• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Komoditi sagu di Maluku sangat potensial untuk dikembangkan, terutama untuk mendukung diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Terkait dengan hal tersebut, dibutuhkan pengolah-pengolah sagu yang mampu menghasilkan produk-produk olahan sagu sesuai selera konsumen. Pengolah sagu di Maluku didominasi pengolah sagu tradisional yang mengolah sagu dengan cara tradisional sebagai warisan dari generasi sebelumnya. Produk olahan sagu yang dihasilkan juga didominasi produk-produk tradisional, seperti sagu lempeng, bagea, dan serut; sementara itu, permintaan konsumen atas produk-produk olahan sagu yang lebih variatif semakin meningkat. Upaya peningkatan kemampuan pengolah sagu tradisional yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil optimal karena kurang memperhatikan profil sosial ekonomi dan kapasitas pengolah sagu tradisional. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil sosial ekonomi dan kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku. Penelitian dilakukan di 2 sentra komoditi sagu di Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Setiap kabupaten diwakili 2 kecamatan dan setiap kecamatan diwakili 2 desa. Dengan demikian, 8 desa dipilih secara sengaja untuk mewakili 2 kabupaten terpilih. Sampel berukuran 204 rumahtangga pengolah sagu tradisional yang mewakili 416 populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil sosial ekonomi pengolah sagu mendukung untuk pengembangan kapasitasnya, yaitu sebagian besar berumur produktif (27–64 tahun), memiliki motivasi berusaha yang tinggi, dan masih memegang tinggi nilai sosial serta nilai budaya sagu. Kapasitas pengolah sagu tradisional, baik kapasitas diri maupun kapasitas usaha perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peran kelembagaan sangat diperlukan, baik peran kelembagaan penyuluhan, maupun kelembagaan pemerintah dan swasta. Kata kunci: kapasitas, pengolah sagu tradisional, profil sosial ekonomi

Pendahuluan

Pengolah sagu tradisional di Maluku memiliki profil sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain, termasuk perbedaan pandangan terhadap nilai fungsi sosial dan budaya sagu sebagai dampak perubahan yang berlangsung cepat dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan profil sosial ekonomi antar pengolah sagu menarik untuk diteliti karena beberapa hasil penelitian tentang perilaku menemukan bahwa profil setiap orang memiliki arti dan peran tertentu dalam membentuk perilaku orang tersebut, diantaranya ditemukan pada petani sayuran di Pasuruan dan Malang (Subagio 2008), dan petani padi sawah lebak di Sumatera Selatan (Yunita 2011).

Perilaku usaha pengolah sagu tradisional masih menggambarkan perilaku usaha generasi sebelumnya karena sebagian besar usaha yang ada merupakan

warisan orang tua. Usaha pengolahan sagu dilakukan sebagai rutinitas tanpa ada perkembangan yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi pengolah sagu tradisional adalah mengembangkan usaha, terutama menyesuaikan produk olahan sagu dengan selera konsumen yang senantiasa berubah. Konsumen harus menjadi titik tolak suatu proses dengan 4 unsur yang disebut bauran pemasaran (Kotler 2000; Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan 2005), yaitu produk, harga, tempat, dan promosi. Konsumen perlu selalu dilibatkan dalam mempersiapkan produk agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Selain itu, jika ingin meraih pasar/konsumen yang lebih baik, produsen harus mampu menghasilkan produk-produk inovatif yang disukai konsumen. Sebagian besar pengolah sagu tradisional di Maluku belum mampu memberikan respon yang tepat atas kebutuhan produk olahan sagu yang seharusnya dihasilkan. Kemampuan/kapasitas atau daya yang dimiliki pengolah sagu tradisional belum mendukung untuk menghasilkan produk-produk olahan sagu yang dapat bersaing dengan produk-produk pangan lainnya.

Terkait dengan kapasitas, United Nation Development Project (UNDP) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, institusi dan masyarakat melaksanakan fungsi, memecahkan masalah, menyusun dan mencapai tujuan secara berkelanjutan (Baser dan Morgan 2008). UNDP (2008) menjelaskan pentingnya kapasitas individu, organisasi, dan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan individu, organisasi, dan masyarakat yang mendukung pada pencapaian tujuan pembangunan milenium (millennium development goals/MDGs). Kapasitas juga merupakan kombinasi yang muncul dari kompetensi-kompetensi yang dimiliki individu, gabungan kemampuan-kemampuan, asset dan hubungan yang memungkinkan suatu sistem kehidupan manusia dapat menciptakan nilai (Baser dan Morgan 2008) dan bukan menetes melalui struktur kekuasaan melainkan melalui langkah-langkah aktif yang dilakukan sendiri oleh individu-individu tersebut (Eade 2003). Terkait dengan hal tersebut, kapasitas sering dikaitkan dengan kinerja, kemampuan, kapabilitas, dan potensi seseorang (Liou 2004; Baser dan Morgan 2008). Dengan kata lain, kapasitas berkaitan dengan kinerja yang dicapai seseorang atau organisasi (Liou 2004; Syahyuti 2006); kapasitas yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi dan sebaliknya.

