya tersebut. Berdasarkan pengalaman kedua partisipan tersebut, dapat diketahui bahwa self-efficacy merupakan salah satu kualitas personal yang dapat berfungsi sebagai protektor yang dapat meredakan dampak situasi stressful yang dihadapi oleh para prajurit. Salah satu penentu self-efficacy dan kemampuan mengembangkan strategi problem-focused coping prajurit adalah efektivitas pelatihan kesiapan prajurit untuk menghadapi faktor-faktor stres yang ditemui dalam penugasan (Harms et al., 2013).

(37)

provokasi berpotensi sangat tinggi untuk memicu adanya ledakan emosi dalam bentuk perilaku agresi. Baron dan Byrne (2005) mencatat bahwa provokasi, yaitu tindakan yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima yang dipersepsi berasal dari maksud jahat, akan menghasilkan adanya agresi secara langsung, karena terhadap provokasi langsung, individu jarang mengalah. Penjelasan lebih lanjut, terhadap provokasi, individu cenderung akan membalas dengan memberikan agresi sebanyak yang diterima atau mungkin sedikit lebih banyak (Chermack, et al., 1997; Ohbuchi & Kambara, 1985; dalam Baron dan Byrne, 2005). Namun, karena mempertimbangkan statusnya sebagai prajurit yang berkewajiban untuk menciptakan situasi aman dan tidak diperbolehkan memihak, Kopka melakukan strategi regulasi emosi supresi, yaitu menghambat ekspresi kemarahannya. Hal ini membuat Kopka membatalkan perilaku agresif terhadap pihak yang memicu kemarahan. Tetapi, strategi regulasi emosi supresi tidak mmbantu mengurangi pengalaman emosi negatif, sehingga kemarahan yang dialami individu tidak terselesaikan dan justru terakumulasi hingga pada tahap intensitas yang cukup tinggi (Gross & John, 2003). Di samping itu, Frijda (1986, dalam Gross & Thompson, 2007) mengemukakan bahwa emosi memiliki kualitas imperatif yang dapat mengambil alih kesadaran akan norma-norma sosial sehingga bisa memicu individu melakukan suatu perilaku abnormal. Pendapat-pendapat tersebut kemudian menjelaskan bagaimana proses regulasi emosi Kopka berujung pada keputusan untuk melakukan pemukulan dan penculikan pelaku pembakaran gereja. Gross dan John (2007) menjelaskan perilaku tersebut dengan pendekatan “throwing everything you’ve got at it”, yang melihat bahwa pada suatu tahap intensitas emosi tertentu, individu

akan mengekspresikan emosi tersebut sebanyak atau sebesar mungkin.

(38)

C.4., C.7.) dan mengonsumsi minuman beralkohol (A.9.) sebagai bentuk strategi regulasi emosi. Selain intensitas pengalaman emosional para prajurit di dalam penugasan, penugasan berganda juga berdampak signifikan meningkatkan potensi terjadinya permasalahan emosi dan perilaku prajurit (Mental Health Advisory Team 5, 2008; Bliese & Castro, 2003, dalam Harms et al., 2013). Semakin banyak tugas dan tuntutan yang harus dilakukan oleh prajurit maka semakin banyak pula stressor yang dihadapi dan semakin besar pula potensi prajurit mengalami permasalahan emosi dan perilaku. Dalam Tabel 4 dapat diketahui bahwa Kopka mengalami lebih banyak situasi stressful dibandingkan dengan kedua partisipan lain. Situasi stressful pertama yang dihadapi hanya oleh Kopka adalah pengalaman kecelakaan dalam perjalanan di medan yang terjal dan curam dengan risiko terjadi kerusuhan di tengah perjalanan dalam lingkup penugasan pamrahwan (A.8.). Situasi stressful kedua, Kopka lebih sering melaporkan pengalaman kelelahan karena selain harus melaksanakan tugas pengamanan, operasi militer, dan pengoperasian senjata dalam latihan tempur, Kopka juga bertanggungjawab untuk mengemudi dan memastikan kondisi kendaraan dinas selalu siap dan baik untuk digunakan (A.4., B.2.). Situasi-situasi stressful tersebut menimbulkan kondisi emosi yang lebih intens dan mengakibatkan munculnya perilaku agresif sebagai suatu bentuk modifikasi situasi. Kopka melaporkan bahwa jika ia terus menerus menahan kemarahannya, maka ia akan merasakan rasa tegang pada leher sakit kepala yang akan meningkatkan intensitas emosi negatifnya sehingga ia merasa perlu untuk mengekspresikan kemarahannya. Halgin dan Whitbourne (2010) mencatat bahwa kesakitan fisik juga merupakan distres yang jika intensitasnya menjadi sangat tinggi dapat mengakibatkan individu sulit berfungsi.

