• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.7 Pengobatan Late Onset Hypogonadism (LOH) Dengan Testosterone

Replacement Therapy (TRT).

Testosterone replacement therapy pada LOH, ditujukan pada pria tua yang memiliki level serum testosteron lebih rendah dari normal. Diagnosis LOH berkaitan dengan level testosteron pada setiap individu. Pada setiap individu sirkulasi total testosteron dapat menurun dengan range di bawah normal meskipun bersifat asimptomatis (Kalra et al., 2010).

Pengaruh dari hormon testosteron sangat penting, yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh secara keseluruhan dan khususnya untuk pertumbuhan dari organ reproduksi pada pria itu sendiri baik sebelum pubertas, saat pubertas maupun setelah pubertas. Ketika memasuki usia dewasa bahkan lanjut usia hormon ini difokuskan untuk perkembangan organ reproduksi, namun ketika memasuki usia yang tergolong usia tua pada pria dapat terjadi keadaan hipogonadisme oleh karena defisiensi testosteron (Yassin et al., 2007).

Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011). Data yang didapatkan pada pemberian TRT pada pria LOH di Korea menunjukan terjadinya peningkatan level testosteron, dan mempengaruhi simptom subyektif yang di ukur menggunakan kuisioner (Hwaii dan Kim, 2011).

42

Testosteron dan derivatnya dapat meregulasi pertumbuhan dan perkembangan dari seluruh organ reproduksi pria seperti penis, vesikula seminalis dan kelenjar prostat. Selama perkembangan, peningkatan produksi testosteron memainkan peran penting untuk maturasi dan pertumbuhan fisik dari organ tersebut beserta fungsinya (Kendeel et al., 2001).

Clinical trials menunjukan terapi testosteron pada hipogonad menyebabkan pertumbuhan prostat pada ukuran yang sesuai dengan ukuran normalnya, namun secara statistik menunjukan hasil yang tidak signifikan (Stanworth dan Jones, 2008). Pengobatan dengan testosteron pada keadaan hipogonadisme oleh karena kastrasi pada tikus coba, ditunjukan pada studi oleh Ono et al. (2004), dengan pemberian testosteron secara subkutan setelah 12 jam kastrasi menyebabkan perbaikan dari struktur kapiler pembuluh darah pada vesikula seminalis.

Penelitian yang dilakukan oleh Arsani (2011), menunjukan bahwa dengan pemberian testosteron injeksi Sustanon® 250 selama 21 hari dapat meningkatkan ketebalan otot polos corpus cavernosum pada penis tikus jantan yang diabetes melitus. Temuan tersebut memberi kesan bahwa pemberian terapi hormon seperti testosteron pada pria yang mengalami hipogonad, dapat memperbaiki kembali organ-organ reproduksi termasuk pada kelenjar reproduksi yang telah mengalami penurunan struktur maupun fungsinya, sehingga dapat mempertahankan fungsi reproduksi secara utuh.

Indikasi terapi testosteron pada pria yakni keadaan hipogonad yang menunjukan gejala klinis yang kompleks, seperti adanya gejala-gejala hipogonadisme dan penurunan level hormon testosteron. Ambang batas level

43

hormon testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung pada jenis gejala dan individu (Arver dan Lehtihet, 2008). Formulasi dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar, dan juga dapat menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu estradiol dan DHT.

Dahulu penurunan kadar testosteron terkait usia dianggap tidak bisa diobati, tetapi paradigma ini sekarang telah berubah. Saat ini terapi sulih hormon adalah yang paling direkomendasikan untuk penanganan andropause. Pemberian testosteron adalah pilihan paling baik saat ini, walaupun belum ada kesepakatan ambang standar untuk memulai pengobatan. Kadar testosteron 200 ng/dl yang diambil pada pagi hari dianggap rendah tetapi angka ini tidak dapat dikaitkan dengan usia, karena nilai 300 ng/dl mungkin normal untuk pria berusia 65 tahun, tapi tidak normal untuk usia 30 tahun (Indrayanto, 2011).

Level total testosteron dari eugonadal yang digunakan sebagai variabel spesifik pasien yaitu sekitar 300-1000 ng/dl (10.4–34.7 nmol), nilai ini digunakan sebagai acuan dalam penentuan keberhasilan pada TRT. Batas tertinggi untuk eugonadal sekitar 1000 ng/dl, jika pada hipogonad memiliki nilai di atas angka tersebut setelah pemberian terapi maka dapat menimbulkan risiko (Harman et al., 2001), sehingga pemberian TRT ini harus tetap dimonitoring.

Keuntungan terapi testosteron yaitu mempengaruhi komposisi tubuh, termasuk peningkatan massa otot dan penurunan lemak tubuh. Efek ini dapat terjadi secara cepat (timbul setelah 3 bulan terapi) dan juga jangka panjang (setelah 3 tahun). Pemberian TRT mempengaruhi fungsi seksual, yang mana

44

merupakan hallmark dari pemberian testosteron yaitu peningkatan dari sexual desire, motivasi dan penampilan (Coss et al, 2014). Pemberian testosteron sesuai resep dokter pertahunnya meningkat sekitar 300% di US antara tahun 2000 dan 2008 dan juga menjadi trend di negara-negara Eropa.