Pentingnya kapasitas dalam mencapai tujuan seseorang ditunjukkan Subagio et al. (2008) yang meneliti kapasitas petani dan menyatakan bahwa kapasitas petani adalah daya-daya yang dimiliki pribadi seorang petani untuk dapat menetapkan tujuan usahatani secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang tepat pula. Tjitropranoto (2005) menjelaskan bahwa kapasitas seseorang (petani) dapat dibedakan menjadi kapasitas diri dan kapasitas sumber daya dan sarana yang menurut Subagio et al. (2008) dapat disebut kapasitas lingkungan. Kapasitas diri merupakan perwujudan dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terinternalisasi dalam diri seseorang (Tjitropranoto 2005; Subagio et al. 2008). Di samping aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, kapasitas diri menurut Tjitropranoto (2005) juga dibentuk oleh rasa percaya diri, komitmen, dan kewirausahaan; sedangkan kapasitas sumber daya dan sarana meliputi lahan, modal usaha, dan pasar.

Seiring dengan perkembangan teknologi di bidang pangan yang semakin cepat, jenis pangan juga semakin banyak di pasar, namun pengolah sagu

tradisional di Maluku masih mempertahankan produk-produk olahan sagu yang bersifat tradisional dengan proses pengolahan yang juga masih tradisional. Adanya berbagai dukungan dari kelembagaan pemerintah, swasta, dan penyuluhan pada kenyataannya belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Produk-produk olahan sagu inovatif yang dihasilkan pengolah sagu tradisional masih sulit ditemukan. Dengan kata lain, diversifikasi olahan sagu masih terbatas, padahal menurut paparan Gubernur Maluku tahun 2006, terbatasnya diversifikasi produk sagu merupakan salah satu penyebab menurunnya konsumsi sagu masyarakat Maluku. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini mencoba menemukan jawaban atas kondisi usaha pengolah sagu tradisional melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional di Maluku? 2. Bagaimanakah penilaian pengolah sagu tradisional terhadap dukungan

kelembagaan (pemerintah, swasta dan penyuluhan) selama ini? 3. Bagaimanakah tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional saat ini?

4. Bagaimanakah hubungan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dan dukungan kelembagaan selama ini terhadap kapasitas pengolah sagu tradisional?

Penelitian ini bertujuan menganalisis lebih jauh tentang pengolah sagu tradisional, baik tentang profil sosial ekonomi maupun kapasitasnya dalam mengolah sagu. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional di Maluku 2. Mendeskripsikan penilaian pengolah sagu tradisional tentang dukungan

kelembagaan terhadap usaha pengolahan sagu selama ini. 3. Mendeskripsikan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional

4. Menganalisis hubungan antara profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dan dukungan kelembagaan dengan tingkat kapasitas yang dimilikinya.

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional.

2. Kapasitas usaha pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional.

3. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan dukungan kelembagaan yang ada.

4. Kapasitas usaha pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan dukungan kelembagaan yang ada.

Secara akademis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menyediakan informasi yang jelas tentang kondisi sosial ekonomi pengolah sagu tradisional serta perilakunya dalam mengolah sagu. Informasi ini dapat menjadi landasan penelitian lanjutan terkait dengan pengembangan sagu di Maluku yang berbasis pada pengolah-pengolah sagu tradisional. Secara khusus bagi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam mengembangkan ilmu penyuluhan terutama untuk merubah perilaku pengolah sagu tradisional dan pengolah pangan lokal lainnya yang memiliki kesamaan agar memiliki keinginan dan kemampuan untuk berkembang.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat hingga ke pemerintahan desa dan pihak-pihak lain yang terkait dalam menyusun berbagai program dan kebijakan pengembangan pengolah sagu tradisional. Pengolah sagu tradisional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengembangan sagu Maluku, karena itu pemahaman yang komprehensif tentang profil pengolah sagu tradisional dan profil usahanya menjadi penting.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada 8 desa yang mewakili 4 kecamatan terpilih dari Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat sebagai sentra komoditas sagu di Provinsi Maluku. Kedelapan desa yang terpilih adalah: Desa Nolloth, Ihamahu, Suli, dan Waai yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah; dan desa Piru, Manipa, Lumoli, dan Iha di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pengumpulan data berlangsung sejak bulan Januari 2012 hingga April 2012.

