• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI

3.3. Metode Penelitian

3.3.2. Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial

Pada tahap yang kedua ini digunakan metode kombinasi teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menganalisis peta. Pengolahan citra digital dan analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, dan Erdas Imagine 9.1. Peta yang berbentuk raster dilakukan registrasi dan koreksi geometrik terlebih dahulu sehingga menghasilkan peta yang siap untuk di digitasi.

1. Koreksi Geometrik

Tahap koreksi geometrik (georeferencing) bertujuan untuk menyamakan koordinat peta dengan koordinat sesungguhnya di lapangan atau merupakan proses penempatan objek berupa raster atau image yang belum mempunyai acuan sistem koordinat dan proyeksi tertentu. Peta yang dilakukan koreksi geometrik adalah Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System. Metode georeferencing

menggunakan koordinat yang tercantum pada peta analog. Koordinat yang tercantum pada Peta Tanah Semidetil tersebut berupa decimal degree, maka

coordinate system yang digunakan adalah World Geographic System (WGS). Jika koordinat berupa Universal Transverse Mercator (UTM), maka yang dugunakan adalah Projected Coordinate System dengan zona wilayah 48 UTM. Tambahkan titik ikat atau GCP (Ground Control Point) pada garis perpotongan koordinat. Titik yang berwarna hijau merupakan source (koordinat gambar, sedangkan titik berwarna merah merupakan destination (koordinat yang sebenarnya). Titik ikat yang dibuat minimal berjumlah empat buah yang berseberangan untuk mempermudah koreksi. Untuk hasil koreksi peta yang baik syarat besarnya RMS Erorrtiap titik harus ≤ 1.

2. Proses Digitasi

Tahap digitasi dilakukan langsung pada layar komputer (on-screen digitizing). Digitasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk mengubah peta

analog menjadi peta digital. Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System yang sudah di digitasi dengan koordinat decimal degree di convert menjadi koordinat UTM zona 48 S. Citra ALOS yang sudah terkoreksi di potong (subset image) pada software Erdas Imagine 9.1 sesuai batas wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu. Digitasi citra ALOS dilakukan dengan batas administratif Sub DAS CIliwung Hulu.

3. Interpretasi Visual

Analisis visual (interpretasi secara visual) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar karakteristik citra. Pendekatan ini melibatkan analisis/interpreter untuk mendapatkan informasi yang terekam pada citra dengan cara interpretasi visual. Elemen-elemen diagnostik dalam analisi visual yang digunakan adalah rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum tampak. Ukuran adalah atribut obyek yang berkaitan dengan jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Bentuk adalah variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Pola adalah susunan keruangan obyek yang merupakan ciri yang memadai bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada foto udara. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain yang sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain.

Dari interpretasi peta penggunaan/penutupan lahan wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu, diperoleh delapan bentuk penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan, semak/belukar, kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah tadah hujan, sawah irigasi, rumput/tanah kosong, dan pemukiman.

4. Ekstraksi Landform

Tahap ekstraksi ini bertujuan untuk menghasilkan beberapa parameter peta dari suatu peta dari data atribut peta tersebut. Peta Tanah Semidetil diekstrak menjadi peta kemiringan lereng, peta drainase tanah dan peta tekstur tanah, sedangkan Peta Land System diekstrak menjadi peta kedalaman tanah dengan modifikasi skala menggunakan bantuan dari DEM SRTM dan Peta Tanah Semidetil.

5. Tumpang Tindih (Overlay)

Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital. Peta kelas erosi diperoleh dari hasil overlay antara peta penggunaan/penutupan lahan dan peta tanah. Lima faktor pembatas yang ditumpangtindihkan, yaitu peta kemiringan lereng, peta erosi, peta kedalaman tanah, peta tekstur tanah, dan peta drainase tanah.

6. Penetapan Kemampuan Fisik Lahan

Pada tahap ini, penentuan kemampuan fisik lahan yang dikategorikan ke dalam bentuk kelas dan subkelas. Besarnya hambatan yang ada untuk masing- masing parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009, penentuan kelas dan subkelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik

Boolean. Kemampuan fisik lahan dikelaskan ke dalam 8 (delapan) kelas, yaitu kelas I sampai dengan kelas VIII. Kemampuan lahan kategori kelas dapat dibagi ke dalam kategori subkelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaannya. Kategori subkelas hanya berlaku untuk kelas II sampai dengan kelas VIII, karena lahan kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas kemampuan lahan dapat dirinci ke dalam subkelas berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu kemiringan lereng (t), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), tingkat erosi/bahaya erosi (e), dan genangan air (w).

Dari hasil overlay peta, diperoleh kombinasi kelima faktor pembatas, yaitu kemiringan lereng, tingkat kelas erosi, kedalaman tanah, drainase tanah, dan tekstur tanah, sehingga dapat dilakukan identifikasi kelas kemampuan lahan. Besarnya faktor pembatas yang ada menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Sebagai contoh, lahan yang memiliki kemiringan lereng datar dan tidak mempunyai faktor pembatas dari parameter lainnya masuk ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan dijabarkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan

No. No. Sampel 1 Kode Kemampuan

Lahan

Faktor Pembatas Data

1 Kemiringan Lereng > 3 - 8 % B II

2 Tingkat Erosi Erosi Ringan e1 II

3 Kedalaman Tanah Dalam k0 I

4 Tekstur Tanah Halus t1 I

5 Drainase Tanah Baik d0 I

Kelas II

Subkelas II t, e

Dari penjabaran pada Tabel 3, maka lahan dengan unit karakteristik tersebut masuk ke dalam kategori kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) dan tingkat erosi (e).

Setelah peta penggunaan/penutupan lahan didigitasi dan diinterpretasi dan setelah ditentukan kelas kemampuan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya, selanjutnya dilakukan tumpang tindih (overlay). Kombinasi peta yang ditumpangtindihkan, yaitu peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta kemampuan lahan, dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dengan peta kemampuan lahan. Masing-masing kombinasi peta yang ditumpangtindihkan tersebut dioverlay dengan peta administrasi Sub DAS Ciliwung Hulu. Kemudian dilakukan penghitungan luas masing-masing poligon dalam satuan meter. Kemudian peta hasil kombinasi tumpang tindih di-query

logika ketidaksesuaian terhadap kemampuan lahan (Lampiran 2 dan 3) yang menghasilkan 3 kombinasi peta tersebut.

Dokumen terkait