• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISIONAL DENGAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN USAHA

Abstrak

Usaha pengolahan pati/tepung sagu tradisional menjadi pilihan utama sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di daerah-daerah sentra sagu di Maluku. Di samping sebagai sumber pendapatan, usaha ini juga berperan penting dalam mendukung diversifikasi pangan di Maluku, namun pada kenyataannya usaha pengolahan sagu sulit berkembang. Hal ini tidak terlepas dari kapasitas yang dimiliki pengolah sagu tradisional dalam mengelola usaha. Pengelolaan usaha yang baik akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara kapasitas pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usahanya. Penelitian dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat yang merupakan sentra sagu di Provinsi Maluku. Ada 4 kecamatan yang ditentukan untuk mewakili kedua kabupaten terpilih dan 8 desa mewakili 4 kecamatan terpilih. Sampel penelitian berjumlah 204 rumah tangga pengolah sagu tradisional mewakili 416 rumah tangga pengolah sagu tradisional sebagai populasi. Analisis data dilakukan dengan analisis korelasi Spearman dan tabulasi silang. Ditemukan bahwa kapasitas diri berhubungan positif dan nyata dengan kapasitas usaha, produktivitas dan pendapatan usaha. Kapasitas usaha berhubungan positif dan sangat nyata dengan produktivitas dan pendapatan. Dengan demikian, peningkatan kapasitas diri dan kapasitas usaha merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha pengolahan sagu tradisional di Maluku.

Kata kunci: kapasitas, pengolah sagu tradisional, produktivitas dan pendapatan usaha

Pendahuluan

Seperti umumnya pangan tradisional yang teknik pengolahannya merupakan bagian dari budaya masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi (Aworh 2008), keterampilan mengolah sagu umumnya juga diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga kini, nuansa tradisional masih melekat pada usaha pengolahan sagu, baik proses maupun jenis produk yang dihasilkan. Jenis pangan dari pati sagu diantaranya pangan pokok yaitu papeda, kapurung, sagu lempeng, sinoli, karu-karu, dan uha, dan penganan lokal seperti bagea, sagu tumbuk, dan sarut (Louhenapessy et al. 2010).

Seiring dengan perkembangan pangan, permintaan produk olahan sagu tradisional mulai menurun. Hal ini terlihat dari meningkatnya masyarakat yang beralih mengonsumsi beras sebagai pangan pokok serta menurunnya volume penjualan bagea dan sarut sebesar 40% setiap tahun seperti yang ditemukan

Atapary (2010). Keadaan ini menunjukkan bahwa produk olahan sagu tradisional kurang mampu berkompetisi dengan produk pangan lain, atau kurang dapat mengikuti perubahan selera konsumen, padahal menurut Wattimena (2012), pati sagu dapat diolah menjadi berbagai pangan dan minuman yang diterima secara nasional dan internasional jika diberi sentuhan teknologi, seperti sagu mutiara, mi, bihun, vermiseli, spageti, roti, dan sirup fruktosa.

Menurunnya volume penjualan beberapa produk olahan sagu tradisional mulai meresahkan pengolah sagu, namun tidak diikuti dengan upaya-upaya agar dapat bersaing dengan pangan lain. Skala usaha yang tergolong kecil dan dilakukan di rumah dengan proses yang umumnya masih sederhana menjadi salah satu penyebab usaha pengolahan sagu sulit berkembang. Hal ini berdampak pada produktivitas dan pendapatan usaha, terlebih lagi dengan kenaikan harga bahan-bahan pendukung. Bagi pengolah sagu tradisional, hal terpenting adalah usahanya dapat berjalan seperti biasanya. Dengan kemampuan yang ada, pengolah sagu berusaha menjalankan usaha agar tetap memperoleh pendapatan. Keinginan untuk mengembangkan usaha selalu ada, namun sulit terwujud karena tidak tahu hal-hal yang harus dilakukan. Apabila keadaan ini terus dibiarkan, pengolah sagu tradisional akan semakin sulit berkembang. Di samping itu, produk olahan sagu akan semakin tertinggal dibandingkan pangan lainnya sehingga upaya diversifikasi pangan masyarakat melalui pangan lokal akan sulit tercapai, padahal potensi sagu di Maluku cukup besar.