Populasi penelitian berjumlah 416 rumah tangga pengolah sagu tradisional di desa-desa penelitian yang sudah menjalankan usaha pengolahan sagu minimal 5 tahun. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin dengan memilih derajat kesalahan 5%, sehingga jumlah responden adalah 204 rumah tangga pengolah sagu tradisional. Distribusi responden untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di setiap desa. Penentuan anggota sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengolah sagu yang diperoleh dari kantor setiap desa terpilih. Unit analisis adalah rumah tangga pengolah sagu tradisional dengan responden utama adalah orang yang menjalankan usaha pengolahan sagu di rumah tangga tersebut.

Data primer yang meliputi profil sosial ekonomi, dukungan kelembagaan, kapasitas diri, dan kapasitas usaha diperoleh dari responden melalui wawancara yang berpedoman kepada kuesioner. Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan Skala Likert serta pertanyaan tertutup dan terbuka. Di samping itu, untuk mengklarifikasi data penelitian, dilakukan wawancara mendalam dan focused group discussion (FGD) dengan sejumlah responden terpilih, yaitu responden tertua dan termuda, responden dengan tingkat pendidikan formal tertinggi, responden dengan tahun usaha terpanjang, dan 1 atau 2 orang pedagang pengumpul sagu yang membeli sagu dari setiap desa.

Data sekunder meliputi jumlah pengolah sagu tradisional yang diperoleh dari kantor pemerintah desa; informasi tentang dukungan kelembagaan yang pernah diberikan untuk pengolah sagu tradisional diperoleh dari kantor pemerintah desa, kantor kecamatan dan kabupaten terpilih, dan kantor Pemerintah Provinsi Maluku; informasi dari tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat yang terkait dengan sejarah sagu dalam kehidupan masyarakat Maluku serta pengamatan langsung di lapangan juga digunakan untuk memperkuat data.

Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan pada 30 orang pengolah sagu tradisional di desa Mahu Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah karena memiliki kemiripan dengan kondisi dan keadaan responden. Analisis

untuk uji validitas (konstruk) adalah teknik korelasi Pearson, sedang uji reliabilitas dilakukan dengan metode Alpha-Cronbach. Hasil uji coba instrumen menunjukkan bahwa kuesioner yang disusun layak untuk digunakan dengan nilai rhitung = 0.410 – 0.950 > r0.05 = 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada interval 0.803 – 0.896.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial, yaitu korelasi Spearman menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari: (1) Profil Sosial Ekonomi Pengolah Sagu Tradisional (X1), dan (2) Dukungan Kelembagaan (X2); sedangkan peubah terikat (dependent variable) terdiri dari: (1) Kapasitas Diri Pengolah Sagu Tradisional (Y1), dan (2) Kapasitas Usaha Pengolah Sagu Tradisional (Y2).

Hasil dan Pembahasan

Profil Sosial Ekonomi Pengolah Sagu Tradisional di Maluku

Setiap individu memiliki profil sosial ekonomi berbeda yang mempengaruhi perilakunya. Profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional merupakan gambaran awal sosok pengolah sagu tradisional yang diperlukan untuk memahami perilaku sosial dan ekonominya dalam menjalankan usaha pengolahan sagu.

Umur, Pendidikan Formal dan Non Formal, Lama Berusaha dan Motivasi Berusaha

Profil ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan komoditi lokal menjadi pilihan terutama bagi kaum perempuan yang memiliki tingkat pendidikan formal tergolong rendah (tamat sekolah dasar), seperti juga pada kaum perempuan di beberapa negara berkembang misalnya Nigeria (Nai et al. 2010) dan di daerah lain di Indonesia (Sunarso dan Suseno 2008). Hal ini disebabkan umumnya usaha pengolahan komoditi lokal tidak memerlukan persyaratan tingkat pendidikan formal, melainkan keterampilan yang umumnya diperoleh sebagai warisan turun-temurun.

