• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode PenelitianPengumpulan Data Penelitian

F.5 Pengolahan dan Analisis Data

Dalam metode analisis ini, menurut Patton (dalam Moleong, 2001:103) analisis data adalah proses dalam menyusun urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu

24

pola, kategori dan uraian dasar. Data-data yang diolah akan disajikan dalam bentuk deskriptif dan kualitatif yang bertujuan untuk menemukan permasalahan, serta menemukan solusi disertai dengan teori-teori yang mendukung.

Terdapat empat tahap dalam menganalisis data kualitatif, diantaranya pengumpulan data, reduksi data, penyajian data (display data) dan kesimpulan (Bungin, 2003). Tahap pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data hasil wawancara peneliti dengan informan, sekaligus mengumpulkan dokumentasi yang diberikan oleh informan maupun hasil dari observasi. Tahap kedua memilah data yang dikumpulkan dari informan, dan juga data hasil dokumentasi untuk mendapatkan data terkait yang diperlukan penelitian. Data yang direduksi berupa cacatan hasil transkrip dari wawancara dengan para informan, beberapa data dokumentasi yang di peroleh peneliti dari informan maupun data hasil observasi yang didapat di lokasi penelitian.

Selanjutnya tahap ketiga, menyajikan data informasi yang tersusun dan sesuai dengan topik penelitian, lalu memberi kemungkinan adanya tindakan dalam penarikan kesimpulan. Tahap terakhir dilakukan setelah menemukan makna dari hasil data informasi yang disajikan, hasil tersebut dapat diambil kesimpulannya dengan mendeskripsikan sebaik mungkin.

F5. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini disusun dengan beberapa bagian bab pembahasan yang sesuai dengan sistematika penulisan, sebagai berikut :

25

BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini, penulis memulai dengan menguraikan pernyataan masalah atau latar belakang penelitian, sebab penelitian ini dibahas atau pertanyaan masalah, dan fungsi penelitian ini sebagai tujuan dan manfaat akademik. Selanjutnya penulis mendefinisikan teori mobilisasi sumberdaya oleh Anthony Oberschall, sebagai landasan utama dalam penelitian ini dengan menggunakan hasil tinjauan pustaka penelitian serta metode penelitian yang sesuai sistematika penulisan.

BAB II : DEFINISI, GERAKAN LITERASI DAN KOMUNITAS KAMPUNG BUKU CIBUBUR. Pada bab ini berisi deskripsi dasar yang membahas komunitas baca kampung buku dan sejarahnya, macam-macam kegiatan komunitas, manfaat, struktur, prestasi, dan informasi komunitas kampung buku Cibubur.

BAB III : MOBILISASI SUMBERDAYA PADA KOMUNITAS KAMPUNG BUKU CIBUBUR SEBAGAI GERAKAN LITERASI. Memaparkan keseluruhan hasil temuan data dan mencocokannya dengan mobilisasi sumberdaya dalam gerakan literasi di Kampung Buku Cibubur.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang dikaji secara ringkas serta berisi saran dan masukan bagi penelitian

26 BAB II

Gerakan Literasi dan Komunitas Kampung Buku Cibubur

A. Gerakan Literasi di Jakarta

Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan bangsa, diperlukan gerakan sebagai wadah aksi untuk perubahan sosial di masyarakat atau disebut sebagai gerakan sosial.

Gerakan sosial merupakan bentuk dorongan perubahan di dalam masyarakat. Gerakan sosial berlangsung dengan tindakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan yang sama untuk perubahan sosial di lingkungannya. Antony Giddens menyatakan gerakan sosial sebagai suatu upaya untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action). (Martono, 2011). Gerakan sosial memiliki definisi yang beragam dan konsepsi gerakan sosial sebagai suatu fenomena atau keadaan sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat, khususnya gerakan sosial dengan bingkai literasi.

Secara sosiologis, gerakan-gerakan literasi yang hadir di Indonesia. Tidak selamanya bertaut ataupun berada di kewewenangan satu pihak. Masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diperbolehkan untuk melakukan gerakan literasi yang sesuai dengan kepentingan atau fokus bidang latar belakang masing-masing pihak. Hal ini didasari karena karakteristik masyarakat yang berbeda-beda.

Sehingga gerakan literasi akan menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.