Berdasarkan data yang didapat bahwa keberhasilan dalam pemasaran preparat testosteron replacement berbanding lurus dengan keberhasilan dalam intervensi terapiutik pada pasien. Dalam pemberian terapi juga harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka panjang (Coss et al., 2014). Prinsip penatalaksanaan kadar testosteron adalah mempertahankan kadar testosteron tetap berada pada nilai normal, jika kadar testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada di bawah nilai normal, terapi harus segera diberikan (Indrayanto, 2011).

2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy

Pemberian TRT untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain: injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), testosteron oral dan testosteron implan. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011).

Testosteron mempunyai waktu paruh yang pendek tetapi dengan esterifikasi waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat

45

testosteron replacement yang ada adalah sustanon ‘250’ yang merupakan oil-based injectable esterized testosteron, yang terdiri dari testosteron propionat 30 mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosterone decanoat 100 mg (Roberts, 2010).

Beberapa jenis sediaan preparat pemberian testosteron yang direkomendasikan untuk TRT atau sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1) Gel : 5 sampai 10 gram per hari.

2) Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari.

3) Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskuler yang diberikan pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas, fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012).

Berikut adalah preparat testosteron yang ada di Indonesia: 1) Per oral

a. Testosteron undecanoat 400 mg. b. Meterolone tablet 25 mg.

2) Per intramuskuler injeksi

a. Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60 mg, testosteron decanoat 100 mg ampul (Sustanon).

46

b. Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (Nebido). 3) Testosteron transdermal

Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Indrayanto, 2011).

Hasil terapiutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda, untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006). Testosterone replacement therapy pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi.

2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy

Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron berbeda pada setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah:

1) Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual. 2) Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ:

a. Efek anabolik (keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya).

b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus. c. Retensi air dan garam.

d. Efek metabolik lainnya (termasuk pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang).

3) Efek virilisasi pada wanita.

4) Mempengaruhi sistem saraf pusat.

47

6) Simptom BPH memburuk atau peningkatan risiko kanker prostat. 7) Polycythemia.

8) Gynecomastia. 9) Hypercalcemia.

10) Emotional (Ullah et al., 2014). 11) Efek teratogenik.

Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2) (Goodman, 2001).

2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy 1) Memiliki riwayat kanker payudara atau kanker prostat. 2) Tampak nodul atau pengerasan pada prostat.

3) PSA 4 ng/ml atau 3 ng/ml pada pria dengan risiko tinggi untuk kanker prostat seperti di negara Afrika-Amerika.

4) Sering mengalami sleep apnea. 5) Gangguan atau masalah pada liver. 6) Erythrocytosis (hematocrit 50%).

7) International prostate symptom score di bawah 19. 8) Metastasis kanker prostat.

48

2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy

Pasien yang diterapi menggunakan testosteron replacement harus dimonitor untuk respon dari terapi dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Pasien harus dievaluasi secara klinis dan diperiksa konsentrasi serum testosteronnya setiap 2-3 bulan setelah pemberian awal dan setelah dosis pemberian selesai. Target konsentrasi serum testosteron yang diharapkan setelah injeksi testosteron enanthate atau cypionate sekitar 400–700 ng/dl, yang merupakan nilai normal dari eugonadal (Endocrine Society Clinical Practice Guideline, 2010). Sebelum pemberian terapi harus tetap diperhatikan besarnya kebutuhan serta tanda dan gejala yang terkait dengan rendahnya testosteron pada setiap individu.

Nilai testosteron tertinggi (>1,000 ng/dl) dan terendah (sekitar 300 ng/dl) konsentrasi tersebut digunakan sebagai respon dari terapi. Beberapa ahli dari endocrine society clinical practice guideline, mengatakan bahwa terapi sering diberikan pada pria tua yang memiliki konsentrasi serum testosteron di bawah nilai normal dari pria yang sehat (300 ng/dl) (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Waktu pengukuran konsentrasi serum bervariasi, tergantung pada preparat yang digunakan. Testosteron injeksi bentuk ester direkomendasikan harus diperiksa konsentrasi serumnya pada pertengahan interval antara injeksi pertama dengan injeksi berikutnya, sedangkan evaluasi 3 sampai 12 jam setelah pemberian testosteron secara transdermal. Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dan setelahnya pada pemberian buccal testosteron, pengukuran serum testosteron tidak kurang dari 1 minggu setelah pasien diterapi menggunakan gel, dan evaluasi

49

langsung ketika selesai penggunaan dosis interval untuk testosteron pellets, pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mendapat nilai normal dari serum testosteron.

Monitoring untuk efek samping dari TRT harus sudah diperiksa, seperti konsentrasi PSA, pemeriksaan digital rectal, dan hematocrit harus menjadi dasar dalam pemeriksaan pada 3 bulan, 6 bulan, selanjutnya setiap tahun setelah terapi. Kadar hematocrit yang berada di bawah 54%, maka terapi harus distop dulu sampai kembali ke level yang aman, tapi jika tetap harus diberikan maka dosis harus diturunkan dan dibandingkan dengan dosis awal. Pertimbangan terapi diskontinyu dilakukan jika pada pemeriksaan urologi, didapatkan ukuran PSA yang meningkat dalam interval 6 bulan atau peningkatan serum PSA 1,4 ng/ml dalam setahun (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Ketika pemeriksaan digital rectal ditemukan masalah (tidak nomal) maka harus dilakukan biopsi untuk kanker prostat, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan payudara, hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian terapi selanjutnya. Pada pria dengan riwayat osteoporosis atau pernah trauma fraktur, densitas mineral tulang pada lumbar spine harus diukur setelah 1 atau 2 tahun pemberian terapi (Ullah et al., 2014).