Berdasarkan kategori umur, 95.09% pengolah sagu tradisional tergolong berumur produktif (27–64 tahun) sesuai dengan kategori Rusli (1995) yaitu 15–65 tahun. Ini menunjukkan usaha pengolahan sagu banyak diminati, terutama kaum perempuan yang berusia produktif karena dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan tanpa meninggalkan pekerjaan rumah. Tidak hanya bagi yang berusia

≤65 tahun, bagi kelompok umur >65 tahun, usaha ini masih menjadi sumber penghasilan selama masih memiliki cukup tenaga untuk melakukannya. Profil umur, pendidikan formal dan non formal, lama berusaha dan motivasi berusaha pengolah sagu tradisional selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Terdapat hubungan negatif dan nyata (α=0.01) antara umur dengan pendidikan formal (rs = 0.582) (Lampiran 3). Artinya, semakin tua umur pengolah sagu, semakin rendah tingkat pendidikan formal yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi karena keinginan mengikuti pendidikan pada masa usia sekolah bagi pengolah sagu yang saat ini berumur tua sangat kecil sebagai akibat: (1) minimnya fasilitas pendidikan yang ada di desa sehingga harus menempuh perjalanan yang cukup panjang ke pusat kecamatan atau kabupaten; (2) tingginya biaya pendidikan sehingga tidak semua mampu bersekolah; (3) belum adanya

kesadaran akan pentingnya pendidikan karena tingkat pendidikan penduduk umumnya juga rendah dan aksesibilitas penduduk ke luar desa juga masih terbatas.

Tabel 3 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, lama berusaha dan motivasi berusaha

Profil Jumlah % 1. Umur (thn) a. 27–38 38 18.63 b. 39–50 80 39.22 c. 51–62 64 31.37 d. 63–74 22 10.78 Total 204 100.00 Rerata: 48.17 ≈ 48 2. Pendidikan formal (thn) a. 5–8 113 55.39 b. 9–12 90 44.12 c. 13–16 0 0.00 d. 17–20 1 0.49 Total 204 100.00 Rerata: 8.05 ≈ 8

3. Pendidikan non formal (frekuensi dalam dua tahun terakhir)

a. 0–1 kali 134 65.69 b. 2–3 kali 63 30.88 c. 4–5 kali 7 3.43 d. > 5 kali 0 0.00 Total 204 100.00 Rerata: 1.38 1 4. Lama berusaha (tahun)

a. 5–15 97 47.55 b. 16–26 64 31.37 c. 27–36 35 17.16 d. 37–46 8 3.92 Total 204 100.00 Rerata: 19.20 ≈ 19 5. Motivasi berusaha (skor)

a. 11–19 (rendah) 0 0.00 b. 20–28 (sedang) 41 20.10 c. 29–37 (tinggi) 141 69.12 d. 38–46 (sangat tinggi) 22 10.78 Total 204 100.00 Rerata: 31.88 ≈ 32

Seiring berjalannya waktu, keinginan masyarakat menyekolahkan anak-anak usia sekolah semakin tinggi. Hal ini disebabkan: (1) aksesibilitas penduduk ke luar desa semakin terbuka sehingga wawasan akan pentingnya pendidikan semakin meningkat, (2) ketersediaan fasilitas pendidikan di desa yang semakin baik, (3) keinginan orang tua akan perubahan tingkat kesejahteraan anak-anaknya kelak, dan (4) tingkat kompetisi untuk mendapatkan penghasilan yang semakin tinggi sehingga membutuhkan bekal pengetahuan yang lebih tinggi. Para orang tua juga memiliki kebanggaan tersendiri jika berhasil menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, namun hanya sedikit kaum muda yang berpendidikan lebih tinggi dari tingkat sekolah menengah atas yang mau menekuni usaha pengolahan sagu, sebagian besar lebih memilih untuk bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta di berbagai tempat terutama di luar desa.

Bagi pengolah sagu tradisional, pendidikan non formal masih dirasakan sangat kurang. Dalam dua tahun terakhir, dari 65.69% pengolah sagu yang mengikuti maksimal satu kali pendidikan non formal (Tabel 3), 80% diantaranya ternyata tidak pernah mengikuti pendidikan non formal seperti pelatihan atau penyuluhan tentang usaha pengolahan sagu, padahal pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempersiapkan perilaku seseorang menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi. Ini menunjukkan kegiatan pendidikan non formal masih sangat jarang dilakukan sehingga belum menyentuh semua pengolah sagu tradisional. Tidak jarang kegiatan pelatihan hanya mengikutsertakan pengolah sagu yang sudah sering terlibat sehingga menimbulkan kecemburuan bagi yang lain. Ini sebaiknya menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kegiatan pendidikan non formal seperti pelatihan dan penyuluhan.

