• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.4. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode AHP. Berdasarkan kerangka kerja AHP, penelitian ini diawali dengan pengumpulan data dan informasi yang digunakan untuk menyusun struktur hirarki. Struktur hirarki disusun sesuai dengan kebutuhan serta didasarkan pada teori dalam literatur dan hasil wawancara dengan pihak perusahaan yang bertindak sebagai pengambil keputusan.

Kuesioner diberikan untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada setiap tingkatan dalam hirarki. Data yang diperoleh dari responden kemudian diproses dengan menggunakan software komputer Expert Choice 2000 dan Microsoft Exel 2007. Hasil pengolahannya kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk uraian, gambar, dan tabel.

Penggunaan AHP sebagai alat analisis dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. AHP digunakan dalam pemecahan masalah yang kompleks. Fewidarto (1996) mengemukakan bahwa pencarian sebuah strategi merupakan sebuah permasalahan yang bersifat kompleks.

2. AHP menjabarkan elemen-elemen dalam suatu sistem secara lebih rinci. Dengan menggunakan AHP akan dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi, aktor yang terlibat, tujuan yang ingin dicapai serta alternatif yang dapat dipilih.

3. AHP mampu menciptakan suatu hasil yang representatif dengan memadukan beberapa pendapat pakar. Tentunya kualitas yanng dihasilkan tergantung pada ketepatan dalam pemilihan pakar serta proses penyusunan bobot yang dilakukan oleh peneliti.

Kerangka kerja AHP terdiri dari delapan langkah utama (Saaty, 1993), yaitu :

1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.

Tidak terdapat prosedur yang pasti untuk mendefinisikan komponen- komponen sistem seperti tujuan, kriteria, dan aktifitas-aktifitas yang akan dilakukan suatu sistem hirarki. Yang menjadi perhatian utama adalah pemilihan tujuan, kriteria, dan aktifitas yang membentuk sistem hirarki tersebut. Komponen-komponen sistem dapat diidentifikasi berdasarkan kemampuan analisis untuk menemukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem. Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan mempelajari literatur dan berdiskusi dengan para pakar untuk memperkaya ide dan konsep yang relevan dengan masalah.

2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajemen secara menyeluruh (dari tingkat puncak sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan tersebut).

Hirarki merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi sub-sub tujuan, pelaku-pelaku yang memberi dorongan, tujuan-tujuan pelaku, dan alternatif strategis pilihan atau alternatif. Tidak ada aturan khusus dalam menyusun model dari suatu sistem, juga tidak terdapat batasan tertentu mengenai jumlah tingkatan struktur keputusan yang terstratifikasi dan unsur pada setiap tingkat keputusan.

3. Menyusun matriks banding berpasangan.

Matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hirarki untuk fokus G, yang merupakan dasar untuk melakukan pembandingan antar unsur yang terkait yang ada di tingkatan selanjutnya. Pembandingan berpasangan yang pertama dilakukan pada unsur tingkat kedua (F1, F2, F3, …, Fn) terhadap

4. Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan perbandingan berpasangan antar unsur pada langkah 3.

Setelah matriks perbandingan berpasangan antar unsur dibuat, kemudian dilakukan perbandingan berpasangan antara setiap unsur pada kolom ke-i dengan setiap unsur pada baris ke-j yang berhubungan dengan fokus G. Untuk mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada tabel 5. Angka-angka tersebut menggambarkan kepentingan relatif suatu unsur terhadap unsur lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian diatas garis diagonal dari kiri atas ke kanan bawah.

5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama.

Angka 1 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi atau mempengaruhi

sifat G dibandingkan dengan Fj. Sedangkan bila Fi kurang mendominasi

atau kurang mempengaruhi sifat G dibandingkan Fj maka digunakan angka

kebalikannya. Matriks dibawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh, bila unsur F34 memiliki nilai 7 maka nilai unsur F43

adalah 1/7.

6. Melaksanakan langkah 3, 4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut.

Pembandingan dilanjutkan untuk semua unsur pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hirarki, berkenaan dengan kriteria unsur di atasnya. Matriks perbandingan dalam metode AHP dibedakan menjadi Matriks Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapat Gabungan (MPG). MPI adalah matrik perbandingan yang dilakukan oleh individu. MPI memiliki unsur yang disimbolkan dengan aij yaitu unsur matriks pada baris ke-i

dalam kolom ke-j (tabel 6). MPG adalah susunan matriks baru (tabel 7) yang unsurnya (gij) berasal dari rataan geometrik pendapat-pendapat

individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10%, dan setiap unsur pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. Nilai-nilai pada MPI dapat diubah-ubah individu yang bersangkutan hingga diperoleh hasil yang memuaskan, namun

jika ada MPI yang tidak memenuhi persyaratan rasio inkonsistensi maka MPI tersebut tidak diikutkan dalam analisis.

