• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu Tradisional untuk Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu Tradisional untuk Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN KAPASITAS PENGOLAH SAGU TRADISIONAL

UNTUK MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN

DI MALUKU

INTA P. N. DAMANIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu Tradisional untuk Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014 Inta P. N. Damanik NIM I361090101

(4)

INTA P. N. DAMANIK. Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu Tradisional untuk Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku. Dibimbing oleh SITI AMANAH, SITI MADANIJAH, dan PRABOWO TJITROPRANOTO.

Pengolah sagu tradisional berperan penting dalam pengembangan sagu di Maluku yang bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan pengolah sagu, tetapi lebih luas lagi untuk mendukung diversifikasi pangan di Maluku dan di Indonesia. Pengolah sagu tradisional masih memiliki berbagai hambatan untuk menghasilkan produk-produk olahan sagu yang sesuai dengan perkembangan selera konsumen. Produk yang dihasilkan umumnya produk-produk tradisional yang sudah dikenal sejak dulu, diantaranya sagu lempeng, bagea, dan serut yang kurang dapat berkompetisi dengan produk pangan lainnya terutama yang berbahan dasar terigu yang berkembang pesat. Menyikapi hal ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan pengolah sagu tradisional mengelola usaha melalui penguatan kapasitas diri dan kapasitas usaha. Penguatan kapasitas dapat tercapai jika dilakukan sesuai dengan kondisi nyata pengolah sagu tradisional itu sendiri, baik kondisi sosial ekonomi maupun kondisi kapasitas yang dimiliki saat ini.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan profil sosial ekonomi dan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional, (2) menganalisis hubungan kapasitas pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usaha, dan (3) merumuskan strategi penyuluhan untuk penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional. Penelitian dilakukan di 2 sentra sagu di Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Penelitian lapang berlangsung mulai bulan Januari 2012 hingga April 2012. Jumlah responden adalah 204 rumah tangga pengolah sagu tradisional mewakili 416 rumah tangga sebagai populasi. Besar sampel ditentukan menggunakan formula Slovin dengan derajat kesalahan 5%. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengolah sagu tradisional yang diperoleh dari kantor desa setempat. Penjelasan profil sosial ekonomi dan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional dilakukan secara deskriptif didukung statistik sederhana, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan persentase. Korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah, sedangkan analisis structural equation modeling (SEM) digunakan untuk menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi kapasitas serta melihat kecocokan model empirik penelitian.

(5)

kemampuan menyediakan modal usaha, tenaga kerja, dan akses pasar berada dalam kategori sedang, dan indikator teknologi berada pada kategori rendah. Keadaan ini dicirikan dari tidak adanya sumber modal usaha selain modal sendiri, keuangan usaha tidak terpisah dengan keuangan rumah tangga yang berakibat modal usaha sering terpakai untuk kebutuhan lain. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga dilakukan jika tenaga kerja dalam keluarga tidak mencukupi dan lebih memilih tenaga kerja yang murah. Pengolah sagu tradisional lebih mengandalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan kurang memperhatikan mutu produk. Kesulitan modal sering menyebabkan kesulitan mengganti peralatan-peralatan yang sudah tidak layak pakai. Pemasaran hasil umumnya tidak memiliki kendala, namun jangkauan pemasaran hanya mencapai pasar kabupaten. Meskipun volume penjualan relatif stabil, namun upaya memperluas pasar masih sulit dilakukan.

Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa kapasitas diri berhubungan secara positif dan nyata dengan kapasitas usaha, produktivitas dan pendapatan. Kapasitas usaha berhubungan positif dan sangat nyata dengan produktivitas dan pendapatan. Analisis lebih lanjut menggunakan SEM menunjukkan bahwa profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional (umur, lama berusaha, motivasi, nilai fungsi sosial dan budaya sagu) berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas diri, dan kapasitas diri berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas usaha. Dukungan kelembagaan penyuluhan pertanian berpengaruh positif dan nyata terhadap kapasitas diri dan kapasitas usaha pengolah sagu tradisional. Dengan demikian, peningkatan kapasitas diri dan kapasitas usaha merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam meningkatkan produktivitas usaha (kuantitas dan kualitas produk) dan pendapatan usaha pengolah sagu tradisional di Maluku.

Strategi penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional dilakukan melalui 3 tahap mengacu kepada teori belajar Thorndike. Tahap 1 (hukum kesiapan) menyiapkan pengolah sagu tradisional. Tahap ini diawali dengan merubah pandangan pengolah sagu tradisional yang memandang usaha pengolahan sagu sebagai usaha yang sulit berkembang dan hanya mengisi kebutuhan masyarakat akan produk-produk olahan sagu tradisional. Pandangan ini mempengaruhi perilaku usaha yang dijalankan. Sebenarnya, usaha pengolahan sagu yang dimiliki pengolah sagu tradisional sangat berpotensi untuk dikembangkan karena didukung ketersediaan bahan baku (tepung sagu), sagu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Maluku, dan pasar yang terbuka luas jika dapat menyesuaikan dengan perubahan selera konsumen. Tahap I juga diisi dengan meningkatkan mutu karakteristik pribadi pengolah sagu tradisional dan penguatan kapasitas kelompok. Pada tahap II (hukum latihan) dilakukan penguatan kapasitas diri dan tahap III (hukum akibat) dilakukan penguatan kapasitas usaha. Pada tataran pengambil kebijakan, strategi dilakukan dengan menyamakan pikiran dan tindakan dalam memandang perlunya penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional sebagai salah satu upaya meningkatkan pendapatan masyarakat, melestarikan salah satu budaya daerah, meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambah sagu sebagai komoditi khas daerah, dan mendukung pencapaian diversifikasi pangan,.

(6)

INTA P. N. DAMANIK. Capacity Strengthening of Traditional Sago Processors to Support Food Diversification in Maluku. Supervised by SITI AMANAH, SITI MADANIJAH, and PRABOWO TJITROPRANOTO.

Traditional sago processors have an important role in the development of sago in Maluku which aims not only to increase income of sago processors, but also to support food diversification in Maluku and Indonesia. In fact, traditional sago processors still have many problems to produce sago products which suited for consumer. Sago products are generally traditional products that have been known for a long time, such as sagu lempeng, bagea , and serut that less able to compete with other food products primarily made from wheat. It caused sago consumption declining day by day. For this, efforts are needed to improve capabilities of the traditional sago processors by strengthening their capacity. Strengthening the capacity could be achieved if it is really in accordance with their actual conditions, both their socio-economic conditions and capacities level at this time.

Research objectives were: (1) to describe socio economic profile and capacities level of traditional sago processors, (2) to analyze the relationship between capacities and productivity and income of traditional sago processors, and (3) to make a design of extension strategy for strengthening capacity of traditional sago processors. Research was conducted in the Districts of Central Maluku and West Seram from January 2012 until April 2012. Sample size was 204 households of sago starch processing which determined from population (416 households) by Slovin formula with degree of error 5% and drawn by simple random sampling method using name list of traditional sago processor. Socio economic profile and level of capacities of traditional sago processor were described with descriptive and simple statistic. Spearman correlation was used to analyze the relation between variables, and structural equation modeling (SEM) was used to analyze the dominant factors influencing the capacity and to know fit empirical research model.

The result showed that social economic profile of traditional sago processors were in good conditions to support capacity strengthening; their generally in productive age, high motivation to do business, and still have social and culture values of sago. Personal capacity was in medium category where no business plan, still have many unsolved problems, didn’t have a good match with

consumer’s taste, and promotion never been done. Business capacity was in medium category too where there was no capital resource except their own, business financial was mix with household financial, primarily used cheaper labor if needed. They counted on oldest habitual more and less attention to product quality. Often, capital problems made them couldn’t replace broken tools. There was no problem with marketing, but they could reach district market only. Although selling volume was relatively stable, but difficult to expand market.