Menghadapi persaingan pasar produk olahan pangan yang semakin ketat akibat perubahan selera konsumen, sebagai pelaku usaha, pengolah sagu tradisional perlu memiliki kemampuan untuk mengelola usaha agar dapat berkembang. Kemampuan ini diistilahkan dengan kapasitas yang oleh Fukuda-Parr et al. (Willems dan Baumert 2003) diartikan sebagai kemampuan melaksanakan fungsi-fungsi, memecahkan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan ini dapat dikelompokkan menjadi kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya dan sarana (Tjitropranoto 2005) atau kapasitas lingkungan (Subagio et al. 2008). Kapasitas diri merupakan kemampuan untuk menghasilkan pemikiran dan ide-ide pengembangan usaha yang meliputi menyusun perencanaan usaha, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, mencari dan memanfaatkan peluang, dan menjaga keberlanjutan usaha. Kapasitas usaha merupakan kemampuan mengakses sarana produksi yang dibutuhkan, yaitu modal, tenaga kerja, teknologi, dan pasar.

Kapasitas usaha sering dianggap berperan lebih penting dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha karena secara langsung terkait dengan proses produksi. Hal ini menyebabkan penguatan kapasitas usaha menjadi lebih diutamakan dibandingkan dengan kapasitas diri. Hal seperti ini juga terjadi pada berbagai bentuk dukungan yang diberikan pemerintah atau swasta kepada pengolah sagu tradisional. Umumnya dukungan diberikan dalam bentuk peralatan-peralatan seperti oven, kompor, plastik kemasan produk, dan demonstrasi pengolahan sagu menjadi aneka kue sagu moderen. Berbagai dukungan ini diharapkan dapat memotivasi pengolah sagu tradisional untuk mengembangkan usahanya. Pada mulanya dukungan ini mendapat respon yang cukup baik dari pengolah sagu tradisional yang mendapatkannya, namun tidak membawa perubahan bagi pengembangan usahanya.

Adanya perbedaan pandangan terhadap peran kapasitas diri dan kapasitas usaha dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha pengolahan sagu tradisional di Maluku menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah hubungan antara kapasitas diri dan kapasitas usaha pengolah sagu tradisional? (2) Bagaimanakah hubungan kapasitas pengolah sagu tradisional (kapasitas diri dan kapasitas usaha) dengan produktivitas dan pendapatan usahanya? (3) Apakah kapasitas usaha memang lebih penting dibandingkan kapasitas diri?

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis hubungan antara kapasitas diri dengan kapasitas usaha pengolah sagu tradisional, (2) menganalisis hubungan kapasitas pengolah sagu tradisional (kapasitas diri dan kapasitas usaha) dengan produktivitas dan pendapatan usaha, dan (3) melalui tujuan 1 dan 2 akan dijelaskan posisi kapasitas diri dan kapasitas usaha terhadap produktivitas dan pendapatan usaha.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kapasitas yang baik/tinggi akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha. Asumsi ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kapasitas seseorang sangat menentukan kinerja orang tersebut (Syahyuti 2006; Mangkuprawira dan Hubeis 2007). Kapasitas yang rendah akan menyebabkan rendahnya produktivitas, pendapatan, dan tingkat kesejahteraan (Tjitropranoto 2005).

Berdasarkan tujuan penelitian, disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata

dengan kapasitas usahanya.

2. Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan produktivitas dan pendapatan usahanya.

3. Kapasitas usaha pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan produktivitas dan pendapatan usahanya.

4. Produktivitas usaha berhubungan positif dan nyata dengan pendapatan usaha. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara akademis maupun praktis. Manfaat akademis yaitu dapat memperkaya khasanah keilmuan, khususnya dalam bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan terkait dengan peningkatan kapasitas pengolah sagu tradisional dan hubungannya dengan produktivitas dan pendapatan. Di samping itu, menjadi bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut tentang pengembangan pengolahan sagu di Maluku dan di daerah lainnya.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi: Pemerintah Provinsi Maluku; Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat; Pemerintah Kecamatan Saparua, Salahutu, Seram Barat, dan Huamual; dan Pemerintah Desa Nolloth, Ihamahu, Suli, Waai, Piru, Manipa, Lumolli, dan Iha/Uhe dalam merumuskan program atau kebijakan terkait pengembangan kapasitas pengolah sagu tradisional. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu praktisi lain dalam pengembangan pengolahan sagu di Maluku, diantaranya penyuluh, pendamping, perbankan, dan pihak lain dalam merancang dan melaksanakan program pengembangan sagu di Maluku.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada 2 sentra sagu di Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Mewakili kedua kabupaten ini dipilih 4 kecamatan dan selanjutnya dipilih 8 desa mewakili 4 kecamatan tersebut berdasarkan pertimbangan sebagai kecamatan dan desa sentra pengolahan sagu di wilayah tersebut. Desa-desa tersebut adalah: Desa Nolloth, Ihamahu, Suli, dan Waai yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah dan desa Piru, Manipa, Lumolli, dan Iha di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pengumpulan data berlangsung sejak bulan Januari 2012 hingga April 2012.

Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga pengolah sagu tradisional di desa-desa penelitian dengan pengalaman usaha minimal 5 tahun. Jumlah sampel ditentukan menggunakan formula Slovin dengan derajat kesalahan 5% sehingga jumlah sampel penelitian adalah 204 rumah tangga pengolah sagu tradisional dari populasi yang berjumlah 416 rumah tangga. Distribusi sampel untuk setiap desa penelitian ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di setiap desa dan penentuan anggota sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan daftar nama pengolah sagu tradisional. Unit analisis adalah rumah tangga pengolah sagu tradisional dengan responden utama adalah orang yang menjalankan usaha pengolahan sagu di rumah tangga tersebut.

Data primer yang meliputi kapasitas diri, kapasitas usaha, produktivitas usaha, dan pendapatan usaha diperoleh dari responden melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh selanjutnya diklarifikasi melalui wawancara mendalam dan focused group discussion (FGD) dengan sejumlah responden terpilih, yaitu responden tertua dan termuda, responden dengan tingkat pendidikan formal tertinggi, responden dengan tahun usaha terpanjang, dan 1–2 orang pedagang pengumpul sagu yang membeli sagu dari setiap desa. Data sekunder diperoleh dari kantor pemerintah desa, BPOM Maluku, dan penelusuran pustaka. Informasi dari tokoh masyarakat seperti kepala desa, ketua kelompok pengolah sagu yang ada, dan pengamatan langsung di lapangan digunakan untuk memperkuat data.

Konten kuesioner adalah tentang kapasitas diri, kapasitas usaha, produktivitas dan pendapatan pengolah sagu tradisional dalam menjalankan usaha pengolahan sagu yang definisi operasional dan pengukurannya disajikan pada Lampiran 2. Kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan tertutup menggunakan Skala Likert dan pertanyaan terbuka. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan pada 30 pengolah sagu tradisional di desa Mahu Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah yang memiliki kemiripan dengan kondisi dan keadaan responden di lokasi penelitian. Analisis untuk uji validitas (konstruk) adalah teknik korelasi Pearson, sedang uji reliabilitas dilakukan dengan metode Alpha-Cronbach. Hasil uji coba instrumen menunjukkan bahwa nilai rhitung = 0.410 – 0.950 > r0.05 = 0.361, dan nilai koefisien reabilitas berada pada interval 0.803– 0.896 yang berarti kuesioner yang disusun layak untuk digunakan.

Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial, yaitu korelasi Spearman menggunakan komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20. Peubah bebas (independent variable) adalah kapasitas diri dan kapasitas usaha pengolah sagu tradisional,

sedangkan peubah terikat (dependent variable) terdiri atas produktivitas dan pendapatan usaha pengolahan sagu tradisional.

Hasil dan Pembahasan

Kapasitas Diri dan Kapasitas Usaha Pengolah Sagu Tradisional

Sebagai usaha yang melekat dengan budaya masyarakat Maluku, bukan berarti usaha pengolahan sagu tradisional tidak dapat berkembang. Potensi dan peluang yang ada saat ini merupakan faktor-faktor yang mendukung pengembangan usaha pengolahan sagu tradisional. Potensi berupa luas areal sagu yang berkisar 31 360 ha dengan pati sagu yang belum dimanfaatkan dan terbuang di hutan setiap tahun mencapai 90 ribu ton (Pemerintah Provinsi Maluku 2006) menunjukkan tingkat ketersediaan pati sagu yang dapat menjamin pengembangan usaha pengolahan sagu; sedangkan peluang pengembangan sagu diantaranya adanya program diversifikasi pangan dengan mengedepankan pangan lokal. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengatasi semakin tingginya ketergantungan terhadap beras dan tetap memelihara kearifan lokal tentang pangan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya usaha pengolahan sagu tradisional di Maluku tidak hanya dapat berkembang, tetapi juga perlu dan harus dikembangkan.