Sebanyak 52,45% pengolah sagu tradisional telah melakukan usaha lebih dari 15 tahun dengan rerata 19 tahun (Tabel 3). Ini menunjukkan pengolahan sagu telah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat. Terdapat hubungan yang positif dan nyata antara lama berusaha dengan umur pengolah sagu (Lampiran 3). Artinya, semakin tinggi umur pengolah sagu, semakin panjang tahun usaha yang sudah dilalui. Umumnya usaha ini dilakukan sejak pengolah sagu tradisional

berusia ≥25 tahun. Dengan semakin panjangnya tahun usaha yang dilalui,

pengalaman yang diperoleh juga semakin banyak sehingga menempatkan pengolah sagu yang berumur lebih tua selalu menjadi tempat bertanya bagi yang lebih muda.

Secara umum, motivasi pengolah sagu dalam melakukan usaha pengolahan sagu adalah tinggi (Tabel 3). Artinya, usaha pengolahan sagu tidak hanya sebagai sumber pendapatan, tetapi sebagai dukungan terhadap upaya melestarikan budaya makan sagu bagi masyarakat Maluku. Terdapat hubungan positif dan nyata antara motivasi berusaha dengan lama berusaha (Lampiran 3). Ini menunjukkan kecintaan pengolah sagu berumur tua terhadap sagu sebagai makanan lokal juga merupakan salah satu motivasi berusaha yang masih ditemukan hingga saat ini. Dengan kata lain, motivasi utama tidak lagi untuk memperoleh pendapatan, tetapi meneruskan kebiasaan dan kecintaan terhadap sagu dengan memanfaatkan sumber daya (sagu) yang tersedia.

Jumlah Anggota Keluarga, Jumlah Tanggungan, dan Pendapatan Rumah Tangga

Jumlah anggota keluarga berhubungan positif dan nyata dengan motivasi berusaha dengan nilai rs = 0.162 (Lampiran 3) yang berarti semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin tinggi pula motivasi dalam berusaha. Jumlah anggota keluarga yang banyak, membuat pekerjaan pengolah sagu menjadi lebih ringan karena adanya bantuan, terutama dari anggota keluarga yang perempuan, sedangkan anggota keluarga yang laki-laki biasanya membantu dalam penanganan bahan baku (tepung sagu), yaitu membeli dan mengangkut tepung sagu atau mengolah tepung sagu dari batang pohon sagu.

Bertambahnya jumlah anggota keluarga yang dapat meringankan pekerjaan juga meningkatkan motivasi pengolah sagu untuk melakukan usahanya. Di samping itu, penambahan jumlah anggota keluarga menyebabkan kebutuhan keluarga juga bertambah sehingga motivasi berusaha juga meningkat agar memperoleh pendapatan yang lebih besar. Jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan, dan pendapatan rumah tangga menggambarkan kondisi ekonomi rumah tangga pengolah sagu tradisional. Secara lengkap profil ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan, dan pendapatan rumah tangga

Profil Jumlah %

1. Jumlah anggota keluarga (orang)

a. 2–3 23 11.27 b. 4–5 111 54.41 c. 6–7 58 28.43 d. 8–9 12 5.88 Total 204 100.00 Rerata: 5.02 5

2. Jumlah tanggungan (orang)

a. 1–2 35 17.16 b. 3–4 119 58.33 c. 5–6 48 23.53 d. 7–8 2 0.98 Total 204 100.00 Rerata: 3.67 ≈ 4

3. Pendapatan rumah tangga (Rp 000/bln)

a. 775 – 2 000 67 32.84 b. >2 000 – 3 225 30 14.71 c. >3 225 – 4 450 76 37.25 d. >4 450 – 5 675 31 15.20 Total 204 100.00 Rerata: 3 031.257 ≈ 3 031.260

Terdapat hubungan negatif dan nyata antara jumlah tanggungan dengan umur (rs = - 0.255) dan lama berusaha (rs = - 0.267) (Lampiran 3). Artinya, semakin tinggi umur pengolah sagu tradisional, semakin tinggi pula lama usaha

pengolahan sagu yang telah dilakukan, namun semakin rendah atau sedikit jumlah tanggungan karena sebagian anak-anak sudah tidak menjadi tanggungan orangtua lagi. Jumlah anggota keluarga berhubungan positif dan nyata dengan jumlah tanggungan (rs = 0.330) (Lampiran 3) yang berarti semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar pula jumlah tanggungan keluarga tersebut, terutama yang masih berusia sekolah, belum bekerja atau belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada yang masih menjadi tanggungan orangtua karena belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri.