(7)

cultural values of sago) have positive and significant influence on personal capacity. In the next term, personal capacity has positive and significant influence on business capacity. Agricultural extension institution has positive influence on personal and business capacity. So, strengthening personal and business capacities

couldn’t be separate each other in order to increase productivity and income of

traditional sago processors in Maluku.

Strategy of capacity strengthening of traditional sago processor can be done

through 3 steps based on Thorndike’s theory. Step 1 (law of readiness) prepare

traditional sago processors. This step starts with changing their thought about sago processing. According to them, traditional sago processing is a business that

hard to develop and only to meet people’s need about traditional sago product,

and these influences their business behavior. Actually, business of traditional sago processing is very potential to develop because supported by availability of sago starch; sago is a part of live of people in Maluku; and market guarantee if

good match with consumer’s taste. Step 1 also to improve characteristic quality

of traditional sago processors and strengthening group capacity. Step 2 (law of exercises) is a step to increase business capacity. At the level of policy makers, this strategy can be done by making same opinion and actions to see the importance of traditional sago processing as an effort to increase community income, to preserve one of the local culture, to support the achievement of food diversification, to increase utilization and value-added of sago as typical commodities of Maluku.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGUATAN KAPASITAS PENGOLAH SAGU TRADISIONAL

UNTUK MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN

DI MALUKU

INTA P. N. DAMANIK

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Drajat Martianto, MSi

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

2. Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Mei Rochjat Darmawiredja, MEd Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

2. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM

(11)

Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku Nama : Inta P. N. Damanik

NIM : I361090101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 20 Desember 2013 Tanggal Lulus: 20 Januari 2014 Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS

Anggota

Dr Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis memilih tema penguatan kapasitas terkait dengan diversifikasi pangan dengan judul Penguatan Kapasitas Pengolah Sagu Tradisional untuk Mendukung Diversifikasi Pangan di Maluku. Dasar pemilihan tema ini adalah di satu sisi Maluku memiliki potensi sagu yang dapat dikembangkan untuk mendukung diversifikasi pangan, di sisi lain, para pengolah sagu tradisional yang jumlahnya dominan di Maluku masih memiliki berbagai hambatan untuk mengembangkan usahanya. Penelitian berlangsung sejak bulan Januari 2012 hingga April 2012.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr Ir Siti Amanah, MSc; Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS; dan Bapak Dr Prabowo Tjitropranoto, MSc selaku Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto, MSi dan Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tertutup; Bapak Dr Ir Mei Rochjat Darmawiredja, MEd dan Bapak Prof(R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM selaku Penguji Luar Komisi pada ujian terbuka; dan Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi mewakili Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada ujian tertutup dan terbuka, diucapkan terima kasih atas segala pertanyaan, saran dan kritik yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan disertasi ini. Terima kasih disampaikan kepada pihak Nuffic melalui Project of Agriculture (NPT-IDN 250) bekerjasama dengan Universitas Pattimura (UNPATTI) selaku pemberi dana beasiswa studi bagi penulis. Tidak lupa kepada pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten yang terpilih sebagai lokasi penelitian serta Pemerintah Provinsi Maluku atas ijin yang diberikan kepada penulis melakukan penelitian diucapkan terima kasih. Kepada seluruh responden dan enumerator yang telah membantu sehingga seluruh data yang dibutuhkan dapat dikumpulkan diucapkan terima kasih. Kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2009 yang turut mendukung penyelesaian disertasi ini diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga penulis, terutama suami tercinta Meilvis E. Tahitu dan putri tersayang, Pricillia Karlini atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini.

Penulis tetap membuka diri untuk semua saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan disertasi ini. Harapan penulis, kiranya karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(13)

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 8

Ruang Lingkup Penelitian ... 9

2 PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN TINGKAT KAPASITAS PENGOLAH SAGU TRADISIONAL DI MALUKU ... 11

Abstrak ... 11

Pendahuluan ... 11

Metode Penelitian ... 14

Hasil dan Pembahasan ... 15

Simpulan ... 34

3 HUBUNGAN KAPASITAS PENGOLAH SAGU TRADISIONAL DENGAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN USAHA ... 36

Abstrak ... 36

Pendahuluan ... 36

Metode Penelitian ... 39

Hasil dan Pembahasan ... 40

Simpulan ... 52

4 STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS PENGOLAH SAGU TRADISIONAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS USAHA DI MALUKU ... 53

Abstrak ... 53

Pendahuluan ... 53

Metode Penelitian ... 57

Hasil dan Pembahasan ...1 60 Simpulan ... 79

5 PEMBAHASAN UMUM ... 81

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 90

Simpulan ... 90

Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

LAMPIRAN ... 99

(14)

1 Eksplorasi beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku dan

Indonesia ... 6 2 Lokasi penelitian, sebaran populasi, dan sebaran responden ... 10 3 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut umur, pendidikan formal,

pendidikan non formal, lama berusaha dan motivasi berusaha ... 16 4 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut jumlah anggota keluarga,

jumlah tanggungan, dan pendapatan rumah tangga ... 18 5 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut akses terhadap informasi,

nilai fungsi sosial dan budaya sagu ... 20

6 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut penilaian tingkat dukungan pemerintah dan swasta ... 21

7 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut penilaian pelaksanaan fungsi penyuluh ... 22 8 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut kategori kapasitas diri ... 24 9 Masalah utama pengolah sagu tradisional menurut jenis produk yang

dihasilkan ... 25 10 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut kategori kapasitas usaha ... 27

11 Nilai hubungan antara profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dengan kapasitas diri dan kapasitas usaha ... 30

12 Nilai hubungan antara dukungan kelembagaan dengan kapasitas diri dan kapasitas usaha ... 32 13 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat produktivitas usaha .. 43 14 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut besar pendapatan usaha ... 44 15 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat kapasitas diri dan

kapasitas usaha ... 44 16 Nilai hubungan antara kapasitas diri pengolah sagu tradisional dengan

produktivitas dan pendapatan usaha ... 45 17 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat kapasitas diri,

produktivitas dan pendapatan usaha ... 46 18 Hubungan antara kapasitas usaha pengolah sagu tradisional dengan

produktivitas dan pendapatan usaha ... 47 19 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat kapasitas usaha,

produktivitas dan pendapatan usaha ... 47 20 Rantai pemasaran produk olahan sagu di setiap desa penelitian ... 50 21 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat produktivitas dan

(15)

23 Dekomposisi pengaruh antar peubah penguatan kapasitas pengolah

sagu tradisional (standardized, n = 204) ... 61

24 Jumlah penyuluh pertanian PNS di desa-desa penelitian tahun 2012 ...6 464 25 Komponen-komponen penyuluhan untuk penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional ... 72

26 Rancangan strategi penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku ... 75

27 Kapasitas pengolah sagu tradisional kini dan yang diharapkan ... 84

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir penelitian penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional ... 3

2 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut jangkauan pemasaran terjauh produk usaha ... 29

3 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat komponen kapasitas diri ... 40

4 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat komponen kapasitas usaha ... 41

5 Berbagai rantai pemasaran sagu di lokasi penelitian ... 49

6 Hubungan antar peubah penelitian ... 56

7 Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian ... 59

8 Estimasi parameter hybrid model penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional (standardized) ... 62

9 Skema strategi penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional ... 71

10 Skema strategi penyuluhan untuk penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional ... 78

(16)

1 Posisi lokasi penelitian terhadap Kota Ambon (Ibukota Provinsi Maluku) ... 99

2 Definisi operasional dan pengukuran peubah ... 100 3 Hubungan antar indikator profil sosial ekonomi pengolah sagu

tradisional 106

4 Makna setiap kategori komponen kapasitas diri pengolah sagu

tradisional 107

5 Makna setiap kategori komponen kapasitas usaha pengolah sagu

tradisional 109

6 Beberapa dokumentasi penelitian ... 111 7 Nilai hubungan antara kapasitas diri dengan kapasitas usaha

pengolah sagu tradisional ... 112 8 Contoh kartu pengujian produk olahan sagu oleh BPOM Ambon ... 113 9 Nilai hubungan antara kapasitas diri pengolah sagu tradisional

dengan produktivitas dan pendapatan usaha ... 114 10 Nilai hubungan antara kapasitas usaha pengolah sagu tradisional