27

Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Makna literasi pada makhluk sosial mengacu dalam keilmuan yang didapat melalui proses membaca dan menulis yang diterapkan pada individu maupun lingkungan sekitar. Ketika kita berhadapan dengan ekspresi budaya atau ekspresi pemikiran, ada sikap yang akan dirasakan oleh diri sendiri yang berbeda dari orang lain alias kepekaan. Kepekaan untuk membuat seseorang berpikir kritis, mampu memecahkan masalah dan mengembangkan potensi seseorang di kehidupan masyarakat. Hal tersebut diperlukan setidaknya ada rasa peka yang tidak perlu diucapkan pada hubungan antara metode tekstual dan praktiknya.

Tetapi, literasi idealnya adalah kemampuan untuk berefleksi secara kritis pada hubungan-hubungan tersebut. Karena peka dengan tujuan atau maksud tentang literasi itu bersiat dinamis-tidak statis dan juga dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan budaya atau lingkungan.

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta misalnya menggelar gerakan #BacaJakarta dari tahun 2019 lalu. Adapun program gerakan ini berisikan ajakan masyarakat untuk melakukan kegiatan membaca selama 30 hari dengan perhatiannya kepada anak-anak berusia 7-12 tahun. Melalui pendampingan anggota keluarga, sekolah, dan komunitas literasi yang tersebar di penjuru Jakarta, kegiatan literasi ini kemudian digencarkan (Dikutip pada laman

https://kumparan.com/kabarjakarta/tingkatkan-minat-baca-anak-pemprov-dki-galakkan-gerakan-bacajakarta-1sEPhg2e9Ms diakses pada 15 Maret 2021).

28

Tujuan dari digalakannya kegiatan ini untuk meningkatkan minat membaca dalam masyarakat. Dengan memulai dari lingkup sosial yang mikro: yakni keluarga, sebagai tempat dan wadah pembalajaran pertama anak-anak.

Pengertian literasi pada dasarnya selalu berbeda seiring perkembangan zaman, konsepsi literasi tidak hanya menyangkut mengenai bahasa atau tulisan. Namun, telah menyangkut pada dimensi moral dan keterampilan hidup. Secara ontologis konsep literasi dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, (Faradina, 2017).

1. Literasi Awal / Dasar (basic literary) berhubungan dengan kemampuan panca indra yang diperoleh sedari kecil, seperti: berbicara, mendengar, berhitung, membaca dan menulis.

2. Literasi Kepustakaan (Library Literacy) kemampuan menyampaikan pemahaman dalam mengkategorikan bahan bacaan antara fiksi atau non-fiksi, sebagai pemahaman dalam pemanfaatan katalog serta aplikasi kodiffikasi koleksi 3. Literasi Media (Media Literacy) berhubungan dengan kemampuan dalam

memahami isi pokok yang dibingkai (framing) pada media massa.

4. Literasi Teknologi (Technology Literacy) berhubungan dengan kemampuan dalam memahami keberadaan serta nilai, fungsi dan manfaat pada teknologi.

5. Literasi Visual (Visual Literacy) berhubungan dengan pemahaman proyeksi antara literasi teknologi dan literasi media.

29

Pengertian diatas, dijelaskan bahwa definisi makna dari literasi tidak hanya difokuskan pada kegiatan menulis dan membaca. Pada perkembangannya, literasi bagi banyak orang terus berkembang menjadi makna yang dipahami secara konstektual.

Dispusip (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan) melalui perangkat pemerintahannya menggencarkan program Baca Jakarta ini melalui Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Sudin Pusip) Kota dan Kabupaten. Kemudian dari Sudin Pusip menggaet 30 komunitas literasi, parenting, dan pendidikan di seluruh wilayah Kota dan Kabupaten. Hal ini bertujuan menjadikan mereka sebagai pihak yang memantau dan sekaligus inisiator dalam kegiatan membaca. Serta membuat publikasi atau pelaporan bahwa yang bersangkutan sudah melakukan kegiatan membaca.

Nantinya para peserta akan mengisi booklet digital yang akan menjadi panduan aktivitas keseruan membaca. Peserta dapat membaca koleksi buku yang tersedia di rumah atau memanfaatkan perpustakaan digital seperti iJakarta, iPusnas, Lets Read, dan perpustakaan digital lainnya.

