• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN

2.1. Kerangka Teori

2.1.2. Penghindaran Pajak

Prinsip ekonomi yang dianut oleh para pelaku bisnis adalah bagaimana memperoleh penghasilan yang sebesar-besarnya dengan menekan biaya sekecil-kecilnya. Pajak di sisi pemerintah, merupakan sumber penerimaan yang penting.

Di sisi pelaku usaha pajak dipandang sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan bagi perusahaan. Sesuatu yang tidak menguntungkan ini biasanya mendorong adanya upaya untuk melakukan penghindaran atau perlawanan pajak. Usaha-usaha untuk meminimalkan pembayaran pajak juga dilakukan sepanjang masih diperbolehkan oleh peraturan pajak yang berlaku dan perilaku penghindaran pajak ini termasuk dalam perencanaan pajak atau tax planning. Suandy (2016) menyatakan bahwa perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya.

Argitawan (2017) mengungkapkan bahwa pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam strategi pengurangan pembayaran pajak, yaitu dengan memperkecil pendapatan atau memperbesar jumlah biaya perusahaan. Dalam aturan perpajakan biasanya terdapat celah-celah atau loopholes, seperti pengecualian-pengecualian dan pemotongan yang diperkenankan dalam peraturan perpajakan ataupun hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan) dan ini merupakan cara

yang dilegalkan oleh undang-undang perpajakan. Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang paling sedikit namun tetap dilakukan dengan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Berciri fraus legis yaitu kawasan grey area yang posisinya berada di antara tax compliance dan tax evasion. Brown (2012) menyatakan bahwa tax avoidance is arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law. Tax avoidance bukan merupakan pelanggaran undang-undang perpajakan karena usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimumkan atau meringankan beban pajak dilakukan dengan cara yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mendeskripsikan bahwa tax avoidance adalah usaha wajib pajak mengurangi pajak terutang, meskipun upaya ini bisa jadi tidak melanggar hukum (the letter of the law), namun sebenarnya bertentangan dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan perpajakan (the spirit of the law).

Di banyak negara, skema penghindaran pajak (tax avoidance) dapat dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance). Hanlon dan Heitzman (2010) mendefinisikan unacceptable tax avoidance atau aggressive tax avoidance adalah strategi penghindaran pajak untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak perusahaan dengan menggunakan ketentuan yang diperbolehkan maupun memanfaatkan kelemahan

hukum dalam peraturan perpajakan atau melanggar ketentuan dengan menggunakan celah yang ada namun masih di dalam grey area. Kondisi tersebut menjadi peluang wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak dengan menggunakan kelemahan hukum sebagai argumen pembenaran atas penggelapan pajaknya. Semakin lemah peraturan yang mendukung pengenaan pajak perusahaan, maka semakin agresif usaha untuk pengurangan pajak.

Fajar (2019) mengungkapkan bahwa penghindaran pajak agresif lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di berbagai negara. Modusnya usang tapi selalu berhasil. Modus pertama, pembayaran biaya manajemen royalti atas HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada perusahaan induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada akhirnya mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty untuk pajak royalti hanya 10% dan tarif PPh badan adalah 25%, maka Indonesia kehilangan 15% PPh. Modus kedua, pembelian bahan baku dari perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari perusahaan se-grup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah. Modus ketiga, berutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini adalah dividen terselubung ke perusahaan induk. Modus keempat, menggeser biaya usaha (termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif pajak tinggi (cost center) seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara bertarif pajak rendah (profit center) seperti Bermuda. Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi. Modus kelima, menarik dividen lebih

besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset penjualan.

Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara bertarif pajak rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari cabang tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.

Dina (2019) mengungkapkan bahwa antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance.

Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Suatu transaksi akan disebutkan unacceptable tax avoidance atau aggressive tax avoidance apabila memiliki ciri-ciri : tidak memiliki tujuan usaha yang baik, semata-mata untuk menghindari pajak, tidak sesuai dengan spririt & intension of parliament, dan adanya transaksi yang direkayasa agar menimbulkan biaya-biaya atau kerugian. Sebaliknya suatu transaksi digolongkan sebagai acceptable tax avoidance apabila memenuhi karakteristik : memiliki tujuan usaha yang baik, bukan semata-mata untuk menghindari pajak sesuai dengan spirit & intension of parliament dan tidak melakukan transaksi yang direkayasa.

Maya (2011) mengungkapkan bahwa dalam undang-undang PPh yang berlaku saat ini belum ada definisi yang jelas mengenai tax planning, aggressive tax planning, dan tax avoidance sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda antara wajib pajak dan aparat pajak. Wajib pajak dan aparat pajak akan

memberikan penafsiran sendiri-sendiri sehingga tidak terdapat kepastian hukum.

Dari sudut pandang wajib pajak tentunya akan berpendapat bahwa sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam ketentuan pajak tentunya sah-sah saja. Meski belum sempurna, Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan anti penghindaran pajak, yaitu :

1. Ketentuan anti thin capitalization yaitu upaya wajib pajak mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar pinjaman, bukan justru menambah modal agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Debt to Equity Ratio).

2. Ketentuan mengenai Controlled Foreign Corporation (CFC)

Rules di Pasal 18 ayat (2) UU PPh, yang mengatur kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri paling rendah 50 persen, selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

3. Ketentuan tentang transfer pricing dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa.

4. PER-43/PJ/2010 PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

5. Ketentuan anti-treaty shopping, yang diatur dalam 62/PJ/2009 dan PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Dokumen terkait