(17)

Latar Belakang

Sagu merupakan salah satu pangan lokal masyarakat Maluku yang berpotensi dikembangkan guna mendukung diversifikasi pangan di Maluku khususnya dan Indonesia umumnya. Pengembangan sagu di Maluku bertujuan menguatkan kembali peran sagu sebagai bahan pangan yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Menurunnya konsumsi sagu di Maluku antara lain disebabkan segi kepraktisan dalam mengonsumsi beras, yaitu mudah dimasak, terlebih dengan alat penanak nasi elektrik; tetap enak dikonsumsi meskipun sudah dingin; lebih mudah menyediakan lauk yang sesuai; dan mudah dibeli di kios-kios terdekat (Damanik 2008), sedangkan produk olahan sagu masih didominasi bentuk-bentuk olahan tradisional sehingga belum mampu meningkatkan nilai tambah sagu serta memenuhi selera konsumen, khususnya generasi muda. Atapary (2010) menemukan beberapa jenis produk olahan tradisional sagu di Maluku seperti kue kering bagea dan serut dari tahun ke tahun mengalami penurunan penjualan sekitar 40% karena konsumen lebih memilih produk sagu dengan bentuk dan rasa yang berbeda.

Saat ini sekitar 59% total konsumsi karbohidrat tiap penduduk/tahun di Maluku dipenuhi dari beras dan terigu, sisanya sebanyak 41% dipenuhi dari pangan lokal berupa sagu. Dengan demikian, Maluku membutuhkan beras sekitar 120 ribu ton/tahun, sedangkan produksi beras di Maluku sekitar 70 ribu ton, dan sekitar 50 ribu ton harus didatangkan dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur (Sabirin 2011). Kebutuhan beras akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, padahal secara umum peningkatan permintaan beras akan semakin sulit dipenuhi karena 2 faktor penghambat utama, yaitu: laju konversi lahan sawah ke non pertanian yang cukup tinggi, sekitar 110 ribu ha/tahun (Abubakar 2008) dan semakin banyak masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi umbi-umbian kini beralih ke beras (Apriyantono 2007). Di samping itu, faktor perubahan iklim, bencana alam yang menggagalkan panen, serta meningkatnya lahan sawah yang mengalami metafora juga menghambat ketersediaan beras.

Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku pada tahun 2011 telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu (disebut Perda Sagu) yang diantaranya bertujuan menjamin ketersediaan sumber bahan makanan penghasil karbohidrat seperti diatur dalam Pasal 3 Perda Sagu tersebut (Pemerintah Provinsi Maluku 2011). Ini berarti sagu dapat diandalkan sebagai pangan masa depan meskipun pada saat ini peran sagu sebagai bahan pangan di Maluku mengalami penurunan.

(18)

sagu tradisional. Keberadaan pengolah sagu tradisional ini ternyata belum mampu meningkatkan pemanfaatan potensi sagu dan permintaan produk olahan sagu. Keterbatasan pengolah sagu tradisional dalam berusaha menyebabkan produk-produk sagu yang dihasilkan masih didominasi jenis-jenis produk-produk tradisional seperti sagu lempeng, bagea, dan serut sehingga belum dapat memenuhi selera konsumen yang senantiasa berubah. Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka produk dari pengolah sagu tradisional akan semakin sulit berkompetisi dengan produk-produk pangan olahan lainnya. Keadaan ini akan berdampak terhadap pendapatan pengolah sagu tradisional mengingat usaha ini merupakan salah satu sumber pendapatan rumah tangga di sentra-sentra sagu. Nilai tambah sagu sebagai bahan pangan juga tidak akan meningkat jika tidak ada produk-produk pangan sagu inovatif yang dihasilkan.

Salah satu cara meningkatkan peran pengolah sagu tradisional dalam memanfaatkan potensi sagu adalah merubah perilaku usaha dari sekedar menjalankan usaha menjadi perilaku usaha yang senantiasa ingin berkembang. Perubahan perilaku diharapkan terjadi secara terencana (planned change) dengan fokus kegiatan menghilangkan hambatan-hambatan terjadinya perubahan (Lippitt et al. 1958). Perubahan perilaku usaha perlu dilakukan mengingat sebagian besar pengolah sagu tradisional menjalankan usaha menurut cara-cara yang diperoleh dari orang tua, termasuk dalam mengelola usaha. Perubahan perilaku usaha diharapkan dapat mendorong pengembangan usaha yang tidak hanya diukur dari kuantitas produk, tetapi juga kualitas produk sehingga dapat meningkatkan daya saing produk tersebut. Dengan demikian, pengembangan usaha pengolahan sagu tradisional tidak hanya meningkatkan pendapatan rumah tangga pengolah sagu, tetapi juga dapat mendukung tercapainya diversifikasi pangan di Maluku khususnya dan di Indonesia umumnya.

Konsep diversifikasi pangan telah banyak dibahas para pakar, diantaranya Kasryno et al. 1993 (Aswar 2011) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat yang mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Sehubungan dengan itu, Madanijah et al. (2004) menekankan pentingnya implementasi diversifikasi konsumsi pangan pokok di tingkat masyarakat. Syah (2009) menjelaskan bahwa diversifikasi pangan adalah usaha yang terkait dengan penyediaan berbagai ragam produk pangan, baik dalam jenis maupun bentuknya sehingga konsumen memiliki berbagai pilihan menu makanan harian. Sejalan dengan itu, konsep diversifikasi pangan mencakup tiga hal, yaitu: (1) diversifikasi horizontal; yaitu usaha mengubah usahatani yang berbasis padi menjadi usahatani berbasis tanaman pangan lainnya, (2) diversifikasi vertikal; yaitu pengembangan produksi setelah panen, dan (3) diversifikasi regional; yaitu penganekaragaman komoditas pangan berdasarkan pendekatan wilayah dan keragaman sosial budaya.

(19)

inovatif merupakan peluang untuk kembali meningkatkan kecintaan masyarakat, khususnya generasi muda terhadap sagu.

Kemampuan menghasilkan produk-produk olahan sagu yang inovatif sesuai permintaan konsumen/pasar juga mencerminkan kemampuan melakukan salah satu bentuk diversifikasi vertikal terhadap sagu. Sehubungan dengan itu, penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional menjadi penting. Secara skematis, kerangka berpikir penelitian penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka berpikir penelitian penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional

Landasan Teori

Setiap individu secara alamiah memiliki kapasitas yang melekat pada dirinya. Kapasitas berkaitan dengan kinerja yang dicapai seseorang atau organisasi (Liou 2004; Syahyuti 2006). Kapasitas yang tinggi berarti adanya kemampuan dan kapabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan fungsi terkait dengan keberadaan seseorang atau organisasi. Dengan demikian, kapasitas yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi dan sebaliknya. Besarnya peran kapasitas dalam meningkatkan kinerja mendorong orang atau organisasi untuk selalu meningkatkan atau menguatkan kapasitas (capacity building).

Eade (2003) mendefinisikan capacity building (penguatan kapasitas) sebagai upaya menguatkan kapasitas masyarakat sehingga mampu menentukan nilai-nilai dan prioritas serta mengorganisir diri untuk bertindak. Kemampuan ini merupakan dasar dari pembangunan dan merupakan respon yang berkelanjutan terhadap proses perubahan yang multidimensi. Ada berbagai cara menguatkan kapasitas masyarakat, diantaranya dengan meningkatkan kemampuan sains, teknologi dan inovasi (STI). Melalui STI, penguatan kapasitas dilakukan pada 4 tingkatan yang berbeda, yaitu: (1) pemerintah sebagai pembuat kebijakan, (2)

DIVERSIFIKASI PANGAN MENUJU KETAHANAN

PANGAN

Kebutuhan Pangan

Budaya Masyarakat Setempat

Dukungan terhadap Diversifikasi Pangan Ketersediaan Pangan

Lokal (Sagu)

PENGOLAH SAGU TRADISIONAL

Kapasitas Diri dan Kapasitas Usaha

Pengolah Sagu Tradisional

Hasil Usaha Pengolahan Sagu

(20)

keterampilan tenaga kerja, (3) inovasi perusahaan, (4) lembaga pendidikan dan pelatihan serta lembaga riset yang semua bertujuan mengurangi kemiskinan (The World Bank 2008). Artinya penguatan kapasitas tidak akan bermanfaat jika tidak dilakukan pada seluruh komponen sistem yang ada.