Bahkan jika kita melihat lebih jauh lagi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengadakan program Bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN) di tahun 2016 yang merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Adapun GLN ini nantinya akan mengoordinasikan pelbagai pegiat literasi yang dikelola unit-unit literasi yang ada di masyarakat, sebut saja misalnya, Direktorat

30

Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas). Sejak tahun 2015 mengajak unit-unit keluarga masyarakat untuk menggerakan kebudayaan literasi sekaligus sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat.

Di satu sisi, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah juga memperluas gerakan program pemberdayaan literasi ini dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Bersama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, program ini menerbitkan buku-buku literasi penyampung Pendidikan bagi para siswa dengan memperhatikan dari kearifan lokal masyarakat setempat.

Kemudian pada Tahun 2017, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menambah agenda literasi ini dengan Gerakan Satu Guru Satu Buku dengan target penerima manfaatnya guru. Guru dipercaya memainkan peran yang kondisional dalam meningkatkan kapasitas literasi untuk masyarakat.

Hal ini pada akhirnya akan memperbesar gerakan peduli literasi dalam masyarakat. Misalnya Komunitas 1001 Buku, mengumpulkan data para komunitas literasi yang ada di Jakarta Timur. Terdapat sembilan (9), komunitas literasi yang ditemukan. Hal ini bisa jadi lebih lantaran tidak semua komunitas literasi dapat terpublikasi secara massif. Sehingga hanya segelintir masyarakat saja yang mengetahui.

31

Tabel II.1 Komunitas Taman Baca Masyarakat di Jakarta Timur

Sumber : 1001buku.or.id, diakses pada 11 Maret 2021

Jika kita melihat data yang dirilis Kemendikbud pada 2019, Jakarta unggul dalam kebudayaan literasi. Dalam penelitian yang berjudul Indeks Aktivitas Literasi Membaca. Sebanyak 10 provinsi memiliki tingkat literasi yang unggul di antara 34

No Komunitas Literasi Alamat

1

Perpustakaan Dompet Sosial ALKAUTSAR (DSAK)

Warudhoyong, Kecamatan Jatinegara, Jak-Tim

2 Perpustakaan Yappika Jl. Pedati Raya No.20, Jak-Tim

3

Komunitas Kampung Keramat (K3)

Kampung Keramat, Cililitan, Jakarta

4 TBM Bale Baca Cikal 08 Kecamatan Cipinang Muara, Jak-Tim

5 TBM Saung Manggar

9 Rumah Main Fun House Jl. Raya Condet, Jak-Tim

32

provinsi Indonesia yang lainnya. Adapun yang menjadi parameter dalam penelitian ini ialah dengan adanya 4 dimensi, yakni: dimensi akses, dimensi kecakapan, dimensi budaya, serta dimensi alternative.

Pada dimensi kecapakan, berisi seputar daya melek baca dan rata-rata waktu bersekolah. Dimensi akses dibagi ke dalam akses sekolah dan di masyarakat yang berisikan indikator perpustakaan umum/sekolah dan surat kabar/surat majalah.

Sedangkan dimensi alternatif, berupa ketersediaan perangkat jaringan internet dan teknologi. Terakhir dimensi budaya diukur seberapa sering membaca buku dan melakukan kunjungan ke perpustakaan atau taman baca masyarakat.

Dalam penelitian ini data penyumbang terbesar terletak dalam dimensi kecapakan yang menyumbang 75,92 persen data, diikuti dengan dimensi alternatif 40,49 persen, lalu dimensi budaya sebesar 28,50 persen dan terakhir dimensi akses 23,09 persen.

Gambar II.1 Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca)

Sumber : Puslidjakdikbud

33

Dimensi akses kembali lagi terangkat menjadi permasalah kendala utama dalam meningkatkan budaya literasi dalam masyarakat. Sehingga perlu adanya upaya konkrit agar masyarakat memiliki akses bahan literasi yang lebih mudah dan inklusif yakni hanya 23,09 persen.

Karena persoalan akses pada akhirnya ini mempengaruhi dimensi budaya yang terlihat dari kemampuan masyarakat dalam membaca. Pada akhirnya kebiasaan masyarakat dalam memahami atau mengolah literasi (membaca) juga rendah hanya sebesar 28,50 persen dari keseluruhan provinsi yang didata. Meski dimensi alternatif dan kecakapan cukup jauh dari data dua dimensi sebelumnya.