Tabel 6. Matriks pendapat individu

G A1 A2 A3 … An A1 A2 A3 … An a11 a21 a31 … an1 a12 a22 a32 … an2 a13 a23 a33 … an3 … … … … … a1n a2n a3n … ann Tabel 7. Matriks pendapat gabungan

G G1 G2 G3 … Gn G1 G2 G3 … Gn g11 g21 g31 … gn1 g12 g22 g32 … gn2 g13 g23 g33 … gn3 … … … … … g1n g2n g3n … gnn

7. Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas dengan bobot kriteria-kriteria, dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk tingkat hirarki paling bawah.

Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap yaitu pengolahan horizontal dan pengolahan vertikal. Kedua jenis pengolahan tersebut dilakukan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan MPG diolah secara horizontal, dimana MPI dan MPG harus memenuhi persyaratan inkonsistensi.

a. Pengolahan Horizontal.

Terdiri dari tiga bagian yaitu penentuan vektor prioritas (vektor eigen), uji konsistensi, dan revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi.

Rumus-rumus yang digunakan adalah:

Z

∏ a

……..………..(1)

• Perhitungan vektor prioritas (VP) atau eigen vektor,

VP

∑ ∏

……….………...(2)

• Penghitungan nilai eigen maksimum (λmaks), VA=(aij) x VP dengan VA=(Vai)

VB

dengan VB=(Vbi)

λ max

∑ V

untuk i= 1, 2, 3,..., n ...(3)

• Perhitungan indeks inkonsistensi (CI),

CI

" # $%&&% ………….………...…(4)

• Perhitungan rasio inkonsistensi (CR),

CR

*)()

………..………...(5)

RI = indeks acak (random index) yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory (Saaty, 1993) dari matriks berorde 1-15 yang menggunakan contoh berukuran 100 (tabel 7). Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena CR merupakan tolok ukur bagi konsisten atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat.

Tabel 8. Nilai RI dari matriks berorde 1-15 (Saaty, 1993)

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

b. Pengolahan Vertikal

Yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap unsur pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Bila Cvij

didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh unsur ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka:

C+ ∑ C, -.; 0 12 x VW-.; 0 12 ………..……….(6) Untuk: i = 1, 2, 3,…, n

j = 1, 2, 3,…, n t = 1, 2, 3,…, n Keterangan:

Chij(t; i-1)= nilai prioritas yang ke-i terhadap unsur ke-t pada tingkat di

atasnya (i=1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.

VW(t; 1-1)= nilai prioritas pengaruh unsur ke-t pada tingkat ke (i-t)

terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.

p= jumlah tingkat hirarki keputusan

r= jumlah unsur yang ada pada tingkat ke-i s= jumlah unsur yang ada pada tingkat ke- (i-t). 8. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki.

Pada pengisian judgement pada tahap Matriks Banding Berpasangan (MBP) terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam membandingkan unsur yang satu dengan unsur yang lain, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. Dalam AHP, penyimpangan ditoleransi dengan rasio inkonsistensi dibawah 10%. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas-prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi harus bernilai kurang dari atau sama dengan 10%. Rasio inkonsistensi diperoleh setelah matriks diolah secara horizontal dengan software komputer Expert Choice Version 9.0. jika rasio

inkonsistensi mempunyai nilai yang lebih besar dari 10%, maka mutu informasi harus ditinjau kembali dan diperbaiki antara lain dengan memperbaiki cara penggunaan pertanyaan ketika melakukan pengisian ulang kuesioner dan dengan lebih mengarahkan responden yang mengisi kuesioner.

Gambar 4. Prosedur kerja metode Analytical Hierarchy Process (Fewidarto, 1996) mulai analisa kebutuhan penyusunan hirarki penilaian perbandingan setiap elemen hitung CI dan CR penyusunan matrik gabungan hitung vektor prioritas

gabungan

hitung CI&CR gabungan pengolahan vertikal hitung vektor prioritas

sistem

selesai

CI dan CR memenuhi? revisi pendapat

Dokumen terkait