Penguatan kapasitas dapat dilakukan melalui berbagai bentuk pendidikan non formal, diantaranya penyuluhan. Penyuluhan yang dibutuhkan menurut Tjitropranoto (2005) adalah penyuluhan yang tidak hanya terbatas pada perubahan pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga dengan menimbulkan sikap, rasa percaya diri, dan rasa tanggung jawab atau komitmen. Sehubungan dengan itu, persepsi tentang penyuluhan pembangunan juga perlu diluruskan. Sumardjo (2008) menjelaskan beberapa persepsi yang kurang tepat tentang penyuluhan pembangunan, yaitu penyuluhan identik dengan penerangan dengan proses yang non dialogis, bersifat top down, identik sebagai proses indoktrinasi, dogmatis dan menggurui, merupakan proses rekayasa sosial yang dilakukan pihak luar, dan hanya berorientasi target pemerintah. Pada intinya penyuluhan berupaya membangun struktur masyarakat melalui proses yang bersifat konvergen, dialogis, demokratis, dan partisipatis. Agar proses ini dapat berjalan, dalam melaksanakan tugasnya penyuluh perlu tetap memegang filosofi penyuluhan yang terdiri dari (Asngari 2008): (1) falsafah mendidik/pendidikan, (2) falsafah pentingnya individu, (3) falsafah demokrasi, (4) falsafah bekerjasama, (5) falsafah membantu klien membantu diri sendiri, (6) falsafah kontinu/berkelanjutan, dan (7) falsafah membakar sampah (secara tradisional, baik individual maupun kelompok). Adanya falsafah penyuluhan menunjukkan bahwa proses perubahan perilaku dalam penyuluhan dilakukan dengan menghargai individu (klien) yang oleh Slamet (2003) disebut dengan pendekatan humanistik-egaliter. Pendekatan humanistik-egaliter menimbulkan sikap saling menghargai antara penyuluh dengan kliennya sehingga mempercepat tercapainya tujuan penyuluhan.

Lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UUSP3K) memberikan landasan yang kuat dan jelas terhadap pelaksanaan penyuluhan pertanian secara luas. UUSP3K mengatur sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan dalam suatu pengaturan yang terpadu dan serasi antara penyuluhan yang dilaksanakan pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta dan swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Departemen Pertanian 2008).

Pelaksanaan penyuluhan terkait erat dengan teori-teori belajar, terutama teori belajar perilaku, diantaranya teori belajar Thorndike yang diperkenalkan E. L. Thorndike. Teori ini disebut dengan istilah hukum pengaruh yang memandang perilaku sebagai respons terhadap stimulus-stimulus di sekitar lingkungan. Respons akan kembali diulang dan ditingkatkan jika diikuti perubahan yang memuaskan dalam lingkungan. Sebaliknya, jika tidak terjadi perubahan yang memuaskan atau tidak terjadi perubahan dalam lingkungan, maka tidak akan terjadi pengulangan respon (Dahar 1989). Pengulangan respon menyebabkan perubahan perilaku.

(21)

dari dalam dan luar dirinya. Perkataan benar artinya paling mendekati atau paling sesuai harapan sumber rangsangan. Dengan memberikan reaksi yang benar, seseorang akan dapat meningkatkan kualitas usaha dan hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ife dan Tesoriero (2008) yang menyatakan bahwa tujuan akhir dari pengembangan masyarakat adalah menjadikan masyarakat yang berswadaya.

Dalam bidang pangan, pengembangan masyarakat bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mampu mengelola pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan menjaga ketersediaan pangan. Penetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan penguatan dan landasan pentingnya peran pangan lokal untuk menjamin ketersediaan pangan. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan di daerah dan pengembangan produksi pangan lokal (Pasal 12 Ayat 1 dan 2). Selanjutnya dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa pengembangan potensi produksi pangan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber pendanaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana pangan, serta kelembagaan pangan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012).

Perumusan Masalah

Profil sosial ekonomi yang berbeda sering menjadi faktor penyebab perbedaan kapasitas seseorang dalam mengembangkan usaha. Nurfazreen et al. (2013) menemukan bahwa umur, tingkat pendidikan, skala usaha, pengalaman dalam dunia usaha, lama menekuni usaha, dan tingkat pendapatan mempengaruhi motivasi kaum perempuan dalam mengembangkan kapasitas berusaha. Mani (2013) juga menemukan faktor pengalaman berusaha menjadi salah satu faktor yang menentukan kesuksesan berusaha.

Pengolah sagu tradisional dengan profil sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain juga mengalami kesulitan mengembangkan usaha. Hal ini menjadi menarik dikaitkan dengan pentingnya meningkatkan peran pengolah sagu tradisional dalam mendukung diversifikasi pangan di Maluku. Terkait dengan keadaan ini, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil sosial ekonomi dan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional saat ini?

2. Bagaimanakah hubungan antara kapasitas pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usaha sehingga penguatan kapasitas perlu dilakukan?

3. Bagaimana strategi alternatif penyuluhan untuk penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional?

Tujuan Penelitian

(22)

1. Mendeskripsikan profil sosial ekonomi dan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional

2. Menganalisis hubungan kapasitas pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usaha

3. Merumuskan strategi alternatif penyuluhan untuk penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional.

Kebaruan Penelitian

Tingkat pemanfaatan tepung sagu di Maluku berkisar 24% (28.6 ribu ton) sedangkan potensi produksi tepung kering per ha mencapai 119 168 ton per tahun. Sisanya sekitar 90.6 ribu ton tepung sagu kering terbuang di hutan setiap tahun (Pemerintah Provinsi Maluku 2006). Potensi ini akan semakin meningkat karena berbagai upaya revitalisasi sagu yang telah, sedang, dan akan dilakukan lebih difokuskan pada aspek budidaya sagu dan produksi tepung sagu.

Kebaruan penelitian ini terletak pada aspek penelitian yang dipilih, yaitu kapasitas diri dan kapasitas usaha pengolah sagu tradisional. Penelitian terhadap kapasitas pengolah sagu tradisional merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan pengembangan sagu di Maluku di samping berbagai penelitian terdahulu dengan pendekatan yang berbeda (Tabel 1).

Tabel 1 Eksplorasi beberapa penelitian pengembangan sagu di Maluku dan Indonesia

No. Peneliti, tahun dan jenis penelitian

(23)

Tabel 1 (lanjutan) No. Peneliti, tahun dan

jenis penelitian

(24)

Tabel 1 (lanjutan) No. Peneliti, tahun dan

jenis penelitian

Judul penelitian Topik penelitian Kontribusi penelitian

Melalui penelitian ini akan terungkap potensi yang sebenarnya dimiliki pengolah sagu tradisional. Pengungkapan potensi ini dapat menjadi pedoman atau arahan meningkatkan peran pengolah sagu tradisional dalam menghasilkan produk-produk olahan sagu yang lebih inovatif dan kompetitif melalui perubahan terencana dan bertahap. Dalam hal ini, peningkatan kapasitas dilakukan dengan mendorong pengolah sagu tradisional mengembangkan potensi yang dimiliki dan bukan berdasarkan kebutuhan pihak luar. Peran pengolah sagu tradisional dinilai strategis karena jumlahnya yang dominan sehingga terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat di sentra-sentra sagu di Maluku.