Gambar II.2Persentase Alibaca dari 34 Provinsi di Indonesia

Sumber : Puslitjakdikbud

Di Indonesia dalam 34 provinsi, 9 provinsi (26%) berada pada kategori aktivitas literasi-sedang (angka indeks antara 40,01 – 60,00); 24 provinsi (71%) masuk kategori literasi-rendah (20,01 – 40,00); dan 1 provinsi (3%) masuk kategori literasi

sangat-34

rendah (0 – 20,00). Artinya dari beberapa bagian provinsi berada pada tingkatan aktivitas literasi-rendah dan tidak ada provinsi yang masuk ke dalam tingkatan aktivitas literasi-tinggi dan sangat-tinggi (nilai indeks antara 60,01 – 80,00 dan 80,01 – 100,00).

Gambar II.3 Peringkat Indeks Literasi 34 Provinsi di Indonesia

Sumber : Puslitjakdikbud

Peringkat pertama dipegang oleh Jakarta dengan persentase literasi mencapai 58,16 persen. Dilanjut Yogyakarta dengan jumlah 56,20 persen. Lalu ada Riau dengan 54,76 persen, Kalimantan Timur dengan 46,01 persen. Sedangkan di posisi 8 dan 10 berada di wilayah Banten dan Jawa Barat dengan masing-masing memegang persentase 40,81 persen dan 39,47 persen.

35

Selain berbagai program literasi yang digencarkan di atas, dengan skalanya yang massif. Pemprov DKI juga menghadirkan perpustakaan kecil yang Bernama Pojok Baca di ruang-ruang publik. Pada fasilitas itu, masyarakat Jakarta dapat menyempatkan membaca buku di sela-sela aktivitasnya. Bahkan disebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pada ragam kesempatan hadir di ruang publik itu untuk membaca (www.goodnewsfromindonesia.id)

Dalam peraturan daerah, kehadiran UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yang dijabarkan melalui PP Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Perpustakaan cukup jelas mengatur bagaimana peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam mewujudkan masyarakat yang gemar membaca.

Pada Pasal 8 UU Nomor 43/2007 misalnya, disebutkan kewajiban pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, antara lain dalam menyelenggarakan layanan perpustakaan, menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata, menggalakkan promosi gemar membaca, serta menyelenggarakan perpustakaan umum dengan kekhasan daerah masing-masing. Penyelenggaraan perpustakaan umum tersebut diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, mulai dari level pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa/kelurahan.

Namun penjabaran dan pelaksanaan UU Perpustakaan di daerah sejauh ini belum merata. Dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, baru terdapat 70 peraturan daerah mengenai perpustakaan (JDIH Kemdagri, 2018), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: 1). Sebanyak 31 Peraturan Derah (Perda) berisi mengenai

36

pembentukan organisasi perpustakaan; 2). Sebanyak 4 Perda mengenai pengaturan biaya administrasi pembuatan kartu anggota perpustakaan dan denda pengembalian buku yang terlambat; dan 3). Sebanyak 35 Perda mengenai pengelolaan dan pelayanan perpustakaan serta penumbuhan gemar membaca.

Sebelumnya survey dalam Perpustakaan Nasional pada tahun 2015, terdapat dua puluh delapan kota dan kabupaten yang mengindikasikan pengalokasian dana yang rendah untuk pembelian buku, yakni sebesar Rp.100.000/tahun. Jika dalam pusat kota dan kabupaten besar hanya serendah demikian, bagaimana kondisi masyarakat yang berada di pelosok-pelosok. Bisa jadi jauh lebih buruk ketimbang mereka yang berada di kota besar.

Di sisi lain, dalam survey Komite Buku Nasional yang dilakukan pada tahun 2016, masyarakat cuma memiliki judul buku yang tidak lebih dari 5 buku. Itu untuk masyarakat di kota besar, belum mereka yang berada di wilayah jauh dari berbagai akses kehidupan.

Jika mempertimbangkan lokasi perpustakaan provinsi maupun kota dan kabupaten, mereka semua terpusat hanya di sana saja. Untuk menjangkau masyarakat di pelosok hal ini sulit dilakukan. Meski akan ada segelintir orang atau kelompok masyarakat yang berupaya untuk menjadi perantara antara perpustakaan utama dengan masyarakat di pelosok-pelosok, yakni dengan membangun taman baca seadanya. Baik taman baca di tempat ataupun dilakukan secara mobile.