Pengembangan usaha pengolahan sagu tradisional tidak terlepas dari kapasitas pengolah sagu, baik kapasitas diri maupun kapasitas usaha yang dimiliki. Tingkat kapasitas diri pengolah sagu tradisional tergolong sedang yang ditandai dengan lebih dari 50% pengolah sagu tradisional memiliki kemampuan sedang dalam menyusun perencanaan usaha, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, mencari dan memanfaatkan peluang, dan menjaga keberlanjutan usaha (Gambar 3).

Gambar 3 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat komponen kapasitas diri

4.9 5.88 20.59 9.31 7.84 81.86 86.77 61.76 78.43 77.45 13.24 7.35 17.65 12.26 14.71

Total (kapasitas diri) Menjaga keberlanjutan usaha Pemanfaatan peluang Identifikasi dan pemecahan masalah Perencanaan usaha

Kemampuan menyusun perencanaan usaha tergolong sedang artinya bahwa pengolah sagu tradisional tahu manfaat perencanaan usaha, namun kurang terampil menyusunnya sehingga hanya disusun jika dibutuhkan. Kategori sedang dalam kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah ditandai dengan kesadaran pengolah sagu tradisional akan pentingnya kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Cara yang dilakukan adalah dengan mengevaluasi kegiatan usaha yang dilakukan sehingga dapat mengantisipasi munculnya masalah. Ini menyebabkan sebagian besar masalah (sekitar 75% dari masalah yang ada) dapat dipecahkan. Kategori sedang ditemukan juga pada komponen kemampuan mencari dan memanfaatkan peluang. Keadaan ini dicirikan oleh terbatasnya upaya mencari informasi tentang peluang pangan olahan berbahan dasar sagu, meskipun disadari arti peluang pengembangan usaha. Komponen menjaga keberlanjutan usaha juga tergolong sedang yang dicirikan oleh adanya upaya untuk menjaga hubungan baik antara pengolah sagu tradisional dengan penyedia bahan baku, pelanggan, dan pekerja, namun belum ada upaya melakukan promosi produk. Secara lebih jelas, makna setiap kategori komponen kapasitas diri disajikan pada Lampiran 4.

Kemampuan pengolah sagu tradisional dalam keempat komponen kapasitas diri cenderung statis karena usaha dijalankan sebagai suatu kebiasaan. Tidak jauh berbeda dengan kapasitas diri, kapasitas usaha pengolah sagu juga masih tergolong sedang, kecuali unsur teknologi masih tergolong rendah (Gambar 4). Makna setiap kategori dalam komponen kapasitas usaha disediakan pada Lampiran 5.

Gambar 4 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat komponen kapasitas usaha

Kemampuan modal usaha yang tergolong sedang memiliki makna bahwa pengolah sagu tradisional memiliki modal usaha yang bersumber dari milik sendiri, keuangan rumah tangga tidak terpisah dengan keuangan usaha pengolahan

9.8 15.69 67.65 25.49 30.88 75.49 64.22 17.65 53.92 53.92 14.71 20.09 14.7 20.59 15.2

Total (kapasitas usaha) Pasar Teknologi Tenaga kerja Modal usaha

sagu, dan mulai menabung untuk pengembangan usaha. Tabungan pengembangan usaha sulit bertambah karena sering digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Kemampuan menyediakan tenaga kerja tergolong sedang yang berarti bahwa umumnya pengolah sagu tradisional dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja meskipun aspek keterampilan tenaga kerja perlu ditingkatkan. Komponen teknologi berada pada kategori rendah yang ditandai dengan banyak peralatan yang sudah tidak layak pakai dan belum memperhatikan aspek mutu produk. Komponen pasar juga pada kategori sedang yang berarti bahwa pengolah sagu tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan produk, namun masih sulit dalam memperluas pasar sehingga volume penjualan relatif stabil.

Kapasitas diri berhubungan positif dan nyata dengan kapasitas usaha dengan nilai korelasi 0.318 pada α = 0,01 (Lampiran 7). Semua indikator pembentuk

kapasitas diri berhubungan positif dan sangat nyata atau nyata dengan kapasitas usaha. Ini berarti bahwa kapasitas diri memiliki arti penting dalam mewujudkan kapasitas usaha pengolah sagu. Pengolah sagu yang memiliki kapasitas diri yang lebih baik (lebih tinggi) yang dicirikan dari kemampuan menyusun perencanaan usaha, mengidentifikasi dan memecahkan masalah, mencari dan memanfaatkan peluang, dan menjaga keberlanjutan usaha akan lebih yakin untuk meningkatkan kapasitas usahanya yang dicirikan oleh kemampuan menyediakan modal, tenaga kerja, teknologi, dan mengakses pasar produk. Keempat kemampuan dalam kapasitas diri tersebut dapat diidentikkan dengan kemampuan memanajemen usaha yang terdiri dari unsur-unsur planning, organizing, directing, coordinating, dan controlling seperti dijelaskan Henri Fayol (Yadollahi et al. 2011).