Secara umum, penelitian pengembangan sagu lebih banyak berfokus pada aspek produk industri dari tepung sagu, diantaranya penelitian dari: W. J. Wang, et al. (1996) tentang Sago Starch as A Biomass Source: Raw Sago Starch Hydrolysis by Commercial Enzymes; Abd-Aziz dan Suraini (2002) tentang Sago Starch and Its Utilisation; Roy Ellen (2004) tentang Processing Metroxylon Sagu Rottboell (Arecaceae) as a Technological Complex: A Case Study from South Central Seram, Indonesia; Rekha S. Singhal et al., (2004) tentang Industrial Production, Processing, and Utilization of Sago Palm-Derived Products; Fridayani (2006) tentang Produksi Sirup Glukosa dari Pati sagu yang Berasal dari Beberapa Wilayah di Indonesia; M. H. Bintoro (2011) tentang Proggress of Sago Research in Indonesia; Yoshinori Yamamoto (2011) tentang Starch Productivity of Sago Palm and The Related Factors; and Kopli Bujang (2011) tentang Potential of Sago for Commercial Production of Sugars.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan proses pembelajaran dalam menghasilkan suatu desain strategi penyuluhan untuk meningkatkan kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku. Penelitian didasarkan atas kajian teoritik dan empirik. Lebih jelasnya, manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat akademis:

(25)

b. Sebagai bahan informasi dan pengayaan dalam pengembangan Ilmu Penyuluhan Pembangunan, terutama aspek perilaku dalam kaitannya dengan penguatan kapasitas pengolah pangan lokal.

2. Manfaat praktis

Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, daerah lain yang memiliki kesamaan dengan daerah penelitian, dan pihak-pihak terkait dalam menyusun strategi pengembangan sagu untuk mendukung diversifikasi pangan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus pada perilaku (behavior) pengolah sagu tradisional dalam menjalankan usaha pengolahan tepung sagu menjadi aneka jenis pangan siap dikonsumsi. Perilaku yang diamati mulai dari kegiatan mempersiapkan bahan baku dan peralatan, mengolah tepung sagu menjadi produk sagu siap dikonsumsi, hingga memasarkan produk tersebut. Perilaku yang ditampilkan merupakan bentuk perwujudan kapasitas yang dimiliki pengolah sagu tradisional dan dukungan lingkungan sekitarnya.

Hasil penelitian disusun dalam tiga rangkaian penelitian. Penelitian pertama tentang profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dengan tingkat kapasitas yang dimiliki. Bagian ini memberikan gambaran awal tentang kondisi sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dan kaitannya dengan kapasitas yang dimiliki. Penelitian kedua menganalisis hubungan kapasitas pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usaha. Produktivitas dan pendapatan usaha menjadi penting karena usaha ini adalah salah satu sumber pendapatan bagi rumah tangga pada sentra-sentra sagu. Upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan usaha sering terkendala berbagai hal yang belum dapat dipecahkan dengan kapasitas yang dimiliki. Dibutuhkan strategi untuk menguatkan kapasitas pengolah sagu tradisional. Penelitian ketiga menyajikan tentang strategi untuk menguatkan kapasitas pengolah sagu tradisional. Penguatan kapasitas pengolah sagu tradisional bertujuan meningkatkan kemampuan usaha untuk menghasilkan produk-produk yang inovatif dan kompetitif.

Penelitian ini mengambil kasus pada 2 sentra komoditas sagu di Provinsi Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Mewakili setiap kabupaten dipilih 2 kecamatan dan mewakili kecamatan terpilih ditentukan 2 desa sebagai lokasi penelitian. Kecamatan dan desa penelitian yang dipilih merupakan sentra pengolahan sagu tradisional, mewakili kecamatan/desa yang terdekat dan terjauh dari ibukota kabupaten/ibukota kecamatan, dan tidak memiliki hambatan transportasi. Posisi 4 kecamatan terpilih terhadap Kota Ambon sebagai Ibukota Provinsi Maluku disajikan pada Lampiran 1.

(26)

jumlah populasi di desa tersebut. Penentuan anggota sampel dilakukan secara acak, yang berarti tidak memperhatikan strata dalam populasi (Sudjana 2001) sehingga setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Sebaran sampel di setiap desa penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Lokasi penelitian, sebaran populasi, dan sebaran responden

No. Kabupaten Kecamatan Desa Populasi (RT) Sampel (RT)

I. Maluku

Sumber: Kantor desa setempat (2012) dan penelitian pendahuluan (2012).

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara berdasarkan kuesioner yang telah disiapkan, dan wawancara mendalam dengan sejumlah responden terpilih. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber relevan sesuai dengan tujuan penelitian. Tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat juga dijadikan narasumber. Pengamatan langsung di lapangan dan focused group discussion dilakukan untuk mendukung data yang diperlukan.

Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan tertutup menggunakan skala Likert dan pertanyaan terbuka. Skala Likert dipilih karena dapat digunakan sebagai salah satu cara menentukan skor (Kerlinger 1998) dan sering digunakan mengukur fenomena sosial (Sugiono 2001). Definisi operasional dan pengukuran setiap peubah penelitian disajikan pada Lampiran 2.

Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan pada 30 orang pengolah sagu tradisional di Desa Mahu Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah yang dianggap memiliki kemiripan dengan kondisi dan keadaan responden penelitian. Validitas merujuk pada tingkat kemampuan suatu pengukuran secara empiris menggambarkan makna nyata dari konsep yang sedang dipertimbangkan (Babbie 2004). Reliabilitas menunjukkan tingkat keandalan dan kepercayaan suatu alat pengukur (Ancok 2008). Validitas instrumen diuji menggunakan teknik korelasi Pearson, sedangkan reliabilitas instrumen diuji dengan metode Alpha-Cronbach.

(27)

PENGOLAH SAGU TRADISIONAL DI MALUKU

Abstrak

Komoditi sagu di Maluku sangat potensial untuk dikembangkan, terutama untuk mendukung diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Terkait dengan hal tersebut, dibutuhkan pengolah-pengolah sagu yang mampu menghasilkan produk-produk olahan sagu sesuai selera konsumen. Pengolah sagu di Maluku didominasi pengolah sagu tradisional yang mengolah sagu dengan cara tradisional sebagai warisan dari generasi sebelumnya. Produk olahan sagu yang dihasilkan juga didominasi produk-produk tradisional, seperti sagu lempeng, bagea, dan serut; sementara itu, permintaan konsumen atas produk-produk olahan sagu yang lebih variatif semakin meningkat. Upaya peningkatan kemampuan pengolah sagu tradisional yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil optimal karena kurang memperhatikan profil sosial ekonomi dan kapasitas pengolah sagu tradisional. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil sosial ekonomi dan kapasitas pengolah sagu tradisional di Maluku. Penelitian dilakukan di 2 sentra komoditi sagu di Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Setiap kabupaten diwakili 2 kecamatan dan setiap kecamatan diwakili 2 desa. Dengan demikian, 8 desa dipilih secara sengaja untuk mewakili 2 kabupaten terpilih. Sampel berukuran 204 rumahtangga pengolah sagu tradisional yang mewakili 416 populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil sosial ekonomi pengolah sagu mendukung untuk pengembangan kapasitasnya, yaitu sebagian besar berumur produktif (27–64 tahun), memiliki motivasi berusaha yang tinggi, dan masih memegang tinggi nilai sosial serta nilai budaya sagu. Kapasitas pengolah sagu tradisional, baik kapasitas diri maupun kapasitas usaha perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peran kelembagaan sangat diperlukan, baik peran kelembagaan penyuluhan, maupun kelembagaan pemerintah dan swasta. Kata kunci: kapasitas, pengolah sagu tradisional, profil sosial ekonomi

Pendahuluan

Pengolah sagu tradisional di Maluku memiliki profil sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain, termasuk perbedaan pandangan terhadap nilai fungsi sosial dan budaya sagu sebagai dampak perubahan yang berlangsung cepat dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan profil sosial ekonomi antar pengolah sagu menarik untuk diteliti karena beberapa hasil penelitian tentang perilaku menemukan bahwa profil setiap orang memiliki arti dan peran tertentu dalam membentuk perilaku orang tersebut, diantaranya ditemukan pada petani sayuran di Pasuruan dan Malang (Subagio 2008), dan petani padi sawah lebak di Sumatera Selatan (Yunita 2011).