37

Gambar II.4 Jumlah Taman Bacaan dan Pustaka Bergerak

Sumber: Puslitjakdikbud

Pada tahap selanjutnya, komunitas literasi yang menjadi pusat program literasi dalam tatanan masyarakat grassroot. Meski jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia, tetapi ada 6.340 komunitas literasi (data per Agustus 2018) dengan rincian 4.455 taman baca dan 1.885 pustaka bergerak. Komunitas tersebut adalah bagian dari jaringan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) dan Pustaka Bergerak Indonesia (PBI).

Komunitas literasi ini biasanya akan menjadi perpustakaan umum bagi masyarakat setempat dengan memberikan pelayanan berupa peminjaman buku beserta program-program pendampin belajar lainnya untuk anak, remaja bahkan orang dewasa sekalipun seperti belajar membaca-menulis, kesenian, sampai belajar bahasa asing.

Misalnya seperti taman baca masyarakat Jawara di Kota Serang, menyelenggarakan

38

‘gelar buku’, dongeng, serta hiburan edukasi untuk anak pada Minggu hari di bekas Istana Surosowan di Banten Lama. TBM lainnya khusus mendampingi anak-anak dari keluarga tidak mampu, seperti TBM Kawan Kami di sekitar Gang Dolly di Kota Surabaya yang mendampingi anak-anak di tempat eks-prostitusi, atau TBM Tanah Ombak yang membina anak-anak dari keluarga tidak mampu di Kota Padang. Ada juga perpustakaan berbasis komunitas sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa untuk berdiskusi, mengadakan bedah buku, menonton film, bahkan konsultasi tugas akhir dan berlokasi di Nation Building Corner Library (NBCL), Kota Ternate.

Para relawan perpustakaan umum juga berupaya menggerakkan gerakan literasi di Tepian Sungai Kapuas, Kota Pontianak. Dengan menyelenggarakan kegiatan “Di Rumahku Ada Buku”, dengan menyediakan rak buku dan pinjaman buku secara teratur pada serratus rumah di Kelurahan Parit Mayor. Bahan bacaan yang terdiri dari buku anak-anak dan buku untuk orang dewasa (religi).

Lambat laun, pemerinta desa wilayah setempat juga akan menampung aspirasi dan mengusurkan dukungan program beserta lengkap dengan anggaranya. Adapun dukungan yang dilakukan biasanya berupa pembelian sarana-prasarana seperti papan tulis, ATK, rak buku, hingga paling sederhana sekalipun juga akan didukung. Selain itu juga pihak pemangku kekuasaan atau pemilik komunitas literasi juga mengajak relawan-relawan rekrutan yang diambil dari masyarakat setempat atau wilayah lain.

Biasanya menagajak remaja-remaja usia SMP dan SMA, serta mahasiswa. Dengan

39

harapan apa yang mereka pelajari di komunitas literasi atau program literasi ini bisa juga diimplementasikan di wilayah lain dan menambah laju literasi di Indonesia.

Misalnya pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengajak sejumlah pegiat komunitas literasi ke Istana Negara pada perayaan Hari Pendidikan pada 2 Mei 2017.

(https://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/13213921/jokowi.rayakan.hari.pendidi kan.nasional.bersama.pegiat.gemar.membaca.se-indonesia, diakses pada 4 Janurari 2021) Lewat undangan ini, presiden memperkenalkan kebijakan Pustaka bebas pajak atau Literacy Free Cargo. Pemerintah melalui kebijakannya untuk membebaskan biaya pengiriman buku pada tanggal 17 setiap bulannya. Hal ini pemerintah mengajak PT Pos sebagai mitra pengantaran paket buku untuk mensukseskan program ini. Sejak Mei 2017 sampai Oktober 2018, tercatat PT Pos telah mengirimkan 45.252 paket buku dengan berat 289 ton, dan biaya pengiriman sebesar 13,5 miliar rupiah.

Kemudian di momen pandemi Covid-19, kegiatan belajar mengajar beralih ke wilayah daring dengan pemaksimalan jaringan internet untuk Pendidikan. Internet seringkali dianggap lebih dari cukup untuk melakukan penelusuran terkait materi pembelajaran. Informasi yang disediakan juga sangat berlimpah baik yang disediakan oleh pemerintah berupa materi e-book hingga oleh individu-individu tertentu.

Menangani permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan program-program pendukung kegiatan belajar mengajar tanpa harus tatap muka dengan orang lain.