(39)

kemampuan fisik merupakan hal yang sangat vital dalam melaksanakan tugas-tugas keprajuritan. Kopka menyadari kemampuan fisiknya semakin menurun mulai sepuluh tahun terakhir dan kondisi tersebut membuatnya merasa sedih, kecewa serta frustrasi karena mengakibatkan adanya hambatan untuk mencapai hasil terbaik dalam kegiatan fisik seperti lari. Kedua partisipan lain tidak melaporkan pengalaman emosi dalam situasi ini, karena Serma kurang dituntut untuk melakukan kegiatan-kegiatan fisik dan lebih banyak mengerjakan pekerjaan administratif yang lebih mengandalkan keterampilan tulis-menulis, sedangkan Pratu yang masih berusia 26 tahun memiliki kemampuan fisik yang sangat prima. Harms et al. (2013) mencatat bahwa berkurangnya kemampuan fisik juga dapat timbul sebagai akibat dari pengalaman stressful yang dialami prajurit selama penugasan, akibat ini juga bisa menjadi suatu situasi stressful baru yang harus dihadapi prajurit seperti pengalaman Kopka menghadapi kemampuan fisiknya yang menurun karena disebabkan faktor usia.

(40)

markas kesatuan, melainkan juga dalam rutinitas hariannya karena Kopka menjalani long distance marriage (C.6.). Kehidupan pernikahan dan keluarga Kopka terbilang kurang suportif karena partisipan ketiga ini kurang terlibat aktif dengan aktivitas keluarganya. Kurang berfungsinya kehidupan keluarga sebagai faktor protektif menyebabkan situasi stressful yang dialami Kopka menjadi lebih intens sehingga lebih berpotensi melakukan perilaku atau tindakan maladaptif seperti bertindak agresif (A.7., B.2., C.4., C.7.) dan mengonsumsi minuman beralkohol (A.9.). Serma (P1) berada dalam lingkungan keluarga yang suportif sedangkan Pratu (P2) terbilang lebih lekat dan mengalami pengalaman positif dengan rekan-rekan sesama prajurit (C.4.) sehingga berada jauh dari kedua orang tuanya tidak menimbulkan pengalaman emosi negatif yang stressful. Dari pengalaman Pratu juga dapat dilihat bahwa lingkungan yang suportif dapat diperoleh prajurit dari interaksi dengan rekan-rekan kerja, dengan terlibat secara aktif dalam aktivitas dan interaksi yang positif.

(41)

menciptakan suatu kondisi yang tidak aman, perilakunya kemudian dinilai maladaptif karena tidak sesuai dengan tanggung jawabnya sebagai personil militer. Sebagai personil militer, ketika melakukan strategi regulasi emosi, individu tidak hanya perlu memperhatikan tercapainya kondisi emosi yang diinginkan, tetapi juga selektif dalam memilih ekspresi perilaku. Dalam situasi ini, Serma (P1) mengembangkan seleksi dan modifikasi situasi, sedangkan Pratu (P2) melakukan cognitive reappraisal dan problem-focused coping. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih strategi regulasi emosi, akan lebih efektif dan berdampak positif apabila para prajurit mengembangkan strategi kognitif dan melakukan banyak pertimbangan (appraisal dan evaluasi situasi). Kemampuan intelektual dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dengan segera sangat berpengaruh dalam hal ini, para personil dapat mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan efektif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berikut adalah kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian mengenai regulasi emosi personil Yon Armed 12 Ngawi:

1. Terdapat tiga domain utama dalam kehidupan partisipan sebagai personil Yon Armed 12 Ngawi dengan situasi-situasi stressful sebagai berikut:

(42)

kepulangan dari lokasi penugasan, meninggalkan lokasi penugasan, dan kembali berada dalam markas kesatuan.

b. Diikutsertakan dalam latihan tempur dengan situasi stressful meliputi menerima pemberitahuan keikutsertaan dalam latihan tempur, perjalanan dari markas kesatuan menuju lokasi latihan tempur, mengoperasikan senjata sebenarnya dalam latihan tempur, dan kelelahan fisik.

c. Menjalankan rutinitas harian dengan situasi stressful meliputi menjalankan rutinitas tugas harian internal markas kesatuan, berolahraga secara teratur bersama rekan-rekan kerja, mengalami penurunan kemampuan fisik, relasi interpersonal dengan rekan kerja dan anggota keluarga, ketidakpuasan terhadap penghasilan yang diterima serta menilai keseluruhan perjalanan karir sebagai prajurit.