(28)

warisan orang tua. Usaha pengolahan sagu dilakukan sebagai rutinitas tanpa ada perkembangan yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi pengolah sagu tradisional adalah mengembangkan usaha, terutama menyesuaikan produk olahan sagu dengan selera konsumen yang senantiasa berubah. Konsumen harus menjadi titik tolak suatu proses dengan 4 unsur yang disebut bauran pemasaran (Kotler 2000; Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan 2005), yaitu produk, harga, tempat, dan promosi. Konsumen perlu selalu dilibatkan dalam mempersiapkan produk agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Selain itu, jika ingin meraih pasar/konsumen yang lebih baik, produsen harus mampu menghasilkan produk-produk inovatif yang disukai konsumen. Sebagian besar pengolah sagu tradisional di Maluku belum mampu memberikan respon yang tepat atas kebutuhan produk olahan sagu yang seharusnya dihasilkan. Kemampuan/kapasitas atau daya yang dimiliki pengolah sagu tradisional belum mendukung untuk menghasilkan produk-produk olahan sagu yang dapat bersaing dengan produk-produk pangan lainnya.

Terkait dengan kapasitas, United Nation Development Project (UNDP) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, institusi dan masyarakat melaksanakan fungsi, memecahkan masalah, menyusun dan mencapai tujuan secara berkelanjutan (Baser dan Morgan 2008). UNDP (2008) menjelaskan pentingnya kapasitas individu, organisasi, dan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan individu, organisasi, dan masyarakat yang mendukung pada pencapaian tujuan pembangunan milenium (millennium development goals/MDGs). Kapasitas juga merupakan kombinasi yang muncul dari kompetensi-kompetensi yang dimiliki individu, gabungan kemampuan-kemampuan, asset dan hubungan yang memungkinkan suatu sistem kehidupan manusia dapat menciptakan nilai (Baser dan Morgan 2008) dan bukan menetes melalui struktur kekuasaan melainkan melalui langkah-langkah aktif yang dilakukan sendiri oleh individu-individu tersebut (Eade 2003). Terkait dengan hal tersebut, kapasitas sering dikaitkan dengan kinerja, kemampuan, kapabilitas, dan potensi seseorang (Liou 2004; Baser dan Morgan 2008). Dengan kata lain, kapasitas berkaitan dengan kinerja yang dicapai seseorang atau organisasi (Liou 2004; Syahyuti 2006); kapasitas yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi dan sebaliknya.

Pentingnya kapasitas dalam mencapai tujuan seseorang ditunjukkan Subagio et al. (2008) yang meneliti kapasitas petani dan menyatakan bahwa kapasitas petani adalah daya-daya yang dimiliki pribadi seorang petani untuk dapat menetapkan tujuan usahatani secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang tepat pula. Tjitropranoto (2005) menjelaskan bahwa kapasitas seseorang (petani) dapat dibedakan menjadi kapasitas diri dan kapasitas sumber daya dan sarana yang menurut Subagio et al. (2008) dapat disebut kapasitas lingkungan. Kapasitas diri merupakan perwujudan dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terinternalisasi dalam diri seseorang (Tjitropranoto 2005; Subagio et al. 2008). Di samping aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, kapasitas diri menurut Tjitropranoto (2005) juga dibentuk oleh rasa percaya diri, komitmen, dan kewirausahaan; sedangkan kapasitas sumber daya dan sarana meliputi lahan, modal usaha, dan pasar.

(29)

tradisional di Maluku masih mempertahankan produk-produk olahan sagu yang bersifat tradisional dengan proses pengolahan yang juga masih tradisional. Adanya berbagai dukungan dari kelembagaan pemerintah, swasta, dan penyuluhan pada kenyataannya belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Produk-produk olahan sagu inovatif yang dihasilkan pengolah sagu tradisional masih sulit ditemukan. Dengan kata lain, diversifikasi olahan sagu masih terbatas, padahal menurut paparan Gubernur Maluku tahun 2006, terbatasnya diversifikasi produk sagu merupakan salah satu penyebab menurunnya konsumsi sagu masyarakat Maluku. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini mencoba menemukan jawaban atas kondisi usaha pengolah sagu tradisional melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional di Maluku? 2. Bagaimanakah penilaian pengolah sagu tradisional terhadap dukungan

kelembagaan (pemerintah, swasta dan penyuluhan) selama ini? 3. Bagaimanakah tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional saat ini?

4. Bagaimanakah hubungan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dan dukungan kelembagaan selama ini terhadap kapasitas pengolah sagu tradisional?

Penelitian ini bertujuan menganalisis lebih jauh tentang pengolah sagu tradisional, baik tentang profil sosial ekonomi maupun kapasitasnya dalam mengolah sagu. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional di Maluku 2. Mendeskripsikan penilaian pengolah sagu tradisional tentang dukungan

kelembagaan terhadap usaha pengolahan sagu selama ini. 3. Mendeskripsikan tingkat kapasitas pengolah sagu tradisional

4. Menganalisis hubungan antara profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional dan dukungan kelembagaan dengan tingkat kapasitas yang dimilikinya.

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional.

2. Kapasitas usaha pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional.

3. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan dukungan kelembagaan yang ada.

4. Kapasitas usaha pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan dukungan kelembagaan yang ada.

(30)

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat hingga ke pemerintahan desa dan pihak-pihak lain yang terkait dalam menyusun berbagai program dan kebijakan pengembangan pengolah sagu tradisional. Pengolah sagu tradisional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengembangan sagu Maluku, karena itu pemahaman yang komprehensif tentang profil pengolah sagu tradisional dan profil usahanya menjadi penting.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada 8 desa yang mewakili 4 kecamatan terpilih dari Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat sebagai sentra komoditas sagu di Provinsi Maluku. Kedelapan desa yang terpilih adalah: Desa Nolloth, Ihamahu, Suli, dan Waai yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah; dan desa Piru, Manipa, Lumoli, dan Iha di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pengumpulan data berlangsung sejak bulan Januari 2012 hingga April 2012.

Populasi penelitian berjumlah 416 rumah tangga pengolah sagu tradisional di desa-desa penelitian yang sudah menjalankan usaha pengolahan sagu minimal 5 tahun. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Slovin dengan memilih derajat kesalahan 5%, sehingga jumlah responden adalah 204 rumah tangga pengolah sagu tradisional. Distribusi responden untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di setiap desa. Penentuan anggota sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengolah sagu yang diperoleh dari kantor setiap desa terpilih. Unit analisis adalah rumah tangga pengolah sagu tradisional dengan responden utama adalah orang yang menjalankan usaha pengolahan sagu di rumah tangga tersebut.

Data primer yang meliputi profil sosial ekonomi, dukungan kelembagaan, kapasitas diri, dan kapasitas usaha diperoleh dari responden melalui wawancara yang berpedoman kepada kuesioner. Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan Skala Likert serta pertanyaan tertutup dan terbuka. Di samping itu, untuk mengklarifikasi data penelitian, dilakukan wawancara mendalam dan focused group discussion (FGD) dengan sejumlah responden terpilih, yaitu responden tertua dan termuda, responden dengan tingkat pendidikan formal tertinggi, responden dengan tahun usaha terpanjang, dan 1 atau 2 orang pedagang pengumpul sagu yang membeli sagu dari setiap desa.