Pengolahan sagu merupakan salah satu usaha yang diandalkan masyarakat untuk memperoleh penghasilan, baik penghasilan utama maupun penghasilan tambahan. Rerata pendapatan rumah tangga pengolah sagu tradisional adalah Rp3 031 260 per bulan. Jumlah ini masih kurang seiring dengan peningkatan harga barang-barang kebutuhan serta biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi bagi yang menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Pendapatan usaha pengolahan sagu memberikan kontribusi yang tinggi bagi pendapatan rumah tangga, yakni sebesar 86.48%, sedangkan sisanya (13.52%) berasal dari pendapatan suami sebagai petani, nelayan, ojek sepeda motor, berdagang, atau kerja serabutan.

Sumber pendapatan lain yang berpotensi dikembangkan di desa-desa penelitian adalah di bidang pengolahan ikan. Hasil tangkapan ikan biasanya dijual dalam keadaan segar. Pengolahan ikan menjadi ikan kering, abon ikan, dan nugget ikan menjadi alternatif yang dapat dipilih, terutama pada saat musim ikan yang menyebabkan harga ikan segar turun drastis. Seperti halnya pengolahan sagu, pengolahan ikan juga sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, meski demikian, keterampilan mengolah ikan perlu ditingkatkan agar produk yang dihasilkan lebih baik dan dapat bersaing dengan produk olahan ikan yang sudah ada di pasar.

Akses Informasi, Nilai Fungsi Sosial dan Budaya Sagu

Di samping kurangnya pelatihan dan penyuluhan, akses informasi yang dilakukan pengolah sagu tradisional juga tergolong rendah (Tabel 5). Kesulitan mengakses informasi mempengaruhi atau membatasi pengetahuan tentang berbagai informasi seperti teknologi dan menyebabkan tingkat adopsi rendah (Aker 2011; Läpple & Rensburg 2011).

Pengolah sagu lebih sering bertukar informasi dengan sesama pengolah sagu di desa seperti yang dilakukan para petani di berbagai tempat (Hakim dan Sugihen 2009; Fabiyi dan Hamidu 2011; Aker 2011). Wawancara mendalam dengan pengolah sagu terpilih dan hasil FGD menyimpulkan bahwa informasi yang paling banyak dibutuhkan pengolah sagu adalah tentang peluang pengembangan usaha pengolahan sagu khususnya tentang perluasan pasar dan akses ke sumber modal usaha, manajemen usaha pengolahan sagu, dan teknologi produksi aneka produk inovatif sagu dengan peluang pasar yang baik. Di samping itu, informasi tentang prosedur memperoleh ijin industri rumah tangga termasuk pengujian mutu produk pada BPOM, dan teknologi pengemasan juga dibutuhkan pengolah sagu tradisional.

Tabel 5 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut akses terhadap informasi, nilai fungsi sosial dan budaya sagu

Profil Jumlah %

1. Akses terhadap informasi (skor)

a. 4–7 (rendah) 202 99.02 b. 8–11 (sedang) 2 0.98 c. 12–15 (tinggi) 0 0.00 d. 16–19 (sangat tinggi) 0 0.00 Total 204 100.00 Rerata: 5.33 5 (rendah) 2. Nilai fungsi sosial sagu (skor)

a. 6–10 (rendah) 0 0.00 b. 11–15 (sedang) 63 30.88 c. 16–20 (tinggi) 96 47.06 d. 21–25 (sangat tinggi) 45 22.06 Total 204 100.00 Rerata: 17.77 ≈ 18 (tinggi) 3. Nilai fungsi budaya sagu (skor)

a. 14–24 (rendah) 0 0.00 b. 25–35 (sedang) 26 12.75 c. 36–46 (tinggi) 106 51.96 d. 47–57 (sangat tinggi) 22 35.29 Total 204 100.00 Rerata: 42.97 43 (tinggi)

Sebagai salah satu komoditi khas Maluku, sagu memiliki fungsi sosial dan budaya di kalangan masyarakat. Sagu dapat mempererat hubungan antar

Dokumen terkait