2. Ketika menghadapi situasi stressful yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai, para partisipan mengalami pengalaman emosional.

3. Para partisipan mengembangkan strategi regulasi emosi meliputi seleksi situasi, modifikasi situasi, penyebaran atensi distraksi dan konsentrasi, reappraisal dan modulasi respons suppression dan fisik dengan tujuan utama ialah untuk mencapai suatu kondisi emosi yang mendukung subjek untuk mencapai tujuannya.

4. Strategi-strategi regulasi emosi dikembangkan terus menerus seperti gerakan sirkular, karena setelah partisipan mengembangkan suatu strategi, terbentuk suatu situasi baru yang bersifat stressful, menciptakan pengalaman emosi, dan menuntut partisipan untuk melakukan regulasi emosi kembali.

(43)

situasi yang diharapkan dapat menciptakan kondisi emosi yang diinginkan atau tidak diinginkan.

6. Terdapat faktor-faktor yang berfungsi mengurangi dampak situasi stressful dan meningkatkan efektivitas strategi regulasi emosi serta meminimalisir potensi ekspresi emosi yang maladaptif. Faktor-faktor yang sebaiknya dikembangkan atau dimiliki oleh para prajurit adalah

a. Keterampilan mengembangkan strategi problem-focused coping b. Self-efficacy

c. Pelatihan efektif mengenai pelaksanaan penugasan, terutama pamrahwan, termasuk pemaparan informasi lengkap mengenai lokasi dan situasi penugasan sebelum prajurit diikutsertakan dalam penugasan tersebut.

d. Relasi pernikahan, keluarga dan relasi interpersonal dengan rekan-rekan seprofesi (terutama internal dalam kesatuan/batalyon) yang positif dan suportif. Relasi para prajurit dengan lingkungan sosialnya disebut suportif apabila dalam lingkungan tersebut, prajurit sebagai individu dapat terlibat secara aktif dalam setiap aktivitas dan interaksi yang positif.

(44)

8. Salah satu hal unik yang muncul dalam penelitian ini adalah ketiga partisipan mengembangkan perilaku merokok serta mengonsumsi kafein dan sesekali alkohol sebagai bentuk distraksi pada beberapa situasi stressful.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak terkait, yaitu:

1. Bagi partisipan

a. Partisipan dapat memahami emosi-emosi yang dialami dan mempelajari strategi regulasi yang sesuai sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam menyelesaikan dengan baik tugas-tugas sebagai personil militer.

b. Partisipan dapat mengembangkan keterampilan melakukan strategi problem-focused coping, self-efficacy, mengikuti pelatihan pra-penugasan dengan penuh perhatian, serta memiliki relasi yang positif dan suportif dengan keluarga dan rekan-rekan kerja dalam kesatuan.

2. Bagi keluarga partisipan, anggota keluarga perlu memberikan respons suportif dan simpatis ketika personil militer sedang menghadapi situasi stressful serta mengupayakan relasi interpersonal yang positif dan meminimalisir stressor dalam aktivitas keluarga.

3. Bagi instansi militer, terutama Yon Armed 12 Ngawi

a. Instansi perlu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan mental para personil terutama menjelang, saat ditugaskan dan setelah ditugaskan dalam operasi militer seperti tempur atau pengamanan daerah rawan.

(45)

c. Instansi perlu memfasilitasi pelatihan untuk meningkatkan keterampilan para personil dalam mengenali emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi dalam situasi stressful. Berdasarkan penelitian ini, olahraga dapat menjadi salah satu media yang dapat digunakan untuk pelatihan regulasi emosi

d. Instansi perlu memfasilitasi pelatihan untuk meningkatkan fleksibilitas koping terhadap stres dan self-efficacy para prajurit.

e. Instansi perlu memfasilitasi pelatihan bagi keluarga personil supaya dapat turut andil memberikan dukungan suportif dan simpatis untuk membantu personil meregulasi emosi dalam kondisi stressful.

4. Bagi penelitian selanjutnya

a. Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya mengenai emosi dan regulasi emosi personil militer dilakukan pada saat partisipan mengalami situasi stressful atau sesegera mungkin setelah partisipan mengalami situasi tersebut, hal ini dilakukan untuk meminimalisir degradasi akurasi emosi dan proses regulasi emosi yang dikembangkan.

b. Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi personil militer dalam mengembangkan regulasi emosi. Salah satu variabel yang sangat direkomendasikan adalah self-efficacy prajurit.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A. & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial edisi kesepuluh jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Diharjo, M. K. (2008). Sumber-sumber konflik di maluku utara (1999-2004). Tersedia di https://mantrikarno.wordpress.com/2008/06/25/sumber-sumber-konflik-di-maluku-utara-1999-2004/ pada 6 April 2015.