Produktivitas dan Pendapatan Usaha Pengolah Sagu Tradisional

Produktivitas merupakan kemampuan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan output yang optimal, dan jika mungkin yang maksimal. Produktivitas usaha pengolahan sagu dimaksudkan sebagai kemampuan pengolah sagu tradisional menghasilkan produk olahan sagu dalam satuan waktu tertentu. Beberapa penelitian menemukan bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), kecakapan (abilities), sikap (attitudes), dan tingkah laku pelaku usaha/pekerja. Rerata produktivitas usaha pengolah sagu tradisional tergolong dalam kategori sedang, demikian pula bila dilihat secara parsial dari sub peubah produktivitas, yaitu dari aspek kuantitas dan kualitas produk (Tabel 13).

Kategori sedang untuk aspek kuantitas berarti jumlah produk yang dihasilkan berada pada kisaran rata-rata semua pengolah sagu tradisional dengan jumlah variasi produk 2–3 jenis. Meskipun kuantitas produk olahan sagu yang dihasilkan belum optimal, namun sekitar 70% pengolah sagu sudah merasa puas atas hasil yang dicapai karena sudah memperoleh pendapatan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Keinginan untuk meningkatkan kuantitas produk memang ada, namun menambah kuantitas produk berarti menambah modal usaha, sedangkan volume permintaan jarang meningkat.

Tabel 13 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat produktivitas usaha

No. Sub peubah Jumlah %

1. Kuantitas (skor) a. 4 – 8 (rendah) 18 8.82 b. 9 – 13 (sedang) 152 74.51 c. 14 – 18 (tinggi) 34 16.67 Total 204 100.00 Rerata = 9.51 ≈ 10 (sedang) 2. Kualitas (skor) a. 4 – 8 (rendah) 24 11.76 b. 9 – 13 (sedang) 150 73.53 c. 14 – 18 (tinggi) 30 14.71 Total 204 100.00 Rerata = 8.65 ≈ 9 (sedang)

Keseluruhan (produktivitas) (skor)

a. 8 – 16 (rendah) 15 7.35

b. 17 – 25 (sedang) 159 77.94

c. 26 – 34 (tinggi) 30 14.71

Total 204 100.00

Rerata = 18.16 ≈ 18 (sedang)

Kualitas produk yang dihasilkan juga tergolong dalam kategori sedang, artinya produk yang dihasilkan tidak seluruhnya sesuai dengan selera konsumen, masih ada keluhan konsumen/pelanggan terhadap produk yang dihasilkan, jangkauan pemasaran masih terbatas, dan volume penjualan cenderung statis. Keluhan yang sering disampaikan konsumen/pelanggan adalah mutu produk yang tidak stabil dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena proses pengolahan sagu yang dilakukan belum memiliki standar mutu tertentu sehingga mutu yang dihasilkan tidak sama dari waktu ke waktu. Terkait dengan standar mutu, produk olahan sagu yang dihasilkan umumnya belum pernah diuji oleh BPOM Ambon. Selain karena biaya pengujian tersebut tergolong mahal, banyak pengolah sagu yang belum mengetahui arti, cara, dan makna pengujian tersebut. Di samping itu, produk sagu yang belum memiliki ijin BPOM tetap terjual sehingga pengolah sagu belum merasa perlu untuk melakukan pengujian produknya.

Berdasarkan informasi dari BPOM Ambon, prosedur pengajuan uji produk sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan pengolah sagu tradisional. Pengolah sagu tradisional cukup memberikan sampel produk untuk diuji, namun memang disertai dengan biaya yang besarnya tergantung jenis produk dan harus dilakukan secara berkala. Sebagai contoh, pengujian produk bagea sagu membutuhkan biaya Rp1 055 000, bangket sagu Rp1 735 000, dan serut sagu Rp1 280 000. Contoh kartu pengujian produk disajikan pada Lampiran 8.