Data sekunder meliputi jumlah pengolah sagu tradisional yang diperoleh dari kantor pemerintah desa; informasi tentang dukungan kelembagaan yang pernah diberikan untuk pengolah sagu tradisional diperoleh dari kantor pemerintah desa, kantor kecamatan dan kabupaten terpilih, dan kantor Pemerintah Provinsi Maluku; informasi dari tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat yang terkait dengan sejarah sagu dalam kehidupan masyarakat Maluku serta pengamatan langsung di lapangan juga digunakan untuk memperkuat data.

(31)

untuk uji validitas (konstruk) adalah teknik korelasi Pearson, sedang uji reliabilitas dilakukan dengan metode Alpha-Cronbach. Hasil uji coba instrumen menunjukkan bahwa kuesioner yang disusun layak untuk digunakan dengan nilai rhitung = 0.410 – 0.950 > r0.05 = 0.361; dan nilai koefisien reliabilitas berada pada

interval 0.803 – 0.896.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial, yaitu korelasi Spearman menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari: (1) Profil Sosial Ekonomi Pengolah Sagu Tradisional (X1),

dan (2) Dukungan Kelembagaan (X2); sedangkan peubah terikat (dependent

variable) terdiri dari: (1) Kapasitas Diri Pengolah Sagu Tradisional (Y1), dan (2)

Kapasitas Usaha Pengolah Sagu Tradisional (Y2).

Hasil dan Pembahasan

Profil Sosial Ekonomi Pengolah Sagu Tradisional di Maluku

Setiap individu memiliki profil sosial ekonomi berbeda yang mempengaruhi perilakunya. Profil sosial ekonomi pengolah sagu tradisional merupakan gambaran awal sosok pengolah sagu tradisional yang diperlukan untuk memahami perilaku sosial dan ekonominya dalam menjalankan usaha pengolahan sagu.

Umur, Pendidikan Formal dan Non Formal, Lama Berusaha dan Motivasi Berusaha

Profil ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan komoditi lokal menjadi pilihan terutama bagi kaum perempuan yang memiliki tingkat pendidikan formal tergolong rendah (tamat sekolah dasar), seperti juga pada kaum perempuan di beberapa negara berkembang misalnya Nigeria (Nai et al. 2010) dan di daerah lain di Indonesia (Sunarso dan Suseno 2008). Hal ini disebabkan umumnya usaha pengolahan komoditi lokal tidak memerlukan persyaratan tingkat pendidikan formal, melainkan keterampilan yang umumnya diperoleh sebagai warisan turun-temurun.

Berdasarkan kategori umur, 95.09% pengolah sagu tradisional tergolong berumur produktif (27–64 tahun) sesuai dengan kategori Rusli (1995) yaitu 15–65 tahun. Ini menunjukkan usaha pengolahan sagu banyak diminati, terutama kaum perempuan yang berusia produktif karena dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan tanpa meninggalkan pekerjaan rumah. Tidak hanya bagi yang berusia

≤65 tahun, bagi kelompok umur >65 tahun, usaha ini masih menjadi sumber penghasilan selama masih memiliki cukup tenaga untuk melakukannya. Profil umur, pendidikan formal dan non formal, lama berusaha dan motivasi berusaha pengolah sagu tradisional selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Terdapat hubungan negatif dan nyata (α=0.01) antara umur dengan pendidikan formal (rs = 0.582) (Lampiran 3). Artinya, semakin tua umur

(32)

kesadaran akan pentingnya pendidikan karena tingkat pendidikan penduduk umumnya juga rendah dan aksesibilitas penduduk ke luar desa juga masih terbatas.

Tabel 3 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, lama berusaha dan motivasi berusaha

Profil Jumlah %

1. Umur (thn)

a. 27–38 38 18.63

b. 39–50 80 39.22

c. 51–62 64 31.37

d. 63–74 22 10.78

Total 204 100.00

Rerata: 48.17 ≈ 48 2. Pendidikan formal (thn)

a. 5–8 113 55.39

b. 9–12 90 44.12

c. 13–16 0 0.00

d. 17–20 1 0.49

Total 204 100.00

Rerata: 8.05 ≈ 8

3. Pendidikan non formal (frekuensi dalam dua tahun terakhir)

a. 0–1 kali 134 65.69

b. 2–3 kali 63 30.88

c. 4–5 kali 7 3.43

d. > 5 kali 0 0.00

Total 204 100.00

Rerata: 1.38 1 4. Lama berusaha (tahun)

a. 5–15 97 47.55

b. 16–26 64 31.37

c. 27–36 35 17.16

d. 37–46 8 3.92

Total 204 100.00

Rerata: 19.20 ≈ 19 5. Motivasi berusaha (skor)

a. 11–19 (rendah) 0 0.00

b. 20–28 (sedang) 41 20.10

c. 29–37 (tinggi) 141 69.12

d. 38–46 (sangat tinggi) 22 10.78

Total 204 100.00

(33)

Seiring berjalannya waktu, keinginan masyarakat menyekolahkan anak-anak usia sekolah semakin tinggi. Hal ini disebabkan: (1) aksesibilitas penduduk ke luar desa semakin terbuka sehingga wawasan akan pentingnya pendidikan semakin meningkat, (2) ketersediaan fasilitas pendidikan di desa yang semakin baik, (3) keinginan orang tua akan perubahan tingkat kesejahteraan anak-anaknya kelak, dan (4) tingkat kompetisi untuk mendapatkan penghasilan yang semakin tinggi sehingga membutuhkan bekal pengetahuan yang lebih tinggi. Para orang tua juga memiliki kebanggaan tersendiri jika berhasil menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, namun hanya sedikit kaum muda yang berpendidikan lebih tinggi dari tingkat sekolah menengah atas yang mau menekuni usaha pengolahan sagu, sebagian besar lebih memilih untuk bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta di berbagai tempat terutama di luar desa.

Bagi pengolah sagu tradisional, pendidikan non formal masih dirasakan sangat kurang. Dalam dua tahun terakhir, dari 65.69% pengolah sagu yang mengikuti maksimal satu kali pendidikan non formal (Tabel 3), 80% diantaranya ternyata tidak pernah mengikuti pendidikan non formal seperti pelatihan atau penyuluhan tentang usaha pengolahan sagu, padahal pelatihan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempersiapkan perilaku seseorang menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi. Ini menunjukkan kegiatan pendidikan non formal masih sangat jarang dilakukan sehingga belum menyentuh semua pengolah sagu tradisional. Tidak jarang kegiatan pelatihan hanya mengikutsertakan pengolah sagu yang sudah sering terlibat sehingga menimbulkan kecemburuan bagi yang lain. Ini sebaiknya menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kegiatan pendidikan non formal seperti pelatihan dan penyuluhan.

Sebanyak 52,45% pengolah sagu tradisional telah melakukan usaha lebih dari 15 tahun dengan rerata 19 tahun (Tabel 3). Ini menunjukkan pengolahan sagu telah lama menyatu dengan kehidupan masyarakat. Terdapat hubungan yang positif dan nyata antara lama berusaha dengan umur pengolah sagu (Lampiran 3). Artinya, semakin tinggi umur pengolah sagu, semakin panjang tahun usaha yang sudah dilalui. Umumnya usaha ini dilakukan sejak pengolah sagu tradisional

berusia ≥25 tahun. Dengan semakin panjangnya tahun usaha yang dilalui,

pengalaman yang diperoleh juga semakin banyak sehingga menempatkan pengolah sagu yang berumur lebih tua selalu menjadi tempat bertanya bagi yang lebih muda.

(34)

Jumlah Anggota Keluarga, Jumlah Tanggungan, dan Pendapatan Rumah Tangga

Jumlah anggota keluarga berhubungan positif dan nyata dengan motivasi berusaha dengan nilai rs = 0.162 (Lampiran 3) yang berarti semakin besar jumlah

anggota keluarga maka semakin tinggi pula motivasi dalam berusaha. Jumlah anggota keluarga yang banyak, membuat pekerjaan pengolah sagu menjadi lebih ringan karena adanya bantuan, terutama dari anggota keluarga yang perempuan, sedangkan anggota keluarga yang laki-laki biasanya membantu dalam penanganan bahan baku (tepung sagu), yaitu membeli dan mengangkut tepung sagu atau mengolah tepung sagu dari batang pohon sagu.

Bertambahnya jumlah anggota keluarga yang dapat meringankan pekerjaan juga meningkatkan motivasi pengolah sagu untuk melakukan usahanya. Di samping itu, penambahan jumlah anggota keluarga menyebabkan kebutuhan keluarga juga bertambah sehingga motivasi berusaha juga meningkat agar memperoleh pendapatan yang lebih besar. Jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan, dan pendapatan rumah tangga menggambarkan kondisi ekonomi rumah tangga pengolah sagu tradisional. Secara lengkap profil ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut jumlah anggota keluarga, jumlah tanggungan, dan pendapatan rumah tangga

Profil Jumlah %

1. Jumlah anggota keluarga (orang)

a. 2–3 23 11.27

b. 4–5 111 54.41

c. 6–7 58 28.43

d. 8–9 12 5.88

Total 204 100.00

Rerata: 5.02 5

2. Jumlah tanggungan (orang)

a. 1–2 35 17.16

b. 3–4 119 58.33

c. 5–6 48 23.53

d. 7–8 2 0.98

Total 204 100.00

Rerata: 3.67 ≈ 4

3. Pendapatan rumah tangga (Rp 000/bln)

a. 775 – 2 000 67 32.84

b. >2 000 – 3 225 30 14.71

c. >3 225 – 4 450 76 37.25

d. >4 450 – 5 675 31 15.20

Total 204 100.00

Rerata: 3 031.257 ≈ 3 031.260

Terdapat hubungan negatif dan nyata antara jumlah tanggungan dengan umur (rs = - 0.255) dan lama berusaha (rs = - 0.267) (Lampiran 3). Artinya,

(35)

pengolahan sagu yang telah dilakukan, namun semakin rendah atau sedikit jumlah tanggungan karena sebagian anak-anak sudah tidak menjadi tanggungan orangtua lagi. Jumlah anggota keluarga berhubungan positif dan nyata dengan jumlah tanggungan (rs = 0.330) (Lampiran 3) yang berarti semakin besar jumlah anggota

keluarga maka semakin besar pula jumlah tanggungan keluarga tersebut, terutama yang masih berusia sekolah, belum bekerja atau belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada yang masih menjadi tanggungan orangtua karena belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri.

Pengolahan sagu merupakan salah satu usaha yang diandalkan masyarakat untuk memperoleh penghasilan, baik penghasilan utama maupun penghasilan tambahan. Rerata pendapatan rumah tangga pengolah sagu tradisional adalah Rp3 031 260 per bulan. Jumlah ini masih kurang seiring dengan peningkatan harga barang-barang kebutuhan serta biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi bagi yang menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Pendapatan usaha pengolahan sagu memberikan kontribusi yang tinggi bagi pendapatan rumah tangga, yakni sebesar 86.48%, sedangkan sisanya (13.52%) berasal dari pendapatan suami sebagai petani, nelayan, ojek sepeda motor, berdagang, atau kerja serabutan.

Sumber pendapatan lain yang berpotensi dikembangkan di desa-desa penelitian adalah di bidang pengolahan ikan. Hasil tangkapan ikan biasanya dijual dalam keadaan segar. Pengolahan ikan menjadi ikan kering, abon ikan, dan nugget ikan menjadi alternatif yang dapat dipilih, terutama pada saat musim ikan yang menyebabkan harga ikan segar turun drastis. Seperti halnya pengolahan sagu, pengolahan ikan juga sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, meski demikian, keterampilan mengolah ikan perlu ditingkatkan agar produk yang dihasilkan lebih baik dan dapat bersaing dengan produk olahan ikan yang sudah ada di pasar.

Akses Informasi, Nilai Fungsi Sosial dan Budaya Sagu

Di samping kurangnya pelatihan dan penyuluhan, akses informasi yang dilakukan pengolah sagu tradisional juga tergolong rendah (Tabel 5). Kesulitan mengakses informasi mempengaruhi atau membatasi pengetahuan tentang berbagai informasi seperti teknologi dan menyebabkan tingkat adopsi rendah (Aker 2011; Läpple & Rensburg 2011).

(36)

Tabel 5 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut akses terhadap informasi, nilai fungsi sosial dan budaya sagu

Profil Jumlah %

1. Akses terhadap informasi (skor)

a. 4–7 (rendah) 202 99.02

b. 8–11 (sedang) 2 0.98

c. 12–15 (tinggi) 0 0.00

d. 16–19 (sangat tinggi) 0 0.00

Total 204 100.00

Rerata: 5.33 5 (rendah) 2. Nilai fungsi sosial sagu (skor)

a. 6–10 (rendah) 0 0.00

b. 11–15 (sedang) 63 30.88

c. 16–20 (tinggi) 96 47.06

d. 21–25 (sangat tinggi) 45 22.06

Total 204 100.00

Rerata: 17.77 ≈ 18 (tinggi) 3. Nilai fungsi budaya sagu (skor)

a. 14–24 (rendah) 0 0.00

b. 25–35 (sedang) 26 12.75

c. 36–46 (tinggi) 106 51.96

d. 47–57 (sangat tinggi) 22 35.29

Total 204 100.00

Rerata: 42.97 43 (tinggi)

Sebagai salah satu komoditi khas Maluku, sagu memiliki fungsi sosial dan budaya di kalangan masyarakat. Sagu dapat mempererat hubungan antar masyarakat, diantaranya melalui hubungan antara pemilik lahan sagu dengan pengambil tepung sagu, dan antara penyedia tepung sagu dengan pengolah sagu menjadi aneka pangan. Sagu juga melambangkan kesetaraan karena tidak ada perbedaan dalam tepung sagu seperti halnya pada beras (beras kualitas satu, dua, dan seterusnya). Fungsi sosial sagu lainnya adalah kemauan berbagi sagu kepada orang yang membutuhkan sehingga dapat mencegah timbulnya bahaya kelaparan, suatu hal yang lebih sulit dilakukan jika menggunakan komoditi beras. Sebagian masyarakat terutama yang berumur >50 tahun tidak setuju jika masyarakat mulai meninggalkan sagu dan beralih ke beras karena dengan mengonsumsi beras dapat menurunkan kebiasaan berbagi di kalangan masyarakat. Sejalan dengan fungsi sosial, fungsi budaya sagu adalah sebagai pangan utama dalam acara-acara adat dan pangan sehari-hari. Nilai budaya sagu menuntun masyarakat dalam menjalani hidup, menjadi teladan, taat, tenteram, dan kebersamaan (Louhenapessy et al. 2010).

Gambar

Tabel 4.
Tabel 5   Sebaran pengolah sagu tradisional menurut akses terhadap                 informasi, nilai fungsi sosial dan budaya sagu
Tabel 6  Sebaran pengolah sagu tradisional menurut penilaian
Tabel 7 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surat Pernyataan bahwa Perusahaan yang bersangkutan dan manajemennya atau peserta perorangan, tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut dan tidak sedang dihentikan

DOAJ, EBSCO, Econlit, Sherpa Romeo, Universal Impact Factor, Directory of Abstract Indexing for Journal, Index Copernicus, BASE-Bielefeld Academic Reseach Engine,

1. Pendahuluan  

kondisi tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan kemampuan pertumbuhan dan biomassa perakaran stek pucuk tanaman Stevia yang

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul “ Asuhan Kebidanan

kemampuan kerja (X 2 ) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan PT Duta Palma Nusantara. Hasil penelitian ini juga mendukung hipotesis

Pada penelitian ini akan dibuat sebuah purwarupa robot lengan pemilah objek berupa bola, kaleng, dan kubus, berdasarkan label tulisannya dengan webcam sebagai

sistem akan menampilkan form login lagi dengan pesan “ username atau password salah”, akan tetapi bila username dan password sudah sesuai pengguna akan masuk