Seperti Guru Berbagi yang dapat diakses melalui https://guruberbagi.kemdikbud.go.id/

40

dan berkerja sama dengan TVRI untuk menayangkan program tersebut di televisi serta program-program lainnya.

Akan tetapi penerapannya kurang memadai lantaran tidak semua masyarakat memiliki akses yang memadai untuk menggunakan perangkat teknologi dan jaringan internet yang cukup. Sehingga menambah lagi permasalahan yang ada dalam memeberikan pembelajaran jarak jauh. Maka, dibutuhkan bahan pustaka tambahan yang selain mudah diakses juga terjamin kredibilitasnya serta dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam Surat Edaran No. 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) menjelaskan bahwa kegiatan belajar jarak jauh akan difasilitasi oleh pemerintah setempat dengan perpustakaan daerah, taman baca masyarakat, dan pihak-pihak swadaya lainnya. Dengan menghadirkan modul pembelajaran dan memfasiliasi sarana-prasarana teknologi seperti menyediakan modul mandiri dan buku sebagai bahan pembelajaran luring di daerah yang tidak tersedia listrik. Aritnya pemerintah berupaya optimalisasi bahan literasi di masyarakat setempat untuk Pendidikan formal maupun non-formal.

Sehingga dalam momen pandemi seperti ini pemaksimalan komunitas literasi seperti taman baca masyarakat (TBM) sangat diperlukan dalam menunjang tingkat literasi atau pendidikan pada umumnya. TBM memiliki tanggung jawab besar untuk melebarkan sayap dalam mendayagunakan dan mendistribusikan koleksi yang dimiliki

41

demi mencapai pemenuhan kebutuhan akan informasi masyarakat di sekitarnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan informasi seputar materi sekolah, TBM juga bisa menjadi salah satu ajang rekreasi yang sehat bagi anak ketika sedang jenuh di rumah dan para pengelolanya, yakni para ahli informasi dapat menjadi edukator bagi masyarakat untuk senantiasa lebih melek teknologi dan informasi.

TBM dalam (Listiawati, 2010) dijelaskan sebagai berikut: Karakteristik TBM : a) Posisi dan keberadaan TBM di suatu daerah bukan sekadar untuk memfasilitasi masyarakat dalam peminjaman buku, lebih dari itu TBM adalah sebagai community library; b) Koleksi yang jumlahnya cenderung terbatas dan umumnya sedikit dengan kegiatan pengorganisasian yang tidak sekompleks perpustakaan; dan c) Berisi berbagai macam kegiatan yang fokus perihal pengembangan kemampuan membaca dan keterampilan bekal hidup. Sedangkan perpustakaan memiliki karakteristik yang berbeda, yakni : a) Jumlah koleksi yang lazimnya banyak dengan pengorganisasian yang lebih sistematis karena biasanya sesuai dengan pedoman katalogisasi atau pun klasifikasi yang ada; b) Manajemen pelayanan yang lebih terarah dan berada pada suatu aturan tertentu sehingga sangat berfokus pada kepuasan pengguna; c) Kegiatan lebih terbatas dibandingkan TBM karena sebagian besar terpusat pada layanan sirkulasi dan layanan informasi

42 B. Komunitas Kampung Buku Cibubur

Kampung buku didirikan oleh Edi Dimyati pada 23 Januari 2010. Berlokasi di Jl. Abdurrahman RT.015, RW. 05, No.56 Kelurahan Cibubur Jakarta Timur. Kampung Buku didirikan oleh Edi Dimyadi atas keprihatinannya karena tidak ada perpustakaan umum di lingkungan rumahnya. Edi Dimyatti merupakan lulusan dari jurusan ilmu pepustakaan, Fakultas Ilmu Teknologi dan Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung.

Gambar II.5 Kampung Buku dengan pondasi bambu pada tahun 2010

Sumber: Facebook Kampung Buku, diambil Maret 11 2021

Fenomena Kampung Buku ini di gagas oleh Edi Dimyati ketika melihat ketiadaan perpustakaan umum di lingkungan rumahnya. Edi Dimyati adalah lulusan sarjana sekaligus jurnalis di media kompas saat itu, dengan memanfaatkan ruang lingkup pada profesinya ia juga mengembangkan website kampung buku serta sistem informasi berbasis online untuk memperluas informasi mengenai komunitasnya. Terbentuknya kampung buku di latarbelakangi oleh banyaknya koleksi buku yang dimililki oleh Edi

Dokumen terkait