Pendapatan usaha sebagian besar (78.43%) pengolah sagu tradisional berada dalam kategori sedang, demikian pula secara rata-rata dengan pendapatan Rp2 621 453 per bulan (Tabel 14). Kontribusi pendapatan usaha sagu terhadap

pendapatan rumah tangga cukup besar. Rata-rata pendapatan rumah tangga pengolah sagu tradisional adalah Rp3 031 257 per bulan, ini berarti 86.48% berasal dari usaha pengolahan sagu.

Tabel 14 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut besar pendapatan usaha

Besar pendapatan (Rp/bulan) Jumlah %

400 – 2 100 13 6.37

>2 100 – 3 800 160 78.43

>3 800 – 5 500 31 15.20

Total 204 100.00

Rerata : 2 621 453

Hubungan Kapasitas Diri dengan Kapasitas Usaha Pengolah Sagu Tradisional

Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata

dengan kapasitas usaha yang dimilikinya pada α = 0,01 dengan nilai korelasi

0.318 (Lampiran 8). Dengan demikian, hipotesis pertama yang menyatakan:

“Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan positif dan nyata dengan kapasitas usahanya” diterima. Ini mengandung arti bahwa semakin tinggi

kemampuan mengelola usaha yang dimiliki pengolah sagu tradisional di dalam dirinya (kapasitas diri), semakin tinggi pula kemampuannya dalam mengimplementasikan pengelolaan usaha (kapasitas usaha) tersebut karena didukung keyakinan yang kuat terhadap usaha tersebut. Hal ini juga terlihat dari analisis tabulasi silang antara kapasitas diri dengan kapasitas usaha pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran pengolah sagu tradisional menurut tingkat kapasitas diri dan kapasitas usaha

Uraian

Kapasitas usaha Jumlah

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N % Kapasitas diri Rendah 10 100.00 0 0.00 0 0.00 10 100.00 Sedang 10 5.99 146 87.42 11 6.59 167 100.00 Tinggi 0 0.00 8 29.63 19 70.37 27 100.00 Jumlah 20 9.80 154 75.49 30 14.71 204 100.00

Tabel 15 menunjukkan bahwa kapasitas diri berhubungan dengan kapasitas usaha dan terlihat kecenderungan meningkatnya kapasitas usaha seiring dengan meningkatnya kapasitas diri. Pengolah sagu tradisional yang memiliki kemampuan yang baik dalam menyusun perencanaan usaha, mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam usaha pengolahan sagu, menemukan dan

memanfaatkan peluang pengembangan usaha, serta menjaga keberlanjutan usaha akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan kapasitas usaha dengan dukungan modal yang cukup, tenaga kerja dan teknologi yang sesuai kebutuhan, serta pasar produk yang dihasilkan. Sebaliknya, pengolah sagu tradisional yang kurang memiliki kapasitas diri (kemampuan dalam diri), akan merasa kurang yakin dengan usahanya sehingga lebih memilih situasi aman, yaitu bertahan dengan kapasitas usaha yang sudah ada, bahkan ada yang masih bertahan dengan kapasitas usaha yang diwariskan orang tuanya.

Hubungan Kapasitas Diri dengan Produktivitas dan Pendapatan Usaha

Secara simultan kapasitas diri berhubungan positif dan nyata pada α = 0,05

dengan produktivitas dan pendapatan usaha (Tabel 16). Dengan demikian,

hipotesis 2 yang berbunyi “Kapasitas diri pengolah sagu tradisional berhubungan

positif dan nyata dengan produktivitas dan pendapatan usahanya” diterima.

Artinya, semakin tinggi kapasitas diri pengolah sagu tradisional, semakin tinggi pula produktivitas dan pendapatan usahanya. Sebagian besar (81.86%) pengolah sagu tradisional memiliki tingkat kapasitas diri yang tergolong sedang (Gambar 3), ini berarti peluang meningkatkan kapasitas diri masih tinggi sehingga produktivitas dan pendapatan usaha juga berpeluang meningkat.

Tabel 16 Nilai hubungan antara kapasitas diri pengolah sagu tradisional dengan produktivitas dan pendapatan usaha

Unsur-unsur kapasitas diri Produktivitas usaha Pendapatan usaha

Perencanaan usaha .178* .170*

Identifikasi dan pemecahan masalah .179* .169* Mencari dan memanfaatkan peluang .181* .179*

Menjaga keberlanjutan .150 .120

Kapasitas diri .173* .174*

Keterangan: *: Nyata pada α = 0.05

Secara parsial tidak semua indikator kapasitas diri berhubungan dengan

Dokumen terkait