Ellsworth, P. C. & Scherer, K. R. (2003). Appraisal processes in emotion. In R. J. Davidson, K. R. Scherer, & H. Goldsmith (Eds.), Handbook of the affective sciences (pp. 572-595). New York: Oxford University Press.

Gross, J. J. & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 348-362.

Gross, J. J. & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation conceptual foundation. In J. J. Gross (Ed.). Handbook of emotion regulation (pp.3-24). New York: Guilford Press. Halgin, R. P. & Whitbourne, S. K. (2010). Psikologi abnormal perspektif klinis pada

gangguan psikologis edisi 6 buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Halonen, J. S. & Santrock, J. W. (1999). Psychology contexts and application third edition. New York: McGraw-Hill.

Harms, P. D., Krasikova, D. V., Vanhoe, A. J., Herian, M. N., & Lester, P. B. (2013). Stress and emotionan well-being in military organizations. The Role of Emotion and Emotion Regulation in Job Stress and Well Being, Research in Occupational Stress and Well Being, 11, 103-132.

Joniansyah. (2013, 2 Desember). Depresi, brigadir jailani hajar warga. Tempo. Tersedia di http://www.tempo.co/read/news/2013/12/02/064533929/Depresi-Brigadir-Jailani-Hajar-Warga pada 17 Maret 2014.

Kensing, K. (2014). The most stressful jobs of 2014. Careercast. Retrieved January 11, 2014 from http://www.careercast.com/jobs-rated/most-stressful-jobs-2014

Lane, A. M., Bucknall, G., Davis, P. A., & Beedie, C. J. (2012). Emotion and emotion regulation among novice military parachutists. Military Psychology, 24, 331-345. Mambor, V. (2010, 19 Juli). Puluhan kasus KDRT di jayapura libatkan anggota

TNI-POLRI. Tabloid Jubi. Tersedia di http://tabloidjubi.com/2010/07/19/puluhan-kasus-kdrt-di-jayapura-libatkan-anggota-tni-polri/ pada 26 Maret 2014.

(47)

Peran, fungsi dan tugas. (t.t). Tentara Nasional Indonesia. Tersedia di http://tni.mil.id/pages-2-peran-fungsi-dan-tugas.html pada tanggal 11 Februari 2014.

Pourmohamadreza-Tajrishi, M., Azadafallah, P., Hemmati-Garakani, S., Bakhshi, E. (2015). The effect of problem-focused coping strategy training on psychological symptoms of mothers of children with down syndrome. Iran J Public Health, 44, 2, 254-262.

Rahayuningsih, E. (2013). Perilaku agresi verbal pada pria dewasa awal dengan pendekatan pola asuh. (Jurnal tidak diterbitkan). Tersedia di: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=123265&val=5545 pada 20 Mei 2015.

Rofiuddin. (2013, 14 April). Perwira polisi dilaporkan pacarnya. Tempo. Tersedia di http://www.tempo.co/read/news/2013/04/14/058473277/Perwira-Polisi-Dilaporkan-Pacarnya pada 17 Maret 2014.

Sarwono, S. W. (2002). Teori-teori psikologi sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Thompson, R. A. (1994). Emotion regulation: A theme in search of definition.

Monographs of the Society for Research in Child Development, 59, 2/3, 25-52. Wahyuni, S. (2012). Qualitative research method. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Gambar

Gambar 1. Skema Teori Pembentukan Emosi oleh Gross dan Thompson (2007)
Gambar 2. Skema Teori Proses Regulasi Emosi oleh Gross dan Thompson (2007)
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Tabel 2. Pedoman Wawancara
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengacu pada Tabel V-11 dan Tabel V-12 maka terdapat perbedaan rata-rata pendapatan bersih usaha usahatani karet klon lokal dan klon unggul di Kecamatan

Terhadap ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Perkoperasian yang menentukan bahwa dalam hal terhadap defisit hasil usaha pada koperasi simpan pinjam anggota wajib

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program kerja yang telah dilaksanakan PPN Pekalongan hampir sama tiap tahunnya selama tahun 2007-2009 sebanyak 8 Kegiatan antara

Langkah konkrit dalam menjaga kebersihan lingkungan adalah dengan cara membuang sampah pada tempatnya, tidak buang air besar dan kecil di sembarang tempat, menjaga

Peta yang dihasilkan oleh perangkat desa masih banyak yang belum memenuhi kaidah kartografi dan juga banyak yang belum menampilkan informasi geospasial secara optimal pada

[r]

[r]

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam - Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun